BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohetivitas, kecepatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA OCH2CHCH2 OCH3. 3-(o-Metoksifenoksi)-1,2-propanadiol [ ] : Larut dalam air, dalam etanol, dalam kloroform dan dalam

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA AMAMI IDENTIFIKASI DIAZEPAM METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sintetis dalam dosis atau kadar tertentu dapat dipergunakan untuk preventif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asetaminofen. Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

A. DasarTeori Formulasi Tiap tablet mengandung : Fasedalam( 92% ) Starch 10% PVP 5% Faseluar( 8% ) Magnesium stearate 1% Talk 2% Amprotab 5%

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau lebih dengan atau zat tambahan. Zat tambahan yang digunakan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam dosis tertentu dapat digunakan untuk preventif (profilaksis), rehabilitasi,

2.1.1 Keseragaman Ukuran Kekerasan Tablet Keregasan Tablet ( friability Keragaman Bobot Waktu Hancur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Desain formulasi tablet. R/ zat Aktif Zat tambahan (eksipien)

kurang dari 135 mg. Juga tidak boleh ada satu tablet pun yang bobotnya lebih dari180 mg dan kurang dari 120 mg.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan,

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembuatan Amilum Biji Nangka. natrium metabisulfit agar tidak terjadi browning non enzymatic.

BAB I PENDAHULUAN. Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Oleh : YENNYFARIDHA K FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan pengisi (Ditjen POM, 1995). Tablet dapat dibuat dengan berbagai ukuran,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.. HCl. Tablet piridoksin mengandung piridoksin hidroklorida, C 8 H 11 NO 3.HCl tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TEOR I MA ELL Int i t eori eori Max Max ell el l m engenai engenai gel gel bang bang ekt romagnet rom i adal adal

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV

Tablet Khusus. (dibuat dalam rangka memenuhi Tugas mata Kuliah TFSP)

PEMBAHASAN. R/ Acetosal 100 mg. Mg Stearat 1 % Talkum 1 % Amprotab 5 %

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FORMULASI TABLET PARACETAMOL SECARA KEMPA LANGSUNG DENGAN MENGGUNAKAN VARIASI KONSENTRASI AMILUM UBI JALAR (Ipomea batatas Lamk.) SEBAGAI PENGHANCUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak berbentuk rata. Karbonat dan zat lain yang cocok.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam buku British pharmacopoeia (The Departemen of Health, 2006) dan

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah.

Lampiran 1. Perhitungan Pembuatan Tablet Asam Folat. Sebagai contoh F1 (Formula dengan penambahan Pharmacoat 615 1%).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. VII/71 mendefinisikan bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan

SNMPTN 2011 FISIKA. Kode Soal Gerakan sebuah mobil digambarkan oleh grafik kecepatan waktu berikut ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Farmakologi Dimenhidrinat (mabuk perjalanan) mabuk perjalanan dan muntah karena kehamilan. Berdasarkan mekanisme

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

KIMIA ANALISIS ORGANIK (2 SKS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. macam bahan obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke Tujuan Pemberian Obat Dalam Bentuk Kapsul

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

APLIKASI METODE RESPON PERMUKAAN DAN GOAL PROGRAMMING UNTUK OPTIMASI SIFAT FISIK DAN MEKANIK TABLET OBAT

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian mengenai teofilin adalah sebagai. Gambar 2.1 Struktur Teofilin

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. adalah obat yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga

BAB II TINJUAN PUSTAKA

Pot III : Pot plastik tertutup tanpa diberi silika gel. Pot IV : Pot plastik tertutup dengan diberi silika gel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Zubaidi, J. (1981). Farmakologi dan Terapi. Editor Sulistiawati. Jakarta: UI Press. Halaman 172 Lampiran 1. Gambar Alat Pencetak Kaplet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LATIHAN UJIAN NASIONAL

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DITOLAK BAGIAN PENGAWASAN MUTU PHARMACEUTICAL INDUSTRIES MEDAN

Beberapa hal yang menentukan mutu tablet adalah kekerasan tablet dan waktu hancur tablet. Tablet yang diinginkan adalah tablet yang tidak rapuh dan

FORMULASI SEDIAAN TABLET PARASETAMOL DENGAN PATI BUAH SUKUN (Artocarpus communis) SEBAGAI PENGISI

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berikut gejalanya. Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

KETOKONAZOL TABLET PREFORMULASI DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 (SATU) C S1 FARMASI 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyembuhkan atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Meskipun

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA I

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

TUGAS II REGULER C AKADEMI ANALIS KESEHATAN NASIONAL SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tablet adalah sediaan padat yang dibuat secara kempa-cetak, berbentuk

Sifat fisika kimia - Zat Aktif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan

Proses penggerusan merupakan dasar operasional penting dalam teknologi farmasi. Proses ini melibatkan perusakan dan penghalusan materi dengan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet 2.1.1 Defenisi Tablet Tablet dapat didefenisikan sebagai bentuk sediaan solid yang mengandung satu atau lebih zat aktif dengan atau tanpa berbagai eksipien (meningkatkan mutu sediaan tablet, kelancaran sifat aliran bebas, sifat kohetivitas, kecepatan disintegrasi, dan sifat antilekat) dan dibuat dengan mengempa campuran serbuk dalam mesin tablet (Charles, 2010). 2.1.2 Penggolongan Sediaan Tablet Penggolongan sediaan tablet didasarkan pada pada metode pembuatan dan pada tujuan penggunaannya adalah sebagai berikut: Tabel 1. Penggolongan sediaan tablet No. Golongan Jenis 1. Tablet oral yang dihantarkan ke dalam saluran cerna Tablet kempa (tablet kempa standar) (TKS)/tablet kempa konvensional (TKK) Tablet multikempa (TMK) Tablet berlapis (TB) Tablet salut kempa (TSK) Tablet kerja cepat (TKC) Tablet kerja diperpanjang (tablet lepas-lambat) (TLL) Tablet salut enterik (TSE) Tablet salut gula (TSG) Tablet salut coklat (TSC)

No. Golongan Jenis 2. Tablet yang dihantarkan ke rongga mulut 3. Tablet yang dilarutkan terlebih dulu dalam air lalu diminum 4. Tablet untuk komponen sediaan racikan obat resep 5. Tablet untuk diinjeksikan setelah dilarutkan dalam pembawa 6. Tablet untuk dihantarkan ke rongga tubuh lainnya Tablet salut film (TSF) Tablet kunyah (TK) Tablet bukal (TB) Tablet sublingual (TS) Tablet isap (TI) Tablet bukal (TB) Tablet sublingual (TS) Tablet isap (TI) Tablet dispensing (TD) Tablet triturat (TT) Tablet hipodemik (TH) Tablet vaginal (TV) Tablet rektal (TR) 7. Tablet yang ditanam Tablet implantasi (TI) 8. Tablet untuk menegakkan Tablet diagnostik (TD) diagnosis (Charles, 2010) 2.1.3 Pembuatan GranulTablet Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat, dan zat-zat lain kecuali pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan tablet dengan baik maka dibuat granul agar mudah mengalir mengisi cetakan serta menjaga agar tablet tidak retak (Anief, 1994). Cara membuat granul ada dua macam, yaitu : 1. Cara basah Zat berkhasiat, zat pengisi dan zat penghancur dicampur baik-baik, lalu dibasahi dengan larutan bahan pengikat, bila perlu ditambah bahan pewarna.setelah itu diayak menjadi granul, dan dikeringkan dalam lemari

pengering pada suhu 40 0-50 0 C.setelah kering diayak lagi untuk memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan dan ditambahkan bahan pelicin dan dicetak menjadi tablet dengan mesin tablet (Anief, 1994). 2. Cara kering Zat berkhasiat, zat pengisi, zat penghancur, bila perlu zat pengikat dan zat pelicin dicampur dan dibuat dengan cara kempa cetak menjadi tablet yang besar, setelah itu tablet yang terjadi dipecah menjadi granul lalu diayak, akhirnya dikempa cetak tablet yang dikehendaki dengan mesin tablet (Anief, 1994). 2.1.4 Metode Pembuatan Tablet 1. Metode granulasi basah Masing-masing zat aktif dan eksipien dihaluskan dalam alat penghalus secara terpisah.zat aktif dan eksipien (fase dalam) dicampur dalam alat pencampur. Cairan penggranulasi disiapkan, lalu dibuat massa granulasi serbuk dengan cairan penggranulasi (dalam alat campur). Massa basah digranulasi melalui lempeng 6-12 mesh dalam mesin granulator. Granul basah dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu ± 50-60 0 C. Ukuran granul kering dikurangi melalui lempeng 14-20 mesh dalam mesin granulator. Granul dicampur dengan serbuk fase luar (lubrikan, disintegran) dicampur dalam mesin campur khusus menjadi massa kempa. Massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet (Charles, 2010).

2. Metode granulasi kering Masing-masing zat aktif dan eksipien dihaluskan (dalam alat penghalus secara terpisah).semua serbuk (fase dalam dan fase luar) dicampur atau hanya fase dalam saja. Dibuat bongkahan serbuk dalam mesin kompaktor, lalu bongkahan dikecilkan dengan mesin granulator. Granul dengan serbuk fase luar dicampur dalam mesin pencampur khusus menjadi massa kempa, kemudian massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet (Charles, 2010). 3. Metode kempa langsung Masing-masing zat aktif dan eksipien dihaluskan dalam alat penghalus secara terpisah lalu semua serbuk dicampur dalam alat campur menjadi massa kempa, kemudian massa kempa dikempa menjadi tablet jadi dalam mesin tablet (Charles, 2010). 2.1.5Eksipien Formulasi Tablet Komposisi tablet pada umumnya terdiri atas bahan aktifdan eksipien (ada sejumlah kecil tablet yang dapat dibuat tanpa eksipien). Untuk dapat menghantarkan obat dalam jumlah (dosis) yang cukup pada penggunaan klinik, diberikan bentuk sediaan yang dapat diterima pasien.eksipien ditambahkan dengan berbagai fungsi dan tujuan spesifik sebagai pengisi, pengikat, penghancur, pelincir, antilengket, pelicin, pembasah, zat warna, peningkat rasa, pemanis, penutup rasa (Agoes,2008).

2.2 Benzodiazepin Benzodizepin merupakan obat kelompok hipnotik sedatif.rumus umum benzodiazepin terdiri atas cincin benzene yang melekat pada cincin diazepin. Meski demikian, karena obat kelompok benzodiazepin yang penting secara farmakologis selalu mengandung gugus substitusi 5-aril dan cincin 1,4benzodiazepin, maka rumus struktur golongan ini selalu diidentikkan dengan 5-aril-1,4-benzodiazepin (Rohman, 2012). Senyawa obat yang digolongkan sebagai transkuilansia adalah yang bersifat menghilangkan kecemasan (anksiolitik) dan sedatif, umumnya juga bersifat merelaksasi otot. Wakil yang palingefektif dalam golongan obat benzodiazepin adalah senyawa1,4-benzodiazepin. Senyawa barbiturat dan hipnotika lain,memperlihatkan kerja yang setara pada dosis yang rendah (Schunack,1990). 2.2.1 Diazepam Rumus Bangun : Gambar 1. Rumus bangun diazepam Rumus molekul : 7-kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin- Berat molekul : 284,75 2-on (C 16 H 13 ClN 2 O)

Pemerian : Serbuk hablur, hampir putih sampai kuning, praktis tidak berbau (Ditjen POM, 1995). 2.2.2 Farmakologi Benzodiazepin Gambar 2. Reseptor GABA Di dalam tubuh, benzodiazepin berikatan dengan reseptor GABA (Gamma Aminobutyric Acid) yang ada di dalam membran neuron pada sistem saraf pusat. Reseptor GABA ini berfungsi sebagai saluran ion klorida. Reseptor GABA memiliki struktur yang tersusun dari 5 subunit polipeptida yang disebut α, β dan γ. Ruang untuk ikatan benzodiazepin ada diantara α 3 dan γ 2. Studi menunjukkan bahwa benzodiazepin meningkatkan frekuensi dari pembukaan saluran ion klorida pada reseptor GABA sehingga konduktansi ion klorida pun meningkat. Hal tersebut berdampak pada kontrol tingkat kecemasan, pola tidur, dan karakteristik perilaku lainnya dari fungsi sistem saraf pusat (Katzung, 2004).

2.3 Disolusi 2.3.1 Definisi Disolusi Disolusi adalah proses suatu sediaan zat solid memasuki pelarut untuk menghasilkan suatu larutan. Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai proses suatu solid melarut (Charles,2010). 2.3.2 Laju Disolusi Laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang larut per satuan waktu di bawah kondisi yang dibakukan dari antar permukaan cairan/solid, suhu dan komposisi pelarut. Laju disolusi zat aktif murni ditentukan oleh tingkat gaya tarik antara pelarut dan zat terlarut untuk mengatasi gaya kohesif yang ada dalam zat terlarut tersebut (Charles,2010). 2.3.3 Alat Disolusi Alat-alat uji disolusi terdiri dari 2 tipe, yaitu alat tipe 1 dan tipe 2. Alat tipe 1 terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 37 ±0,5 C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk (Ditjen POM, 1995).

Alat tipe 2, sama seperti alat tipe 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dalam dasar wadah sebelum dayung mulai berputar sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Ditjen POM, 1995). 2.3.4 Metode Disolusi Metode disolusi ada dua, yaitu metode keranjang dan metode dayung. Metode keranjang pada mulanya diusulkan oleh Pernarowski pada tahun 1968. Metode keranjang menunjukkan suatu upaya membatasi posisi bentuk sediaan untuk memberikan kemungkinan maksimum suatu antar permukaan solid-cairan yang tetap. Metode ini mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu kecenderungan zat bergerak menyumbat kasa keranjang, sangat peka terhadap gas terlarut dalam media disolusi, kecepatan aliran yang kurang memadai ketika partikel meninggalkan keranjang dan mengapung dalam media, dan kesulitan konstruksi jika diupayakan metode yang diotomatisasi. Metode keranjang disebut juga metode alat 1 (Charles, 2010). Metode dayung pada mulanya dikembangkan oleh Poole pada tahun 1969. Metode ini banyak mengatasi keterbatasan metode keranjang berputar, tetapi

mensyaratkan presisi yang ekstrem dalam geometri dayung, labu, dan perlakuan variasi yang tidak dapat diterima dalam data disolusi berikutnya, bahkan perubahan yang sangat kecil dalam penempatan dayung. Metode ini sangat baik untuk sistem otomatis (Charles, 2010). 2.3.5 Interpretasi Disolusi Interpretasi kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilanjutkan sampai tiga tahap kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S 1 atau S 2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q (Ditjen POM, 1995). Tabel 2. Tabel penerimaan kriteria disolusi Tahap Jumlah yang diuji Kriteria penerimaan S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+5% Rata-rata dari 12 unit (S 1 +S 2 ) adalah sama S2 6 dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15% S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S 1 +S 2 +S 3 ) adalah sama

Tahap Jumlah yang diuji Kriteria penerimaan dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15% dan tidak satu unit pun yang lebih kecil dari Q-25% (Ditjen POM, 1995) 2.4 SpektrofotometriUV-Visible Spektrofotometri UV-Visible memiliki penyerapan panjang gelombang pada radiasi elektromagnetik antara 200-800 nm oleh molekul yang mempunyai π elektron atau yang mempunyai joli elektron nir-patungan menjadi dasar spektroskopi serapan elektronik molekuler pada daerah sinar UV-Vis dari spektrum elektromagnet. Spektroskopi serapan elektron (spektrofotometri) mungkin merupakan metode analisis yang paling luas dalam laboratorium. Hubungan antara kadar analit dan jumlah cahaya terserap merupakan kebanyakan penerapan analisis spektrofotometri (Munson, 1991). 2.4.1 Serapan Cahaya Molekul Gelombang cahaya dapat dipandang sebagai gangguan elektromagnet yang berjalan dalam suatu garis lurus dengan kecepatan dalam hampa (c) = 3,0 x10 10 cm dt -1. Tegak lurus pada arah jalur gelombang terdapat medan listrik berselang dan tegak lurus pada arah gelombang dan bidang alunan vektor medan listrik dan medan magnet (bilangan tiap detik saat vektor medan maksimum) disebut frekuensi cahaya (ν). Jarak tempuh gelombang selama satu

daur vektor listrik tuntas disebut panjang gelombang selama satu daur vektor listrik tuntas disebut panjang gelombang cahaya (λ). Kecepatan, frekuensi dan panjang gelombang dari gelombang cahaya mempunyai hubungan persamaan [c = λ ν] (Munson, 1991). Besarnya absorbsi sinar pada panjang gelombang tertentu dapat dihitung dengan menggunakan Hukum Beer. Persamaan ini menyatakan hubungan antara jumlah sinar yang diabsorbsi (A) dengan konsentrasi zat yang mengabsorbsi (c dalam gram/liter) dan panjangnya jalan dari sinar yang melewati suatu zat (b dalam cm) persamaannya adalah sebagai berikut: A = abc a adalah tetapan yang dikenal sebagai daya serap (absorptivity) untuk suatu zat pengabsorpsi tertentu ( dalam satuan g -1 cm -1 ) (Martin,1990).