BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disfungsi seksual secara luas didefinisikan oleh DSM-IV sebagai sebuah gangguan dalam proses yang memiliki karakteristik siklus respon seksual atau rasa sakit terkait dengan hubungan seksual. Disfungsi seksual pada perempuan sangat umum terjadi di Amerika Serikat, yang mempengaruhi lebih dari 40% wanita berusia 18-59 tahun. Meskipun disfungsi seksual tampaknya lebih umum terjadi di wanita dibandingkan pria, penelitian mengenai gangguan seksual pada perempuan masih sangat sedikit. 1 Terdapat bukti bahwa disfungsi seksual meningkat pada saat masa transisi menopause yaitu sebanyak 88%, 33 % prevalensi disfungsi seksual pada penelitian saat ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang memperkirakan bahwa 27-31% wanita menjelang menopause mengalami peningkatan gangguan seksual. 1,3,4 Wanita pada masa akhir transisi 2,4 kali lebih mungkin untuk mengalami disfungsi seksual dibandingkan wanita premenopause. 1 Pada penelitian cross sectional wanita berusia 44-55 tahun, Dennerstein et al (2001) menemukan bahwa 31% melaporkan penurunan minat seksual, khususnya responsivitas seksual dari periode premenopause ke akhir perimenopause. Selain itu, aspek lain fungsi seksual seperti frekuensi hubungan seksual, libido, dispareunia vagina,
dan masalah dengan pasangan juga diperburuk selama periode akhir perimenopause ke paska menopause. 2 Secara fisiologis, saat ini tidak jelas mengapa fungsi seksual menurun selama masa transisi menopause. Secara khusus, hubungan antara perubahan hormonal dan seksualitas selama periode ini masih sulit dipahami. 5,6 Bersamaan dengan penurunan minat seksual, androgen yang bersirkulasi menurun selama tahun-tahun akhir reproduksi dengan kadar androgen pada usia 45 tahun sekitar satu setengah dari wanita yang berusia 20-an. 1,6 Dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) menunjukkan perubahan serupa dengan androgen tetapi tampaknya lebih jelas berkaitan dengan penurunan usia. Pada penelitian longitudinal, kadar estradiol (E2) rendah secara signifikan mengurangi keinginan seksual wanita dan tidak mempengaruhi aktivitas seksualnya. Adanya hubungan negatif signifikan antara kadar E2 dan dispareunia juga telah ditemukan. 6 Tingginya kadar DHEAS dikaitkan dengan kemungkinan disfungsi seksual lebih rendah. Artinya wanita dengan kadar paling rendah paling mungkin mengalami disfungsi seksual. Selain itu, faktor-faktor lain terkait dengan disfungsi seksual termasuk tidak adanya pasangan seksual, kecemasan, dan anak-anak berusia kurang dari 18 tahun yang tinggal di rumah. Dari penelitian Gracia et al (2007), tidak dapat mendeteksi adanya asosiasi signifikan antara kadar hormon reproduktif lain seperti testosteron atau fluktuasi dan disfungsi seksual. 1
Temuan hormon ini konsisten dan didukung oleh sebuah penelitian besar baru-baru ini diterbitkan di Australia. Mereka meneliti bahwa wanita yang berusia lebih dari 45 tahun dengan penurunan skor responsivitas seksual cenderung memiliki hampir lebih dari 4 kali kadar DHEAS di bawah 10 th persentil dibandingkan wanita dengan skor responsivitas normal. 7 Dennerstein et al (2002) tidak menemukan adanya hubungan langsung antara skor suasana hati dan kadar hormone pada awal atau akhir fase transisi menopause. 4 Penelitian cosar et al (2007) juga tidak menemukan adanya hubungan antara rendahnya skor kepuasan seksual dan rendahnya estradiol, kadar DHEAS (>0,05) pada transisi menopause. 6 Kebiasaan perilaku sosial berpasangan dan nilai-nilai komunitas juga merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi adanya dan tingkat disfungsi seksual perempuan. Klimakterik merupakan periode perubahan bio-psiko-sosial bervariasi, panjang, dan kompleks yang dapat mengubah kualitas hidup, termasuk kepuasaan seksual. 2,8 Klimakterium bukan suatu keadaan patologik, melainkan suatu masa peralihan yang normal, yaitu fase proses penuaan dari stadium reproduktif menjadi non-reproduktif dan terjadi pada wanita berumur 40-65 tahun. 9,10 Masa ini ditandai dengan berbagai macam keluhan endokrinologis dan vegetatif. Keluhan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi ovarium. 9
Female Sexual Function Index (FSFI) dirancang untuk menjadi penilaian uji klinis instrumen yang berisikan sifat multidimensi fungsi seksual wanita. FSFI sudah di validasi berdasarkan DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition ) dan dikembangkan melalui berbagai tahap, termasuk seleksi panel komponen awal, pengujian awal dengan sukarelawan sehat diikuti oleh validasi linguistik dan konseptual dengan panel konsultan ahli. 13 Berdasarkan faktor metode analitik, lima faktor atau domain fungsi seksual diidentifikasi, yaitu keinginan dan gairah subjektif, lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan nyeri/ ketidaknyamanan. Keuntungan dari skala baru ini adalah adanya pengukuran kedua respon perifer (misalnya lubrikasi) dan sentral (subjektif gairah dan keinginan, sebagai bagian yang terpisah) terhadap stimulasi seksual. FSFI merupakan kuesioner yang terdiri dari 19 pertanyaan yang memisahkan domain fungsi seksual perempuan. 14 Pada tahun 2009, dilakukan penelitian oleh Sari mengenai pengaruh menopause terhadap disfungsi seksual wanita di kelurahan Pajang, Surakarta dengan menggunakan kuesioner FSFI. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa menopause dapat meningkatkan kejadian disfungsi seksual. Persentase kejadian disfungsi seksual sebelum menopause sebanyak 14,74% dan setelah menopause 30,53%. Sedangkan sebanyak 85,26% responden tidak mengalami disfungsi seksual sebelum menopause dan sebanyak 69,47% juga tidak mengalami disfungsi seksual setelah menopause. Selain itu, juga ditemukan bahwa
terdapatnya pengaruh signifikan menopause terhadap terjadinya disfungsi seksual wanita (p= 0,001 [p<0,05]). 16 Dari berbagai hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa disfungsi seksual meningkat pada saat masa klimakterium. Disfungsi seksual ini dapat diukur dengan menggunakan FSFI. Karena, alasan inilah peneliti ingin melihat bagaimana indeks fungsi seksual wanita pada masa premenopause dan pascamenopause yaitu pada usia 40-65 tahun. 1.2. Masalah Penelitian Dimasa premenopause sampai pascamenopause merupakan periode perubahan bio-psiko-sosial bervariasi, panjang, dan kompleks yang dapat mengubah kualitas hidup, termasuk kepuasaan seksual. Secara fisiologis, saat ini tidak jelas mengapa fungsi seksual menurun selama masa transisi menopause. Karena itu, disfungsi seksual banyak ditemukan pada wanita saat masa ini. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin menganalisa bagaimanakah fungsi seksual wanita pada masa premenopause dan pascamenopause. 1.3. Hipotesa Penelitian Ada perbedaan yang bermakna terhadap skor indeks fungsi seksual wanita premenopause dan pascamenopause.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan Umum - Menganalisa perbedaan fungsi seksual wanita pada masa premenopause dan pascamenopause. Tujuan Khusus - Mengetahui fungsi seksual pada wanita premenopause. - Mengetahui fungsi seksual pada wanita pascamenopause. - Mengetahui ada perbedaan fungsi seksual pada wanita masa premenopause dan pascamenopause 1.5. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang fungsi seksual wanita masa premenopause dan pascamenopause. 2. Memberikan dasar untuk pencegahan terjadinya gangguan Fungsi seksual pada wanita masa premenopause dan pascamenopause