BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 2 No. 3, September 2014 (1 10)

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi ,

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dkk, 1999). Salah satu spesies endemik adalah Santalum album Linn.,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

III. METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

II. METODOLOGI. A. Metode survei

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

BAB I. PENDAHULUAN A.

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan


I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Analisis Vegetasi

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Blok Perlindungan Tahura Wan Abdul

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

SKRIPSI. Pemetaan Flora dan Pola Pemanfaatan Lahan Pertanian di. Sekitar Daerah Gua Ngguwo Gunungkidul Sebagai Daerah. Ekowisata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB III METODE PENELITIAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENILAIAN MUTU BIBIT TANAMAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

I. PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan lingkungan luar (Baker,1979). Di dalam hutan terdapat flora

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN HUTAN ALAM DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI

MODEL AGROFORESTRY BERBASIS TONGKONAN YANG BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANA TORAJA. Oleh: SAMUEL ARUNG PAEMBONAN.

HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN)

Transkripsi:

32 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Keanekaragaman Spesies Pohon Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa di Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR terdapat 60 spesies pohon yang tercakup dalam 22 famili. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan spesies pohon beserta familinya dan indeks nilai penting pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan serta petak ukur di HPKT Tahura WAR. Data spesies pohon tersebut diperoleh dari 34 petak contoh yang tersebar 10 di sub blok lindung dan 24 di sub blok perhutanan sosial. Petak contoh berukuran 20 m x 20 m untuk fase pohon dan di dalam petak contoh terdapat sub-sub plot berukuran 2 m x 2 m untuk fase semai, 5 m x 5 m untuk fase pancang, dan 10 m x 10 m untuk fase tiang. Perbandingan jumlah spesies pohon berdasarkan tingkat pertumbuhannya yang ditemukan pada sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman disajikan pada Gambar 4.

33 35 33 30 25 20 15 12 15 19 10 6 8 9 9 5 0 Semai Pancang Tiang Pohon Sub Blok Lindung Sub Blok Perhutanan Sosial Gambar 4. Grafik perbandingan jumlah spesies pohon berdasarkan tingkat pertumbuhannya di HPKT Tahura WAR. 2. Tingkat Keanekaragaman Jenis Indeks keanekaragaman jenis pohon dan indeks kemerataan berdasarkan tingkat pertumbuhan serta petak contoh penelitian pada Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman tertera dalam Tabel 4. Table 4. Indeks keanekaragaman jenis dan indeks kesamarataan pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan serta petak contoh penelitian pada sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial Fase Pertumbuhan Pohon Sub Blok Lindung Sub Blok Perhutanan Sosial H E H E Semai 0,73 0,94 0,83 0,92 Pancang 1,01 0,93 0,86 0,89 Tiang 1,11 0,94 0,71 0,74 Pohon 1,45 0,95 1,09 0,85 Keterangan : H = Indeks Keanekaragaman Jenis E = Indeks Kesamarataan

34 3. Indeks Kesamaan Jenis Pengambilan data pohon yang dilakukan di hutan pendidikan dibagi menjadi dua areal yaitu sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial. Perbedaan sub blok ini menyebabkan perbedaan pada spesies pohon yang ada di hutan pendidikan. Indeks kesamaan dari kedua sub blok tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Indeks kesamaan jenis pohon di sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial HPKT Tahura WAR Keterangan Jumlah Jumlah spesies di sub blok lindung (A) 39 Jumlah spesies di sub blok perhutanan sosial (B) 25 Jumlah spesies yang sama pada kedua sub blok (C) 4 Indeks Kesamaan (IS) 0.12 B. Pembahasana 1. Keanekaragaman Spesies Pohon Dari hasil pengamatan di 34 plot di areal Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR ditemukan 60 spesies pohon yang tercakup dalam 22 Famili. Berdasarkan pembagian arealnya Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR dibagi dalam dua sub blok yaitu sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial. Pada sub blok lindung fase semai di petak ukur 2m x 2m terdapat 6 spesies, pada fase pancang di petak contoh 5m x 5m terdapat 12 spesies, pada fase tiang di petak contoh 10m x 10m terdapat 15 spesies, dan pada fase pohon di petak contoh 20m x 20m terdapat 33 spesies. Sementara pada sub blok perhutanan sosial fase semai di petak contoh 2m x 2m terdapat 8 spesies, pada fase pancang di petak contoh 5m x 5m terdapat 9 spesies, pada fase tiang di petak contoh 10m x 10m terdapat 9 spesies, dan pada fase pohon di petak contoh 20m x 20m terdapat 19 spesies. Hutan merupakan habitat dari spesies pepohonan yang

35 beranekaragam sebagaimana hasil yang telah didapatkan di atas. Pada Gambar 4 menunjukan bahwa fase pohon mempunyai jumlah spesies terbanyak daripada fase tiang, fase pancang dan fase semai. Banyaknya spesies pohon pada fase pohon menunjukan bahwa spesies di petak contoh tersebut lebih heterogen dibandingkan pada petak contoh lainnya. Perbedaan jumlah spesies pohon ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi lingkungan. Pohon pada fase pohon memperoleh sinar matahari lebih banyak, cahaya merupakan faktor penting dalam persaingan antartetumbuhan untuk memproduksi makanan baginya. Disamping itu terjadi juga persaingan dalam memperoleh air, udara, dan unsur hara di dalam tanah (Indriyanto, 2006). Menurut Odum (1993), persaingan akan meningkatkan daya saing untuk mempertahankan hidup. Spesies yang kuat akan menang dan menekan yang lain sehingga spesies yang kalah mempunyai tingkat pertumbuhan yang rendah dan menyebabkan spesies terebut kurang berkembang sehingga kepadatannya juga akan sedikit. Setiap jenis tumbuhan memiliki jenis minimum, maksimum, dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada. Pada kondisi minimum akan menunjukan suatu jenis untuk mampu tumbuh tetapi tidak mampu berkembang sama seperti kondisi maksimum mereka hanya akan mampu tumbuh berbeda dengan kondisi optimum dimana kondisi yang diharapkan suatu jenis mampu untuk tumbuh dan berkembang. Bentuk persaingan yang terjadi pada sub blok lindung dapat dilihat seperti yang terdapat pada Gambar 5.

36 Gambar 5. Kondisi persaingan pertumbuhan pohon yang ada di sub blok lindung. Menurut Heddy (1994) Keanekaragaman spesies sangat dipengaruhi oleh tingkat jenjang makanan. Misalnya jumlah herbivora ataupun predator sangat mempengaruhi rumput atau komunitas yang dimangsa. Pemangsa, menghasilkan pengaruh dalam hal dia cenderung mengurangi keanekaragaman dan mendorong monokultur (Odum, 1993). Pemangsaan yang sedang sering mengurangi kepadatan organisme dominan sehingga akan mengurangi kompetisi antar spesies sehingga memberi kesempatan lebih baik kepada spesies yang lain untuk mendapatkan tempat dan makanan sehingga keanekaragaman akan naik. Tetapi sebaliknya pemangsaan yang berat akan merupakan stress dan mengurangi jumlah spesies (Heddy, 1994). Di sub blok lindung pemangsaan yang terjadi adalah pemangsaan pohon yang dilakukan oleh hewan herbivora, namun di sub blok perhutanan sosial

37 pemangsaan di samping dilakukan oleh hewan herbivora juga dilakukan oleh manusia yaitu dengan menghilangkan spesies pohon yang tidak menghasilkan nilai ekonomi bagi petani pengolah lahan tersebut dan mengganti dengan spesies pohon yang mempunyai nilai ekonomi non kayu yang diusahakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pengolah lahan, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Jika ditelusuri dari awal mulanya sub blok perhutanan sosial dahulu merupakan hutan alam sama seperti yang terdapat di sub blok lindung, namun karena adanya masyarakat yang bermigrasi ke wilayah tersebut maka sedikit demi sedikit kondisinya berubah menjadi seperti saat ini yang menerapkan sistem agroforestry. Gambar 6. Pohon kemiri, spesies pohon yang mempunyai nilai ekonomi. Berdasarkan pada Tabel 3, di sub blok lindung spesies pohon yang mendominasi yaitu pada fase semai adalah spesies medang seluang dengan INP sebesar 59,35%, fase pancang adalah spesies ki tulang (INP = 33,70%), fase tiang adalah spesies

38 pinangsi (INP = 50,54%), fase pohon adalah spesies kenari (INP = 26,98). Sementara pada sub blok perhutanan sosial spesies pohon yang mendominasi yaitu pada fase semai adalah spesies durian (INP = 47,86%), fase pancang adalah spesies karet (INP = 63,33%), fase tiang adalah spesies karet (INP = 137,14%), fase pohon adalah spesies durian (INP = 67,28%). Spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi (Indriyanto, 2006). Bentuk vegetasi yang menyusun pada sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial dapat dilihat di Gambar 7. dan Gambar 8. Gambar 7. Bentuk vegetasi di sub blok lindung. Gambar 8. Bentuk vegetasi di sub blok perhutanan sosial.

39 Berdasarkan data di atas terlihat bahwa spesies yang mendominasi pada sub blok lindung merupakan spesies yang tumbuh secara alami, sementara pada sub blok perhutanan sosial spesies pohon yang mendominasi merupakan spesies pohon hasil budidaya manusia yang menghasilkan nilai ekonomi. Dominansi pada sub blok lindung adalah spesies medang, ki tulang, pinangsi dan kenari. Pohon medang (Litsea spp) merupakan jenis pohon yang memiliki Tinggi mencapai 35 m, panjang bebas cabang 10 20 m, diameter dapat mencapai 100 cm, banir sampai 2 m. Batang pada umumnya berdiri tegak, berbentuk silindris, kulit luar warna kelabu, kelabu-coklat, coklat merah sampai merah tua, kadangkadang beralur dangkal atau mengelupas kecil-kecil. Tumbuh pada daratan kering, di daerah yang banyak hujan pada ketinggian 100 1200 m dpl. Pohon Pinangsi termasuk pohon kecil atau perdu dengan tinggi antara 3 8 meter. Buahnya lebat berukuran kecil berwarna kekuning-kuningan. Pohon ini ditemukan pada petak contoh di sub blok lindung HPKT Tahura WAR. Pohon kenari (Canarium ovatum), adalah satu dari sekitar 600 jenis anggota suku Burseraceae Kenari berbentuk pohon sangat besar dengan bentuk yang simetris dan menarik. Tingginya dapat mencapai 20 m dengan kayunya yang mengandung resin, juga selain itu tahan terhadap angin kencang. Tanaman ini adalah tumbuhan berumah dua, dengan bunganya yang tumbuh di pangkal daun yang masih muda. Seperti layaknya pada pepaya atau rambutan, ada tumbuhan hermafrodit pula. Penyerbukan bunga tanaman ini dilakukan oleh serangga. Dominansi pada sub blok perhutanan sosial adalah spesies pohon karet dan durian. Pohon Durian merupakan tanaman buah berupa pohon. Sebutan durian

40 diduga berasal dari istilah Melayu yaitu dari kata duri yang diberi akhiran-an sehingga menjadi durian. Kata ini terutama dipergunakan untuk menyebut buah yang kulitnya berduri tajam. Tanaman durian termasuk famili Bombaceae, memiliki tinggi mencapai ketinggian 25 50 m tergantung spesiesnya pohon durian sering memiliki banir (akar papan). Pepagan (kulit batang) berwarna coklat kemerahan, mengelupas tak beraturan. Tajuknya rindang dan renggang. Ketinggian tempat untuk bertanam durian tidak boleh lebih dari 800 m dpl. Tetapi ada juga tanaman durian yang cocok ditanam diberbagai ketinggian (Wikipedia, 2012). Pohon Karet adalah tanaman tahunan yang dapat tumbuh sampai umur 30 tahun. Habitus tanaman ini merupakan pohon dengan tinggi dapat mencapai 15-20 meter. Tanaman karet memiliki masa belum menghasilkan selama lima tahun dan sudah mulai dapat disadap pada awal tahun ke enam. secara ekonomis tanaman karet dapat disadap selama 15 sampai 20 tahun (Zennaque, 2012). Salah satu tegakan karet yang terdapat di sub blok perhutanan sosial dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Tegakan karet yang terdapat di sub blok perhutanan sosial.

41 Spesies-spesies yang mendominasi pada suatu fase pertumbuhan pohon seperti semai, pancang, tiang, dan pohon akan mencirikan suatu komunitas pohon di wilayah tersebut. Spesies yang mendominasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; faktor genetik dan lingkungan, persaingan pohon yang ada dalam hal ini berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan dan gangguan manusia. Iklim dan mineral yang dibutuhkan akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan suatu spesies, sehingga spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak di temukan di dalam suatu kawasan (May dan Mclean, 2007). Jenis tumbuhan yang mendominasi berarti memiliki kisaran lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan jenis lainnya. Sehingga dengan kisaran toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan menyebabkan suatu jenis tumbuhan akan memiliki sebaran yang luas (Odum,1993). 2. Indeks Keanekaragaman Jenis dan Indeks Kesamarataan Keanekaragaman jenis pohon berhubungan erat dengan jumlah spesies pohon dan jumlah individu spesies pohon. Keanekaragaman jenis pohon dapat dilihat dengan menggunakan berbagai parameter. Parameter tersebut antara lain menggunakan nilai indeks keanekaragaman dan indeks kesamarataan. Indeks keanekaragaman menunjukan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu yang menyusun suatu komunitas (Heddy, 1994). Keanekaragaman jenis merupakan hasil dari interaksi beberapa faktor yaitu : 1. Panjang waktu, karena keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi.

42 2. Heteregonitas ruang, komunitas tumbuhan yang terbentuk akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada. Semakin heterogen dan kompleks maka akan dipengaruhi oleh lingkungan yang ada. 3. Adanya persaingan diantara individu suatu komunitas merupakan salah satu bagian dari seleksi alam, dengan demikian jenis penyusun yang ada pada suatu waktu merupakan jenis yang mampu bersaing (Odum, 1993) Berdasarkan Tabel 4, keanekaragaman (H ) pohon fase pohon, tiang, dan pancang yang terdapat pada sub blok lindung HPKT Tahura WAR termasuk kriteria sedang yakni 1,45, 1,11, dan 1,01, sementara pada fase semai termasuk kriteria rendah yakni 0,73. Keanekaragaman (H ) pohon fase pohon yang terdapat pada sub blok perhutanan sosial termasuk kriteria sedang yakni 1,09, sementara pada fase tiang, pancang, dan semai termasuk kriteria rendah yakni 0,71, 0,86, dan 0,83. Sub blok lindung memiliki keanekaragaman jenis lebih tinggi dibanding sub blok perhutanan sosial di karenakan pertama spesies pohon di sub blok lindung memiliki jangka waktu yang lebih panjang untuk berevolusi dikarenakan berjalan secara alami namun di sub blok perhutanan sosial evolusi berjalan dengan cepat seiring dengan adanya pengolahan lahan oleh masyarakat. Kedua komposisi spesies pohon di sub blok lindung lebih heterogen dibandingkan sub blok perhutanan sosial yang cenderung homogen. Ketiga persaingan yang terjadi di sub blok lindung dan perhutanan sosial berbeda, pada sub blok lindung persaingan yang terjadi lebih bersifat alami sedangkan di sub blok perhutanan sosial terdapat campur tangan manusia.

43 Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistem-ekosistem yang secara fisik terkendali dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum, 1993). Menurut Simon (1998), hutan yang mengalami gangguan baik diakibatkan alam maupun manusia mempengaruhi nilai keragaman antara fase pertumbuhan pohon. Kondisi seperti tersebut di atas membuktikan, bahwa areal hutan pendidikan yang tidak diperbolehkan adanya pengolahan lahan oleh manusia mampu mempertahankan keanekaragaman spesies pohonnya lebih tinggi dibandingkan areal yang terdapat kegiatan pengolahan lahan oleh manusia. Masih rendahnya keanekragaman jenis di sub blok perhutanan sosial menunjukan bahwa perlu adanya upaya-upaya peningkatan keanekaragaman jenis, baik penambahan spesies baru maupun meningkatkan jumlah individu serta penyebaran yang merata. Karena dengan berkurangnya keanekaragaman jenis dan jumlah pohon dapat menyebabkan keseimbangan ekosistem akan menurun. Apabila di dalam kawasan hutan keseimbangan ekosistem menurun, maka terjadi penurunan fungsi ekologis hutan seperti; sistem perakaran pada pohon hutan akan terganggu, sehingga tidak mampu mengurangi kecepatan aliran air yang menyebabkan erosi dan banjir. Dengan nilai keanekaragaman yang tinggi maka komunitas tersebut semakin stabil sehingga mampu untuk bersaing dalam mengambil nutrisi dan unsur hara yang menunjukan adanya kestabilan suatu komunitas (Odum, 1993). Indeks kesamarataan menggambarkan perataan penyebaran individu dari spesies yang menyusun komunitas, dan menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Nilai indeks kesamarataan (E) berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E atau

44 mendekati nol, maka semakin tidak merata penyebaran organisme dalam komunitas tersebut yang didominansi oleh spesies tertentu dan sebaliknya semakin besar nilai E atau mendekati satu, maka organisme dalam komunitas akan menyebar secara merata (Daget, 1976). Data Tabel 4 menunjukkan indeks kesamarataan spesies pohon pada sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial termasuk ke dalam komunitas stabil, kecuali indeks kesamarataan pada fase tiang di sub blok perhutanan sosial yang berada pada komunitas labil dengan nilai indeks kesamarataan < 0,75. Fase lainnya memiliki nilai indeks kesamarataan > 0,75. Hal ini menunjukkan bahwa populasi antara spesies pohon yang ada di hutan pendidikan cukup merata sehingga tidak mudah mendapatkan gangguan serta mudah kembali ke keadaan semula. Komunitas dengan keanekaragaman tinggi akan lebih mantap terhadap gangguan lingkungan/iklim. Keanekaragaman cenderung meningkat pada komunitas yang lebih tua dan keanekaragaman rendah pada komunitas yang baru terbentuk. Sub blok lindung hutan pendidikan dapat dikatagorikan hutan yang lebih tua dibandingkan sub blok perhutanan sosial sehingga sub blok lindung lebih mantap terhadap gangguan lingkungan/iklim (Odum, 1993). 3. Indeks Kesamaan Jenis Komunitas yang sama dilihat dengan terdapatnya spesies yang sama pada dua sub blok yang diperbandingkan. Penghitung nilai indeks kesamaan menggunakan data spesies pohon yang ditemukan pada kedua sub blok tersebut. Menurut Magurran (1988) dikutip oleh Santosa et al. (2006), Indeks Kesamaan ini akan memiliki nilai sama dengan 1 apabila terdapat kesamaan secara penuh atau jika

45 serangkaian spesies dari kedua komunitas yang dibandingkan identik. Pada kedua sub blok hutan pendidikan jumlah spesies yang sama berjumlah 4 dari 60 spesies yang ditemukan pada kedua sub blok tersebut. Kesamaan spesies pohon pada dua sub blok di hutan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5. Indeks kesamaan sub blok lindung dan sub blok perhutanan sosial adalah 0,12 yang lebih mendekati nilai nol yang berarti bahwa kesamaan spesies antara kedua sub blok mengarah kepada ketidak samaan. Nilai indeks kesamaan yang rendah dikarenakan adanya perbedaan aktivitas budidaya yang dilakukan pada kedua sub blok, pada sub blok lindung dilakukan secara alami sementara pada sub blok perhutanan sosial dilakukan oleh manusia sehingga pohon yang berada pada sub blok perhutanan sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan manusia (petani penggarap). 4. Keanekaragaman Pohon dan Implikasinya Pada Pengelolaan Hutan Pendidikan Pohon yang ada pada HPKT Tahura WAR merupakan pohon-pohon yang telah ditanam maupun tumbuh sebelum dibuatnya kerjasama pengembangan HPKT Tahura WAR. Berdasarkan pendekatan Indeks Shannon nilai Keanekargaman Jenis Pohon termasuk ke dalam kriteria sedang yakni dengan nilai 1,44 pada sub blok lindung dan 1,09 pada sub blok perhutanan sosial. Hasil ini dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam melaksanakan kegiatan pelestarian dan pengkayaan aneka spesies pohon, karena setelah dilakukan penelitian maka dapat diketahui kondisi terkini tentang keadaan pohon yang ada di HPKT Tahura WAR baik dari spesies pohon, kerapatan, frekuensi maupun luas penutupan lahannya. Dengan

46 harapan seiring dengan berjalannya waktu, keanekaragaman jenis pohonnya dapat lebih baik dari keadaan yang ada saat ini. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian yaitu rehabilitasi areal yang rusak, pengkayaan dan penangkaran jenis untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, pemasangan tanda-tanda larangan di tempat yang strategis, dan pengembangan kemitraan dengan masyarakat sekitar dalam rangka upaya melindungi dan mengamankan kawasan (UPTD Tahura WAR, 2009). Beberapa contoh pengembangan hutan pendidikan yang telah berhasil adalah Hutan Pendidikan Gunung Walat (359 ha) yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Hutan Pendidikan Wanagama (600 ha) yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada awalnya kedua hutan pendidikan tersebut merupakan lahan kritis, yang belum ditumbuhi oleh berbagai spesies pohon. Namun seiring dengan waktu, kegiatan-kegiatan penanaman pohon dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan mengubah kondisi lahan yang sebelumnya kritis saat ini sudah berubah menjadi lahan yang dipenuhi oleh pepohonan. Saat ini, penutupan hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat telah mencapai lebih dari 95 % dengan berbagai jenis pohon, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), Gliricidae sp, sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp), dan mangium (Acacia mangium) (Gunung Walat, 2012). Sementara sepsies pohon yang terdapat pada Hutan pendidikan Wanagama diantaranya mahoni (Swietenia mahagoni), kayu putih (Melaleuca leucadendra), eboni (Diospyros celebica), cendana (Santalum album) dan jati (Tectona grandis)

47 (Wanagama, 2012). Selain untuk tempat praktek mahasiswa saat ini Hutan Penidikan Gunung Walat dan Wanagama mempunyai multi fungsi antara lain sebagai lokasi uji genetik berbagai spesies HTI, objek tujuan wisata biologi, objek studi banding para praktisi bidang konservasi tanah dan air, dan sebagainya. Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR memiliki areal yang lebih luas dengan jumlah spesies pohon yang lebih banyak dibandingkan HPGW. Akan tetapi, kerapatan pohon di HPGW lebih tinggi. Saat ini 95% areal HPGW telah tertutupi oleh hutan (Gunung Walat, 2012), sedangkan HPKT Tahura WAR belum diketahui besarannya namun untuk Taahura WAR secara umum hanya sekitar 39% yang masih berhutan, itupun sebagian besar berada pada puncakpuncak gunung dan lereng-lereng yang relatif curam (UPTD Tahura WAR, 2009). Hutan pendidikan pada setiap provinsi memiliki karakteristik dan cirri khas masing-masing. Hutan Pendidikan di Provinsi Lampung memiliki ciri khas yaitu hutan alamnya berada di puncak-puncak gunung maupun lereng, sementara pada dataran rendahnya sudah dikelola oleh masyarakat, dan sebagian dari masyarakat ini telah membentuk suatu wadah berupa kelompok tani (UPTD Tahura WAR, 2009). Karakteristik ini merupakan sebuah modal awal yang dapat digunakan untuk mengelola hutan pendidikan, keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kekuatan yang dapat diandalkan dalam membangun sebuah hutan pendidikan. Peningkatan kapasitas kelembagan organisasi masyarakat penggarap kawasan merupakan salah satu kegiatan yang diprioritaskan dalam pengelolaan hutan pendidikan, dikarenakan masyarakat tersebutlah yang berinteraksi langsung setiap harinya dengan hutan pendidikan (UPTD Tahura WAR, 2009). Beberapa kegiatan

48 yang dapat melibatkan peran serta masyarakat diantaranya kegiatan penanaman dan perawatan pohon, pencegahan kebakaran hutan, dan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kegiatan wisata alam.