PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006. Jumlah hotspot pada tahun tersebut sebesar 146.264 titik dengan luas kebakaran hutan 32.198,58 Ha dan lahan seluas 23.735,67 Ha. Mengingat pentingnya sumberdaya hutan dalam menambah devisa negara, agar tidak terjadi penurunan, maka upaya perlindungan hutan dari gangguan luar terutama dari kebakaran hutan perlu diusahakan semaksimal mungkin (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, 2010). Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), selama tahun 2006 kebakaran hutan dan lahan mencapai luas 65.167,1 Ha, yang tersebar di Provinsi Jambi (3.797 Ha), Sumatera Selatan (58.805 Ha), Lampung (700 Ha), dan Kalimantan Tengah (1.865,10 Ha). Beberapa Taman Nasional (TN) yang terbakar dalam tahun 2006 meliputi Taman Nasional Tesso Nilo (2.500 Ha, Riau), Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Taman Nasional Ciremai (1.328 Ha, Jawa Barat), Taman Nasional Sebangau (Kalimantan Tengah), dan TN Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) (Fire Bulletin, 2007). Kebakaran dalam hutan dapat terjadi bila tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar yang potensial, oksigen atau udara dan penyalaan api dan lima faktor utama yang menjadi penyebab kebakaran hutan yaitu penutupan lahan, curah hujan, rataan suhu udara, kecepatan angin dan topografi (ketinggian
tempat/elevasi). Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Pohon pohon penyusun hutan merupakan bagian terbesar dari komponen hutan yang dapat berperan sebagai bahan bakar mempunyai potensi dan kemudahan yang sangat bervariasi. Perbedaan kemudahan terbakar tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis atau komposisi jenis tanaman. Jenis pohon pohon berdaun lebar lebih sulit terbakar dibanding pohon pohon berdaun jarum yang banyak mengandung resin (Sumardi dan Widyastuti, 2004). Kebakaran hutan dan lahan bisa terjadi baik disengaja maupun tanpa disengaja. Dengan kata lain, terjadinya kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), HTI, penyiapan lahan untuk ternak dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini. Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia (Purbowaseso, 2004). Kebakaran hutan di wilayah Danau Toba (Kabupaten Toba Samosir) merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab dalam degradasi lahan di wilayah tersebut. Apabila terjadi kebakaran, maka serangkaian dampak akan mengganggu fungsi ekosistem di wilayah Danau Toba, baik secara ekologis, ekonomis, maupun sosial. Hampir setiap tahun, kebakaran hutan terjadi di wilayah ini dengan rata-rata luasan sekitar 113 Ha (Syaufina dan Sukmana, 2008).
Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut fire environment triangle. Secara fisik, DTA Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt Fergusson, yaitu kondisi iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas. Berdasarkan pada analisa data klimatologi selama 11 tahun (1985-1995), curah hujan per tahun untuk area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18,27ºC -21ºC, dan rata-rata kelembaban sebesar 85,60% (Syaufina dan Sukmana, 2008). Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan yaitu pembuatan peta rawan kebakaran (Purbowaseso, 2004). Informasi mengenai daerah rawan kebakaran merupakan informasi yang sangat penting dan diperlukan oleh fire manager dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Menurut literatur Solichin, dkk (2007) penyajian secara spasial akan lebih membantu memberikan gambaran yang jelas dan akurat mengenai lokasi, jarak serta aksesibilitas antara lokasi daerah rawan kebakaran dengan sumberdaya pemadaman yang ada di lapangan. Oleh karena itu, pembuatan peta daerah rawan kebakaran hutan dan lahan sangat diperlukan karena berperan penting dalam membantu fire manager dalam mengambil keputusan tersebut dan digunakan sebagai informasi peringatan dini untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.
Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Menganalisa faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir. 2. Memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir. 3. Menghitung luas daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah 1. Menganalisa data dan informasi yang digunakan sebagai sistem peringatan dini terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan. 2. Sebagai bahan rujukan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan bagi pihak terkait, khususnya di Kabupaten Toba Samosir. 3. Manfaat ilmiah yaitu pendekatan alternatif dalam menduga daerah rawan kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan Penurunan fungsi hutan dan lahan Perubahan kondisi biofisik Tutupan lahan Ketinggian tempat Curah hujan Suhu udara Kecepatan angin Jarak dari pemukiman Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Peta Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Rekomendasi untuk pihak pengelola hutan sebagai informasi peringatan dini. Gambar 1. Kerangka Pemikiran