BAB II TINJAUAN PUSTAKA. medis bayi (infant), anak-anak (children), dan remaja (aldosents) (Anonim a,

dokumen-dokumen yang mirip
PENGANTAR FARMAKOLOGI

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Pengantar Farmakologi

INTERAKSI FARMAKOLOGI. Oleh: Wantiyah

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari

PENGARUH SEDUHAN TEH HIJAU ( Camellia sinensis ) TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya

Toksikokinetik racun

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina

FARMAKOKINETIK KLINIK ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA G I N A A R I F A H : : A S T I Y U N I A : : YUDA :: R I F N A

2/20/2012. Oleh: Joharman

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

MAKALAH PERHITUNGAN DOSIS OBAT DISUSUN OLEH : VERTI AGSUTIN

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

FARMAKOKINETIKA. Farmakologi. Oleh: Isnaini

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Metabolisme bilirubin meliputi sintesis, transportasi, intake dan konjugasi serta

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

PENGARUH Agen KIMIA Dan MEKANISME perubahan sel Serta penyakit Yang ditimbulkannya

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik. Interaksi reseptor Mekanisme non-reseptor

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES PELEPASAN, PELARUTAN, DAN ABSOPRSI

Mekanisme Kerja Obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDEKATAN KLINIS INTERAKSI OBAT DAN UPAYA MEMINIMALISASI EFEK MERUGIKAN AKIBAT INTERAKSI OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BIOTRANSFORMASI TOKSIKAN

SKRIPSI. oleh : MARLIA NURITA K

TUGAS FARMAKOKINETIKA

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rumah sakit yang didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

SIFAT FISIKA KIMIA terhadap FARMAKOKINETIK (Absorbsi Distribusi Ekskresi)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Obat Penyakit Diabetes Metformin Biguanide

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Obat on-label On-label adalah penggunaan obat yang telah memiliki izin penjualan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tanaman alpukat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Selama proses pencernaan, karbohidrat akan dipecah dan diserap di dinding

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METABOLISME BILIRUBIN

1 Universitas Kristen Maranatha

SKRIPSI FITRIA ARDHITANTRI K Oleh :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS. goreng terbagi menjadi Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids)

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

biologi SET 15 SISTEM EKSKRESI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. ORGAN EKSKRESI

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

Paradigma dalam pengembangan obat. Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Metabolisme Bilirubin di Hati 1. Pembentukan bilirubin Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

ADME Obat. Indah Solihah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasien Pediatrik 2.1.1 Pengertian Pediatrik Pediatrik adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan perawatan medis bayi (infant), anak-anak (children), dan remaja (aldosents) (Anonim a, 2012). Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), pediatrik adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkaitan dengan fisik, mental dan sosial kesehatan anak sejak lahir sampai dewasa muda. Pediatrik juga merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan pengaruh biologis, sosial, lingkungan dan dampak penyakit pada perkembangan anak. Anak-anak berbeda dari orang dewasa secara anatomis, fisiologis, imunologis, psikologis, perkembangan dan metabolisme (AAP, 2012). 2.1.2 Klasifikasi Populasi Pediatrik Secara internasional populasi pediatrik dikelompokkan menjadi: a. Preterm newborn infants (bayi prematur yang baru lahir). b. Term newborn infants (bayi yang baru lahir umur 0-28 hari). c. Infants and toddlers (bayi dan anak kecil yang baru belajar berjalan umur > 28 hari sampai 23 bulan). d. Children (anak-anak umur 2-11 tahun). e. Adolescents (anak remaja umur 12 sampai 16 sampai 18 tahun tergantung daerah). Usia didefinisikan dalam hari, bulan dan tahun lengkap (WHO, 2007).

2.2 Data Populasi Pediatrik di Indonesia Berikut ini adalah data jumlah total penduduk Indonesia dan persentasi jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) yang diambil dari data profil kesehatan Indonesia beberapa tahun terakhir (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Data Total jumlah penduduk dan persentasi penduduk usia muda No. Tahun Total Jumalah Persentasi Penduduk Usia Referensi Penduduk (Jiwa) Muda (0-14 tahun) 1. 2004 217.072.346 29,61% Depkes RI, 2006 2. 2005 218.868.791 29,04% Depkes RI, 2007 3. 2006 222.192.000 28,26% Depkes RI, 2007 4. 2007 225.642.124 29,30% Depkes RI, 2008 5. 2008 228.523.342 27,23% Depkes RI, 2009 6. 2009 231.369.592 26,96% Depkes RI, 2010 7. 2010 237.641.326 28,87%. Depkes RI, 2011 2.3 Konsep Fisiologi dan Kinetika pada Pediatrik Pada pediatrik, secara fisiologi beberapa organ penting belum matang seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu akan mempengaruhi proses farmakokinetik obat, dan perubahan akan terjadi sejalan dengan pendewasaan, sehingga mempengaruhi respon obat pada pasien anak-anak (Hashem, 2005). 2.3.1 Fisiologi dan Kinetika pada Neonatus (Term Newborn Infants) Variasi kerja obat terjadi pada neonatus karena adanya variasi karakteristik biologis pada bayi yang baru lahir, diantaranya massa tubuh yang kecil, kandungan lemak tubuh rendah, volume air tubuh tinggi dan permeabilitas beberapa membran lebih besar seperti pada kulit dan sawar otak (Hashem, 2005).

2.3.1.1 Absorpsi pada Neonatus Pada bayi yang baru lahir (neonatus), waktu transit lambung lebih lama, ph lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan secara oral (Hashem, 2005). Dengan demikian selama periode neonatal, obat-obat yang tidak tahan asam seperti benzilpenisilin dan ampisilin akan diserap lebih baik, sedangkan penyerapan obat-obatan seperti fenitoin, fenobarbital dan rifampisin rendah (WHO, 2007). Pada minggu pertama sejak lahir, neonates mengalami achlorhydria dan hanya setelah usia tiga tahun ekskresi asam lambung menyerupai orang dewasa. Dalam usia hingga satu bulan waktu pengosongan lambung lebih lama dan gerak peristalsis tidak teratur. Massa otot rangka lebih terbatas dan kontraksi otot yang berperan mendorong aliran darah untuk penyebaran obat yang diberikan secara intramuskular relatif lemah (Rowland dan Tozer, 1995). Tingkat perfusi perifer rendah dan mekanisme pengaturan panas belum sempurna pada neonatus mengganggu penyerapan. Obat topikal diserap lebih cepat, dan biasanya lebih baik karena penghalang kulit neonatus masih relatif tipis sehingga risiko toksisitas yang lebih besar (Hashem, 2005). 2.3.1.2 Distribusi pada Neonatus Bayi yang baru lahir memiliki konsentrasi protein plasma dan kapasitas pengikatan albumin yang rendah, sehingga berpengaruh pada kemampuan mengikat terhadap obat yang terikat ekstensif dengan protein plasma. Rendahnya kapasistas protein plasma mengikat obat menyebabkan beberapa efek obat yang merugikan. Misalnya, protein plasma dapat mengikat bilirubin. Obat sangat kuat berikatan dengan protein dapat menggantikan bilirubin sehingga menyebabkan

kerusakan otak dari kernikterus akibat hiperbilirubinemia. Antibiotik sulfonamid adalah contoh obat utama pada kasus ini (Hashem, 2005). Volume distribusi dalam kompartemen tubuh bayi sangat berbeda dengan orang dewasa. Jumlah total kandungan air tubuh mencapai 70-80% dari berat badan pada bayi prematur dan bayi baru lahir, dibandingkan dengan orang dewasa sekitar 50-55%. Cairan ekstraseluler sekitar 40% dari total berat badan, sekitar dua kali pada orang dewasa. Tingginya kandungan air tubuh dan rendahnya kapasitas protein plasma mengakibatkan volume distribusi obat yang larut dalam air lebih besar. Sehingga dibutuhkan dosis relatif lebih besar untuk obat yang larut dalam air untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan (Hashem, 2005). Secara substansial jumlah lemak tubuh pada neonatus lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan hal ini juga dapat mempengaruhi efek terapi obat. Beberapa obat yang kelarutannya tinggi dalam lemak, distribusinya lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Sebagai contoh, perbedaan volume distribusi diazepam berkisar 1,4-1,8 L/kg pada neonatus dan 2,2-2,6 L/ kg pada dewasa (Nahata dan Taketomo, 2008). 2.3.1.3 Metabolisme pada Neonatus Neonatus memiliki kemampuan lebih rendah untuk metabolisme obat yang rentan dibandingkan dengan bayi dan anak-anak (Nahata dan Taketomo, 2008). Secara umum metabolisme obat oleh enzim hati belum sempurna pada neonatus. Setelah lahir, kapasitas metabolisme akan naik secara dramatis dari sekitar seperlima hingga sepertiga tingkat orang dewasa selama minggu pertama kehidupan (Hashem, 2005).

Jalur utama metabolisme obat dibagi menjadi fase reaksi 1 dan fase reaksi 2. Fase 1 melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan hidrasi. Jalur paling utama adalah reaksi oksidasi yang melibatkan enzim sitokrom P450 (CYP). Enzim-enzim CYP utama dibagi menjadi CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8-10, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4 dan 5. Jalur untuk fase 2 melibatkan glukuronidasi, sulfasi, metilasi, asetilasi dan konjugasi glutation. Jumlah kandungan sitokrom P450 di hati janin adalah antara 30% dan 60% dari nilai dewasa dan mendekati nilai-nilai orang pada usia 10 tahun (Choonara, 2005). Tempat utama metabolisme obat adalah dalam hati, selain saluran pencernaan, sel darah, dan organ lain juga terlibat dalam metabolisme obat. Tujuan biologis metabolisme obat adalah untuk mengkonversi senyawa lipofilik (larut dalam lemak) menjadi lebih polar dan lebih larut dalam air dengan demikian lebih mudah diekskresikan ke dalam empedu atau urin (Choonara, 2005). Obat-obat yang nonpolar, dan larut dalam lipid (misalnya diazepam, teofilin dan parasetamol) akan dimetabolisme dalam hati sehingga menjadi lebih polar. Sedangkan obat yang larut dalam air, biasanya diekskresikan dalam bentuk tidak berubah oleh filtrasi glomerulus dan / atau sekresi tubular pada ginjal (misalnya aminoglikosida, penisilin, dan diuretik) (WHO, 2007). Bayi baru lahir memiliki kemampuan memetabolisme obat yang rendah dibandingkan dengan bayi dan anak terutama pada neonatus prematur. Perubahan metabolisme dapat mempengaruhi neonatus yaitu terjadinya resiko toksisitas obat lebih besar. Neonatus biasanya membutuhkan dosis obat yang lebih kecil dan diberikan lebih jarang dari pada bayi dan anak-anak (Choonara, 2005).

2.3.1.4 Ekskresi pada Neonatus Pada neonatus fungsi ginjal belum berkembang secara sempurna, sehingga ekskresi obat pada neonates obat lebih lambat. Neonatus memiliki kemampuan yang rendah memekatkan urin sehingga ph urin rendah, sehingga mempengaruhi ekskresi beberapa senyawa. Fungsi ginjal secara keseluruhan mendekati tingkat dewasa pada akhir atau tahun pertama sejak kelahiran (Hashem, 2005). Fungsi ginjal sangat penting untuk disposisi obat pada periode neonatus. Banyak pasien neonatus yang mengalami infeksi diberi antibiotik yang larut dalam air. Secara umum pada neonatus waktu paruh eliminasi obat semakin lama. Laju eliminasi meningkat pesat selama minggu-minggu berikutnya, dan waktu paruh sama dengan orang dewasa biasanya dicapai pada akhir bulan pertama (WHO, 2010). 2.3.2 Fisiologi dan Kinetika pada Bayi dan Anak Ada beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi pemberian obat pada bayi (5-52 minggu setelah dilahirkan) dan anak-anak (1-12 tahun). Pertumbuhan dan kematangan biologis yang progresif menstabilisasi respon tubuh terhadap obat sampai memberikan respon yang akhirnya sama dengan perkiraan pada orang dewasa. Selama pertumbuhan, terjadi peningkatan massa tubuh, perbedaan kandungan lemak, dan penurunan volume air tubuh. Semua hal itu akan mempengaruhi penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Selain itu, hambatan anatomis seperti kulit dan sawar otak lebih efektif pada bayi. Pertumbuhan yang cepat selama masa kanak-kanak dan pubertas juga dapat mempengaruhi respon obat (Hashem, 2005).

2.3.2.1 Absorpsi pada Bayi dan Anak Keasaman lambung belum mendekati nilai-nilai orang dewasa sampai usia sekitar dua sampai tiga bulan. Pada infant beberapa obat yang tidak tahan asam seperti benzil penisilin, ampisilin, dan nafsilin oral dapat diabsorpsi dengan baik karena kurangnya asam lambung pada masa awal bayi. Hal ini disebabkan adanya cairan ketuban dalam perut bayi sehingga ph lambung netral (6-8). Laju pengosongan lambung menyerupai orang dewasa sekitar usia 6 sampai 8 bulan. Barrier seperti kulit dan sawar otak lebih efektif selama pertumbuhan bayi, hal ini menyebabkan anak berisiko lebih rendah terhadap efek toksik beberapa obat (Hashem, 2005; Milsap dan Jusko, 1994). 2.3.2.2 Distribusi pada Bayi dan Anak Distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah dan karakter protein plasma, volume relative cairan tubuh, lemak, dan kompartemen jaringan tubuh. Jumlah total air tubuh, dinyatakan sebagai persentase dari total berat badan. Bayi premature adalah 85% dan neonatus 78%. Meningkatnya fraksi total air tubuh berpengaruh terhadap nilai parameter volume distribusi obat yang berkaitan dengan konsentrasi obat (Hashem, 2005; Milsap dan Jusko, 1994). Pengikatan protein pada obat umumnya hampir sama pada orang dewasa dan dicapai pada usia satu tahun (Hashem, 2005). 2.3.2.3 Metabolisme pada Bayi dan Anak Tingkat metabolik pada bayi dan anak-anak usia dua sampai tiga tahun secara umum lebih tinggi dari orang dewasa. Dosis terapeutik obat relatif terhadap berat badan, mungkin lebih besar untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa, contohnya teofilin. Dosis harus individual untuk setiap anak berdasarkan berat

badan, dan harus disesuaikan dosis tersebut dengan adanya variasi metabolism secara individu. Artinya, dosis harus individual untuk setiap anak berdasarkan berat badan. Enzim hepatik dapat berubah sedemikian rupa pada anak yang sudah mature sehingga kliren teofilin akan berkurang, dan penyesuaian dosis lebih lanjut mungkin dibutuhkan (Hashem, 2005). Biotransformasi metronidazol lebih lambat oleh sistem enzim P450 pada bayi yang mengalami malnutrisi berat dibandingkan pada bayi yang tidak mengalami malnutrisi (Milsap dan Jusko, 1994). 2.3.2.4 Ekskresi pada Bayi dan Anak Perubahan fungsi ginjal bergantung pada usia, sampai sekitar 6-12 bulan kematangan fungsi ginjal dan hati belum tercapai (Milsap dan Jusko, 1994; Hashem, 2005). Saat lahir, fungsi glomerulus lebih baik dari fungsi tubulus dan berlanjut sampai umur 6 bulan (Milsap dan Jusko, 1994). Pada pasien infant dan children pemberian obat dosis berganda harus diberikan secara hati-hati. Dosis obat diekskresikan sebagian besar dalam bentuk tidak berubah (unmetabolized) oleh ginjal, seperti digoksin (untuk gagal jantung kongestif) dan gentamisin (antibiotik aminoglikosida) (Hashem, 2005). Proses filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, dan reabsorpsi tubulus, semuanya menentukan efisiensi eliminasi obat melalui ginjal seperti gentamisin, dan agen lainnya seperti glukosa, fosfat, dan bikarbonat (Milsap dan Jusko, 1994). 2.4 Interaksi Obat 2.4.1 Pengertian Interaksi obat yaitu situasi ketika suatu zat (biasanya obat lain) mempengaruhi aktivitas obat ketika keduanya diberikan secara bersamaan. Aktivitas tersebut bisa bersifat sinergis (efek obat meningkat) atau antagonis (efek obat berkurang) atau

bisa menghasilkan efek baru. Interaksi dapat terjadi antara obat dengan obat, obat dengan makanan, dan obat dengan herbal (Anonim b, 2012). 2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat Pemberian satu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat terjadi melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik (terjadi perubahan konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja reseptor) dan interaksi farmakodinamik (terjadi modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah konsentrasinya dalam cairan jaringan). Selain dua mekanisme tersebut masih ada yang disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro sehingga satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip farmakologi yang terlibat dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara fisika atau kimia. (Hashem, 2005). 2.4.2.1 Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang dapat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi (Baxter, 2008). Perubahan ini pada dasarnya adalah terjadi modifikasi konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat bersifat homergic jika memiliki efek yang sama dalam organisme dan heterergic jika efeknya berbeda (Anonim b, 2012). 2.4.2.1.1 Interaksi Pada Level Absorpsi Obat Absorpsi gastrointestinal diperlambat oleh obat yang menghambat pengosongan lambung, seperti atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat (misalnya metoklopramid) yang mempercepat pengosongan lambung. Atau, obat A dapat berinteraksi dengan obat B dalam usus sedemikian rupa untuk menghambat penyerapan obat B (Hashem, 2005). Selain itu dapat juga terjadi

karena dampak perubahan ph pencernaan, adsorpsi, khelasi dan mekanisme kompleks lainnya, perubahan motilitas gastrointestinal, induksi atau inhibisi protein transporter obat, dan malabsorpsi disebabkan oleh obat (Baxter, 2008). Beberapa contoh interaksi absorpsi obat: a. Kalsium (dan juga besi) membentuk kompleks tak larut dengan tetrasiklin dan menghambat penyerapan obat, b. Penambahan epinefrin pada suntikan bius lokal yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperlambat penyerapan obat bius, akibatnya memperpanjang efek lokal obat bius tersebut (Hashem, 2005). 2.4.2.1.2 Interaksi Pada Level Distribusi Obat Mekanisme interaksi utama pada level distribusi adalah terjadinya kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma. Dalam kasus ini, obat yang tiba pertama berikatan dengan protein plasma akan meninggalkan obat lain yang larut dalam plasma, sehingga memodifikasi konsentrasi yang obat bebas (Anonim b, 2012). Distribusi obat ke dalam otak dan beberapa organ lainnya seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein aktif ini mengangkut obat keluar dari sel ketika obat telah secara pasif menyebar masuk ke dalam sel. Ada beberapa obat dapat menghambat transporter ini sehingga meningkatkan penyerapan obat (Baxter, 2008). Beberapa contoh interaksi disitribusi obat: a. Salisilat menggantikan metotreksat pada tapak ikat albumin dan mengurangi sekresinya ke dalam nefron. b. Quinidine dan beberapa obat lainnya termasuk antidisritmia verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin pada tapak ikat-jaringan sekaligus

mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas digoxin (Hashem, 2005). 2.4.2.1.3 Interaksi Pada Level Metabolisme Obat Interaksi pada Level Metabolisme terjadi karena metabolisme obat objek dirangsang atau dihambat oleh obat presipitasi. Terikat dengan metabolisme ini ada dua hal penting. Pertama, diantara obat yang berinteraksi ada yang menginduksi enzim dan yang kedua ada yang menghambat aktivitas enzim. a. Induksi Enzim Induksi enzim adalah perangsangan atau induksi enzim yang terjadi dalam retikulum endoplasik sel hati dan sitokrom P 450 (CYP) oleh obat tertentu, sehingga aktivitas metabolik bertambah. Akibatnya metabolisme obat menjadi lebih aktif dan konsentrasi obat objek dalam plasma berkurang, sehingga efektivitasnya pun menurun (Dalimunthe, 2009). b. Inhibisi Enzim Inhibisi enzim adalah apabila suatu obat menghambat metabolisme obat lain, sehingga memperpanjang atau meningkatkan aksi obat. Sebagai contoh, allopurinol mengurangi produksi asam urat akibat hambatannya terhadap enzim santin oksidase, pada waktu yang sama metabolisme beberapa obat yang berpotensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin juga dihambat. Penghambatan santin oksidase secara bermakna meningkatkan efek obat-obat tsb. Sehingga jika diberikan bersama allopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus diturunkan sampai 1/3 atau ¼ dosis biasanya (Anonim, 2011).

2.4.2.1.4 Interaksi Pada Level Ekskresi Obat Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal disepanjang arteri renal, pertama kali akan dikirim ke glomeruli tubulusmo dan molekul-molekul kecil akan melewati membran glomerulus (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah akan ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain tubulus ginjal sehingga terjadi transport aktif yang memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi aktif di tubulus ginjal, perubahan ph, dan perubahan aliran darah ginjal (Anonim, 2011). 2.4.2.2 Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik dapat terjadi dalam berbagai cara.. Berikut ini beberapa interaksi yang perlu dipertimbangkan. Antagonis β-adrenoseptor mengurangi efektivitas agonis β-reseptor, seperti salbutamol atau terbutaline. Beberapa diuretik dapat menurunkan konsentrasi plasma kalium, sehingga meningkatkan efek digoksin dan menyebabkan risiko toksisitas glikosida tersebut. Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah norepinefrin yang disimpan dalam terminal saraf noradrenergik dan interaksinya dengan obat lain akan berbahaya, seperti efedrin atau tiramin yang bekerja melepaskan norepinefrin. Ini juga dapat terjadi dengan makanan kaya tiramin seperti keju hasil fermentasi misalnya keju Camembert. Warfarin bersaing dengan vitamin K, mencegah sintesis hepatik berbagai faktor koagulasi. Jika produksi vitamin K

dalam usus dihambat (misalnya dengan antibiotik), aksi antikoagulan warfarin meningkat. Obat yang menyebabkan perdarahan dengan mekanisme yang berbeda (misalnya aspirin, yang menghambat biosintesis tromboksan A2 trombosit dan dapat merusak lambung) akan meningkatkan risiko perdarahan yang disebabkan oleh warfarin. Sulfonamid mencegah sintesis asam folat oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya; trimetoprim menghambat pengurangan untuk tetrahydrofolate. Jika diberikan bersama dengan obat yang memiliki aksi sinergis dalam mengobati Pneumocystis carinii. Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID), seperti ibuprofen atau indometasin, menghambat biosintesis prostaglandin, yang bersifat sebagai vasodilator ginjal / natriuretik prostaglandin (PGE2, diikuti PGI2). Jika diberikan kepada pasien yang menerima pengobatan untuk hipertensi, akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan jika diberikan kepada pasien yang menerima diuretik untuk gagal jantung kronis akan menyebabkan retensi garam dan air dan dekompensasi jantung. Antagonis reseptor H1, seperti mepiramin, sering menyebabkan rasa kantuk sebagai efek yang tidak diinginkan. Ini lebih parah jika obat tersebut diberi bersamaan dengan alkohol, dan dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja atau di jalan (Hashem, 2005). 2.5 Pemberian Dosis Obat pada Bayi Pemberian dosis obat pada bayi perlu pertimbangan yang seksama karena adanya perbedaan antara bayi dan orang dewasa sehubungan dengan farmakokinetika dan farmakologi obat. Perbedaan komposisi tubuh dan kesempurnaan pertumbuhan hati dan fungsi ginjal merupakan sumber yang potensial dalam hal farmakokinetika obat yang berhubungan dengan umur. Untuk

mudahnya, bayi yang dimaksud adalah anak yang berumur 0-2 tahun. Dalam kelompok ini diperlukan pertimbangan khusus untuk bayi yang berumur kurang dari 4 minggu, karena kemampuannya memperlakukan obat-obat sering berbeda dari bayi-bayi yang lebih tua. Pada umumnya, fungsi hepatik belum tercapai sampai minggu ketiga. Proses oksidasi pada bayi berkembang cukup baik, tetapi ada kekurangan enzim konjugasi. Sebagai tambahan, beberapa obat menunjukkan penurunan ikatan albumin plasma pada bayi. Bayi yang baru lahir memiliki aktivitas ginjal 30-50% dibandingkan orang dewasa. Obat-obat yang sangat bergantung pada ekskresi ginjal akan mengalami kenaikan waktu-paruh eliminasi yang tajam. Sebagai contoh, penisilin sebagian besar akan diekskresi melalui ginjal (Shargel dan Yu, 1985). 2.6 Studi Retrospektif Studi retrospektif adalah studi yang dilakukan setelah peristiwa yang diteliti terjadi. Kedua eksposur dan hasil sudah terjadi pada awal penelitian (Strom dan Kimmel, 2006).