Ironi Perdagangan Bebas: Dilema Pemerintah Terkait Isu Produk Holtikultura 1. Oleh: Ferdiansyah R

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

BAB I PENDAHULUAN. maupun yang sudah modern. Perkembangan jumlah UMKM periode

PERKEMBANGAN INFLASI ACEH

POLICY BRIEF KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA. Dr. Muchjidin Rahmat

2017, No Nomor 728) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 43/M-DAG/PER/6/2017 (Berita Negara Republik Indon

PUBLIC HEARING PERUBAHAN PERMENTAN NO. 16 TAHUN 2017 TENTANG RIPH DIREKTORAT JENDERAL HORTIKULTURA KEMENTERIAN PERTANIAN 2017

tersebut hanya ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang.

BAB VI SASARAN PEMBANGUNAN HORTIKULTURA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. subur, namun kenyataannya Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 60/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN IMPOR PRODUK HORTIKULTURA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMENTAN/HR.060/5/2017 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

Ketika cakar Sang Naga kian kuat mencengkeram

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 47/Permentan/OT.140/4/2013 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi berarti peluang pasar internasional bagi produk dalam negeri dan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku untuk sektor industri. Produksi sektor

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

2017, No Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Perubahan atas Peratur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. Yulianty Widjaja (Direktur DAVINCI); dan 2. Para Hadirin Sekalian Yang Berbahagia.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Agribisnis menurut Arsyad dalam Firdaus (2008:7) adalah suatu kesatuan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 86/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


1. PENDAHULUAN. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menaikkan harga cukai untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS RUMAH TANGGA, LAHAN, DAN USAHA PERTANIAN DI INDONESIA : SENSUS PERTANIAN 2013

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. (florikultura) dan tanaman obat (biofarmaka). Jumlah tanaman yang termasuk

BAB I PENDAHULUAN. pertanian haruslah merupakan tujuan utama dari setiap pemerintah sedang berkembang.

Perkembangan luas panen buah-buahan di Indonesia dalam. lain disebabkan terjadinya peremajaan tanaman tua yang tidak produktif

I. PENDAHULUAN. yang sangat beragam dan mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

Beberapa Peluang Produk Unggulan

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

2. TANAMAN PANGAN 2.1. Luas Tanam (Ha) Komoditi Tanaman Pangan Kabupaten Luwu, tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

III KERANGKA PEMIKIRAN

PERKEMBANGAN HARGA TUJUH KOMODITI POKOK HINGGA 25 MEI 2009 Kamis, 28 Mei 2009

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ditanda tangani oleh Direktur Jenderal a.n Menteri Pertanian. No Kode Tentang

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. pencaharian sebagai petani. Hal ini ditunjang dari banyaknya lahan kosong yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sayuran merupakan salah satu komoditas unggulan karena memiliki nilai

PROSPEK TANAMAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 60/PERMENTAN/OT.140/9/2012 TENTANG REKOMENDASI IMPOR PRODUK HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

BAB V GAMBARAN UMUM PRODUK PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

2012, No

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perdagangan internasional berawal dari adanya perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tujuan utama dari pembangunan ekonomi Indonesia adalah terciptanya

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

IV. PERKEMBANGAN IMPOR BUAH-BUAHAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN pulau dengan total luas km 2. 1 Indonesia terletak di antara 6º LU

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

Transkripsi:

Ironi Perdagangan Bebas: Dilema Pemerintah Terkait Isu Produk Holtikultura 1 Oleh: Ferdiansyah R Perdagangan bebas memang tidak selamanya menghadirkan kabar baik. Terkadang ia juga menghadirkan ironi yang membuat masyarakat terheran-heran. Di Indonesia, salah satu ironi yang muncul adalah terkait membanjirnya impor hortikultura. Ironi ini memicu munculnya banyak pertanyaan di masyarakat. Apakah tanah di Indonesia sudah tidak lagi cukup subur untuk memproduksi produk hortikultura? Bukankah produk jenis ini seharusnya menjadi komoditi andalan Indonesia? Dan yang paling mengherankan, mengapa Indonesia bisa mengalami ketergantungan impor salah satu produk hortikultura dari Amerika Serikat? Pertanyaan-pertanyaan ini didasari dengan fakta yang sangat kongkrit. Mari kita simak bagaimana data impor produk hortikultura Indonesia. Pada tahun 2008, nilai impor produk hortikultura Indonesia baru mencapai US $ 881,6 juta atau setara dengan Rp8,3 Triliun. Akan tetapi, pada tahun 2011, membengkak mencapai US $ 1,7 Miliar, ekuivalen Rp16,15 Triliun. Bawang putih nilai impornya mencapai US $ 242,4 juta, apel US $ 153,8 juta, jeruk US $ 150,3 juta serta anggur US $ 99,8 juta. Belum lagi kalau kita membahas kedelai. Akibat ketergantungan bahan baku tahu dan tempe ini dari Amerika Serikat, ketika negeri Paman Sam tersebut mengalami sedikit masalah dengan produktivitasnya, Indonesia dibuat kelimpungan. Atau di masa-masa ketika nilai rupiah melemah seperti saat ini. Harga kedelai yang biasanya hanya sebesar Rp5.000 sampai Rp 6.000 per kilogram bisa melonjak hingga Rp8.000 per kilonya (Rajasa, 2013). Gambaran lonjakan produk impor hortikultura ini tentu berlanjut ke pertanyaan, bagaimana kabar petani hortikultura Indonesia? Jangan-jangan mereka semakin terpinggirkan akibat banjir impor produk hortikultura? Adakah langkah proteksi dari pemerintah? Akhirnya, di akhir tahun 2011 lalu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan memberlakukan kebijakan pembatasan impor produk hortikultura dengan mengeluarkan serangkaian peraturan menteri, diantaranya Permentan no. 89 tahun 2011, yang mengatur mengenai pembatasan pintu masuk impor dan pengetatan persyaratan perizinan 1 Tulisan ini dimuat pada kolom opini situs berita online rimanews.com pada tanggal 13 September 2013

impor produk hortikultura. Dari kaca mata ekonomi kebijakan pengetatan impor merupakan hal yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan neraca antara produk impor dan produk lokal. Kebijakan pembatasan impor hortikultura ini penting untuk melindungi pertanian hortikultura lokal Indonesia dan membenahi sektor pertanian kita dari kebergantungan terhadap produk impor. Serbuan buah dan sayuran impor yang sudah sangat berlebihan tentu berdampak negatif terhadap hasil pertanian lokal. Kebijakan baru impor produk hortikultura diatur melalui beberapa rangkaian peraturan menteri, diantaranya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang ditandatangai 21 September, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang ketentuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang ditandatangi pada 24 September 2012. Kedua aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Pembatasan impor hortikultura diterapkan terutama untuk 13 jenis produk, diantaranya, kentang, kubis, wortel, cabai, nanas, melon, pisang, mangga, pepaya, durian, bunga krisan, bunga anggrek, bunga heliconia, yang dilakukan mulai januari 2013 sampai juni 2013. Namun pahitnya, langkah proteksi yang dinilai Menteri Perekonomian Hatta Radjasa sangat tepat ini justru memicu pemerintah Amerika Serikat untuk mengajukan langkah notifikasi dan keberatan kepada World Trade Organization (WTO). Langkah notifikasi AS ini juga memuat keberatan atas pembatasan dan pengaturan impor hewan dan produk hewan, yang tentu secara keseluruhan akan membuat dinamika perdagangan kedua negara menjadi terhambat. Sebenarnya, mekanisme mengenai proteksi industri lokal yang dilakukan pemerintah juga diatur dalam WTO. Ada pertauran yang diberi nama Safeguard Measure, yaitu metode yang diperbolehkan WTO untuk menghindari runtuhnya industri dalam negeri yang sejenis akibat lonjakan impor. Metode ini bisa dilakukan dengan cara pembatasan impor, larangan impor ataupun lainnya selama terpenuhi adanya serious injury pada industri dalam negeri. Serious Injury yang dimaksud di sini adalah terjadinya cedera terhadap industri dalam negeri akibat dari perdagangan internasional yang susah atau tidak bisa dipulihkan kembali. Cedera ini terjadi karena impor barang dari luar negeri merusak perkembangan industri sejenis di

dalam negeri yang kalah bersaing. Kurangnya daya saing mengakibatkan industri dalam negeri stagnan atau bahkan hancur (Hawin, 2012). Syarat pengenaan tindakan pengamanan adalah impor yang melonjak secara absolut, tibatiba, tajam, dan significant. Ancaman serious injury harus dibuktikan dengan fakta-fakta, bukan dugaan atau terkaan. Adanya serious injury yang sebelumnya telah diketahui (foreseen) dan sangat mendesak (imminent). Terjadinya serious injury juga harus dibuktikan dengan adanya causal link karena lonjakan impor. Causal link yang dimaksud adalah serious injury yang terjadi merupakan akibat dari adanya impor yang melonjak. Hal ini mengakibatkan industri sejenis di dalam negeri terkena dampak negatif yang mengancam keterlangsungannya. Jika industri dalam negeri terancam atau hancur namun tidak dapat dibuktikan karena akibat dari impor maka syarat adanya causal link tidak terpenuhi. Dari berbagai sumber berita yang penulis dapat, pemerintah Indonesia sangat kesulitan untuk membuktikan bahwa memang telah terjadi serious injury pada industri hortikultura Indonesia. Anggota DPR RI Komisi IV Ma'mur Hasanuddin mengatakan bahwa alasan pemerintah memberlakukan kebijakan pengetatan impor buah adalah karena keprihatinan serta kegelisahaan kita terkait membanjirnya produk hortikultura impor selama ini akan terobati jika pemerintah bersungguh-sungguh dalam merealisasikan kebijakan pengetatan impor hortikultura tersebut. Ia juga menambahkan: Pengetatan hortikulura impor akan mendorong geliat dan gairah bagi petani lokal, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi lokal dan mendorong penyerapan tenaga kerja yang signifikan dalam jangka panjang di sektor pertanian. Tercatat selama lima tahun terakhir sejak 2004 hingga 2009 peningkatan tenaga kerja di sektor hortikultura mencapai 35 persen, Sri Kuntarsih, Direktur Budidaya dan Pasca Panen Buah Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, juga mengatakan bahwa pembatasan impor hortikultura merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk melindungi petani dalam negeri. Dengan begitu masyarakat dapat menerima produk petani dalam negeri. Ia juga menambahkan bahwa Pembatasan impor

hortikultura untuk 13 jenis produk ini, merupakan bentuk konsistensi pemerintah pusat dalam melindungi petani dalam negeri. Dari beberapa alasan ini tentu dapat disimpulkan bahwa alasan pemerintah Indonesia untuk memberlakukan pengetatan impor hortikultura belum disertai pembuktian adanya serious injury yang sebelumnya telah diketahui (foreseen) dan sangat mendesak (imminent). Oleh karena itu, ia masih rentan terhadap timbulnya sengketa. Tidak adanya pembuktian serious injury ini juga menyebabkan posisi Indonesia dalam sengketa dengan Amerika Serikat tidak begitu diuntungkan, walaupun alasan ketahanan pangan, pengentasan rakyat miskin, pembangunan pedesaan, serta argumen proteksi demi keadilan masih cukup relevan untuk digunakan sebagai hak jawab bagi Indonesia. Tidak berhenti sampai di sini saja. Kini, ketika rupiah mengalami pelemahan nilai terhadap dollar, kebijakan pengetatan impor hortikultura akhirnya juga kembali berdampak buruk pada stok produk hortikulrura dalam negeri. Yang terparah tentu adalah kedelai, yang hampir membuat banyak industri kerajinan tahu dan tempe nyaris bangkrut. Dan akhirnya beberapa waktu yang lalu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan telah membuat keputusan untuk membuka kran impor kedelai sebesar-besarnya. Dan tentu ini kembali menjadi penegas dilema yang dialami pemerintah dalam menghadapi isu perdagangan internasional produk hortikultura. Memang, niatan pemerintah untuk membantu petani dan melindungi produk hortikultura lokal dengan membatasi produk impor patut untuk diapresiasi tinggi. Namun, tentu skemanya harus diperhatikan dan didesain secara detil, agar tidak menimbulkan polemik di ranah hubungan internasional. Skema yang lazim digunakan oleh negara-negara lain adalah pemberian green subsidy secara besar-besaran kepada produsen. Dan jalan ini seharusnya ditempuh oleh Pemerintah Indonesia ketimbang melakukan pembatasan impor. Pembatasan impor boleh saja dilakukan, akan tetapi tentu tetap harus dikuti dengan langkah pengembangan indsutri pertanian. Yang dibutuhkan petani sejatinya tidak hanya kebijakan pembatasan impor, melainkan juga program-program yang dapat mendorong kualitas produksi agar produk pertanian mereka bisa unggul. Pembatasan impor di belakang hari juga terbukti mengakibatkan drastisnya penurunan suplai dalam negeri,

seperti terlihat dalam kasus bawang dan kedelai. Sekali lagi, pemerintah terkesan tidak serius dalam menelurkan kebijakan yang sangat penting ini.