BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia merupakan suatu kemajuan besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, serta menjadi otoritas tertinggi dalam koridor kewenangannya. Selebihnya, Jimly Asshiddiqie, menguraikan sebagai berikut. 1 Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berperan menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Dalam penulisan hukum ini, penulis lebih fokus pada salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Untuk melaksanakan kewenangannya tersebut, Mahkamah Konstitusi menetapkan proses beracara yang sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). 2 1 Jimly Asshiddiqie, 2004, Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. iv. 2 Lihat BAB V (Hukum Acara) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. 1
Mekanisme constitutional control digerakkan oleh adanya permohonan dari pemohon yang memiliki legal standing untuk membela kepentingannya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. 3 Permohonan tersebut diajukan dengan ditulis dalam Bahasa Indonesia sejumlah 12 (dua belas) rangkap permohonan dalam bentuk tertulis dan sebuah permohonan dalam format digital yang disimpan secara elektronik. 4 Permohonan tersebut selanjutnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan harus melalui pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh Panitera. Apabila masih terdapat kekurangankekurangan dalam permohonan yang akan diajukan, maka Pemohon wajib untuk memenuhi kekurangan-kekurangan yang dimaksud dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak pemberitahuan kekurangan tersebut. 5 Selanjutnya, apabila permohonan sudah dilengkapi sesuai dengan petunjuk dari Panitera maka permohonan tersebut akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Registrasi tersebut yang menjadi awal seluruh rangkaian proses beracara di Mahkamah Konstitusi. Permohonan yang sudah diajukan oleh para pemohon tersebut selanjutnya akan melalui seluruh proses beracara di Mahkamah Konstitusi. Bagian akhir dalam proses beracara di setiap peradilan adalah dikeluarkannya sebuah putusan. Mengutip pendapat dari P.A. Stein bahwa putusan dalam peradilan Lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang. 3 Maruarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60. 4 Lihat Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) PMK Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang. 5 Lihat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. 2
merupakan perbuatan Hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. 6 Terlepas dari amar apa yang termaktub dalam sebuah putusan, sebuah putusan diharapkan dapat menjadi alternative penyelesaian perkara. Dalam kenyataannya, terdapat suatu ketidakefisienan waktu antara putusan yang sudah dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan waktu putusan dibacakan di persidangan pada Mahkamah Konstitusi. Misalnya, pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dengan nomor perkara 50/PUU-XI/2013 yang baru dibacakan 14 (empat belas) bulan sejak putusan tersebut telah dibuat di dalam RPH. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa terdapat ketidakefisienan waktu Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan. Hal ini tentunya berdampak bagi Pemohon dan juga masyarakat, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku untuk umum. Oleh karena itu, dengan adanya ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undang-undang dapat dikatakan menderogasi kepastian hukum bagi Pemohon pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. 6 Maruarar Siahaan, 2011, Op.cit., hlm. 201. Berikut kalimat dari Stein dalam bahasa yang sebenarnya, Onder een vonnis dient men te verstaan de door de Rechters als bevoegd overheids orgaan verrichte rechtshandeling, strekkend tot beslissing van het aan hen voorgelegde geschill tussen partijen. 3
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal-hal bersangkutan, yang hasilnya akan dituangkan dalam bentuk penulisan hukum dengan judul REFORMULASI JANGKA WAKTU ANTARA RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM UNTUK MENGAMBIL PUTUSAN DENGAN PEMBACAAN PUTUSAN PADA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI. B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: a. Apa akibat yang ditimbulkan dari ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undang-undang? b. Apa yang menjadi penyebab ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undang-undang? c. Bagaimana solusi untuk mengatasi ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undang-undang? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Subjektif Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menambah wawasan mengenai bidang kekuasaan kehakiman yang berguna bagi penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 4
2. Tujuan Objektif a. Mengetahui akibat dari ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undang-undang; b. Mengetahui penyebab ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undang-undang; dan c. Mengetahui solusi untuk mengatasi ketidakefisienan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan pengujian undangundang. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran terhadap kepustakaan yang dilakukan penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan juga penelusuran melalui media internet, tidak ditemukan hasil penelitian yang mengangkat judul Reformulasi Jangka Waktu antara Rapat Permusyawaratan Hakim untuk Mengambil Putusan dengan Pembacaan Putusan pada Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan penelusuran yang sama, penulis juga tidak menemukan penelitian yang secara spesifik meneliti tentang batas waktu penyelesaian perkara pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun demikian, penulis menemukan penelitian yang juga terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 dan Konsepsi Ideal Lembaga Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan 5
Gas Bumi di Indonesia, oleh Damar Wicaksono (2013), dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 terhadap lembaga pengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia? b. Bagaimana konsepsi ideal lembaga pengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia? 2. Implikasi Putusan Mahkamah Konsitusi No. 27/PUU-XI/2013 terhadap Sistem Pengangkatan Hakim Agung, oleh Muhammad Rudi (2014), dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana sistem pengangkatan Hakim Agung sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- XI/2013? b. Bagaimana implikasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 terhadap sistem pengangkatan Hakim Agung? 3. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 terhadap Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah, oleh Fatkur Mai Rahman (2014), dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- X/2012 terhadap fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah? Ketiga penelitian tersebut sama-sama membahas tentang putusan yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, hal ini sama sekali berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Penulis, karena ketiganya 6
membahas terkait implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap suatu hal yang menjadi topik yang diambil oleh masing-masing penelitian tersebut, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis adalah terkait dengan jangka waktu antara pembuatan putusan melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sampai dengan pembacaan putusan di persidangan. Oleh karena itu, keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi, yaitu kejujuran, rasional, objektif, serta terbuka. Dengan demikian, penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara terbuka. E. Manfaat Penelitian Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini sekurangkurangnya diharapkan dapat memberikan dua kegunaan, yaitu: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang Hukum Tata Negara. Lebih khusus, penelitian ini dapat menambah referensi hukum terkait dengan proses beracara dalam pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Manfaat bagi Aplikasi Hukum di Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam konteks kekinian, yaitu memperjelas mengenai kewenangan Mahkamah 7
Konstitusi dalam penyelesaian perkara pengujian undang-undang berikut proses beracaranya. 8