BAB II LANDASAN TEORI. memiliki peran yang menempatkannya pada posisi dimana ia harus bersikap

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Hidup di tempat kerja, pekerjaan dan keluarga, pekerjaan dan pemenuhan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia (Widyaningrum, 2015). Hasil penelitian oleh Mello (2011: Widyaningrum, 2015)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

BAB I PENDAHULUAN. McDonald's Corporation pertama didirikan pada tahun 1940 oleh dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepuasan kerja merupakan salah satu masalah yang penting dan paling

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya manusia sebagai tenaga kerja tidak dapat disangkal lagi, bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas

BAB II LANDASAN TEORI. maupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan atau organisasi berusaha meningkatkan serta

BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS. kerja di Amerika maupun beberapa negara Asia (Triaryati, 2003), termasuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan masyarakat memiliki peran besar dalam pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda. Kepuasan itu terjadi

Bab 2 Landasan Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. meningkat pada tahun 2013 menjadi ( Jadi dari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir abad ke-20 sampai awal abad ke-21 ini, sudah tidak asing lagi kita

BAB II LANDASAN TEORI. perilaku seseorang untuk berbuat. Sedangkan motif dapat dikatakan suatu driving force yang

BAB II LANDASAN TEORI. mencakup pengertian budaya kinerja tinggi dan juga kepuasan kerja.

BAB I PENDAHULUAN. Pemberian pelayanan kesehatan menjadi prioritas utama bagi banyak

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan munculnya situasi kompetitif dalam rangka mempertahankan

Bab 2. Literature Review

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Globalisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi dan. organisasi dihadapkan pada lingkungan yang serba tidak pasti.

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. mengoreksi apakah sebelumnya ada peneliti yang pernah menulis

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pegawai jika tidak mendapatkan kepuasan dalam bekerja, akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Tenaga kerja sebagai sumberdaya manusia (SDM) utama perusahaan yang

2016 WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA

HUBUNGAN KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP INTENSI KELUAR KARYAWAN PADA PT. PURNA GRAHA ABADI TASIKMALAYA. Oleh: Reza Rizky Aditya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aset terpenting dalam sebuah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. menciptakan beberapa hasil yang tidak diinginkan seperti stres, kesehatan memburuk, konflik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dewasa (Frone et al,1992). Dalam beberapa dekade ini perkembangan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebut Teori Dua Faktor atau Two Factor Theory yang terdiri atas: faktor hygiene, yaitu

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

Bab II KAJIAN PUSTAKA. Pada bagian ini disajikan definisi motivasi kerja individu, teori motivasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gina Awalia Zulfi Rosadi, 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Porter dan Lawler (dalam Kreitner & Kinicki, 2004) menyatakan. atau ekstrinsik (gaji dan pengakuan dari publik).

BAB I PENDAHULUAN. turnover intention serta karyawan terlibat perilaku kerja kontraproduktif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. (Mahdi et al., 2012). Widjaja et al. (2011) mengungkapkan bahwa proses turnover

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

ABSTRAK. Kata kunci: work-family conflict, kelelahan emosional, intention to leave.

BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS. Dengan menjadi bagian dari perusahaan, karyawan dididik untuk berkomitmen

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakikatnya setiap individu ingin mendapatkan pekerjaan karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB I PENDAHULUAN. penting. Sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan yang handal, mampu

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA Definisi Keinginan Untuk Keluar (Turnover intention) Sutanto dan Gunawan (2013) mengemukakan bahwa turnover intention

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori penelitian terdahulu yang

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah tenaga kerja yang berlebih di Indonesia, membuat beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan sebuah perusahaan bukan hanya tergantung dari permodalan secara

KINERJA DAN RETENSI INDIVIDUAL

BAB I PENDAHULUAN. organisasi (Arthur, 1994). Menurut Samad (2006) bahwa karakteristik pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang dikehendaki, serta mempertahankan guru yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu aspek yang sangat

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan yang sudah ada. Disinilah dituntut adanya peranan. stratejik dan koheren untuk mengelola aset paling berharga milik

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Disamping itu pula, pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas dan mengendalikan biaya ketenagakerjaan.

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan sumber daya dengan sebaik-baiknya. Sumber daya yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN. Menurut werther (2002:5). Yang menyatakan bahwa Kunci memenangkan. senantiasa melakukan investasi untuk merekrut, menyeleksi dan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kondisi ekonomi nasional cenderung mengalami pertumbuhan yang

BAB II LANDASAN TEORI. (2003), work-family conflict (WFC) merupakan suatu bentuk konflik peran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Work-Family Conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi merupakan suatu lembaga yang diorganisasikan dan dijalankan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meningkat, pekerjaan yang dirancang dengan baik akan mampu menarik dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat ini tidak hanya suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut, perusahaan dituntut untuk lebih aktif

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Adanya persaingan dunia global yang semakin pesat akan mendorong

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan yang terjadi di kedua domain (pekerjaan personal).

BAB II TINJAUAN TEORI. karyawan yang handal. Proses ini tidak hanya membutuhkan biaya dari sisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II LANDASAN TEORI

Kuesioner (Job Insecurity) A. Arti Penting Aspek Kerja 1. Sangat Tidak Penting (STP) 2. Tidak Penting (TP) 3. Tidak Tahu, Apakah penting atau tidak

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan wanita dalam dunia bisnis saat ini menunjukkan fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya manusia adalah faktor yang menentukan keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN. gigi. Setiap roda gigi mempenyuai tugas masing masing, tetapi harus saling

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Work-Life Balance Kehidupan orang dewasa yang kompleks menempatkan seseorang pada pilihan-pilihan yang cukup berat. Untuk menghidupi keluarga, seseorang harus bekerja. Demikian pula, sebagai salah satu individu dalam keluarga, seseorang memiliki peran yang menempatkannya pada posisi dimana ia harus bersikap sebagai bagian dari anggota keluarga, selayaknya ketika bekerja. Namun hal tersebut seringkali menjadi masalah karena harus ada prioritas antara pekerjaan dengan keluarga, akibatnya muncullah konflik pekerjaan-keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga menjadi isu mengenai perbedaan peran dalam rumah tangga yang membayangi penempatan karir dan tanggung jawab pada wanita sekalipun, yang sebenarnya masalah ini merupakan masalah pria dan wanita (Triyati, 2003). Namun apa daya tuntutan wanita lebih banyak kepada peran tradisional, yaitu menangani tugas-tugas rumah tangga. Konflik pekerjaan dan keluarga dapat ditimbulkan akibat adanya tekanan dalam lingkungan kerja. Selain itu, tekanan juga dapat berasal dari lingkungan keluarga itu sendiri yang dapat menyebabkan terjadinya konflik pekerjaan dan keluarga (Lathifah, 2008). 10

11 Work-Life Balance berarti karyawan dapat dengan bebas menggunakan jam kerja yang fleksibel untuk menyeimbangkan pekerjaan atau karyanya dengan komitmen lain seperti keluarga, hobi, seni, studi, dan tidak hanya fokus terhadap pekerjaannya (Frame dan Hartog, 2003). Work-Life Balance memiliki konsekuensi penting bagi sikap karyawan terhadap organisasi mereka, serta untuk kehidupan karyawan (Scholarious dan Marks, 2004). Menurut Yang, Chen, Choi, dan Zou (2000) dalam Triyati (2003), tuntutan pada keluarga dipengaruhi oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga, dan tentunya jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota keluarga lainnya. Misalnya saja, bayi, anak berkebutuhan khusus, maupun anggota keluarga yang sakit ataupun sedang dalam kondisi psikologis yang buruk seperti trauma akibat kecelakaan ataupun kematian. Definisi yang dikemukakan oleh Frone, Rusell, dan Cooper (1992) dalam Murtiningrum (2005) sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga, dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga (Murtiningrum, 2005). Sebaliknya, keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga menggangu pekerjaan (Murtiningrum, 2005). Menurut Triyati (2003), organisasi sebaiknya tidak hanya memenuhi tuntutan teknis dalam organisasi. Dalam usaha menghadapi persaingan dan mempertahankan hidupnya, sebaiknya perusahaan juga harus merespon tekanan

12 yang berbeda-beda dari beberapa lembaga dan memperngaruhi tuntutan dalam bentuk peraturan, norma, hukum, dan harapan sosial. 2.2. Keinginan untuk Meninggalkan Organisasi (Turnover Intention) Keinginan untuk meninggalkan organisasi sering dikaitkan dengan perputaran karyawan. Perputaran didefinisikan sebagai penghentian keanggotaan di dalam suatu organisasi oleh individu atau pergerakan keluar dari suatu organisasi. Perputaran karyawan dapat mengganggu kinerja tim, menambah biaya, mengurangi produktivitas, dan hasil akhirnya adalah kehilangan karyawan (Mustapha dan Mourad, 2007, dikutip oleh Hong dan Kaur, 2008). Sebagai tambahan, perputaran karyawan mungkin secara negatif mempengaruhi moril dan sikap dari mereka yang tinggal di dalam organisasi. Apabila karyawan meninggalkan suatu organisasi dengan sukarela, mereka sering menjustifikasi keberangkatan mereka dengan menyalahkan pekerjaan mereka, sedangkan karyawan lain di dalam organisasi akan mengembangkan persepsi mereka sendiri tentang mengapa karyawan lain keluar atau meninggalkan organisasi (Hong dan Kaur, 2008). Suhanto (2009) mendefinisikan turnover intention sebagai suatu keinginan dari seorang individu untuk keluar dari perusahaan. Menurut Suwandi dan Nur Indriarto (1999) dalam Lathifah (2008), turnover intention dapat diindikasikan sebagai sikap dari seorang individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi dimana dirinya bekerja dan belum terwujud dalam bentuk tindakan pasti.

13 Menurut Rokhman dan Riani (2005), bagi karyawan, keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) merupakan salah satu jalan keluar untuk mendapatkan keadaan yang lebih baik. Namun, bagi perusahaan hal ini dapat menjadi suatu kerugian tersendiri, apalagi bila karyawan yang keluar tadi memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Selain itu dapat menambah biaya (cost) untuk perekrutan dan penempatan kembali. Lathifah (2008) mengungkapkan tinggi rendahnya keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) karyawan pada suatu organisasi mengakibatkan tinggi rendahnya biaya perekrutan, seleksi, dan pelatihan yang harus ditanggung organisasi. Hal ini dapat mengganggu efisiensi operasional organisasi, apalagi karyawan yang pindah tersebut memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman yang baik. Menurut Triyati (2003), para peneliti menyatakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi turnover, antara lain: job attitude, personality, demographic, economic factors, personal factors, job characteristics, reward system, supervisory, dan group relations. Rokhman dan Riani (2005) mengungkapkan bahwa perusahaan perlu menelaah lebih jauh tentang sebab-sebab seorang karyawan mempunyai intensi untuk keluar, sehingga keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) dapat ditekan seminimal mungkin. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengatasi kendala-kendala yang menyebabkan seorang karyawan memiliki intensi untuk keluar terutama yang disebabkan dari dalam perusahaan. Dengan demikian, baik organisasi maupun karyawan akan sama-sama merasa puas.

14 Menurut Suhanto (2009), satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah mendeteksi faktor-faktor motivasional yang akan dapat mengurangi niat atau keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Niat untuk pindah sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan turnover yang sebenarnya. Keinginan untuk pindah mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain (Suhanto, 2009). Keputusan ini menunjukkan bahwa thinking of quiting merupakan langkah logis berikutnya setelah mengalami ketidakpuasan dan bahwa intention to leave diikuti oleh beberapa langkah lainnya yang menjadi langkah-langkah akhir sebelum actual quiting (Triyati, 2003) Menurut Vecchio dan Norris (1996) dalam Triyati (2003), tingkat keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) lebih tinggi dari pada karyawan yang kinerjanya rendah. Abelson (1997) dalam Suhanto (2009), menyatakan bahwa sebagian besar karyawan yang meninggalkan organisasi karena alasan sukarela dapat dikategorikan atas perpindahan sukarela yang dapat dihindarkan (avoidable voluntary turnover) yang disebabkan karena alasan gaji, kondisi kerja, atasan, atau ada organisasi lain yang dirasakan lebih baik. Sedangkan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindarkan (unavoidable voluntary turnover) dapat disebabkan oleh perubahan jalur karir atau faktor keluarga (Suhanto, 2009).

15 2.3. Kepenatan Karyawan (Employee Burnout) Pada hakikatnya bekerja merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tujuannya adalah untuk memperoleh imbalan yang sesuai dan berguna untuk mencukupi kebutuhannya. Rutinitas dalam pekerjaan terkadang membuat seseorang terkadang mengalami kepenatan (burnout). Kepenatan (burnout) bisa terjadi dimanapun termasuk di lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang dapat menimbulkan burnout dapat menurunkan motivasi kerja. Burnout adalah istilah yang menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental, emosional, dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Burnout merupakan sindrom berhubungan dengan kerja yang paling sering mempengaruhi human-service professional (profesional pelayanan publik) (Togia, 2005). Fakta-fakta empiris menunjukkan bahwa burnout yang dialami pekerja menimbulkan kerugian yang cukup signifikan terhadap organisasi dan pekerja itu sendiri. Dampak yang umum terjadi dari burnout adalah penurunan komitmen terhadap organisasi dan penurunan produktifitas (Togia, 2005). Kepenatan (burnout) adalah istilah yang menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa jenuh secara mental, emosional, dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat (Poerwandari, 2010). Kepenatan adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat menanggung tekanan kerja lagi dan kewalahan oleh stres dan mencapai titik puncaknya (Weisberg, 1994). Kepenatan karyawan (employee burnout) akan berdampak pada sikap dan

16 perilaku karyawan sehari-hari. Kepenatan karyawan juga berdampak pada produktivitas, kepuasan kerja, dan niat untuk meninggalkan organiasasi. Menurut Poerwandari (2010), burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik. Biasanya burnout dialami dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terus-menerus. Karena bersifat psikobiologis (beban psikologis berpindah ke tampilan fisik, misalnya mudah pusing, tidak dapat berkonsentrasi, gampang sakit) dan biasanya bersifat kumulatif. Pines dan Aronson (1989) seperti dikutip oleh Sutjipto (2002) dalam artikelnya yang dimuat secara online berjudul Apakah anda mengalami burnout?, mendefinisikan burnout sebagai kelelahan fisik, mental, dan emosional. Burnout dialami oleh seseorang yang bekerja menghadapi tuntutan dari klien atau pelanggan, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan yang memadai terhadap kinerjanya. 2.4. Kepuasan Kerja Ketika pekerjaan mengganggu kehidupan keluarga maka akan mengurangi kepuasan dari pekerjaan dan dari kehidupan secara keseluruhan (Adams dan King, 1996). Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja karyawan adalah dengan meningkatkan kepuasan karyawan dalam bekerja. Menurut Spector (1997), kepuasan kerja adalah seberapa besar seseorang merasakan situasi positif mengenai pekerjaan mereka.

17 Menurut Arnold dan Feldman (1982) dalam Suhanto (2009), apabila karyawan memiliki kepuasan kerja yang tinggi, maka mempunyai hubungan yang kuat pula dengan niat untuk bertahan dalam perusahaan. Raabe dan Beehr (2003) dalam Suhanto (2009) mengemukakan bahwa karyawan yang merasa puas dalam pekerjaannya, akan menunjukkan sikap yang baik secara keseluruhan di tempat kerja dan menyebabkan meningkatnya komitmen terhadap organisasi yang akhirnya akan menyebabkan rendahnya niat untuk keluar dari perusahaan. Keinginan untuk pindah mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain (Suhanto, 2009). Keputusan ini menunjukkan thinking of quiting merupakan langkah logis berikunya setelah mengalami ketidakpuasan dan intention to leave diikuti oleh beberapa langkah lainnya yang menjadi langkah-langkah akhir sebelum actual quiting (Triyati, 2003). Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional karyawan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan yang mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001). Pada penelitian Hezberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kepuasan pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: 1. Satisfier atau motivator, faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber kepuasan yang terdiri dari prestasi (achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (work it self), tanggung jawab (responsibility), dan pengembangan potensi individu.

18 2. Dissatisfier atau hygiene factors, yaitu faktor-faktor yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan seperti kebijaksanaan dan administrasi perusahaan (company policy and administration), supervision tehnical, upah (salary), hubungan antar pribadi ( interpersonal relations), kondisi kerja (working condition), job security, dan status. Kepuasan kerja merupakan salah satu bentuk hasil perilaku karyawan dalam organisasi. Selanjutnya kepuasan kerja dapat mempengaruhi perilaku kerja seperti motivasi dan semangat kerja, produktivitas atau semangat kerja, dan bentuk perilaku kerja lainnya. Sebagai contoh, motivasi seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yan diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan kerja (Reksohadiprodjo dan Handoko, 2003). Ada berapa faktor yang mempengaruhi pembentukan kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja. Menurut Robbins (2005), seseorang tidak hanya sekedar melakukan pekerjaan, tetapi juga berhubungan dengan setiap aspek lain seperti interaksi dengan rekan sekerja, atasan, kebijakan organisasi, dan lingkungan kerja tertentu yang memungkinkan untuk tidak sesuai atau sesuai dengan dirinya. Pendapat Stephen P. Robbins tersebut menunjukkan kepuasan kerja seseorang dipengaruhi banya faktor, tidak hanya dinilai dari faktor gaji saja, namun juga berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri seta faktor lainnya seperti hubungan dengan atasan, rekan sekerja, lingkungan kerja, dan aturan-aturan. Kepuasan kerja memiliki arti penting bagi karyawan. Dengan adanya kepuasan kerja maka karyawan dapat mengaktualisasikan diri secara penuh bagi pengembangan individu maupun bagi kemajuan organisasi sehingga karyawan

19 dapat lebih produktif dalam bekerja. Kepuasan kerja merupakan sikap (positif) tenaga kerja terhadap pekerjaannya, yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Penilaian dilakukan sebagai salah satu rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai-nilai penting dalam pekerjaan (Umam, 2010). Howel dan Dipboye (1986) dalam Munandar (2006) menjelaskan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai hasil keseluruhan dari besarnya rasa suka atau tidak suka tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Secara singkat, tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya akan merasa senang dengan pekerjaannya. Kepuasan kerja dapat dipengaruhi beberapa faktor berupa ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan, gaji dan atasan. Ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, kendali terhadap metode kerja, dan kreativitas. 2.5. Penelitian Terdahulu Salah satu penelitian yang membahas tentang work-life balance dilakukan oleh Sang et al., (2008). Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan 1200 kuesioner pada seluruh arsitek yang bekerja di sekitar area Loughborough, United Kingdom. Dalam penelitian ini, work-life conflict, kepuasan kerja, dan keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) memiliki hubungan yang signifikan. Penelitian lain yang membahas tentang pengaruh Work-life balance, keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention), dan kepenatan

20 karyawan (employee burnout) terhadap kepuasan kerja karyawan dilakukan oleh Malik et al., (2010). Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan 250 kuesioner pada Dokter di Pakistan. Dalam penelitian ini, work-life balance berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja karyawan, kepuasan kerja karyawan berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) dan kepenatan karyawan (employee burnout), serta work-life balance berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) dan kepenatan karyawan (employee burnout). Penelitian terdahulu mengemukakan, ketidakamanan dalam bekerja (job insecurity) memiliki hubungan yang negatif terhadap perkawinan dan konflik keluarga, (Larson et al., 1994). Ketika pekerjaan mengganggu kehidupan keluarga, maka akan mengurangi kepuasan kerja dan kehidupan secara keseluruhan (Adams dan King, 1996). Terdapat bukti yang signifikan bahwa orang-orang yang bekerja di industri konstruksi berisiko memiliki kesehatan dan kesejahteraan buruk karena jam kerja yang panjang, ketidakamanan dalam bekerja, dan work-life balance yang rendah (Sang et al., 2007). 2.6. Kerangka Penelitian Penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Malik et al., (2010) dimana pada penelitian ini disusun kerangka penelitian sebagai berikut:

21 Work-Life Balance Kepuasan Kerja Keinginan Untuk Meninggalkan Organisasi (Turnover Intention) Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Work-life balance adalah kepuasan dan fungsi yang baik di tempat kerja dan di rumah dengan konflik peran yang rendah. Dengan adanya work-life balance maka akan timbul kepuasan kerja, atau dapat dikatakan bahwa work-life balance membantu menghasilkan kepuasan kerja. Jika work-life balance dalam suatu organisasi tinggi, maka kepuasan kerja karyawan akan meningkat. Sama halnya dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hochchild (1997), yang menjelaskan bahwa karyawan akan merasa sangat puas dengan pekerjaan dan kehidupan keluarganya jika dalam lingkungan pekerjaannya ada respon positif. Tingginya tingkat turnover tenaga kerja dapat diprediksi dari seberapa besar keinginan berpindah yang dimiliki anggota (staff) suatu organisasi atau perusahaan. Penelitian-penelitian dan literatur yang ada menunjukkan bahwa keinginan berpindah seseorang terkait erat dengan kepuasan kerja. Pengaruh yang ditimbulkan dari adanya turnover tersebut akan mempengaruhi berbagai aktivitas kerja yang terdapat pada perusahaan dan dapat juga mempengaruhi

22 prestasi kerja karyawan secara keseluruhan (Harnoto, 2002). Untuk itu, jika ingin menekan kemungkinan terjadinya turnover intention maka harus mampu mengupayakan agar karyawan memiliki kepuasan dalam bekerja. 2.7. Hipotesis Work-Life Balance yang baik didefinisikan sebagai situasi dimana pekerja merasa mampu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi atau komitmen lain (Moore, 2007). Ketika karyawan memiliki kontrol dalam mengatur pekerjaan dan tuntutan non-pekerjaan itu tidak hanya dapat membantu meningkatkan kepuasan kerja tetapi juga dapat mengurangi keinginan untuk meninggalkan organisasi dan gejala stres (Scholarious dan Marks, 2004). Keseimbangan karyawan di dalam bekerja dan menjalani kualitas hidupnya juga menjadi fokus perhatian perusahaan yang akan menjadikan karyawan menjadi semakin puas dalam menjalankan setiap pekerjaannya. Setiap bentuk kesesuaian antara harapan karyawan atas pekerjaan, promosi, kompensasi yang di dapat, hubungan dengan semua rekan kerja, dan kondisi kerja yang mendukung, mampu menekan kemungkinan terjadinya turnover intention (Sang et al., 2007). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Oleh karena itu, keinginan karyawan untuk meninggalkan organisasi terkait erat dengan kepuasan kerja karyawan. berikut: Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis pertama sebagai

23 H1 : Work-life balance, dan keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Pria dan wanita memiliki tipe work-life balance yang sama karena keduanya memiliki profesi yang sama, jam kerja, serta tuntutan pekerjaan dan non-pekerjaan yang relatif sama. Ketika karyawan memiliki kontrol dalam mengelola potensi konflik antara pekerjaan dan tuntutan non-pekerjaan tidak hanya membantu untuk meningkatkan kepuasan kerja tetapi juga mengurangi niat perputaran karyawan atau turnover intention dan gejala stres, dan hal tersebut merupakan cara untuk mendapatkan komitmen jangka panjang (Scholarious dan Marks, 2004). Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut: H2 : Tidak ada perbedaan work-life balance menurut jenis kelamin. Dalam menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan non-pekerjaan pasti sama-sama dilakukan oleh pria dan wanita. Hal tersebut secara tidak langsung akan dapat mengurangi niat perputaran karyawan atau turnover intention. Keduanya memiliki profesi yang sama, jam kerja, serta tuntutan pekerjaan dan non-pekerjaan yang relatif sama. Setiap bentuk kesesuaian antara harapan karyawan atas pekerjaan, promosi, kompensasi yang di dapat, hubungan dengan semua rekan kerja, dan kondisi kerja yang mendukung, mampu menekan kemungkinan terjadinya turnover intention (Sang et al., 2007). Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis ketiga sebagai berikut:

24 H3 : Tidak ada perbedaan keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intention) menurut jenis kelamin. Farber (1991) seperti yang dikutip dari Poerwandari (2010) dalam penelitiannya tentang kondisi stres dan burnout dikalangan guru di Amerika menemukan bahwa tidak ada perbedaan burnout pada guru pria dan wanita. Ketika pria dan wanita bekerja pada profesi yang dianggap bersifat feminin atau maskulin, pekerja dapat mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi cara seseorang dalam menyikapi masalah di lingkungan kerja. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis keempat sebagai berikut: H4 : Tidak ada perbedaan kepenatan karyawan (employee burnout) menurut jenis kelamin. Gold (1971) dalam Malik et al., (2010) menemukan bahwa kepuasan kerja pria dan wanita tidak menunjukkan perbedaan. Pada umumnya kepuasan kerja wanita dan pria adalah setara. Perempuan memberikan pentingnya dukungan dari rekan kerja, job content, dan aspek sosio-emosional, sedangkan pria memberikan pentingnya tanggung jawab manajemen, prestige, dan pengakuan. Dengan adanya kesetaraan peran dan faktor kondisi, banyak wanita yang juga bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis kelima sebagai berikut H5 : Tidak ada perbedaan kepuasan kerja menurut jenis kelamin.