MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN (Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

BAB III PENDEKATAN LAPANG

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

HUBUNGAN PERAN GANDA DENGAN PENGEMBANGAN KARIER WANITA (Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat)

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (Kasus Sekolah Dasar Negeri 04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat)

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

RELASI GENDER PADA RUMAHTANGGA PETANI SAYURAN DATARAN RENDAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

1Konsep dan Teori Gender

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN

PENDAHULUAN Latar Belakang

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER

FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

(Kasus Pendengar di Desa Cileungsi, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor) MARETA TEDE I

ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA

ARTANTI YULAIKA IRIANI A

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN EKSPOR SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENDAPATAN FAKTOR PRODUKSI, INSTITUSI, DAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor)

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

Kontribusi Pendapatan Buruh (Lisna Listiani)

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARA RUMAHTANGGA SANGAT MISKIN PENERIMA BANTUAN TUNAI DAN PENDAMPING PROGRAM KELUARGA HARAPAN

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI PANGAN, DAN STATUS GIZI DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PEKERJA WANITA DI INDUSTRI KONVEKSI FARAH AZIIZA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

KEPUTUSAN JENIS MIGRASI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA INDUSTRI KECIL SEPATU DI PERKAMPUNGAN INDUSTRI KECIL PULO GADUNG JAKARTA TIMUR.

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS RELASI GENDER DAN KEBERHASILAN ORGANISASI KOPERASI WARGA (KOWAR) SMP NEGERI 7 BEKASI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUSAHAAN RETAIL KECIL DALAM MENERIMA SISTEM PEMBAYARAN ELEKTRONIK (Studi Kasus Lima Propinsi di Indonesia)

LEONARD DHARMAWAN A

ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA)

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

RINGKASAN ANGGIT GUMILAR. Pengaruh Suku Bunga Terhadap Penyaluran Berbagai Jenis Kredit UMKM di Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS. Peran UMKM

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam proses produksi masyarakat pantai dimana keterlibatan tersebut dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama. Hal ini terlihat jelas dalam kamus bahasa Indonesia yang tidak secara jelas

ANALISIS PENGARUH SOCIAL CAPITAL TERHADAP REPAYMENT RATE PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (Studi Kasus KBMT Wihdatul Ummah, Bogor) Oleh

ANALISIS GENDER DAN KESETERAAN GENDER PADA USAHATANI PADI SAWAH DAN PADI LADANG DI KABUPATEN KARAWANG NURJAMAN

POLA PENGGUNAAN DAN DAMPAK INTERNET DI KALANGAN MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (Kasus Mahasiswa Strata 1 Fakultas Ekologi Manusia)

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT TERHADAP PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang) ANI TRIANI

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA INDUSTRI BESI BAJA DI INDONESIA OLEH SARI SAFITRI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H

KONTRIBUSI EKONOMI PEREMPUAN. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

Oleh: RENNY YUSNIATI A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS POTENSI TENAGA KERJA DALAM KELUARGA UNTUK PENGEMBANGAN USAHATERNAK SAPI PERAH DI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN BANDUNG

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB IBU RUMAH TANGGA DI DESA PONCOWATI BEKERJA SEBAGAI BURUH PABRIK PT GREAT GIANT PINEAPPLE

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

PENELITIAN EKSPLORATIF PERILAKU GAMERS DI KALANGAN MAHASISWA. (Kasus: Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri di Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN (Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) FEBLI TANZENIA I34080046 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

ii ABSTRACT Rural industrialization has opened up opportunities for women in the productive sector, but it also have opened up opportunities for the marginalization of women. Research is done by the purpose of identifying the marginalization experienced by women in rural industrialization, identifying the marginalization that happens on every social layer, and analyzing the relationship between layers of social change with the marginalization of women. Research conducted in Cikarawang and Tarikolot villages, Bogor, West Java. This is done with a quantitative approach, which is use survey method, and that is supported with qualitative data. Despite having been open opportunities in productive sectors, marginalization still experienced by women in rural industrialization. It can be seen from the centralization of women on the outskirts of the market labour, feminizing productive sectors and segregation based on sex, which ultimately led to widening inequalities between household dominant man who works and household dominant women who work. While the removal of the productive sector has not experienced by women in rural industrialization. In addition, if analyzed according to the social layer, known that women from the bottom layer experiencing centralization of women on the outskirts of the market labour and feminizing productive sectors and segregation based on sex. Different thing experienced by women from the middle layer, where they have feminizing productive sectors and segregation based on sex and inequalities between household dominant man who works and household dominant women who work. As women from the top layer only experienced widening economic inequality. Thus there is no relationship between socal layer and removal of the productive sector, also feminizing productive sectors and segregation based on sex. But there is a relationship between social layer and centralization of women on the outskirts of the market labour. Keyword : marginalization, productive sector, rural industrialization, social layer, women

iii RINGKASAN FEBLI TANZENIA. MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO). Revolusi Hijau di Indonesia muncul pada tahun 1960-an. Munculnya Revolusi Hijau sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi padi telah meminggirkan perempuan. Penggantian alat panen ani-ani menjadi sabit dan penggunaan mesin dross untuk perontokan padi telah membuat perempuan kehilangan pekerjaannya di sektor pertanian. Oleh karena itu, perempuan yang terpinggirkan tersebut menempuh strategi bertahan hidup dengan cara melakukan perubahan profesi menjadi pedagang, merantau ke luar negeri menjadi TKI, atau bekerja pada industri rumahan (Tahir 2010). Dengan adanya Revolusi Hijau telah menggeser perekonomian masyarakat di Jawa Barat yang semula dominan hidup dari sektor pertanian, mengalami transisi menuju masyarakat yang hidup dari sektor industri (BPS 1987). Dengan adanya transisi tersebut semakin membuka kesempatan bagi masyarakat desa untuk bekerja di sektor non pertanian yang juga berarti membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor produktif non pertanian. Peluang bagi perempuan ini meningkatkan partisipasi angkatan kerja wanita di sektor non pertanian, sebagai contoh adalah di sektor industri pengolahan (Sajogyo 1983). Dalam mayarakat Indonesia sering dijumpai adanya struktur pelapisan sosial dalam masyarakat yang didasari kriteria ekonomi. Pelapisan sosial membedakan seseorang berdasarkan status kekayaan yang dimiliki yang dapat dilihat dari dan kepemilikian benda-benda berharga. Pelapisan tersebut dibagi menjadi lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Setiap lapisan sosial dalam masyarakat tersebut menunjukkan suatu pola alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga yang berbeda, yang pada gilirannya dapat membentuk pola marginalisasi yang berbeda pula. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi marginalisasi yang dialami oleh perempuan dalam industrialisasi pedesaan, mengidentifikasi marginalisasi yang terjadi pada setiap lapisan sosial, dan menganalisis hubungan antara lapisan sosal dengan marginalisasi perempuan.

iv Penelitian dilakukan di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif melalui metode survei serta didukung dengan data kualititatif. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 orang, yakni 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Untuk menentukan responden, digunakan metode acak terstratifikasi (stratified random sampling). Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Data kualitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Data yang telah diperoleh diolah dengan Microsoft Excel 2007. Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perempuan dalam industrialisasi pedesaan tidak mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif (tidak mengalami marginalisasi tipe 1) karena banyaknya peluang kerja dan peluang usaha yang terdapat pada kedua desa penelitian. Akan tetapi, perempuan yang memasuki sektor produktif ini mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja (mengalami marginalisasi tipe 2), dimana status pekerjaan yang dimilikinya masih rendah, yaitu sebagai buruh tani, buruh pengupas ubi, buruh bengkel, maupun buruh pabrik. Tunjangan yang diperoleh oleh responden perempuan yang berstatus buruh pabrik tergolong rendah, karena statusnya sebagai karyawan kontrak. Curahan waktu kerja yang tinggi juga dialami perempuan dalam industri pedesaan dengan pendapatan yang rendah. Selain itu, feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin serta pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan juga terjadi dalam industrialisasi pedesaan (mengalami marginalisasi tipe 3 dan 4). Hasil penelitian yang melihat perempuan berdasarkan lapisan sosialnya menunjukkan bahwa perempuan lapisan bawah mengalami marginalisasi tipe 2 dan 3. Selain itu, perempuan lapisan menengah dan atas mengalami marginalisasi tipe 3 dan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan (marginalisasi tipe 4). Adapun marginalisasi tipe 1 tidak dialami oleh perempuan dari seluruh lapisan sosial.

v MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN (Studi Kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh FEBLI TANZENIA I34080046 Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

vi DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Febli Tanzenia NRP : I34080046 Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan (Studi di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Nuraini W. Prsodjo, MS NIP. 19630531 199103 2002 Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1003 Tanggal Lulus Ujian :

vii PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Januari 2012 Febli Tanzenia NRP. I3408046

viii RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari tiga orang bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Djoni Lijana dan Ibu Suningsih. Penulis dilahirkan di Karawang pada Tanggal 18 Februari 1990. Penulis menamatkan Pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Nuri Cikarang pada Tahun 1994-1996, SD Negeri Karang Baru 02 pada Tahun 1996-2002, SMP Negeri 1 Cikarang Utara pada Tahun 2002-2005, dan SMA Negeri 1 Cikarang Utara pada Tahun 2005-2008. Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kegiatan penulis selama di IPB adalah menjadi anggota kegiatan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) Divisi Advertising and Multimedia (2009-2010). Selain itu penulis juga pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan Ecology Sport Event (E spent) 2010 pada divisi Hubungan Masyarakat (Humas). Di samping aktif dalam organisasi kemahasiswaan, penulis juga menjadi mahasiswa peserta program akselerasi yang dilaksanakan oleh Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB sehingga berhasil menyelesaikan gelar sarjana dalam waktu 3,5 tahun.

ix KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat dan anugerah-nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Hasil penelitian yang berjudul Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan ini membahas peminggiran perempuan pada sektorsektor tertentu dalam dunia kerja. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan. 2) Mengidentifikasi hubungan antara lapisan sosial ekonomi dengan marginalisasi dalam industrialisasi pedesaan, dan 3) Menganalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan. Penulis menyadari bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga penulis sangat berharap mendapat kritik dan saran yang membangun. Akhir kata semoga skripsi ini menjadi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, Januari 2012 Febli Tanzenia I340800046

x UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, motivasi, serta bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya membimbing, memotivasi, serta memberikan arahan, masukan, dukungan, dan saran yang membangun selama penulisan skripsi. 2. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan inspirasi kepada penulis. 3. Mama, Papa, dan Kakak-Adikku yang telah memberikan sekaligus menjadi motivasi yang begitu besar bagi penulis melalui doa dan kasih sayangnya serta melalui dukungan baik secara moril maupun materil. 4. Teman-teman Program Akselerasi KPM 45 (Yessy Marga S, Shella R, Putri Ekasari, Nurdini Prihastiti, Syarifah Lubis, Selvi R, Mareta Tede, Rizki Mila Amalia, Debby Luciani Pratiwi, Didit Darmawan, Ari Wahyu, dan Agus Sandra) yang telah saling mengingatkan dan berbagi informasi dalam penyusunan skripsi ini. 5. Teman-teman KPM 45 Rizki Amalia, Drajat Jatnika, Firda Zahra Alfia, Sarah Rohyana, Widita Arindi, Testa Pradia, M. Galih, Novondra Hidayat, Farhan, M. Agung, Ahmad Fauzi, Jabbar S, Syakir, Nadia, Randy, Fitria R, Chaesfa, Wulan Nurdianti, Asy Syifa, Reza L, Hayya, Morina, Muriani, Wulan P, Pulung, Pradiana, dan sahabat-sahabat lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah memberi keceriaan, serta memberikan motivasi yang begitu besar. Bogor, Januari 2012 Febli Tanzenia

x DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 4 1.4 Kegunaan Penelitian... 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 5 2.1 Tinjauan Pustaka... 5 2.1.1Konsep Genderdan Penelitian yang Berorientasi Gender... 5 2.1.2Marginalisasi... 6 2.1.3Konsep Kerja, Produktif, dan Reproduktif... 7 2.1.4 Struktur Pelapisan Sosial... 8 2.1.5Industrialisasi Pedesaan... 9 2.2 Kerangka Pemikiran... 11 2.3Hipotesis Penelitian... 16 2.4Definisi Operasional... 16 BAB III PENDEKATAN LAPANG... 21 3.1 Metode Penelitian... 21 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 21 3.3 Teknik Pengambilan Sampel... 22 3.4 Teknik Pengumpulan Data... 25 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 25 BAB IV GAMBARAN UMUM DESA... 27 4.1 Desa Cikarawang... 27 x xiii xvi xvi

xi 4.1.1 Kondisi DemografisDesa Cikarawang dan Desa Tarikolot... 27 4.1.2Kondisi SosialDesa Cikarawang dan Desa Tarikolot... 28 4.1.3Kondisi Ekonomi Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot... 29 4.1.4 Karakteristik Responden... 31 BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN... 34 5.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif (Marginalisasi Tipe 1) 35 5.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja... 36 5.2.1 Status Pekerjaan... 38 5.2.2 Tunjangan... 39 5.2.3 Curahan Waktu... 39 5.2.4 Pendapatan Total Individu dalam Sebulan... 40 5.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 42 5.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi antara Laki-laki dan Perempuan... 43 5.5 Ikhtisar... 45 BAB VI LAPISAN SOSIAL DAN MARGINALISASI PEREMPUAN.47 6.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif... 47 6.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja... 49 6.2.1 Status Pekerjaan.... 52 6.2.2 Curahan Waktu Kerja... 53 6.2.3 Tunjangan... 55 6.2.4 Pendapatan Individu... 57 6.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi Berdasarkan Jenis Kelamin... 58 6.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi... 60 6.5 Ikhtisar... 63 BAB VII PENUTUP... 66 7.1 Kesimpulan... 66 7.2 Saran... 66 DAFTAR PUSTAKA... 68

xiii DAFTAR TABEL Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 2012... 22 Tabel 2. Jumlah Penduduk Usia Produktif di RW 03 Desa Cikarawang dan RW 07 Desa Tarikolot menurut Jenis Kelamin, 2011... 23 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Golongan Umur dan Tipe Desa, 2011... 27 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Pekerjaan dan Tipe Desa, 201... 30 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, dan Tipe Desa, 2011... 32 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin dan Lapisan Sosial di Desa Cikarawang, 2011... 33 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin dan Lapisan Sosial di Desa Tarikolot, 2011... 33 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Status Bekerja dan Tipe Desa, 2011... 35 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden yang Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Jenis Kelamin dan Tipe Desa, 2011... 37 Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Pekerjaan, Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011... 38 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Tunjangan, dan Tipe Desa 2011... 39 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011... 40 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Pendapatan Individu, dan Tipe Desa, 2011... 41 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Lapisan Sosial, Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011... 42 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011... 43 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga, Pendapatan Rumahtangga dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011... 44

xiv Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28. Tabel 29. Tabel 30. Ratio Responden yang Memiliki Pendapatan Tinggi menurut Jenis Rumahtangga dan Tipe Desa, 2011... 44 Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki dan Perempuan yang Mengalami Marginalisasi Tipe 1 menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011... 48 Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Marginalisasi Tipe 1 dan Tipe Desa, 2011... 49 Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki dan Perempuan yang Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011... 50 Jumlah dan Persentase Responden Perempuan yang Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Lapisan Sosial, dan Tipe Desa, 2011... 51 Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Status Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011... 52 Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Status Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011... 53 Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011... 54 Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011... 55 Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Tunjangan, dan Tipe Desa, 2011... 56 Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Tunjangan, dan Tipe Desa, 2011... 56 Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Pendapatan Individu dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011... 57 Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Pendapatan Individu dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011... 58 Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan, Lapisan Sosial dan Jenis Kelamin di Desa Pertanian, 2011... 59

xv Tabel 31. Tabel 32. Tabel 33. Tabel 34. Tabel 35. Tabel 36. Persentase Responden menurut Jenisa Pekerjaan, Lapisan Sosial dan Jenis Kelamin di Desa Industri, 2011... 59 Jumlah dan Persentase Responden yang Mengalami Marginalisasi Tipe 3 menurut Lapisan Sosial, Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011..... 60 Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga dan Lapisan Sosial di Desa Pertanian, 2011...... 61 Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga dan Lapisan Sosial di Desa Industri, 2011...... 61 Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Laki-laki dan Perempuan yang Memiliki Pendapatan Rumahtangga yang Rendah menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011...... 62 Ratio Rumahtangga Responden yang Memiliki Pendapatan Rendah menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011... 62

xvi DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran 15 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner.. 69 Lampiran 2. Pedoman Wawancara Mendalam. 76 Lampiran 3. Dokumentas Penelitian 77 Lampiran 4. Sketsa Lokasi Penelitian... 80 1.

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada September 2000, Indonesia turut menandatangani Deklarasi Milenium yang berisi komitmen untuk mencapai delapan tujuan pembangunan dalam milenium ini, atau yang disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksakan kedelapan tujuan pembangunan. Salah satu dari tujuan MDGs adalah mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan (Galus 2010). Adanya komitmen MDGs membuka peluang bagi perempuan untuk menyetarakan posisinya terhadap laki-laki, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi perempuan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang juga turut meningkatkan peluang dalam memasuki sektor produktif seperti halnya laki-laki. Selain itu menurut Tambunan (1990), pembangunan Indonesia juga ditandai dengan munculnya industrialisasi pedesaan yang turut menyumbang bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa dan membuka lapangan kerja. Industrialisasi pedesaan merupakan usaha transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial (Tambunan 1990). Salah satu bentuk industrialisasi adalah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau di Indonesia muncul pada tahun 1960-an. Munculnya Revolusi Hijau sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi padi telah meminggirkan perempuan. Peminggiran tersebut disebabkan oleh penggantian alat panen ani-ani menjadi sabit dan penggunaan mesin dross untuk perontokan padi telah membuat perempuan kehilangan pekerjaannya di sektor pertanian. Oleh karena itu, perempuan yang terpinggirkan tersebut menempuh strategi bertahan hidup dengan cara melakukan perubahan profesi menjadi pedagang, merantau ke luar negeri menjadi TKI, atau bekerja pada industri rumahan (Tahir 2010). Dengan adanya Revolusi Hijau telah menggeser perekonomian masyarakat di Jawa Barat yang semula dominan hidup dari sektor pertanian, mengalami transisi menuju masyarakat yang hidup dari sektor industri (BPS 1987). Transisi tersebut

2 semakin membuka kesempatan bagi masyarakat desa untuk bekerja di sektor non pertanian yang juga berarti membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor produktif non pertanian. Peluang bagi perempuan ini meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan di sektor non pertanian, sebagai contoh adalah di sektor industri pengolahan. Sajogyo (1983) menyebutkan adanya faktor yang menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan di sektor industri pengolahan, yaitu faktor stereotype. Stereotype tersebut menganggap perempuan tekun dan teliti. Pada sektor industri (seperti industri rokok, tekstil, konfeksi, dan industri makanan serta minuman) sebagian menuntut ketelitian dan ketekunan yang sesuai dengan sifat perempuan. Selain itu, terdapat stereotype yang menganggap perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sehingga dapat dibayar murah dan mendorong pilihan pengusaha pada tenaga kerja perempuan. Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan menyebutkan empat hal pokok yang ingin dicapai: 1) laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan, (2) lakilaki dan perempuan berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, (3) laki-laki dan perempuan memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan (4) laki-laki dan perempuan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan. Dengan kata lain, tercipta suatu kondisi kesetaraan gender. Akan tetapi hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2009, menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki (85.93 persen) yang lebih tinggi daripada TPAK perempuan (50.68 persen). Hal ini menunjukkan masih adanya pembatasan akses perempuan pada sektor produktif. Di sektor produktif, perempuan desa mengalami marginalisasi, dimana sebagian besar buruh pabrik adalah perempuan, khususnya yang berpendidikan rendah, sementara hampir tidak ada perempuan yang bekerja sebagai mandor. Di samping itu, upah yang diberikan untuk tingkat pekerjaan yang sama antara perempuan dan laki-laki diberikan secara berbeda, dimana laki-laki memperoleh upah yang lebih tinggi daripada perempuan dengan anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, padahal kondisi ekonomi rumah tangga di Indonesia, khususnya sejak dilanda krisis pada tahun 1997 lalu, memaksa perempuan tidak sekedar sebagai pencari nafkah tambahan, tetapi bahkan menjadi tulang punggung keluarga (Kusdiansyah 2008). Dari data yang diperoleh Organisasi Pekerja Dunia (ILO) Tahun 2002 memperlihatkan pekerja

3 perempuan di kebanyakan negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) mendapatkan bayaran yang lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama (de Vries 2006). Kusdiansyah (2008) menyatakan bahwa terdapat pembagian kerja menurut gender yang juga berperan dalam marginalisasi perempuan. Kerja-kerja yang dianggap bersifat perempuan seperti mengetik (sekretaris), menjahit, pembantu rumahtangga dan sebagainya dianggap lebih rendah derajatnya daripada pekerjaan laki-laki. Selain itu, perempuan yang bekerja tersebut mendapat perlakuan serta imbalan yang berbeda, sedangkan pekerjaan seperti mandor, manajer, direktur dan sebagainya dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki akses untuk menempati posisi-posisi pekerjaan tersebut. Selain adanya pembedaan yang dilakukan terhadap laki-laki dan perempuan, pembedaan sosial pun seringkali dialami oleh lapisan masyarakat tertentu. Lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal dan dasar dari pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Selanjutnya Soekanto menyebutkan dasar pelapisan tersebut adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, serta ilmu pengetahuan. Perempuan kaya memiliki modal untuk diinvestasikan dalam kios yang baik di pasar tetapi mereka lebih memilih mempunyai sebuah warung yang terletak di rumahnya sendiri daripada berjualan di tempat umum seperti pasar (Nieuwhof 1988 dalam Grijns dkk 1992). Dengan adanya fakta-fakta yang telah dijelaskan di atas, perlu dikaji apakah selalu terjadi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan dan bagaimana terjadinya marginalisasi perempuan pada setiap lapisan sosial. 1.2 Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji marjinalisasi perempuan sebagai dampak dari industrialisasi pedesaan. Secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah terjadinya marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan?

4 2. Bagaimanakah marginalisasi terjadi pada setiap lapisan sosial yang ada dalam masyarakat? 3. Bagaimanakah hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan 2. Mengidentifikasi marginalisasi yang terjadi pada setiap lapisan sosial 3. Mangidentifikasi hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan 1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari dilaksanakannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai marginalisasi perempuan sebagai dampak dari industrialisasi pedesaan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya: a. Kegunaan Penelitian bagi Penulis Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai kesesuaian kondisi lapangan dengan teori yang ada serta didapatkan pemahaman dan pengetahuan baru terkait marginalisasi dalam industrialisasi pedesaan. b. Kegunaan Penelitian bagi Masyarakat Awam Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai industrialisasi pedesaan dan marginalisasi perempuan c. Kegunaan Penelitian bagi Civitas Akademika Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pikiran serta dapat dijadikan referensi dalam melakukan penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Gender dan Penelitian yang Berorientasi Gender Grijns dkk (1994) mengatakan bahwa gender didefinisikan sebagai perbedaan sosial atas dasar jenis kelamin, berbeda dengan istilah seks yang merupakan perbedaan secara biologis. Fakih (1996) mengungkapkan bahwa konsep gender menunjuk pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti perempuan dianggap lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Seks adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan alat dan fungsi biologis yang tidak dapat dipertukarkan, seperti laki-laki tidak dapat menstruasi dan tidak dapat hamil, sedangkan perempuan tidak bersuara berat dan tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda. Sifat ini selanjutnya akan menentukan perbedaan status, peran, dan tata hubungan antar jenis kelamin yang berbeda dan mengatur berbagai bidang kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konsep gender adalah pembedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat. Saptari dan Holzner (1997) mengkategorikan beberapa penelitian yang termasuk kajian gender. Penelitian yang mengikutsertakan perempuan sebagai informan dan hubungan gender dianalisis secara implisit, maka penelitian tersebut tergolong kategori penelitian sadar-gender (gender-aware research). Apabila dalam sebuah penelitian telah memasukkan pengalaman perempuan secara eksplisit dan hubungan gender sebagai isu pokok, maka penelitian tersebut tergolong kategori fokus gender (gender focused research). Adapun penelitian yang menggunakan pengalaman perempuan secara implisit maupun eksplisit dengan hubungan gender sebagai isu pokok, maka penelitian semacam itu tergolong kategori penelitian berorientasi gender (gender-oriented research). Dengan mengacu pada ketiga kategori penelitian yang dijelaskan oleh Saptari dan Holzner (1997) tersebut, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian berorientasi gender (gender-oriented research).

6 2.1.2 Marginalisasi Marginalisasi merupakan suatu konsep untuk memahami hubungan antara industrialisasi dengan pekerjaan. Secara luas, marginalisasi berarti pemutusan akses suatu kelompok manusia ke sumber-sumber vital (tanah dan air, modal, pekerjaan, pendidikan, hak-hak politik, dll) oleh kelompok lain yang lebih kuat posisinya. Marginalisasi tidak hanya persoalan kehilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, tetapi juga kehilangan status, penghargaan diri dan kepercayaan diri. Marginalisasi tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi juga suku bangsa dan golongan penduduk dalam periferi ekonomi pasar global (Grijns 1992). Scott (1986) dalam Grijns dkk (1992) menjelaskan bahwa marginalisasi bersifat relatif dan juga bersifat selektif. Bersifat relatif berarti perubahan kedudukan perempuan selalu dibandingkan dengan kedudukan laki-laki, sedangkan selektif berarti perempuan mengalami marginalisasi dengan cara dan tingkat yang berbeda. Empat dimensi utama dari marginalisasi perempuan menurut Scott (1986: 653) dalam Grijns dkk (1992) adalah : 1. Marginalisasi sebagai penyingkiran dari pekerjaan produktif, dimana perempuan mengambil bagian pada pekerjaan produktif dalam kapasitas yang berbeda dengan laki-laki. 2. Marginalisasi sebagai pemusatan perempuan kepada pinggiran-pinggiran pasar tenaga kerja, dimana perempuan ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan berstatus rendah yang berupah rendah serta pemusatan mereka pada skala kecil. 3. Marginalisasi sebagai feminisasi sektor-sektor produktif atau sebagai pemisahan kegiatan-kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin. 4. Marginalisasi sebagai pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan, dimana terdapat perbedaan upah dan bayaran, serta ketidaksamaan akses kepada keuntungan-keuntungan dan fasilitas-fasilitas. Wahyuni (1992) dalam Grijns dkk (1992) melakukan penelitian mengenai marginalisasi perempuan di Jawa Barat, dimana hasil penelitian menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Jawa Barat antara tahun 1961 dan 1985 telah mengalami peningkatan, yaitu 23 persen pada tahun 1961, 30 persen pada tahun 1971, dan 31 persen pada tahun 1985. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

7 bahwa marginalisasi perempuan tipe 1 yang berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif mengalami penurunan. Angkatan kerja yang telah memasuki sektor produktif mengalami pembedaan dalam hal status pekerjaan. Umur, status kawin, dan pendidikan merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi angkatan kerja menurut status pekerjaan. Dalam status tidak kawin, distribusi pekerja laki-laki dan perempuan relatif tinggi pada status pekerja keluarga dan rendah pada status pengusaha. Akan tetapi, pada status kawin, jumlah lakilaki sebagai pekerja keluarga sangat turun, sedangkan perempuan tetap tinggi karena laki-laki harus masuk dalam angkatan kerja dan menjadi pencari nafkah utama, sedangkan perempuan harus mengurus rumahtangga dan keluar dari angkatan kerja (Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992). Perempuan di Jawa Barat juga mengalami feminisasi dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Wahyuni (1992) dalam Grijns dkk (1992) menunjukkan bahwa sub sektor pekerjaan di sektor industri yang banyak dikerjakan oleh perempuan di pedesaan Jawa Barat adalah industri makanan, industri tekstil, dan industri kayu, rotan, bambu, dan gabus. Pada ketiga sub sektor tersebut persentase laki-laki lebih kecil dari perempuan. Sebaliknya, pada industri mineral, logam dasar, dan pembuatan barangbarang dari logam persentase laki-laki lebih banyak dari perempuan. Hal tersebut dikarenakan industri makanan, tekstil, kayu, rotan, bambu, dan gabus membutuhkan tenaga kerja yang memiliki ketelitian dan ketekunan yang tinggi, seperti yang dimiliki oleh perempuan. Sementara industri mineral, logam dasar, dan pembuatan barangbarang dari logam membutuhkan tenaga yang besar, sehingga dianggap sebagai pekerjaan yang pantas untuk laki-laki dan tidak pantas untuk perempuan. 2.1.3 Konsep Kerja, Produktif, dan Reproduktif Konsep kerja menurut Sajogyo (1983) merupakan konsep yang mengacu pada kegiatan yang membutuhkan energi, kegiatan yang memberikan sumbangan terhadap produksi barang dan jasa, kegiatan yang mencerminkan interaksi sosial, kegiatan yang memberikan status sosial pada si pekerja, dan kegiatan yang memberikan hasil langsung berupa uang, natura, maupun dalam bentuk curahan waktu. Ada dua jenis kegiatan yang berhubungan dengan konsep kerja, yaitu kegiatan reproduktif dan kegiatan produktif.

8 Kegiatan produktif merupakan kegiatan yang menghasilkan uang, sedangkan kegiatan reproduktif merupakan kegiatan yang tidak menghasilkan uang. Kegiatan produktif menurut Hubeis (2010) merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, contohnya berdagang, bertani, karyawan industri, dan sebagainya, sementara kegiatan reproduktif dijelaskan oleh Hubeis (2010) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan kerumahtanggaan, seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, serta mengasuh dan mendidik anak. Kegiatan ini sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga, akan tetapi pekerjaan ini jarang dipertimbangkan sebagai pekerjaan yang konkret. Pekerjaan reproduktif oleh Edholm (1977) dalam Beneria (1979) dibagi menjadi tiga aspek, yaitu reproduksi sosial, reproduksi biologis, dan reproduksi tenaga kerja. Reproduksi sosial menunjuk pada pereproduksian keadaan-keadaan yang mempertahankan suatu sistem sosial, sementara itu reproduksi biologis atau pengembangbiakan yang pada intinya adalah pelahiran dan perkembangan fisik umat manusia. Adapun reproduksi tenaga kerja yang tidak hanya melulu perawatan seharihari pekerja dan calon tenaga kerja, tapi juga alokasi pelaku-pelaku ke dalam berbagai posisi di dalam proses pekerjaan. Terdapat ketumpangtindihan dalam kerja produktif dan reproduktif. Seseorang yang melakukan pekerjaan rumah, seperti memasak, dapat sekaligus melakukannya untuk dikonsumsi oleh dirinya sendiri dan keluarganya maupun untuk dijual dan menghasilkan uang. Seseorang yang melakukan pekerjaan di rumah belum tentu melakukannya untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya sendiri, demikian pula orang yang bekerja di luar rumah belum tentu bekerja untuk menghasilkan uang. Sulit untuk memisahkan pekerjaan atas dasar tujuan karena seseorang dapat memasak untuk dijajakan sekaligus untuk dikonsumsi keluarganya (Saptari dan Holzner 1997). 2.1.4 Struktur Pelapisan Sosial Sorokin (1959) dalam Prasodjo dan Pandjaitan (2003) menjelaskan pelapisan atau stratifikasi sosial sebagai suatu pembedaan masyarakat dalam bentuk kelas-kelas yang bertingkat karena ketidakseimbangan/ketidaksamaan pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial dan pengaruhnya dalam masyarakat. Menurut Davis

9 dan Moore (1945) dalam Prasodjo dan Pandjaitan (2003), pada umumnya manusia menghendaki adanya suatu pembedaan peranan dan kedudukan dalam masyarakat sebagai konsekuensi adanya pembagian kerja, sehingga setiap individu berusaha menempatkan dirinya pada posisi atau kedudukan tertentu dalam struktur sosial, yang mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut. Lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal dan dasar dari pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Selanjutnya Soekanto menyebutkan dasar pelapisan tersebut adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, serta ilmu pengetahuan. Sajogyo (1983) menunjukkan bahwa perempuan dari rumahtangga kaya bukan saja mempunyai akses lebih mudah kepada pekerjaan yang lebih menguntungkan, tetapi juga tidak perlu bekerja berjam-jam seperti perempuan miskin. Perempuan kaya mungkin memiliki modal untuk diinvestasikan dalam kios yang baik di pasar, tetapi mereka seringkali tidak melakukannya karena dianggap lebih pantas bagi mereka untuk mempunyai sebuah warung yang terletak di rumah mereka sendiri daripada duduk di sebuah tempat terbuka seperti pasar (Nieuwhof 1988 dalam Grijns dkk 1992). 2.1.5 Industrialisasi Pedesaan Industrialisasi adalah suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi. Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi (Agustin dan Perdani 2011). Salah satu bentuk industrialisasi yaitu industrialisasi pedesaan. Menurut Tambunan (1990) industrialisasi pedesaan dalam konteks ekonomi Indonesia dilihat dalam pengertian yang luas, yakni sebagai usaha transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial. Industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi yang dapat diukur dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Selanjutnya, Tambunan (1990) menyebutkan fungsi industrialisasi pedesaan secara luas, yaitu:

10 1. Mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan 2. Meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah 3. Meningkaatkan kesempatan kerja baru 4. Mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sektor industri 5. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri 6. Mengurangi kemiskinan Suatu perbedaan yang dapat dilihat antara industrialisasi pedesaan dengan industrialisasi perkotaan adalah karakteristik industrialisasi pedesaan yang bersifat padat karya, berbeda dengan industrialisasi perkotaan yang padat modal. Selain itu, industrialisasi pedesaan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan pasar (Prasetyo 2007). Saptari dan Holzner (1997) menyebutkan tiga pendekatan yang mempengaruhi industrialisasi pedesaan, yaitu pendekatan sistem, model-model pengambilan keputusan, dan materialisme historis. Pendekatan yang pertama, yaitu pendekatan sistem, merupakan pendekatan yang memperhatikan faktor lingkungan, teknologi, dan demografi dalam sistem agraris. Boserup (1970) dalam Saptari dan Holzner (1997) menggunakan pendekatan ini untuk mengidentifikasi adanya sistem pertanian perempuan dan sistem pertanian laki-laki. Di Afrika, pertanian subsisten dengan teknologi yang sederhana menjadi bagian dari kerja perempuan, sehingga para petani perempuan menanggung beban kerja yang berat. Selain itu, di Asia terdapat sistem pertanian laki-laki, dimana pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan bajak, yang bersesuaian dengan pertanian permanen, dimana partisipasi perempuan relatif rendah. Pendekatan kedua yaitu model-model pengambilan keputusan. Perempuan di Jawa seringkali terlibat dalam keputusan-keputusan manajemen berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja upahan atau keputusan untuk berinvestasi, berlawanan dengan ideologi yang berlaku, perempuan tidak begitu mengendalikan keputusan mengenai persoalan domestik. Pendekatan yang terakhir yaitu materialisme historis yang berfokus pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan antara manusia dengan proses produksi. Pendekatan ini mempelajari perubahan-perubahan pada struktur agraris sebagai konsekuensi perubahan-perubahan dalam pengendalian atas sumber-sumber daya produksi yang terdiri dari tanah, modal, dan tenaga kerja.

11 Adanya sejumlah perubahan yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan, membawa perubahan pula pada pekerjaan-perkerjaan perempuan. Kelas sosial merupakan salah satu penentu penting dari adanya perubahan tersebut. Perempuan miskin yang bekerja sebagai buruh tani kehilangan pekerjaannya karena adanya mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau. Sebaliknya, bagi perempuan kelas menengah yang menanami tanahnya sendiri cukup diuntungkan, mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau telah membebaskan mereka dari pekerjaan pertanian. Perempuan dari rumahtangga kaya jarang melakukan pekerjaan-pekerjaan pertanian karena lebih memusatkan diri pada pekerjaan rumahtangga (Saptari dan Holzner 1997). 2.2 Kerangka Pemikiran Industrialisasi pedesaan yang terjadi di Indonesia membawa sejumlah perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut terutama dirasakan oleh perempuan. Munculnya industrialisasi pedesaan telah mempersempit peluang bagi perempuan dalam sektor pertanian karena adanya mekanisasi sistem pertanian (Saptari dan Holzner 1997). Akan tetapi, sempitnya peluang di sektor pertanian tersebut mendesak perempuan untuk memasuki sektor non pertanian yang membutuhkan tenaga kerja perempuan, misalnya dalam sektor industri makanan, industri tekstil, dan industri kayu, rotan, bambu, dan gabus, serta perdagangan makanan dan minuman. Peluang pada sektor non pertanian tersebut telah meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan antara tahun 1961 dan 1985 (Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992). Munculnya peluang kerja dan peluang usaha yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan turut mempengaruhi pola alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga. Perempuan tidak hanya mengerjakan pekerjaan reproduktif (mengurus anak dan mengurus rumahtangga), tetapi juga perempuan memiliki kesempatan yang besar untuk masuk ke dalam sektor produktif (menghasilkan uang). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyingkiran perempuan dalam sektor produktif tidak terjadi dalam industrialisasi pedesaan. Masuknya perempuan dalam sektor produktif tidak terlepas dari pembedaanpembedaan terhadap laki-laki. Perempuan yang bekerja dalam sektor produktif seringkali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga ditempatkan sebagai buruh dengan curahan waktu yang tinggi, namun imbalannya rendah (Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992). Dengan demikian, perempuan yang memasuki sektor produktif dapat dikatakan mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja.

12 Selain itu, perempuan yang bekerja produktif seringkali bekerja pada pekerjaanpekerjaan yang dianggap pantas dilakukan oleh perempuan, sesuai dengan stereotype yang ada dalam masyarakat. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian yang tinggi tetapi tidak membutuhkan tenaga yang besar, pengetahuan yang tinggi, dan pendidikan yang tinggi. Perempuan yang dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya karena adanya stereotiype tersebut menyebabkan perempuan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Dalam industrialisasi pedesaan, dimana teknologi pertanian telah mengalami mekanisasi, penumbukan padi dengan tangan yang biasanya dilakukan oleh perempuan, digantikan oleh penggilingan dengan menggunakan mesin, sehingga jutaan perempuan Jawa kehilangan pekerjaannya (Saptari dan Holzner 1997). Sebelum terjadinya industrialisasi pedesaan, perempuan memiliki akses yang terbatas untuk memasuki sektor produktif, yang dapat terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang rendah pada tahun 1961 (Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992). Rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor produktif tersebut telah membuat ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Rumahtangga laki-laki merupakan rumahtangga yang dominan laki-laki yang bekerja, sedangkan rumahtangga perempuan adalah rumahtangga yang dominan perempuan yang bekerja. Akan tetapi, setelah munculnya industrialisasi pedesaan, dimana perempuan memiliki peluang yang lebih besar untuk masuk ke sektor produktif, perempuan tetap mengalami pembedaan berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja dan feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Pembedaan tersebut pada akhirnya tidak menghilangkan ketimpangan ekonomi yang dialami oleh rumahtangga laki-laki dan perempuan, justru menimbulkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Dalam mayarakat Indonesia sering dijumpai adanya struktur pelapisan sosial dalam masyarakat. Pelapisan tersebut didasari dalam konteks ekonomi. Pelapisan sosial membedakan seseorang berdasarkan status kekayaan yang dimiliki yang dapat dilihat dari kepemilikian benda-benda berharga. Pelapisan tersebut dibagi menjadi lapisan atas yang memiliki status kekayaan tinggi karena kepemilikan benda berharganya tinggi, lapisan menengah yang memiliki status kekayaan yang biasa saja karena kepemilikan benda berharganya yang lebih rendah dari lapisan atas tetapi lebih tinggi dari lapisan

13 bawah, sementara lapisan bawah memiliki status kekayaan yang rendah karena rendahnya kepemilikan benda berharga yang dimiliki. Adanya struktur pelapisan dalam masyarakat tersebut memunculkan suatu pola alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga. Fakih (1996) menjelaskan hal tersebut menurut perspektif Feminisme Marxis, dimana menurut perspektif ini penindasan perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural, sehingga diperlukan penyelesaian yang bersifat struktural yaitu dengan melakukan perubahan struktur kelas. Perspektif ini meyakini bahwa emansipasi perempuan hanya terjadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti melakukan kegiatan reproduksi, dimana proses ini hanya dapat terjadi melalui industrialisasi. Berdasarkan perspektif tersebut diketahui adanya pembagian kerja menurut lapisan. Perempuan lapisan atas tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah karena segala kebutuhannya mampu dicukupi oleh kepala keluarganya, sehingga perempuan pada umumnya bekerja pada kegiatan reproduktif. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa perempuan lapisan atas mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif. Dengan adanya penyingkiran dari pekerjaan produktif tersebut menjadikan perempuan lapisan atas tergantung pada laki-laki (kepala keluarga) dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga pengambilan keputusan dalam rumahtangga dilakukan oleh laki-laki. Penyingkiran dari pekerjaan produktif yang dialami oleh perempuan tersebut pada akhirnya menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara perempuan dan lakilaki, dimana perempuan tidak memiliki pengahasilan secara ekonomi sementara lakilaki yang boleh bekerja pada sektor produktif memiliki penghasilan secara ekonomi dari pekerjaannya tersebut. Pada lapisan menengah, yang memiliki aset benda berharga yang rendah, tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja karena pada umumnya setiap orang maupun rumahtangga memiliki kebutuhan tambahan (sekunder dan tersier) yang juga ingin dipenuhi. Oleh karena itu, perempuan memasuki sektor produktif untuk dapat memenuhi kebutuhan tambahan rumahtangganya tersebut. Akan tetapi, perempuan tetap mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja karena rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan lapisan menengah ini. Hal ini dapat terlihat dari

14 penempatan perempuan dalam pekerjaan yang berstatus rendah dengan upah yang rendah pula jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, perempuan lapisan menengah juga mengalami pembedaan berdasarkan jenis pekerjaan. Stereotype yang ada dalam masyarakat menempatkan perempuan pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian tinggi dengan tenaga yang sedikit, berbeda dengan laki-laki yang ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, serta tenaga yang banyak. Adanya pembedaan ini menyebabkan perempuan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Adanya pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja dan feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin yang dialami oleh perempuan lapisan menengah menimbulkan ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan perempuan. Ketimpangan tersebut disebabkan oleh pembedaan yang dialami oleh perempuan dan laki-laki dalam sektor produktif. Perempuan memiliki akses yang rendah pada jenis pekerjaan tertentu yang memiliki status yang tinggi dengan imbalan yang tinggi, sehingga menyebabkan pendapatan rumahtangga perempuan memperoleh pendapatan yang lebih rendah dari rumahtangga laki-laki Perempuan lapisan bawah, yang tidak memiliki aset berupa benda berharga, mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya karena penghasilan laki-laki sebagai kepala keluarga tidak mencukupi kebutuhan rumahtangganya, sehingga perempuan sebagai sumberdaya tenaga kerja rumahtangga terdorong untuk memasuki sektor produktif dan memiliki kontribusi ekonomi bagi rumahtangganya. Akan tetapi, seperti yang juga dialami perempuan lapisan menengah, perempuan lapisan bawah pun mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja karena terbatasnya keterampilan dan pendidikan mereka. Selain itu, perempuan lapisan bawah ini mengalami marginalisasi berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin dengan penempatan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang tinggi, tetapi dengan tenaga sedikit. Dengan marginalisasi yang dialami perempuan tersebut pada akhirnya menimbulkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan karena upah yang diterima perempuan lebih rendah dari laki-laki. Penjelasan tersebut digambarkan dalam Gambar 1 berikut:

15 Struktur Lapisan Sosial - Lapisan bawah - Lapisan menengah - Lapisan atas Pengambilan keputusan rumahtangga Pola Alokasi Tenaga Kerja dalam Rumahtangga Perempuan untuk kegiatan reproduktif Laki-laki untuk kegiatan reproduktif Industrialisasi Pedesaan - Perubahan teknologi - Sumber tenaga kerja - Sumber modal Peluang Usaha dan Peluang Kerja Perempuan untuk kegiatan produktif Lak-laki untuk kegiatan produktif Marginalisasi (Scott 1986 dalam Grijns dkk 1992) Penyingkiran dari pekerjaan produktif (Tipe 1) Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja (Tipe 2) Feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin (Tipe 3) Pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumah tangga dominan laki-laki yang bekerjadan rumah tangga dominan perempuan yang bekerja (Tipe 4) Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : : Memiliki hubungan : Variabel yang dideskripsikan dan diuji hubungannya : Variabel yang memiliki kaitan tetapi tidak diuji hubungannya 2.3 Hipotesis Penelitian

16 Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat disusun hipotesa yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu: 1. Terjadi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan a. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 1 b. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 2 c. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 3 d. Terjadi marginalisasi perempuan tipe 4 2. Terjadi marginalisasi perempuan pada semua lapisan sosial a. Perempuan pada lapisan bawah mengalami marginalisasi perempuan tipe 2, 3, dan 4 b. Perempuan pada lapisan menengah dan atas mengalami marginalisasi perempuan tipe 1, 2, 3, dan 4 1. Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan a. Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 1 dalam industrialisasi pedesaan b. Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2 dan 3 2.4 Definisi Operasional Pengukuran variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah: 1. Struktur Pelapisan Sosial Ekonomi Pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat merupakan adanya pembagian kategori yang mengacu pada status seseorang dalam masyarakat berdasarkan tingkat kepemilikan benda-benda berharga rumahtangganya dan tingkat pendidikan yang ia miliki, sehingga menempati suatu posisi tertentu dalam masyarakat. Dalam penelitian ini akan digunakan struktur pelapisan rumahtangga yang terdiri dari lapisan atas, menengah, dan bawah. Penentuan lapisan atas, menengah dan bawah dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga yang dimiliki oleh suatu rumahtangga. Lapisan Bawah : responden yang memperoleh skor 25-35

17 Lapisan Menengah : responden yang memperoleh skor 36-45 Lapisan Atas : responden yang memperoleh skor 46-55 2. Pola Alokasi Tenaga Kerja Rumahtangga Adanya pelapisan sosial ekonomi menyebabkan munculnya pembagian kerja. Dalam penelitian yang akan dilakukan, pembagian kerja terdiri dari kegiatan produktif dan reproduktif. a. Kegiatan Produktif merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Contohnya berdagang, bekerja di pabrik, bertani untuk dijual, dan sebagainya b. Kegiatan Reproduktif merupakan kegiatan yang tidak menghasilkan uang. Contohnya mencuci pakaian anggota keluarga, menyapu lantai rumah sendiri, mengurus anak, memasak, dan sebagainya. 3. Marginalisasi a. Marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran perempuan dari sektor produktif merupakan suatu bentuk pembedaan yang dialami oleh perempuan, dimana perempuan tidak memiliki akses untuk memasuki sektor produktif dan turut menyumbang bagi kontribusi ekonomi rumahtangganya. Terjadi marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif jika kurang dari atau sama dengan 50 persen responden perempuan dari total keseluruhan responden perempuan memiliki status bekerja yang dikategorikan sebagai bekerja produktif. Sementara itu, tidak terjadi marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif jika lebih dari 50 persen responden perempuan dari total keseluruhan responden perempuan memiliki status bekerja yang dikategorikan bekerja produktif. b. Marginalisasi tipe 2 berupa pemusatan perempuan pada pinggiran pasar tenaga kerja merupakan pemusatan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang tergolong ke dalam pekerjaan pinggiran. Terjadi marginalisasi tipe 2 jika lebih dari 50 persen responden perempuan dari total keseluruhan responden perempuan memiliki pekerjaan pinggiran. Sementara itu, tidak terjadi pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja jika lebih dari 50 persen responden memiliki pekerjaan bukan pinggiran. Pekerjaan pinggiran merupakan pekerjaan yang memiliki status rendah dengan tunjangan yang

18 rendah dan curahan waktu yang tinggi, namun upah yang diperoleh rendah, sedangkan bukan pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki status yang tinggi dengan tunjangan yang tinggi dan curahan waktu yang rendah, namun upah yang diperoleh tinggi. 1) Status pekerjaan : Pekerjaan pinggiran merupakan pekerjaan yang memiliki status pekerjaan yang rendah, yaitu sebagai buruh atau tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar. Status pekerjaan sebagai buruh atau tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar ini diberi skor 1. Di samping itu, bukan pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki status pekerjaan yang tinggi, yaitu sebagai pengusaha (pemilik usaha). Status pekerjaan sebagai pengusaha diberi skor 2. 2) Curahan waktu : Pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki curahan waktu kerja yang tinggi, sedangkan bukan pekerjaan pinggiran adalah pekerjaan yang memiliki curahan waktu yang rendah. Menurut ketetapan BPS (Badan Pusat Statistik), jam kerja normal seseorang yang bekerja adalah 35 jam/minggu. Jika responden menghabiskan waktu > 35 jam/minggu, maka responden tersebut dikatakan memiliki pekerjaan pinggiran dan diberi skor 1. Jika responden menghabiskan waktu 35 jam/minggu, maka responden tersebut dikatakan tidak memiliki pekerjaan pinggiran dan diberi skor 2. 3) Pendapatan : Responden yang memiliki imbalan jumlah imbalan rata-rata/bulan dari seluruh responden, dikatakan tidak berada pada pinggiran pasar tenaga kerja dan diberikan skor 2, sedangkan responden yang memiliki imbalan < jumlah

19 imbalan rata-rata/bulan dari seluruh responden dikatakan berada pada pinggiran pasar tenaga kerja dan diberikan skor 1. 4) Tunjangan : Responden yang memperoleh tunjangan diberikan skor 2 pada setiap jenis tunjangan yang diperoleh, maka apabila ia memperoleh semua tunjangan, ia akan mendapatkan skor maksimal, yaitu 36. Seseorang yang tidak memperoleh tunjangan diberikan skor 1 pada setiap jenis tunjangan, maka apabila ia tidak memperoleh tunjangan sama sekali, skor minimum yang ia peroleh adalah 18. Jika responden memperoleh skor 18-27, maka responden tersebut masuk ke dalam kategori tunjangan yang rendah dan dikatakan berada pada pinggiran pasar tenaga kerja, serta diberi kode 1. Sementara itu, jika responden memperoleh skor 28-36, maka responden tersebut masuk ke dalam kategori tunjangan yang tinggi dan dikatakan tidak berada pada pinggiran pasar tenaga kerja, serta diberi kode 2. Jika responden memperoleh total skor 4-5 dari keempat dimensi marginalisasi tersebut, maka responden tersebut dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2, yaitu pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Akan tetapi, jika responden memperoleh total skor 6-8 dari keempat dimensi marginalisasi, maka responden tersebut dikatakan tidak mengalami marginalisasi tipe 2. c. Marginalisasi tipe 3 berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin, berarti adanya dominasi sektor pekerjaan yang dimasuki oleh tenaga kerja, dimana terdapat perbedaan yang menonjol pada sektor pekerjaan yang dimasuki oleh laki-laki dan perempuan. Perbedaan

20 tersebut dilihat dari dominasi laki-laki dan perempuan pada sektor pekerjaan tertentu dengan selisih lebih dari atau sama dengan 20 persen. d. Marginalisasi tipe 4 yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga dominan laki-laki yang bekerja dan rumahtangga dominan perempuan yang bekerja terjadi karena adanya marginalisasi tipe 1, 2, dan 3. Pelebaran ketimpangan ekonomi antara kedua jenis rumahtangga tersebut dapat dilihat dari pendapatan rumahtangganya. Terjadi pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga dominan laki-laki yang bekerja dan rumahtangga dominan perempuan yang bekerja, jika ratio pendapatan rumahtangga laki-laki dan perempuan yang tinggi lebih dari 1.25 atau kurang dari 0.75. Ratio diperoleh dari perhitungan rumah tangga dominan laki-laki yang bekerja dibagi rumahtangga dominan perempuan yang bekerja. Rumahtangga yang memiliki pendapatan di bawah pendapatan rata-rata seluruh rumahtangga responden digolongkan ke dalam rumahtangga dengan pendapatan yang rendah, sementara rumahtangga yang memiliki pendapatan di atas pendapatan rata-rata seluruh rumahtangga responden digolongkan ke dalam rumahtangga dengan pendapatan yang tinggi. Rumahtangga yang memiliki jumlah laki-laki yang bekerja produktif lebih banyak dari jumlah perempuan yang bekerja produktif disebut dengan rumahtangga dominan laki-laki yang bekerja dan diberi skor 1, sedangkan rumahtangga yang memiliki jumlah perempuan yang bekerja produktif lebih banyak dari jumlah laki-laki yang bekerja produktif disebut rumahtangga dominan perempuan yang bekerja dan diberi skor 2.

21 BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualititatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei dilakukan melalui pengumpulan informasi dari sampel (Koentjaraningrat 1994). Penelitian ini juga didukung oleh pendekatan kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari subyek penelitian secara alamiah, berdasarkan pengalaman sosial mereka masingmasing yang merupakan data deskriptif berupa kata-kata dari subyek penelitian. Pendekatan kualitatif juga dilakukan dengan metode studi kasus (Kusmayadi & Endar 2000). Studi kasus dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memahami peristiwa industrialisasi pedesaan dan marginalisasi. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di RW 03 Desa Cikarawang dan di RW 07 Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi di Desa Cikarawang dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa pertanian yang belum atau masih sedikit tersentuh industrialisasi, terdapat perempuan yang bekerja, serta terdapat pelapisan sosial. Sedangkan pemilihan lokasi Desa Tarikolot dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa industri, dimana sudah sangat sulit untuk menemui areal persawahan dan kegiatan pertanian, terdapat perempuan yang bekerja dan terdapat pelapisan sosial. Di samping alasan di atas, pilihan kedua lokasi penelitian juga didasarkan oleh pertimbangan kemudahan akses transportasi. Jadwal pelaksanaan penelitian diperlihatkan dalam Tabel 1 berikut:

22 Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011-2012 Kegiatan Juni Juli September Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi 3.3 Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumahtangga di kedua desa penelitian dan seluruh anggota rumahtangga usia produktif, baik laki-laki maupun perempuan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Individu, yaitu laki-laki maupun perempuan anggota rumah tangga usia produktif, untuk membuktikan dugaan terjadinya marginalisasi tipe 1, 2, dan 3 pada perempuan dan perempuan dari lapisan bawah, menengah, dan atas. Rumahtangga, yaitu rumahtangga yang anggotanya dominan laki-laki yang bekerja (rumahtangga laki-laki) dan rumahtangga yang dominan perempuan (rumah tangga perempuan) yang bekerja, untuk

23 membuktikan dugaan terjadinya marginalisasi tipe 4, yaitu pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga perempuan dan rumahtangga laki-laki. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari profil desa, diketahui bahwa di RW 07 Desa Tarikolot terdapat 326 rumahtangga, sedangkan Di RW 03 Desa Cikarawang terdapat 347 rumahtangga. Dari jumlah rumahtangga tersebut diketahui bahwa penduduk usia produktif di RW 03 Desa Cikarawang adalah 1038 orang, sedangkan di RW 07 Desa Tarikolot sebanyak 1394 orang. Oleh karena itu, perlu diketahui jumlah penduduk laki-laki dan perempuan usia produktif di kedua desa penelitian (lihat Tabel 2). Tabel 2. Jumlah Penduduk Usia Produktif di RW 03 Desa Cikarawang dan RW 07 Desa Tarikolot menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan RW 03 Desa Cikarawang 535 503 Jumlah Penduduk (orang) RW 07 Desa Tarikolot 675 719 Jumlah 1038 1394 Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, 2010 Setelah diketahui jumlah laki-laki dan perempuan usia produktif pada kedua lokasi penelitian, ditentukan jumlah responden untuk masing-masing jenis kelamin dengan perhitungan bobot sebagai berikut: RW 03 Desa Cikarawang: Laki-laki = x 30 = 15,46 = 15 orang Perempuan = x 30 = 14,54 = 15 orang RW 07 Desa Tarikolot: Laki-laki = x 30 = 14,52 = 15 orang Perempuan = x 30 = 15,48 = 15 orang

24 Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah responden dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 60 orang, yakni 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Untuk menentukan responden, digunakan metode acak distratifikasi (stratified random sampling). Responden dipilih berdasarkan lapisan sosial dengan kriteria jumlah kepemilikan benda berharga yang dimiliki responden. Untuk dapat menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak. Dalam sampel berlapis, peluang untuk terpilihnya satu atau lebih lapisan mungkin sama, mungkin pula berbeda (Singarimbun 2006). Untuk menerapkan metode stratified random sampling ini, terlebih dahulu unit analisis disusun dalam daftar kerangka sampling berdasarkan lapisan sosialnya masingmasing. Oleh karena itu, terdapat 6 kerangka sampling yang dibuat untuk menarik sampel. Masing-masing kerangka sampling tersebut berisi daftar unsur sampling yang berbeda, yaitu: 1. Rumahtangga lapisan atas di RW 03 Desa Cikarawang 2. Rumahtangga lapisan menengah di RW 03 Desa Cikarawang 3. Rumahtangga lapisan bawah di RW 03 Desa Cikarawang 4. Rumahtangga lapisan atas di RW 07 Desa Tarikolot 5. Rumahtangga lapisan menengah di RW 07 Desa Tarikolot 6. Rumahtangga lapisan atas di RW 07 Desa Tarikolot Kerangka sampling pelapisan sosial diperoleh melalui hasil wawancara mendalam dengan informan (Ketua RT, Ketua RW, perangkat desa). Kemudian data tersebut diperiksa kembali melalui skor yang diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden. Dari data yang diperoleh melalui wawancara mendalam, maka diketahui jumlah kepala keuarga yang ada di RW 07 Desa Tarikolot adalah sebanyak 326 KK, dimana 33 diantaranya adalah lapisan atas, 43 lapisan menengah, dan 250 lapisan bawah. Sementara di Desa Cikarawang terdapat 347 KK, dimana 93 diantaranya adalah lapisan atas, 126 lapisan menengah, dan 128 lapisan bawah. Menentukan jumlah responden yang berasal dari tiap lapisan digunakan perhitungan sebagai berikut:

25 Desa Cikarawang : Lapisan atas : Lapisan menengah : Lapisan bawah : Desa Tarikolot : Lapisan atas : Lapisan menengah : Lapisan bawah : 3.4 Teknik Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dalam bentuk laporan atau literatur mengenai profil Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, sedangkan data primer berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan yang akan diajukan kepada responden. Kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden berkaitan dengan tujuan penelitian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pertanyaan mengenai karakteristik responden, data rumahtangga responden, marginalisasi, tunjangan, lapisan sosial, serta pola alokasi tenaga kerja. Data kualitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui wawancara mendalam agar dapat mengetahui pengalaman, persepsi, pemikiran, perasaan, dan pengetahuan dari subyek penelitian. 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh diolah dalam bentuk kode dan disajikan dalam Microsoft Excel 2007. Kode-kode tersebut dikumpulkan dan diinterpretasikan dalam

26 buku kode. Kode tersebut kemudian diolah ke dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab) dengan software SPSS versi 17. Berdasarkan olahan data tersebut dilakukan analisa deskriptif berupa interpretasi data yang memberikan sejumlah informasi. Selain itu, data juga diolah dengan analisa kualitatif yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena yang ada di lapang.

27 BAB IV GAMBARAN UMUM DESA 4.1 Desa Cikarawang 4.1.1 Kondisi Demografis Desa Cikarawang merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan terdiri dari 7 RW. Sebelah utara Desa Cikarawang dibatasi oleh Sungai Cisadane, sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Ciapus, sebelah barat dibatasi oleh Sungai Ciaduan, dan sebelah timur dibatasi oleh Kelurahan Situgede. Desa Cikarawang memiliki jumlah penduduk 8.227 orang, yang terdiri dari 4.199 orang laki-laki dan 4.028 orang perempuan, serta 2.114 Kepala Keluarga. Desa Tarikolot merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan memiliki luas wilayah 250,05 ha. Sebelah utara Desa Tarikolot berbatasan dengan Desa Citeureup, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukahati, sebelah timur dengan Desa Gunungsari, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Karang Asem Timur. Pada tahun 1981 Desa Tarikolot mengalami pemekaran karena meningkatnya pertambahan penduduk. Desa tarikolot terbagi menjadi Desa Tarikolot dan Desa Gunungsari. Desa Tarikolot memiliki 5.292 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 20.017 jiwa, yang terdiri dari 50.2 persen laki-laki dan 49.8 persen perempuan. Banyaknya jumlah penduduk Desa Tarikolot membuat desa ini menjadi desa terpadat di Kecamatan Citeureup dengan kepadatan penduduk 2.210 jiwa per kilometer persegi. Adapun jumlah penduduk berdasarkan umur pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat di dalam Tabel 3 di bawah ini Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Golongan Umur dan Tipe Desa, 2011 Golongan Umur Desa Cikarawang Desa Tarikolot Jumlah Persentase Jumlah Persentase 0-14 tahun 1852 22.5 4098 20.5 15-59 tahun 6087 74.0 14533 72.6 > 59 tahun 288 3.5 1386 6.9 Total 8227 100.0 20017 100.0 Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawag dan Kantor Desa Tarikolot tidak diterbitkan, 2010

28 Dari data pada tabel tersebut menunjukkan penduduk desa Cikarawang memiliki sumberdaya manusia yang sebagian besar termasuk ke dalam angkatan kerja, karena jumlah penduduk pada usia kerja (15-59 tahun) lebih banyak, yaitu 74.0 persen, daripada penduduk bukan usia kerja (0-14 tahun dan > 59 tahun), yaitu 26.0 persen. Sedangkan pada Desa Tarikolot terdapat penduduk yang berusia 0-14 tahun sebanyak 21.9 persen laki-laki dan 19.0 persen perempuan. Adapun penduduk usia kerja (15-59 tahun) terdiri dari 70.5 persen laki-laki dan 74.7 persen perempuan, dan penduduk yang berusia > 59 tahun terdiri dari 7.6 persen laki-laki dan 6.3 persen perempuan. Dengan jumlah tersebut, terlihat bahwa penduduk Desa Tarikolot memiliki penduduk usia kerja (15-59 tahun) yang juga lebih banyak dibandingkan penduduk bukan usia kerja (0-14 tahun dan > 59 tahun). 4.1.2 Kondisi Sosial Adanya potensi pertanian di Desa Cikarawang, menumbuhkan keinginan masyarakat untuk membentuk kelompok tani sehingga mereka memiliki wadah untuk berkumpul, bekerjasama dan membentuk suatu kesatuan ysng memiliki kesamaan identitas, atribut, sistem norma dan peraturan-peraturan berkelompok, guna mengatur pola-pola interaksi antar anggota kelompok dan mencapai tujuan bersama. Kelompok tani yang sudah terdaftar di kantor Kecamatan Dramaga berjumlah 5 kelompok, yaitu Kelompok Tani Hurip, Kelompok Wanita Tani Melati, Kelompok Tani Mekar, Kelompok Tani Setia dan Kelompok Tani Subur Jaya. Di desa ini juga terdapat lembaga-lembaga masyarakat yaitu kelompok PKK, pramuka gudep, kelompok tani, karang taruna, kelompok remaja masjid, majelis ta lim, kader pembangunan desa (KPD), dan sebagainya. Sebagian besar penduduk Desa Tarikolot beretnis Sunda, yakni sebanyak 95.4 persen, sedangkan sisanya beretnis Jawa 1.9 persen, Betawi 1.7 persen, Batak 0.7 persen, dan Minang 0.3 persen. Mayoritas penduduk Desa Tarikolot beragama Islam, yaitu sebanyak 99.0 persen, sementara sisanya Kristen 0.7 persen, Katholik 0.27 persen, dan Budha 0.03 persen. Di sekitar RW 07 terdapat dua buah pabrik dengan skala besar yang menyerap banyak tenaga kerja dari Desa Tarikolot. Peluang kerja dan peluang usaha yang terdapat pada Desa Tarikolot menyerap tenaga kerja bukan hanya dari Desa Tarikolot, tetapi masyarakat dari luar desa ini pun berdatangan untuk memperoleh pekerjaan. Mereka tinggal menetap di desa ini dengan mengontrak sebuah rumah milik warga Desa

29 Tarikolot, sehingga meningkatkan pendapatan bagi masyarakat Tarikolot. Banyaknya warga pendatang yang menetap, menyebabkan beragamnya suku dan budaya yang ada di desa ini. Akan tetapi, meskipun beragam suku dan budaya, masyarakat Tarikolot, terutama RW 07 tetap terjaga kerukunan dan keharmonisannya. Desa Tarikolot memiliki infrastruktur jalan yang cukup memadai karena adanya bantuan dari (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) PNPM dan PT. Indocement Tunggal Perkasa. Bantuan tersebut diberikan tidak hanya untuk pembangunan jalan utama desa, tetapi juga semua jalan-jalan kecil yang ada di desa tersebut. Memadainya kondisi jalan di desa ini memudahkan warga untuk melakukan mobilisasi untuk mencapai tempat kerja, sekolah, dan pasar. Kemudahan akses jalan ini dimanfaatkan oleh para pemilik usaha untuk menjual dagangannya di sepanjang jalanjalan yang banyak dilalui warga. Mulai dari penjual makanan, seperti warung tegal, pedagang sate, nasi goreng, hingga pedagang gorengan, penjual pulsa, mainan anak, dan toko kelontong terdapat di sepanjang jalan desa. Tingginya mobilitas warga di desa ini membuat pengusaha besar dari luar desa tertarik untuk membuka usaha di desa ini. Hal ini terlihat dari adanya tiga buah minimarket dilingkungan Desa Tarikolot. Selain itu, letak desa yang tidak jauh dari Pasar Citeureup membuat keadaan desa semakin ramai. Dengan tersedianya beragam kebutuhan warga, membuat desa ini selalu ramai oleh lalu lintas desa, bahkan pada jam pulang kerja jalan di menuju Desa Tarikolot seringkali mengalami kemacetan. 4.1.3 Kondisi Ekonomi Kegiatan ekonomi penduduk desa Cikarawang sebagian besar dilakukan dalam bentuk pertanian, yaitu sejumlah 41,6 persen, sedangkan sisanya, yaitu 2.3 persen bekerja di bidang perdagangan, 0.4 persen bekerja di bidang jasa, 26.6 persen bekerja di bidang industri, 13.3 persen bekerja sebagai PNS, 15.8 persen merupakan pensiunan, dan sisanya pengangguran. Sedangkan banyaknya jenis usaha di bidang industri menyebabkan jenis pekerjaan penduduk Desa Tarikolot sebagian besar sebagai buruh atau karyawan dari industri-industri yang ada (96.2 persen). Tabel 4 di bawah ini menyajikan jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya.

30 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Jenis Pekerjaan dan Tipe Desa, 2011 Jenis Pekerjaan Desa Cikarawang Desa Tarikolot Jumlah Persentase Jumlah Persentase Pertanian 565 49.4 15 0.2 Industri 362 31.6 5801 92.4 Perdagangan 31 2.8 133 2.2 Jasa 6 0.5 302 4.8 PNS 180 15.7 26 0.4 Total 1144 100.0 6277 100.0 Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawang dan Kantor Desa Tarikolot tidak diterbitkan, 2010 Desa Cikarawang memiliki luas wilayah 216,56 ha, dimana lebih dari 50 persennya merupakan areal persawahan, yaitu 128,109 ha, sehingga Desa Cikarawang dikenal sebagai desa pertanian. Dari luasnya lahan yang digunakan untuk bercocok tanam, memungkinkan masyarakat Cikarawang bermata pencaharian di sektor pertanian. Selain bercocok tanam, kegiatan pertanian juga dilakukan dalam subsektor peternakan dan perikanan. Kegiatan di subsektor peternakan terlihat dari beberapa sektor ternak yang dimiliki oleh setiap warga di rumahnya masing-masing. Komoditas peternakan yang telah dikembangkan secara komersial di wilayah desa ialah penggemukan 55 kambing dan usaha peternakan ayam berkapasitas 5.000 ayam potong yang dimiliki oleh warga masyarakat. Kegiatan di subsektor perikanan belum cukup berkembang. Keberadaan danau atau situ seperti Situ Burung yang ada di desa ini juga belum dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya perikanan air tawar. Luasnya peluang usaha dan peluang kerja di sektor pertanian dan industri ini menjadikannya sebagai tulang punggung pendapatan desa, dengan menyumbang pendapatan Rp180.000.000/tahun, serta industri rumah tangga yang menyumbang pendapatan sebesar Rp75.000.000/tahun. Di sektor industri terdapat beberapa home industry komersial yaitu pembuatan miniatur aeromodelling, pembuatan pupuk organik bokasi, dan industri makanan seperti dodol, rengginang, keripik tempe, talas, dan pisang. Usaha-usaha tersebut memberi manfaat bagi masyarakat desa dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan desa.

31 Selain itu, terdapat juga usaha pada sektor jasa yang telah dilakukan warga di Desa Cikarawang. Kegiatan tersebut dilakukan dalam bentuk jahit-menjahit, mobil angkutan, warnet, ojek, penggilingan gabah dan pengolahan tanah pertanian, yaitu melalui penyewaan kerbau atau traktor tangan. Pada sektor perdagangan, di daerah ini beberapa warga telah menjadi pengumpul hasil pertanian yaitu ubi jalar dan ubi kayu untuk di jual di Pasar Induk Kramatjati, dan industri pengolahan pangan. Sebagian warga ada yang menjadi pedagang sayur-mayur, kacang-kacangan, bakso, mie ayam, maupun produk-produk lain serta ada yang membuka warung di rumah. 1.1.4 Karakteristik Responden Responden pada Desa Cikarawang merupakan lima belas laki-laki dan lima belas perempuan usia produktif (15-59 tahun) yang tinggal di RW 03. Tiga puluh persen responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMA, sehingga pendidikannya dikatakan tinggi. Akan tetapi, jika dibedakan menurut jenis kelamin, dapat dilihat adanya perbedaan antara tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki. Responden laki-laki memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada responden perempuan. Terdapat 40.0 persen responden perempuan yang memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD, sedangkan responden laki-laki tidak ada. Sementara itu, terdapat 53.3 persen responden laki-laki yang tamat SMA, tetapi hanya 6.7 persen reponden perempuan. Responden pada Desa Tarikolot merupakan lima belas orang laki-laki dan lima belas orang perempuan usia produktif (15-59 tahun) yang tinggal di RW 07. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMP. Akan tetapi, jika dibedakan menurut jenis kelamin, dapat dilihat adanya perbedaan tingkat pendidikan yang dialami responden laki-laki dan perempuan (Tabel 5).

32 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan Tipe Desa, 2011 Tingkat Pendidikan Desa Cikarawang Desa Tarikolot L P L P Tidak tamat SD Jumlah 0 6 1 0 Persentase 0.0 40.0 6.7 20.0 Tamat SD Jumlah 2 4 3 3 Persentase 13.3 26.7 20.0 20.0 Tidak tamat SMP Jumlah 0 1 0 0 Persentase 0.0 6.7 0.0 0.0 Tamat SMP Jumlah 3 1 4 7 Persentase 20.0 6.7 26.7 46.7 Tidak tamat SMA Jumlah 1 0 0 0 Persentase 6.7 0.0 0.0 0.0 Tamat SMA Jumlah 8 1 5 4 Persentase 53.3 6.7 33.3 26.7 Tidak tamat Jumlah 0 0 0 0 Diploma/S1 Persentase 0.0 0.0 0.0 0.0 Tamat Diploma/S1 Jumlah 1 2 2 1 Persentase 6.7 13.3 13.3 6.7 Sumber : Catatan Kantor Desa Cikarawag dan Kantor Desa Tarikolot tidak diterbitkan, 2010 Sebagian besar responden Desa Cikarawang bekerja sebagai buruh, yaitu buruh tani, buruh bengkel, buruh pengupas ubi, dan pembantu rumah tangga. Di samping itu terdapat juga responden yang bekerja sebagai pengusaha atau pemilik usaha, seperti pemilik warung kelontong, maupun pengusaha kue dari hasil-hasil pertanian yang ada. Banyaknya jenis industri yang terdapat di Desa Tarikolot memungkinkan responden untuk memasuki sektor industri. Jenis industri yang terdapat di Desa Tarikolot adalah industri garmen, sehingga banyak responden perempuan yang telah memasuki sektor industri. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan pada industri garmen membutuhkan ketelitian dan ketekunan, sesuai dengan stereotype yang ada pada perempuan. Selain itu, tumbuhnya industri-industri besar di desa ini membuka peluang usaha bagi responden yang tidak memiliki kesempatan memasuki sektor industri. Peluang tesebut dimanfaatkan dengan membuka berbagai jenis usaha yang memenuhi

33 kebutuhan masyarakat desa, mulai dari warung sembako, rumah makan, penjual pulsa, pemilik dealer motor, dan tukang ojek. Pada penelitian di desa pertanian, juga diketahui adanya pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan bawah, menengah, dan atas. Terdapat enam orang responden lakilaki yang berasal dari lapisan bawah, empat orang laki-laki dari lapisan menengah, dan lima orang dari lapisan atas. Di samping itu juga terdapat lima orang responden perempuan yang berasal dari lapisan bawah, tujuh orang dari lapisan menengah, dan tiga orang dari lapisan atas (Tabel 6). Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin dan Lapisan Sosial di Desa Cikarawang, 2011 Jenis Kelamin Lapisan Sosial Bawah Menengah Atas Total Laki-laki Jumlah 6 4 5 15 Persentase 40.0 26.7 33.3 100.0 Perempuan Jumlah 5 7 3 15 Persentase 33.3 46.7 20.0 100.0 Sumber : Wawancara dengan lima Ketua RT di RW 03 Desa Cikarawang, 2011 Selain itu, penelitian pada desa industri juga menunjukkan adanya pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan bawah, menengah, dan atas. Terdapat sebelas orang responden laki-laki yang berasal dari lapisan bawah, dua orang dari lapisan menengah, dan dua orang dari lapisan atas. Adapun responden perempuan pada lapisan bawah sebanyak dua belas orang, dua orang dari lapisan menengah, dan satu orang dari lapisan atas (Tabel 7). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin dan Lapisan Sosial di Desa Tarikolot, 2011 Jenis Kelamin Lapisan Sosial Bawah Menengah Atas Total Laki-laki Jumlah 11 2 2 15 Persentase 73.3 13.3 13.3 100.0 Perempuan Jumlah 12 2 1 15 Persentase 80.0 13.3 6.7 100.0 Sumber : Wawancara dengan enam Ketua RT di RW 07 Desa Tarikolot

34 BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Marginalisasi perempuan dalam dunia kerja merupakan hal yang sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, adanya industrialisasi pedesaan telah membawa sejumlah perubahan bagi kaum perempuan untuk dapat keluar dari pembedaan-pembedaan yang ada dalam masyarakat. Untuk melihat adanya perubahan yang dialami kaum perempuan tersebut, dilakukan penelitian pada dua desa dengan corak yang berbeda. Desa pertama adalah Desa Cikarawang yang masih bercorak pertanian, dengan 41.6 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian, dan desa kedua adalah Desa Tarikolot yang berada di lingkungan industri, dimana 96.2 persen penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh atau karyawan. Menurut Scott (1986) dalam Grijns dkk (1992), marginalisasi terdiri dari empat tipe: 1) Penyingkiran dari pekerjaan produktif yang berarti hilangnya kesempatan untuk memberikan kontribusi ekonomi dalam pendapatan keluarga, 2) Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja, dimana seseorang yang dapat memasuki sektor produktif dan memperoleh imbalan dari pekerjaannya mengalami marginalisasi dalam hal status pekerjaan sebagai buruh ataupun pekerja keluarga yang tidak dibayar, curahan waktu yang tinggi (lebih dari 35-40 jam/minggu) dengan imbalan yang rendah, serta adanya pembedaan dalam mendapatkan tunjangan, 3) Feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Marginalisasi tipe 3 ini dapat dilihat dari jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang. Misalnya, untuk sektor pertanian, laki-laki memiliki akses yang lebih tinggi daripada perempuan karena sektor pertanian dipandang merupakan pekerjaan yang berat dan kotor sehinga cocok untuk laki-laki. Demikian juga dengan sektor indutri yang menuntut pendidikan yang tinggi, yang biasanya tidak dimliki perempuan. Dengan demikian, pada akirnya perempuan terkonsentrasi pada sektor perdagangan dan jasa yang tidak menuntut pendidikan tinggi, dan 4) Pelebaran ketimpangan ekonomi yang dialami seseorang sebagai dampak dari adanya marginalisasi tipe 1, 2, dan 3.

35 5.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif (Marginalisasi Tipe 1) Penyingkiran dari pekerjaan produktif berarti hilangnya kesempatan untuk dapat turut serta memberikan kontribusi ekonomi dalam pendapatan keluarga. Dalam penelitian ini, penyingkiran dari pekerjaan produktif dilihat dari status bekerja responden. Status bekerja dibedakan menjadi bekerja produktif dan tidak bekerja produktif. Tidak bekerja produktif berarti penyingkiran dari pekerjaan produktif karena memasuki sektor reproduktif yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Dengan adanya industrialisasi pedesaan, diduga perempuan tidak mengalami marginalisasi tipe 1 yang berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif. Hal ini dikarenakan banyaknya peluang kerja dan peluang usaha yang muncul seiring dengan munculnya industrialisasi pedesaan. Pada desa pertanian (Cikarawang), terdapat 20 persen responden perempuan yang mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif atau dengan kata lain tidak memiliki kontribusi ekonomi secara langsung dalam pendapatan keluarganya. Sementara itu, pada desa industri (Tarikolot) terdapat 13.3 persen responden perempuan yang mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Status Bekerja dan Tipe Desa, 2011 Status Bekerja Desa Desa Industrialisasi Pertanian Industri Pedesaan Bekerja Produktif Jumlah 12 13 (+) 1 Persentase 80.0 86.7 6.7 Tidak Bekerja Jumlah 3 2 (-) 1 Produktif Persentase 20.0 13.3 6.7 Total Jumlah 15 15 30 Persentase 100.0 100.0 100.0 Keterangan : (+) menunjukkan adanya peningkatan jumlah dan persentase (-) menunjukkan adanya penurunan jumlah dan persentase Persentase dari responden perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 1 untuk desa pertanian dan desa industri berturut-turut adalah 20 persen dan 13.3 persen, sementara responden dikatakan mengalami marginalisasi tipe 1 apabila persentasenya lebih dari 50 persen. Adanya industrialisasi pedesaan membawa perubahan bagi kondisi perempuan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan persentase responden yang tidak bekerja produktif sebesar 6.7 persen.

36 Adanya perbedaan persentase responden laki-laki dan perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 1 menjelaskan bahwa walaupun di kedua desa penelitian tidak terjadi marginalisasi perempuan tipe 1 dalam industrialisasi pedesaan, penyingkiran dari pekerjaan produktif masih dirasakan oleh sebagian kecil responden perempuan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan, laki-laki memiliki kesempatan yang sedikit lebih besar untuk memasuki sektor produktif daripada perempuan. Tidak terjadinya marginalisasi tipe 1 dibuktikan oleh banyaknya peluang kerja yang terdapat di kedua desa. Masyarakat desa pertanian memiliki kesempatan kerja yang besar karena letaknya yang berdekatan dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), sehingga mereka dapat memasuki sektor produktif untuk memenuhi kebutuhan para mahasiswa, dosen, maupun staff dari perguruan tinggi tersebut, misalnya sebagai pedagang makanan, penjual pulsa, bibi cuci, jasa fotocopy, pemilik kamar kost, tukang ojek, dan lain sebagainya. Adapun pada desa industri, dapat diketahui bahwa tidak terjadinya marginalisasi tipe 1 disebabkan oleh banyaknya industri yang terdapat di desa ini, baik industri besar maupun industri kecil. Keberadaan industri-industri tersebut, selain memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi masyarakat yang bekerja sebagai pegawai di industri tersebut, juga memberikan kontribusi ekonomi secara tidak langsung bagi masyarakat yang bekerja sebagai pemilik warung makan, penjual pulsa, pemilik kontrakan, tukang ojek, sopir angkot, dan lain sebagainya. Dengan demikian, dugaan terjadinya penyingkiran perempuan dari pekerjaan produktif dalam industrialisasi pedesaan tidak didukung fakta empiris yang menunjukkan banyaknya peluang usaha dan peluang kerja pada kedua desa penelitian. 5.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja atau marginalisasi tipe 2 merupakan penempatan pada pekerjaan-pekerjaan berstatus rendah dengan curahan waktu kerja yang tinggi dan tunjangan yang rendah, serta berupah rendah. Status pekerjaan dikatakan rendah jika seseorang bekerja sebagai buruh atau pekerja keluarga yang tidak dibayar (dalam penelitian di kedua desa tidak ditemukan responden yang bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar). Dalam penelitian ini, perempuan dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2 jika persentase responden perempuan yang mengalami marginalisasi lebih dari 50 persen dari keseluruhan jumlah responden

37 perempuan. Dengan banyaknya angkatan kerja perempuan yang dapat dibayar murah karena pendidikan yang rendah, diduga terjadi pemusatan perempuan pada pinggiran pasar tenaga kerja dalam industrialisasi pedesaan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pada desa pertanian, persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 lebih besar dari persentase laki-laki yang mengalami marginalisasi tipe 2, yaitu sebesar 86.7 persen perempuan dan 46.7 persen laki-laki, sehingga dapat dikatakan bahwa marginalisasi tipe 2 dialami oleh perempuan dan tidak dialami oleh laki-laki di desa pertanian. Hal ini tidak berbeda pada desa industri, dimana persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 lebih besar daripada laki-laki, yaitu 53.3 persen perempuan dan 40 persen laki-laki. Dari angka tersebut dapat terlihat bahwa industrialisasi pedesaan telah membawa perbaikan bagi kondisi perempuan. Hal ini dibuktikan dengan fakta empiris bahwa telah terjadi penurunan persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden yang Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Jenis Kelamin dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Desa Pertanian Desa Industri Laki-laki Jumlah Persentase 7 46.7 Perempuan Jumlah 13 Persentase 86.7 6 40.0 8 53.3 Industrialisasi Pedesaan (-) 1 6.7 (-) 6 33.4 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa industrialisasi pedesaan membawa perbaikan bagi kondisi perempuan. Akan tetapi, meskipun terjadi perbaikan kondisi perempuan, perempuan dalam industrialisasi pedesaan masih mengalami marginalisasi tipe 2 berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dengan persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 pada kedua desa penelitian adalah lebih dari 50 persen. Marginalisasi tipe 2 ini diukur dari gabungan empat dimensi, yaitu status pekerjaan, curahan waktu, tunjangan yang diperoleh dari tempat kerja, serta imbalan yang diperoleh selama satu bulan.

38 5.2.1 Status Pekerjaan Status pekerjaan responden pada desa pertanian secara umum tergolong rendah, karena baik laki-laki maupun perempuan pada desa pertanian bekerja sebagai buruh atau karyawan. Data hasil penelitian menunjukkan terdapat 60 persen laki-laki dan 80 persen perempuan yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, sementara responden yang bekerja sebagai pengusaha atau pemilik usaha hanya sebesar 40 persen laki-laki dan 20 persen perempuan. Di samping itu, responden pada desa industri secara umum memiliki status pekerjaan yang lebih baik dari desa pertanian. Data hasil penelitian menunjukkan 60 persen responden laki-laki memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha atau pemilik usaha, sementara responden perempuan masih memiliki status pekerjaan yang rendah sebagai buruh atau karyawan, yaitu sebesar 66.7 persen (Tabel 10). Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden menurut Status Pekerjaan, Jenis Kelamin dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Desa Pertanian Desa Industri Tinggi Rendah Total Tinggi Rendah Total Laki-laki Jumlah 6 9 15 9 6 15 Persentase 40.0 60.0 100 60.0 40.0 100 Perempuan Jumlah Persentase 3 20.0 12 80.0 15 100 5 33.3 10 66.7 15 100 Secara umum, penelitian menunjukkan status pekerjaan responden dalam industialisasi pedesaan telah meningkat. Pada desa pertanian, seluruh responden baik laki-laki maupun perempuan memiliki status pekerjaan yang rendah. Hal ini tidak terjadi pada desa industri, dimana status pekerjaan responden laki-laki lebih tinggi, yaitu sebagai pengusaha. Akan tetapi, peningkatan status pekerjaan ini tidak dirasakan oleh responden perempuan yang sebagian besar tetap memiliki status sebagai buruh atau karyawan. Oleh karena itu, dapat dikatakan telah terjadi penurunan jumlah dan persentase responden yang memiliki status pekerjaan yang rendah, akan tetapi penurunan jumlah dan persentase responden perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, dimana responden perempuan mengalami penurunan jumlah dan persentase yang lebih kecil dari responden laki-laki.

39 5.2.2 Tunjangan Responden pada desa pertanian tidak memperoleh tunjangan karena tidak terdapat responden yang bekerja sebagai buruh atau karyawan di perusahaan yang memberikan tunjangan kepada pegawainya. Sebagian besar responden bekerja sebagai buruh lepas yang berhubungan dengan pertanian, misalnya buruh tani atau buruh pengupas ubi. Adapun responden pada desa industri sebagian besar bekerja sebagai buruh atau karyawan pabrik (karyawan kontrak) dengan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Akan tetapi, walaupun memperoleh tunjangan, tunjangan tersebut masih tergolong rendah karena perusahaan memberikan tunjangan yang berbeda antara karyawan kontrak dan karyawan tetap, dimana karyawan kontrak memperoleh tunjangan yang lebih terbatas daripada karyawan tetap. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa 100 persen responden perempuan dan laki-laki pada desa pertanian memperoleh tunjangan yang rendah karena tidak mendapat tunjangan dari tempat kerjanya. Sementara pada desa industri, responden juga memperoleh tunjangan yang rendah dengan persentase 60 persen laki-laki dan 66.7 persen perempuan, sementara responden yang memperoleh tunjangan yang tinggi hanya sebesar 40 persen laki-laki dan 33.3 persen perempuan. Jumlah dan persentase responden dengan tunjangan yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Tunjangan, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 15 0 15 9 6 15 Persentase 100.0 0.0 100 60.0 40.0 100 Perempuan Jumlah Persentase 15 100.0 0 0.0 15 100 10 66.7 5 33.3 15 100 Rendahnya tunjangan yang diperoleh responden dalam industrialisasi pedesaan ini disebabkan oleh adanya pembedaan pemberian tunjangan yang dilakukan oleh perusahaan kepada pegawainya. Namun, pembedaan dilakukan tidak berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan status karyawan tetap atau karyawan kontrak. 5.2.3 Curahan Waktu Kerja Curahan waktu kerja responden perempuan pada desa pertanian tergolong kategori rendah (kurang dari 35 jam per minggu) karena jenis pekerjaan sebagian besar

40 responden adalah buruh lepas dalam bidang pertanian, dimana jenis pekerjaan ini memiliki jam kerja yang singkat, biasanya hanya 5-6 jam per hari dengan hari kerja yang tidak ditentukan. Sementara laki-laki pada desa pertanian memiliki curahan waktu kerja yang tinggi (lebih dari atau sama dengan 35 jam per minggu) karena secara umum mereka bekerja sebagai buruh di bengkel dengan waktu kerja yang ditentukan oleh pemilik usaha bengkel tersebut, yaitu sepuluh jam per hari dengan enam hari kerja. Di samping itu, responden pada desa industri menunjukkan sebaliknya, sebagian besar responden, baik laki-laki maupun perempuan memiliki curahan waktu yang tinggi, yaitu lebih dari 35 jam per minggu. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan curahan waktu kerjanya dapat dilihat dalam Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Curahan Waktu Kerja dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 6 9 15 3 12 15 Persentase 40.0 60.0 100.0 20.0 80.0 100.0 Perempuan Jumlah Persentase 12 80.0 3 20.0 15 100.0 6 40.0 11 73.3 15 100.0 Data di atas menunjukkan peningkatan curahan waktu kerja dalam industrialisasi yang dialami oleh responden laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan oleh jenis pekerjaan responden desa industri adalah buruh atau karyawan pabrik yang memiliki jam kerja yang telah ditetapkan perusahaan. Responden yang bekerja sebagai karyawan pabrik ini memiliki jam kerja delapan jam per hari, dan bekerja dari hari senin hingga sabtu. Dengan demikian, curahan waktu kerja seseorang tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, melainkan oleh status dan jenis pekerjaannya. 5.2.4 Pendapatan Total Individu dalam Sebulan Pendapatan total individu pada desa pertanian menunjukkan adanya ketimpangan antara pendapatan perempuan dan laki-laki, dimana pendapatan laki-laki lebih besar dari pendapatan perempuan. Hal ini terlihat dari persentase laki-laki yang memiliki pendapatan total yang tinggi sebesar 60 persen, sementara persentase perempuan yang memiliki pendapatan total yang tinggi hanya 13.3 persen. Akan tetapi, ketimpangan pendapatan ini tidak terjadi pada desa industri, dimana laki-laki dan

41 perempuan masuk ke dalam kategori pendapatan yang rendah, yaitu 60 persen laki-laki dan 80 persen perempuan. Data lebih lengkap dapat dilihat dalam Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Pendapatan Individu, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Kelamin Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 6 9 15 9 6 15 Persentase 40.0 60.0 100.0 60.0 40.0 100.0 Perempuan Jumlah Persentase 13 86.7 2 13.3 15 100.0 12 80.0 3 20.0 15 100.0 Dari tabel di atas dapat dilihat terjadinya peningkatan jumlah dan atau persentase responden laki-laki yang memiliki kategori pendapatan rendah. Akan tetapi, responden perempuan mengalami penurunan jumlah dan persentase pada kategori pendapatan rendah, sedangkan responden laki-laki yang memperoleh pendapatan tinggi di desa pertanian, masuk ke dalam kategori pendapatan rendah di desa industri. Maka dapat dikatakan bahwa meskipun tetap terjadi ketimpangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, namun responden perempuan memiliki pendapatan individu yang lebih baik dalam industrialisasi pedesaan. Rendahnya pendapatan total individu dalam industrialisasi pedesaan ditunjukkan oleh lapisan sosial responden yang sebagian besar responden berasal dari lapisan bawah, yaitu 11 orang pada desa pertanian dan 23 orang pada desa industri (Tabel 14).

42 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Lapisan Sosial, Jenis Kelamin, dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri L P Total L P Total Bawah Jumlah 6 5 11 11 12 23 Persentase 54.5 45.5 100.0 47.8 52.2 100.0 Menengah Jumlah 4 7 11 2 2 4 Persentase 36.4 63.6 100.0 50.0 50.0 100.0 Atas Jumlah 5 3 8 2 1 3 Perentase 62.5 37.5 100.0 66.7 33.3 100.0 Keterangan : L : laki-laki P : Perempuan 5.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi Berdasarkan Jenis Kelamin Perempuan dalam sektor produktif seringkali mengalami pembedaan dalam pembagian kerja. Perempuan dan laki-laki dibedakan dalam hal jenis pekerjaan. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih lemah dari laki-laki dan cocok pada jenis pekerjaan tertentu yang tidak menuntut tenaga dan pendidikan serta pengetahuan yang tinggi. Pada kedua desa penelitian ditemukan empat jenis pekerjaan yang dimiliki responden, yaitu pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Perempuan dikatakan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin, jika perempuan terpusat pada suatu jenis pekerjaan tertentu dan laki-laki terpusat pada jenis pekerjaan yang lain. Segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin dialami oleh responden, jika perbedaan persentase responden laki-laki dengan perempuan yang memasuki jenis pekerjaan tertentu memiliki selisih lebih dari 20 persen. Hasil penelitian pada desa pertanian menunjukkan terjadi feminisasi sektor produktif yang dialami oleh responden perempuan ke dalam jenis pekerjaan bidang pertanian (40 persen). Sedangkan, responden laki-laki yang memiliki jenis pekerjaan yang sama hanya sebesar 26.7 persen. Dengan demikian, segregasi berdasarkan jenis kelamin tidak terjadi karena dominan responden laki-laki terpusat pada jenis pekerjaan bidang jasa. Penelitian pada desa industri juga menunjukkan adanya feminisasi sektor produktif. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya persentase responden perempuan pada jenis pekerjaan bidang industri (53.4 persen), sementara laki-laki yang memiliki jenis pekerjaan bidang industri hanya sebesar 33.3 persen. Dengan demikian, segregasi

43 terjadi berdasarkan jenis kelamin karena ada pemusatan tenaga kerja responden laki-laki dan perempuan pada jenis pekerjaan yang berbeda (Tabel 15). Tabel 15. Persentase Responden menurut Jenis Kelamin, Jenis Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011 Desa Pertanian Desa Industri Jenis Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Pekerjaan (%) (%) (%) (%) Pertanian 26.7 40.0 0.0 0.0 Industri 13.3 0.0 33.3 53.4 Perdagangan 20.0 20.0 40.0 20.0 Jasa 40.0 20.0 26.7 13.3 Tidak Bekerja 0.0 20.0 0.0 13.3 Total 100.0 100.0 100.0 100.0 Hasil penelitian pada kedua desa penelitian menunjukkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan, perempuan mengalami marginalisasi tipe 3 yang berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Industrialisasi pedesaan menyebabkan perempuan yang semula terpusat pada jenis pekerjaan di sektor pertanian, berubah menjadi terpusat ke sektor industri. Sementara itu, industrialisasi pedesaan membawa perubahan bagi laki-laki yang semula terpusat pada sektor jasa menjadi terpusat pada sektor perdagangan. 5.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi antara Rumahtangga Laki-laki dan Rumahtangga Perempuan Marginalisasi tipe 4 berupa pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan terjadi karena adanya perbedaan pendapatan yang diperoleh rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dalam sebulan. Rumahtangga dengan jumlah anggota yang bekerja dominan laki-laki disebut sebagai rumahtangga laki-laki dan rumahtangga yang anggotanya dominan perempuan yang bekerja dikatakan rumahtangga perempuan. Perbedaan pendapatan yang dialami oleh kedua jenis rumahtangga ini disebabkan oleh adanya pembedaan-pembedaan yang dialami oleh perempuan dan laki-laki yang diwujudkan dalam marginalisasi tipe 1, 2, dan 3. Dengan adanya ketiga tipe marginalisasi tersebut, maka diduga bahwa terjadi pelebaran

44 ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dalam industrialisasi pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, responden pada desa pertanian memiliki pendapatan total rumahtangga yang rendah, baik rumahtangga lakilaki, maupun rumahtangga perempuan. Demikian pula halnya dengan responden pada desa industri, dimana kedua jenis rumahtangga dengan pendapatan total rumahtangga yang rendah memiliki persentase yang tinggi. Akan tetapi, persentase rumahtangga lakilaki dan perempuan yang memiliki pendapatan yang rendah mengalami perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rumahtangga perempuan dengan pendapatan rendah lebih besar dari persentase rumahtangga laki-laki dengan pendapatan rendah. Untuk melihat data selengkapnya disajikan Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga, Pendapatan Rumahtangga dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011 Jenis Rumah Tangga Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Laki-laki Jumlah 16 7 23 17 8 25 Persentase 69.6 30.4 100.0 68.0 32.0 100.0 Perempuan Jumlah Persentase 5 71.4 2 28.6 7 100.0 4 80.0 1 20.0 5 100.0 Marginalisasi tipe 4 yang berupa pelebaran ketipangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dapat dilihat dari ratio rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan tinggi. Tabel 17. Ratio Responden yang Memiliki Pendapatan Tinggi menurut Jenis Rumahtangga dan Tipe Desa, 2011 Tipe Desa Ratio Desa Pertanian 1.06 Desa Industri 1.6 Industrialisasi Pedesaan (+) 5.4 Keterangan : (+) menunjukkan adanya peningkatan ratio Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa dalam industrialisasi pedesaan telah terjadi peningkatan ratio rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan

45 rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan tinggi. Ratio tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga laki-laki dengan pendapatan tinggi lebih banyak dari rumahtangga perempuan dengan pendapatan tinggi. Dengan demikian, industrialisasi pedesaan telah menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. 5.5 Ikhtisar Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dugaan tidak terjadinya penyingkiran perempuan dari pekerjaan produktif dalam industrialisasi pedesaan didukung fakta empiris dengan banyaknya peluang usaha dan peluang kerja pada kedua desa penelitian. Adanya industrialisasi pedesaan membawa perubahan bagi kondisi perempuan ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan persentase responden yang tidak bekerja produktif. Industrialisasi pedesaan membawa perbaikan bagi kondisi perempuan dalam sektor produktif. Akan tetapi, meskipun terjadi perbaikan kondisi perempuan, perempuan dalam industrialisasi pedesaan masih mengalami marginalisasi tipe 2 berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dengan persentase perempuan yang mengalami marginalisasi tipe 2 pada kedua desa penelitian adalah lebih dari 50 persen. Pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja atau marginalisasi tipe 2 ini memiliki empat dimensi marginalisasi, yaitu status pekerjaan, curahan waktu, tunjangan yang diperoleh dari tempat kerja, serta imbalan yang diperoleh selama satu bulan. Hasil penelitian pada kedua desa penelitian menunjukkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan, perempuan mengalami marginalisasi tipe 3 yang berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Industrialisasi pedesaan menyebabkan perempuan yang terpusat pada jenis pekerjaan di sektor pertanian pada masa pertanian, mengalami perubahan ke sektor industri. Pemusatan pada sektor industri tersebut tidak dialami oleh laki-laki, karena laki-laki terpusat pada jenis pekerjaan di sektor perdagangan. Adanya selisih laki-laki dan perempuan yang bekerja di sektor industri sebesar 20.1 persen menunjukkan terjadinya segregasi berdasarkan jenis kelamin. Industrialisasi pedesaan tidak membawa perbaikan kondisi bagi rumahtangga laki-laki dan perempuan. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan ratio rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan rumahtangga perempuan

46 yang memiliki pendapatan tinggi. Ratio tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga lakilaki dengan pendapatan tinggi lebih banyak dari rumahtangga perempuan dengan pendapatan tinggi. Dengan demikian, industrialisasi pedesaan telah menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan.

47 BAB VI LAPISAN SOSIAL DAN MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Pada kedua desa penelitian ditemukan adanya perbedaan lapisan sosial. Perbedaan lapisan sosial ini didasari oleh perbedaan kepemilikan barang-barang berharga dari kedua desa tersebut. Adanya sistem pelapisan sosial tersebut membuat perbedaan dalam dunia kerja. Oleh karena itu, perbedaan tersebut membuat marginalisasi tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi dialami juga oleh responden yang berasal dari lapisan sosial tertentu. Dalam industrialisasi pedesaan, perempuan pada seluruh lapisan sosial mengalami sejumlah perubahan, khususnya dalam hal pekerjaan. Perubahan-perubahan tersebut terlihat dari penyingkiran dari pekerjaan produktif, pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja, feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin, dan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. 6.1 Penyingkiran dari Pekerjaan Produktif pada Lapisan Sosial Penyingkiran dari pekerjaan produktif dilihat dari status bekerja responden. Status bekerja dibedakan menjadi bekerja produktif dan tidak bekerja produktif. Tidak bekerja produktif berarti penyingkiran dari pekerjaan produktif karena memasuki sektor reproduktif yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Dengan adanya industrialisasi pedesaan, diduga perempuan lapisan bawah tidak mengalami marginalisasi tipe 1 yang berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif, karena kepala keluarga pada lapisan bawah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumah tangganya. Di samping itu, perempuan lapisan menengah dan lapisan atas diduga mengalami marginalisasi tipe 1, karena perempuan lapisan menengah dan atas segala kebutuhannya mampu dicukupi oleh kepala keluarga dalam rumah tangga tersebut, sehingga perempuan pada umumnya bekerja pada kegiatan reproduktif. Rendahnya persentase responden yang mengalami marginalisasi tipe 1 menunjukkan bahwa marginalisasi tipe 1 berupa penyingkiran dari pekerjaan produktif pada lapisan sosial tidak terjadi dalam industrialisasi pedesaan. Hal ini dapat terlihat dari data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada desa pertanian hanya terdapat

48 9.1 persen responden perempuan yang berasal dari lapisan bawah, 9.1 persen responden perempuan yang berasal dari lapisan menengah, dan 12.5 persen responden perempuan dari lapisan atas mengalami marginalisasi tipe 1. Di samping itu, pada desa industri, marginalisasi tipe 1 dialami oleh 8.7 persen responden perempuan yang berasal dari lapisan bawah, sedangkan responden perempuan pada lapisan menengah dan atas tidak mengalami marginalisasi tipe 1. Namun demikian, tidak terdapat responden laki-laki yang mengalami marginalisasi tipe 1 pada kedua desa penelitian. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 18 di bawah ini. Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki dan Perempuan yang Mengalami Marginalisasi Tipe 1 menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011 Industrialisasi Desa Pertanian Desa Industri Lapisan Sosial Pedesan L P L P L P Bawah Jumlah 0 1 0 2 0 (+) 1 Persentase 0.0 20.0 0.0 16.7 0.0 (-) 3.3 Menengah Jumlah 0 1 0 0 0 (-) 1 Persentase 0.0 14.3 0.0 0.0 0.0 (-) 14.3 Atas Jumlah 0 1 0 0 0 (-) 1 Persentase 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 (-) 33.3 Keterangan : (+) menunjukkan peningkatan jumlah dan atau persentase responden yang mengalami marginalisasi tipe 1 (-) menunjukkan penurunan jumlah dan atau persentase responden yang mengalami marginalisasi tipe 1 Meskipun pada kedua desa penelitian terdapat responden perempuan yang mengalami marginalisasi, akan tetapi industrialisasi pedesaan telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi perempuan lapisan bawah, menengah dan atas. Perubahan kondisi tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan persentase responden perempuan lapisan bawah, menengah dan atas yang mengalami marginalisasi tipe 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak terjadi marginalisasi tipe 1 pada lapisan bawah, menengah dan atas dalam industrialisasi pedesaan. Tidak terjadinya marginalisasi tipe 1 dalam industrialisasi pedesaan disebabkan oleh tingginya biaya hidup yang harus dipenuhi, sehingga memaksa responden, baik dari lapisan bawah, menengah, maupun atas, untuk memasuki sektor produktif untuk dapat memperoleh imbalan yang besar yang pada akhirnya dapat mencukupi biaya hidup yang semakin tinggi. Apabila dianalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 1, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial

49 dengan marginalisasi perempuan tipe 1 di desa pertanian, 2) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 1 di desa industri, dan 3) Dalam industrialisasi pedesaan, tetap tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 1 (Tabel 19). Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Marginalisasi Tipe 1 dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri TM M Total TM M Total Bawah Jumlah 4 1 5 0 2 12 Persentase 80.0 20.0 100.0 83.3 16.7 100.0 Menengah Jumlah 6 1 7 2 0 2 Persentase 85.7 14.3 100.0 100.0 0.0 100.0 Atas Jumlah Persentase 2 66.7 1 33.3 3 100.0 1 100.0 0 0.0 1 100.0 Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa perempuan pada lapisan bawah, menengah, maupun atas tidak mengalami marginalisasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh rendahnya persentase perempuan yang mengalami marginalisasi. Terjadinya marginalisai tipe 1 pada seluruh lapisan sosial ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 1. 6.2 Pemusatan pada Pinggiran Pasar Tenaga Kerja Sub bab ini memberikan gambaran perempuan pada setiap lapisan sosial yang memasuki sektor produktif, tetapi mengalami pembedaan dalam hal status pekerjaan, curahan waktu kerja, tunjangan, dan imbalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada desa pertanian, baik laki-laki maupun perempuan pada lapisan bawah mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja, atau yang disebut marginalisasi tipe 2, dengan persentase masing-masing 83.3 persen laki-laki dan 80 persen perempuan. Sementara itu, laki-laki pada lapisan menengah dan atas dikatakan tidak mengalami marginalisasi tipe 2 dengan persentase berturut-turut 25 persen dan 20 persen. Di samping itu, perempuan lapisan menengah dan atas dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2 dengan persentase berturut-turut 85.7 persen dan 100 persen. Dengan demikian, pada desa pertanian, responden perempuan pada lapisan bawah, menengah, dan atas mengalami marginalisasi tipe 2, sedangkan responden laki-laki hanya pada lapisan bawah.

50 Sementara itu, pada desa industri, laki-laki lapisan bawah dan menengah mengalami marginalisasi tipe 2 dengan persentase yang rendah, yaitu 45.5 persen dan 50 persen, sementara laki-laki pada lapisan atas tidak ada yang mengalami marginalisasi tipe 2. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa laki-laki lapisan bawah, menengah, dan atas pada desa industri tidak mengalami marginalisasi tipe 2 karena memiliki persentase yang rendah, yaitu kurang dari atau sama dengan 50 persen. Adapun responden perempuan pada desa industri, mengalami marginalisasi tipe 2 pada lapisan bawah dengan persentase 66.7 persen, sedangkan perempuan lapisan menengah dan atas tidak ada yang mengalami marginalisasi tipe 2. Data selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan dan Laki-laki yang Mengalami Marginalisasi Tipe 2 menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011 Industrialisasi Desa Pertanian Desa Industri Lapisan Sosial Pedesan L P L P L P Bawah Jumlah 5 4 5 8 0 (+) 4 Persentase 83.3 80.0 45.5 66.7 (-) 37.8 (-) 13.3 Menengah Jumlah 1 6 1 0 0 (-) 6 Persentase 25.0 85.7 50.0 0.0 (+) 25.0 (-) 85.7 Atas Jumlah Persentase 1 20.0 3 100.0 0 0.0 0 0.0 (-) 1 (-) 20.0 (-) 3 (-) 100.0 Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa industialisasi pedesaan telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi responden laki-laki lapisan bawah dan atas. Perubahan kondisi tersebut ditunjukkan oleh penurunan persentase responden laki-laki yang mengalami marginalisasi tipe 2 pada lapisan bawah dan atas sehingga pada lapisan atas tidak terdapat lagi responden laki-laki yang mengalami marginalisasi tipe 2. Sementara pada lapisan menengah, meskipun terjadi peningkatan persentase responden laki-laki yang mengalami marginalisasi, secara umum dikatakan responden laki-laki pada lapisan menengah tidak mengalami marginalisasi karena persentasenya kurang dari atau sama dengan 50 persen. Industrialisasi pedesaan juga memberikan perubahan kondisi yang lebih baik bagi responden perempuan. Perubahan tersebut ditunjukkan oleh penurunan persentase responden perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas. Perempuan lapisan bawah mengalami penurunan persentase sebesar 13.3 persen, perempuan lapisan menengah mengalami penurunan persentase sebesar 85.7 persen, dan perempuan lapisan atas

51 mengalami penurunan sebesar 100 persen. Akan tetapi, meskipun mengalami penurunan persentase, perempuan pada lapisan bawah dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2 dengan persentase 66.7 persen. Apabila dianalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2, maka diketahui bahwa: 1) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2 di desa pertanian, 2) Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2 di desa industri, dan 3) Industrialisasi pedesaan menciptakan hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2 (Tabel 21). Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Marginalisasi Tipe 2 dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri TM M Total TM M Total Bawah Jumlah 1 4 5 4 8 12 Persentase 20.0 80.0 100.0 33.3 66.7 100.0 Menengah Jumlah 1 6 7 2 0 2 Persentase 14.3 85.7 100.0 100.0 0.0 100.0 Atas Jumlah Persentase 0 0.0 3 100.0 3 100.0 1 100.0 0 0.0 1 100.0 Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa perempuan pada lapisan bawah, menengah, maupun atas di desa pertanian mengalami marginalisasi tipe 2. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya persentase perempuan yang mengalami marginalisasi. Terjadinya marginalisai tipe 2 pada seluruh lapisan sosial ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2. Di samping itu, perempuan lapisan bawah pada desa industri mengalami marginalisasi tipe 2, namun tidak demikian dengan perempuan lapisan menengah dan atas. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2 di desa industri. Industrialisasi pedesaan telah menciptakan hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2. Pemusatan perempuan pada pinggiran pasar tenaga kerja dalam industrialisasi pedesaan ini dipengaruhi oleh empat dimensi marginalisasi yang tediri dari status pekerjaan, tunjangan, curahan waktu kerja, serta imbalan yang diperoleh selama satu bulan.

52 6.2.1 Status Pekerjaan Pada desa pertanian, status pekerjaan seluruh responden laki-laki lapisan bawah tergolong rendah, karena bekerja sebagai buruh tani maupun buruh bengkel. Sementara itu, 50 persen responden laki-laki pada lapisan menengah memiliki status pekerjaan yang rendah, yaitu sebagai buruh bengkel dan 50 persen memiliki status pekerjaan yang tinggi, yaitu sebagai pemilik usaha atau pengusaha. Adapun reponden laki-laki pada lapisan atas memiliki status pekerjaan yang tinggi sebagai pengusaha atau pemilik usaha dengan persentase 80 persen. Hal yang berbeda terjadi pada desa industri, dimana responden laki-laki pada seluruh lapisan sosial memiliki status pekerjaan yang tinggi sebagai pengusaha atau pemilik usaha, dengan persentase 54.5 persen lapisan bawah, 100 persen lapisan menengah, dan 50 persen lapisan atas. Data tersebut disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Status Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011 Desa Pertanian Desa Industri Lapisan Sosial Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Jumlah 6 0 6 5 6 11 Bawah Persentase 100.0 0.0 100.0 45.5 54.5 100.0 Menengah Jumlah 2 Persentase 50.0 2 50.0 4 100.0 0 0.0 2 100.0 2 100.0 Atas Jumlah 1 Persentase 20.0 4 80.0 5 100.0 1 50.0 1 50.0 2 100.0 Di samping itu, pada desa pertanian, responden perempuan pada lapisan bawah, menengah, dan atas memiliki status pekerjaan yang rendah, yaitu sebagai buruh tani, buruh pengupas ubi, pembantu rumah tangga, maupun bibi cuci, dengan persentase 100 persen lapisan bawah, 71.4 persen lapisan menengah, dan 66.7 persen lapisan atas. Sementara itu, pada desa industri responden perempuan pada lapisan bawah memiliki status pekerjaan yang rendah sebagai buruh pabrik dengan persentase 83.3 persen, sedangkan seluruh responden perempuan lapisan menengah dan atas memiliki status pekerjaan yang tinggi sebagai pengusaha atau pemilik usaha pada warung makan, toko kelontong, maupun penjual pulsa (Tabel 23).

53 Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Status Pekerjaan, dan Tipe Desa, 2011 Desa Pertanian Desa Industri Lapisan Sosial Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Jumlah 5 0 5 10 2 12 Bawah Persentase 100.0 0.0 100.0 83.3 16.7 100.0 Jumlah 5 2 7 0 2 2 Menengah Persentase 71.4 28.6 100.0 0.0 100.0 100.0 Atas Jumlah 2 Persentase 66.7 1 33.3 3 100.0 0 0.0 1 100.0 1 100.0 Dengan demikian, industrialisasi pedesaan telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi responden laki-laki dari setiap lapisan sosial. Responden laki-laki yang semula dominan memiliki status pekerjaan yang rendah, mengalami peningkatan status pekerjaan sebagai pengusaha atau pemilik usaha. Sementara itu, industrialisasi pedesaan juga memberikan perubahan kondisi yang lebih baik bagi perempuan dari setiap lapisan. Hal tersebut ditunjukkan dengan penurunan persentase responden yang memiliki status pekerjaan yang rendah. Perubahan tersebut terutama dirasakan oleh perempuan lapisan menengah dan atas, sementara perempuan lapisan bawah tetap memiliki status pekerjaan yang rendah, meskipun mengalami penurunan persentase. 6.2.2 Curahan Waktu Kerja Rendahnya status pekerjaan responden laki-laki pada desa pertanian yang sebagian besar adalah sebagai buruh, membuat curahan waktu kerja responden laki-laki lapisan bawah dan atas tinggi (lebih dari 35 jam per minggu) dengan persentase 50 pesen lapisan bawah dan 100 persen lapisan menengah. Secara umum, responden lapisan bawah memiliki status pekerjaan sebagai buruh tani dan buruh bengkel. Buruh tani memiliki jam kerja yang rendah, yaitu 4-5 jam per hari dengan hari kerja yang tidak ditentukan, sehingga 50 persen responden laki-laki pada lapisan bawah memiliki curahan waktu kerja yang rendah. Sementara itu, responden laki-laki pada lapisan menengah memiliki curahan waktu kerja yang tinggi karena status pekerjaannya sebagai buruh bengkel dengan jam kerja yang panjang, yaitu 10 jam per hari dengan enam hari kerja per minggu. Adapun 60 persen responden laki-laki pada lapisan atas memiliki curahan waktu yang rendah karena memiliki status pekerjaan sebagai pengusaha atau pemilik usaha, dimana usahanya tersebut dikerjakan oleh pegawainya.

54 Pada desa industri, responden laki-laki pada seluruh lapisan sosial memiliki curahan waktu kerja yang tinggi, karena secara umum mereka bekerja sebagai pengusaha (pedagang) dan buruh pabrik. Pengusaha atau pemilik usaha menjalankan usahanya sendiri dan tidak menggunakan jasa orang lain untuk menjalankannya, sehingga memiliki jam kerja yang panjang, yaitu sepuluh jam per hari dengan tujuh hari kerja per minggu. Selain itu, terdapat juga responden laki-laki yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan jam kerja yang juga panjang, yaitu delapan jam per hari dengan enam hari kerja per minggu. Jumlah dan persentase responden laki-laki menurut lapisan sosial dan curahan waktu kerja pada kedua desa penelitian dapat dilihat dalam Tabel 24 di bawah ini. Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Bawah Jumlah 3 3 6 2 9 11 Persentase 50.0 50.0 100.0 18.2 81.8 100.0 Menengah Jumlah 0 4 4 1 1 2 Persentase 0.0 100.0 100.0 50.0 50.0 100.0 Atas Jumlah 3 2 5 0 2 2 Persentase 60.0 40.0 100.0 0.0 100.0 100.0 Pada desa pertanian, responden perempuan pada seluruh lapisan sosial memiliki curahan waktu yang rendah, yaitu sebagai buruh tani, buruh pengupas ubi, pembantu rumah tangga ataupun bibi cuci yang jam kerjanya relatif singkat (kurang dari 35 jam per minggu), dengan persentase 80 persen lapisan bawah, 57.2 persen lapisan menengah, dan 100 persen lapisan atas. Adapun pada desa industri, responden perempuan lapisan bawah dan menengah memiliki curahan waktu kerja yang tinggi (lebih dari atau sama dengan 35 jam per minggu). Hal ini dikarenakan secara umum responden pada kedua lapisan sosial tersebut bekerja sebagai buruh pabrik, dengan jam kerja delapan jam per hari dan enam hari kerja per minggu. Sementara itu, perempuan lapisan atas memiliki curahan waktu kerja yang rendah karena bekerja sebagai pemilik usaha atau pengusaha yang memiliki pegawai dalam menjalankan usahanya, sehingga tidak perlu menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaannya sendiri (Tabel 25).

55 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Curahan Waktu Kerja, dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Bawah Jumlah 4 1 5 3 9 12 Persentase 80.0 20.0 100.0 25.0 75.0 100.0 Menengah Jumlah 4 3 7 0 2 2 Persentase 57.2 42.8 100.0 0.0 100.0 100.0 Atas Jumlah 3 0 3 1 0 1 Persentase 100.0 0.0 100.0 100.0 0.0 100.0 Dengan demikian, industrialisasi pedesaan membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi laki-laki lapisan menengah. Hal tersebut ditunjukkan oleh penurunan persentase responden yang memiliki curahan waktu kerja yang tinggi sebesar 50 persen. Di samping itu, industrialisasi pedesaan tidak membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi responden perempuan dari seluruh lapisan sosial. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan persentase perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas yang memiliki curahan waktu kerja yang tinggi. 6.2.3 Tunjangan Tunjangan yang diperoleh responden laki-laki dari desa pertanian tergolong rendah, karena status pekerjaan sebagai buruh tani maupun buruh bengkel pada desa pertanian tidak memiliki tunjangan yang diberikan kepada pegawainya, karena pada umumnya tunjangan diberikan oleh perusahaan yang memiliki peraturan-peraturan formal yang memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Dengan demikian, responden laki-laki pada desa industri yang bekerja sebagai buruh pabrik seharusnya memiliki tunjangan yang tinggi karena adanya tunjangan yang diberikan oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya responden laki-laki pada seluruh lapisan sosial memperoleh tunjangan yang rendah. Hal ini dikarenakan responden laki-laki pada seluruh lapisan sosial yang bekerja sebagai buruh pabrik, memiliki status pegawai kontrak, sehingga tunjangan yang diperoleh masih tergolong rendah (Tabel 26).

56 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Tunjangan dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Bawah Jumlah 6 0 6 8 3 11 Persentase 100.0 0.0 100.0 72.7 27.3 100.0 Menengah Jumlah 4 0 4 1 1 2 Persentase 100.0 0.0 100.0 50.0 50.0 100.0 Atas Jumlah 5 0 5 1 1 2 Persentase 100.0 0.0 100.0 50.0 50.0 100.0 Responden perempuan di desa pertanian mengalami hal yang sama dengan responden laki-laki di desa pertanian, dimana seluruh responden tidak memperoleh tunjangan dari tempat kerja karena bekerja sebagai buruh tani, buruh pengupas ubi, maupun pembantu rumah tangga. Sementara itu, perempuan di desa industri, walaupun bekerja pada perusahaan yang menyediakan tunjangan bagi karyawannya, tetap memperoleh tunjangan yang rendah, yaitu 58.3 persen lapisan bawah, 100 persen lapisan menengah dan 100 persen lapisan atas. Rendahnya tunjangan yang diperoleh responden lapisan bawah, menengah, dan atas pada desa industri karena secara umum bekerja sebagai karyawan kontrak di PT. Ricky Globalindo dan sebagai pengusaha, sehingga tidak memperoleh tunjangan (Tabel 27). Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Tunjangan dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Bawah Jumlah 5 0 5 7 5 12 Persentase 100.0 0.0 100.0 58.3 41.7 100.0 Menengah Jumlah 7 0 7 2 0 2 Persentase 100.0 0.0 100.0 100.0 0.0 100.0 Atas Jumlah 3 0 3 1 0 1 Persentase 100.0 0.0 100.0 100.0 0.0 100.0 Dengan demikian, dapat terlihat bahwa pembedaan pemberian tunjangan yang dilakukan oleh perusahaan tidak berdasarkan jenis kelamin karyawannya, tetapi berdasarkan status karyawan kontrak atau karyawan tetap. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa industrialisasi pedesaan telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi laki-laki dari seluruh lapisan sosial dan bagi perempuan lapisan bawah. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan persentase laki-laki pada seluruh lapisan sosial dan persentase perempuan lapisan bawah yang memperoleh tunjangan yang

57 tinggi. Namun demikian, secara umum tunjangan yang diperoleh oleh responden tetap dikatakan rendah karena responden yang masuk ke dalam kategori tunjangan yang tinggi kurang dari atau sama dengan 50 persen. 6.2.4 Pendapatan Individu Pendapatan total individu responden laki-laki pada lapisan bawah di desa pertanian dikatakan rendah (di bawah pendapatan rata-rata seluruh responden desa pertanian), yaitu sebesar 83.3 persen, sementara lapisan menengah dan atas memiliki pendapatan yang tinggi dengan persentase masing-masing 75 persen dan 100 persen. Demikian halnya dengan responden laki-laki pada lapisan bawah di desa industri yang memiliki pendapatan rendah (di bawah pendapatan rata-rata seluruh responden desa industri), yaitu sebesar 72.7 persen. Sementara responden laki-laki pada lapisan menengah dan atas memperoleh pendapatan yang tinggi dengan persentase 50 persen dan 100 persen (Tabel 28). Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Laki-laki menurut Lapisan Sosial, Pendapatan Individu dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Bawah Jumlah 5 1 6 8 3 11 Persentase 83.3 6.7 100.0 72.7 27.3 100.0 Menengah Jumlah 1 3 4 1 1 2 Persentase 25.0 75.0 100.0 50.0 50.0 100.0 Atas Jumlah 0 5 5 0 2 2 Persentase 0.0 100.0 100.0 0.0 100.0 100.0 Pada desa pertanian, sama halnya dengan responden laki-laki, responden perempuan lapisan bawah memiliki pendapatan yang rendah dengan persentase 80 persen. Perbedaan pendapatan antara laki-laki dan perempuan terlihat pada lapisan menengah dan atas, dimana responden perempuan pada kedua lapisan sosial tersebut memiliki pendapatan yang rendah, sedangkan laki-laki lapisan menengah dan atas memiliki pendapatan yang tinggi. Sementara itu, perempuan dari seluruh lapisan sosial di desa industri mengalami hal yang sama dengan laki-laki pada desa industri, dimana lapisan bawah dan menengah memiliki pendapatan yang rendah, sedangkan lapisan atas memiliki pendapatan yang tinggi (Tabel 29).

58 Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Pendapatan Individu dalam Sebulan, dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total Bawah Jumlah 4 1 5 11 1 12 Persentase 80.0 20.0 100.0 91.7 8.3 100.0 Menengah Jumlah 5 2 7 2 0 2 Persentase 71.4 28.6 100.0 100.0 0.0 100.0 Atas Jumlah 3 0 3 0 1 1 Persentase 100.0 0.0 100.0 0.0 100.0 100.0 Oleh karena itu, marginalisasi tipe 2 dalam industrialisasi pedesaan dialami oleh perempuan lapisan bawah, sedangkan perempuan lapisan menengah dan atas tidak mengalami. Hal ini dikarenakan perempuan lapisan bawah memiliki status pekerjaan yang rendah, yaitu sebagai buruh dengan curahan waktu kerja yang tinggi, yaitu delapan jam sehari dengan enam hari kerja dalam seminggu, tunjangan yang rendah karena secara umum responden yang bekerja di industri garmen adalah karyawan kontrak dengan tunjangan yang lebih rendah dari karyawan tetap, serta imbalan yang rendah. 6.3 Feminisasi Sektor Produktif dan Segregasi berdasarkan Jenis Kelamin Feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelmin juga dialami oleh responden berdasarkan lapisan sosial. Hasil penelitian pada desa pertanian menunjukkan bahwa perempuan lapisan bawah mengalami feminisasi sektor poduktif dengan persentase 60 persen. Feminisasi sektor produktif tersebut menunjukkan bahwa perempuan lapisan bawah terpusat pada satu jenis pekerjaan, yaitu di sektor pertanian. Hal tersebut tidak dialami oleh perempuan pada lapisan menengah dan lapisan atas karena mereka memiliki jenis pekerjaan yang tersebar dalam sektor pertanian, perdagangan dan jasa. Selain itu, responden lapisan bawah juga mengalami segregasi berdasarkan jenis kelamin yang ditunjukkan dengan selisih antara perempuan lapisan bawah dan laki-laki lapisan bawah yang bekerja di sektor pertanian sebesar 26.7 persen. Adanya selisih tersebut dikarenakan jenis pekerjaan laki-laki lapisan bawah tersebar ke dalam sektor pertanian, industri, dan jasa (Tabel 30).

59 Tabel 30. Persentase Responden menurut Jenis Pekerjaan, Lapisan Sosial, dan Jenis Kelamin di Desa Pertanian, 2011 Jenis Lapisan Bawah Lapisan Menengah Lapisan Atas Pekerjaan P (%) L (%) P (%) L (%) P (%) L (%) Pertanian 60.0 33.3 28.6 0.0 33.3 40.0 Industri 0.0 33.3 0.0 0.0 0.0 0.0 Perdagangan 20.0 0.0 28.6 25.0 0.0 40.0 Jasa 0.0 33.4 28.6 75.0 33.3 20.0 Tidak bekerja 20.0 0.0 14.2 0.0 33.4 0.0 Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Penelitian pada desa industri menunjukkan bahwa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin dialami oleh perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas. Hal tersebut ditunjukkan oleh pemusatan perempuan lapisan bawah pada sektor industri, perempuan lapisan menengah pada sektor perdagangan, dan perempuan lapisan atas pada sektor jasa. Di samping itu, segregasi berdasarkan jenis kelamin juga dialami oleh perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas. Terdapat selisih sebesar 30.3 persen antara perempuan lapisan bawah dan laki-laki lapisan bawah pada sektor industri. Selain itu, pada lapisan menengah juga terdapat selisih antara lakilaki dan perempuan pada sektor perdagangan sebesar 50 persen, dan pada lapisan atas terdapat selisih sebesar 100 persen pada perempuan dan laki-laki yang bekerja di sektor jasa (Tabel 31). Tabel 31. Persentase Responden Perempuan menurut Jenis Pekerjaan, Lapisan Sosial dan Jensi Kelamin di Desa Industri, 2011 Jenis Lapisan Bawah Lapisan Menengah Lapisan Atas Pekerjaan P (%) L (%) P (%) L (%) P (%) L (%) Pertanian 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Industri 66.7 36.4 0.0 0.0 0.0 50.0 Perdagangan 8.3 36.4 100.0 50.0 0.0 50.0 Jasa 8.4 27.2 0.0 50.0 100.0 0.0 Tidak bekerja 16.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

60 Dari kedua tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin yang dialami oleh perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas dalam industrialisasi pedesaan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya selisih antara laki-laki dan perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan yang dominan dilakukan oleh perempuan. Apabila dianalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3, maka dapat diketahui bahwa: 1) Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 3 di desa pertanian, 2) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3 di desa industri, 3) Industrialisasi pedesaan telah menghilangkan hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3 (Tabel 32). Tabel 32. Persentase Responden Perempuan menurut Lapisan Sosial, Marginalisasi Tipe 2 dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Desa Pertanian Desa Industri Sosial TM (%) M (%) Total (%) TM (%) M (%) Total (%) Bawah 40.0 60.0 100.0 0.0 66.7 100.0 Menengah 100.0 0.0 100.0 0.0 100.0 100.0 Atas 100.0 0.0 100.0 0.0 100.0 100.0 Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa perempuan pada lapisan bawah, di desa pertanian mengalami marginalisasi tipe 3. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya persentase perempuan yang mengalami marginalisasi. Terjadinya marginalisai tipe 3 pada lapisan bawah ini menunjukkan adanya hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 3. Di samping itu, perempuan lapisan bawah, menengah, maupun atas pada desa industri mengalami marginalisasi tpe 3. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3 di desa industri. Industrialisasi pedesaan telah menghilangkan hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3. 6.4 Pelebaran Ketimpangan Ekonomi antara Rumahtangga Laki-laki dan Rumahtangga Perempuan Pada desa pertanian, terdapat sembilan rumahtangga laki-laki yang berada di lapisan bawah, delapan rumahtangga laki-laki di lapisan menengah, dan enam rumahtangga laki-laki di lapisan atas. Dengan kata lain, pada desa pertanian terdapat 23

61 rumahtangga laki-laki. Sementara itu, terdapat dua rumahtangga perempuan di lapisan bawah, tiga rumahtangga perempuan di lapisan menengah, dan dua rumahtangga di lapisan atas, sehingga jumlah rumahtangga perempuan pada desa pertanian diketahui sebanyak tujuh rumahtangga (Tabel 33). Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga dan Lapisan Sosial di Desa Pertanian, 2011 Jenis Rumah Tangga Lapisan Sosial Bawah Menengah Atas Total Laki-laki Jumlah 9 8 6 23 Persentase 39.2 34.8 26.0 100.0 Perempuan Jumlah Persentase 2 28.6 3 42.8 2 28.6 7 100.0 Adapun pada desa industri, terdapat dua puluh rumahtangga laki-laki di lapisan bawah, tiga rumahtangga di lapisan menengah, dan dua rumahtangga di lapisan atas, sehingga jumlah rumahtangga laki-laki pada desa industri diketahui sebanyak 25 rumahtangga. Di samping itu, terdapat tiga rumahtangga perempuan di lapisan bawah, dua rumahtangga di lapisan menengah, namun tidak terdapat rumahtangga perempuan di lapisan atas (Tabel 34). Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden menurut Jenis Rumahtangga dan Lapisan Sosial di Desa Industri, 2011 Jenis Rumah Tangga Lapisan Sosial Bawah Menengah Atas Total Laki-laki Jumlah 20 3 2 25 Persentase 80.0 12.0 8.0 100.0 Perempuan Jumlah Persentase 3 60.0 2 40.0 0 0.0 5 100.0 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada desa pertanian, pendapatan rumahtangga yang rendah dimiliki oleh 88.9 persen rumahtangga laki-laki lapisan bawah, 75.0 persen rumahtangga laki-laki lapisan menengah, dan 33.3 persen rumahtangga laki-laki lapisan atas. Selain itu, pendapatan rumahtangga yang rendah juga dimiliki oleh 50 persen rumahtangga perempuan lapisan bawah, 66.7 persen rumahtangga perempuan lapisan menengah, dan 100 persen rumahtangga perempuan lapisan atas. Adapun pada desa industri, pendapatan rumahtangga yang rendah dimiliki oleh 75 persen rumahtangga laki-laki lapisan bawah, 66.7 persen rumahtangga laki-laki

62 lapisan menengah, sementara rumahtangga laki-laki lapisan atas seluruhnya memiliki pendapatan yang tinggi. Di samping itu, pendapatan rumahtangga yang rendah juga dimiliki oleh 100 persen rumahtangga perempuan lapisan bawah, dan 50 persen rumahtangga perempuan lapisan menengah. Sementara rumahtangga perempuan lapisan atas seluruhnya memiliki pendapatan yang tinggi (Tabel 35). Tabel 35. Jumlah dan Persentase Rumahtangga Laki-laki dan Perempuan yang Memiliki Pendapatan Rumahtangga yang Tinggi menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011 Lapisan Sosial Desa Pertanian Desa Industri L P L P Bawah Jumlah 8 1 15 3 Persentase 88.9 50.0 75.0 100.0 Menengah Jumlah 6 2 2 1 Persentase 75.0 Atas Jumlah 2 Persentase 33.3 66.7 2 100.0 66.7 0 0.0 50.0 0 0.0 Marginalisasi tipe 4 berupa pelebaran ketipangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan dapat dilihat dari ratio persentase rumahtangga laki-laki yang memiliki pendapatan tinggi dan persentase rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan rendah. Jika ratio tersebut menunjukkan angka kurang dari 0.75 atau lebih dari 1.25, maka dikatakan terjadi pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Sebaliknya, dikatakan tidak terjadi pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan jika ratio menunjukkan angka lebih dari atau sama dengan 0.75 atau kurang dari atau sama dengan 1.25 (Tabel 36). Tabel 36. Ratio antara Rumahtangga Dominan Laki-laki yang Bekerja dengan Rumahtangga Dominan Perempuan yang Bekerja yang Memiliki Pendapatan Tinggi menurut Lapisan Sosial dan Tipe Desa, 2011 Tipe Desa Lapisan Lapisan Lapisan Bawah Menengah Atas Desa Pertanian 1.8 1.1 0.33 Desa Industri 0.75 1.3 1 Industrialisasi Pedesaan (-) 1.05 (+) 0.2 (+) 0.67

63 Dari tabel di atas, dapat terlihat bahwa industrialisasi pedesaan telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi rumahtangga laki-laki dan perempuan pada lapisan bawah. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan ratio rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan rendah sebesar 1.05. Ketimpangan ekonomi yang dialami kedua jenis rumahtangga pada desa pertanian, tidak dirasakan oleh kedua jenis rumahtangga pada desa industri. Akan tetapi, perbaikan kondisi yang dialami oleh rumahtangga lapisan bawah tersebut tidak dirasakan oleh rumahtangga lapisan menengah. Industrialisasi pedesaan menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan ratio rumahtangga yang memiliki pendapatan rendah sebesar 0.2, sehingga ratio rumahtangga yang memiliki pendapatan rendah menjadi 1.3 (lebih dari 1.25). Selain itu, industrialisasi pedesaan juga membawa perbaikan kondisi bagi rumahtangga lapisan atas. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan ratio rumahtangga yang memiliki pedapatan rendah sebesar 0.67. Penurunan tersebut dikarenakan tidak terdapat rumahtangga lapisan yang memiliki pendapatan rendah pada desa industri. 6.5 Ikhtisar Pada kedua desa penelitian terdapat responden perempuan yang mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif (marginalisasi tipe 1), akan tetapi industrialisasi pedesaan telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi perempuan lapisan bawah, menengah dan atas. Perubahan kondisi tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan persentase responden perempuan lapisan bawah, menengah dan atas yang mengalami marginalisasi tipe 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak terjadi marginalisasi tipe 1 pada lapisan bawah, menengah dan atas dalam industrialisasi pedesaan. Apabila dianalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 1, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 1 di desa pertanian, 2) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 1 di desa industri, dan 3) Dalam industrialisasi pedesaan, tetap tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 1. Marginalisasi tipe 2 dalam industrialisasi pedesaan dialami oleh perempuan lapisan bawah, sedangkan perempuan lapisan menengah dan atas tidak mengalami. Hal ini dikarenakan perempuan lapisan bawah memiliki status pekerjaan yang rendah, yaitu sebagai buruh dengan curahan waktu kerja yang tinggi, yaitu delapan jam sehari dengan

64 enam hari kerja dalam seminggu, tunjangan yang rendah karena secara umum responden yang bekerja di industri garmen adalah karyawan kontrak dengan tunjangan yang lebih rendah dari karyawan tetap, serta imbalan yang rendah. Industrialisasi pedesaan memberikan perubahan kondisi yang lebih baik bagi responden perempuan. perubahan tersebut ditunjukkan oleh penurunan persentase responden perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas. Akan tetapi, meskipun mengalami penurunan persentase, perempuan pada lapisan bawah dikatakan mengalami marginalisasi tipe 2 dengan persentase 66.7 persen. Apabila dianalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2, maka diketahui bahwa: 1) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2 di desa pertanian, 2) Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2 di desa industri, dan 3) Industrialisasi pedesaan menciptakan hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 2. Terjadi feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin yang dialami oleh perempuan lapisan bawah, menengah, dan atas dalam industrialisasi pedesaan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya selisih antara laki-laki dan perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan yang tertentu. Apabila dianalisis hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3, maka dapat diketahui bahwa: 1) Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 3 di desa pertanian, 2) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3 di desa industri, dan 3) Industrialisasi pedesaan telah menghilangkan hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3 Industrialisasi pedesaan juga telah membawa perubahan kondisi yang lebih baik bagi rumahtangga laki-laki dan perempuan pada lapisan bawah. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan ratio rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan yang memiliki pendapatan rendah sebesar 1.05. Ketimpangan ekonomi yang dialami kedua jenis rumahtangga pada desa pertanian (yang ditunjukkan oleh ratio sebesar 1.8), tidak dirasakan oleh kedua jenis rumahtangga pada desa industri (yang ditunjukkan oleh ratio 0.75). Akan tetapi, perbaikan kondisi yang dialami oleh rumahtangga lapisan bawah tersebut tidak dirasakan oleh rumahtangga lapisan menengah. Industrialisasi pedesaan menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan ratio rumahtangga yang memiliki pendapatan rendah sebesar 0.2, sehingga ratio rumahtangga yang

65 memiliki pendapatan rendah menjadi 1.3 (lebih dari 1.25). Selain itu, industrialisasi pedesaan juga membawa perbaikan kondisi bagi rumahtangga lapisan atas. Hal ini ditunjukkan oleh penurunan ratio rumahtangga yang memiliki pedapatan rendah sebesar 0.33. Penurunan tersebut dikarenakan tidak terdapat rumahtangga lapisan yang memiliki pendapatan rendah pada desa industri.

66 BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan: 1) Tidak terjadi penyingkiran perempuan dari pekerjaan produktif (marginalisasi tipe 1), 2) Terjadi pemusatan perempuan pada pinggiran pasar tenaga kerja (marginalisasi tipe 2), 3) Terjadi feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin (marginalisasi tipe 3), dan 4) Terjadi pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan (marginalisasi tipe 4). Di samping itu, jika dianalisis menurut lapisan sosial, diketahui bahwa perempuan lapisan bawah mengalami marginalisasi tipe 2 dan 3. Hal yang berbeda dialami oleh perempuan lapisan menengah, dimana mereka mengalami marginalisasi tipe 3 dan 4. Adapun perempuan lapisan atas hanya mengalami marginalisasi tipe 4. Apabila dianalisis menurut hubungan antara lapisan sosial dan marginalisasi, maka dapat disimpulkan bahwa dalam industrialisasi pedesaan: 1) Tidak ada hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi perempuan tipe 1 yang ditunjukkan dengan tidak terjadinya marginalisai perempuan tipe 1 pada seluruh lapisan sosial, 2) Terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 2, dan 3) Tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial dengan marginalisasi tipe 3. 7.2 Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa industrialisasi telah membawa sejumlah perubahan bagi perempuan pada kondisi yang lebih baik. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong industrialisasi pedesaan, agar dapat menghapuskan ketimpangan gender yang masih ada. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan untuk menyetarakan pendidikan bagi kaum laki-laki dan perempuan, agar perempuan dapat menyetarakan posisinya dengan laki-laki. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat kebijakan ketenagakerjaan yang mengatur kesamaan upah minimum yang layak bagi perempuan dan laki-laki, serta menyelenggarakan pendidikan mengenai kesadaran gender di lembaga-lembaga pendidikan dan bagi para pengambil kebijakan. Penelitian ini memiliki kelemahan dalam mengidentifikasi marginalisasi dalam industrialisasi pedesaan, karena penelitian tidak dilakukan pada responden yang bekerja

67 pada industri rumah tangga yang banyak terdapat di Desa Tarikolot. Pilihan lokasi penelitian yang terfokus di RW 07 membawa konsekuensi penarikan sampel yang dominan bekerja pada industri besar. Oleh karena itu, pada penelitian serupa selanjutnya, diharapkan dilakukan pula pada responden yang bekerja pada industri rumah tangga di Desa Tarikolot.

68 DAFTAR PUSTAKA Agustin SK, Seffy Perdani. 2011. Industrialisasi: Mata kuliah perekonomian Indonesia. [Internet]. [dikutip 4 Februari 2012]. Dapat diunduh dari: http://zhes.wordpress.com/2011/05/22/industrialisasi/ Beneria Lourdes. 1979. Reproduksi, produksi, dan pembagian kerja seksual Bogor [ID]: PSP-IPB o ISS o PPLH-ITB [BPS]. Biro Pusat Statistik. 1987. Penduduk Jawa Barat 1985, Seri SUPAS no. 15. [Internet]. [dikutip 25 Juni 2011]. Dapat diunduh dari: http://malut.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=440:ketersedi aan-data-terpilah&catid=106:artikel&itemid=528 [BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Konsep ketenagakerjaan. [Internet]. [dikutip 10 Januari 2012]. Dapat diunduh dari: http://sukabumikab.bps.go.id/component/content/article/52-ekonomi/153 ketenagakerjaan.html [BPS] Biro Pusat Statistik. 2011. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Tahun 2009. [Internet]. [dikutip 25 Juni 2011]. Dapat diunduh dari: http://batangharikab.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=23:ti ngkat-partisipasi-angkatan-kerja-tpak-dan-tingkat-pengangguran-terbuka-tpt-tahun- 2009&catid=11:ketenagakerjaan&Itemid=66 Fakih Mansour. 1996. Analisis gender dan transformasi sosial. Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar. Galus Ben Senang. 2010. Pendidikan lingkungan hidup: Untuk sebuah keberlanjutan hidup bersama. [Internet]. [dikutip 16 Mei 2011]. Dapat diunduh dari http://www.pendidikan-diy.go.id/?view=v_artikel&id=4 Grijns Mies dkk. 1992. Proyek penelitian sektor non-pertanian pedesaan Jawa Barat. PSP-IPB o ISS o PPLH-ITB. Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan perempuan dari masa ke masa. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

69 Kusdiansyah Dani. 2008. Pembangunan faktor pemiskinan perempuan desa?. [Internet]. [dikutip 25 Juni 2011]. Dapat diunduh dari: http://denikusdiansyah.wordpress.com/2008/07/21/pembangunan-faktor-pemiskinanperempuan-desa. Koentjaraningrat. 1994. Metode-metode penelitian masyarakat. Ed 3. Jakarta [ID]: Gramedia Pustaka Utama. Kusmayadi, Endar Sugiarto. 2000. Metodelogi penelitian dalam bidang kepariwisataan. Jakarta [ID]: Gramedia Pustaka Utama. Prasetyo Eko. 2007. Potensi usaha kerajinan Tumang Boyolali sebagai pendekatan pembangunan pedesaan yang bertumpu pada kegiatan usaha kecil. [Internet]. [dikutip 8 Mei 2011]. Dapat diunduh dari: http://eprints.undip.ac.id/6112/ Prasodjo Nuraini W, Pandjaitan Nurmala K. 2003. Stratifikasi sosial. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Sajogyo Pudjiwati. 1983. Peranan wanita dalam perkembangan masyarakat desa. Jakarta [ID]: Rajawali. Saptari Ratna, Holzner Brigitte. 1997. Perempuan kerja dan perubahan sosial sebuah pengantar studi perempuan. Jakarta [ID]: Pustaka Utama Grafiti. Singarimbun M, Sofian Effendi. 2006. Metode penelitian survei. Jakarta [ID]: LP3ES. Soekanto Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu pengantar. Jakarta [ID]: RajaGrafindo Persada. Tahir Ratnawati. 2010. Revolusi Hijau pinggirkan perempuan petani kecil. [Internet]. [dikutip 4 Februari 2012]. Dapat diunduh dari : http://yahyaunsa.blogspot.com/2010/06/dr-ir-ratnawati-tahir-msi-revolusi.html Tambunan Mangara. 1990. Industrialisasi pedesaan dalam perspektif ekonomi nasional. Bogor [ID]: Sekindo Eka Jaya. Vries De, Wiliam Dede. 2006. Gender bukan tabu: Catatan perjalanan fasilitasi kelompok perempuan di Jambi. Bogor [ID]: Center For Internasional Forestry Research (CIFOR). Wahyuni ES. 2004. Pedoman teknis menulis skripsi. Bogor [ID]: IPB Press. Wahyuni ES. 2011. Pedoman teknik penulisan laporan studi pustaka. Bogor[ID]: Sains KPM IPB Pr. 51 hal.

70 Lampiran 1. Kuesioner Nomor Responden Tanggal Wawancara MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Peneliti bernama Febli Tanzenia, adalah seorang mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini peneliti sedang menyelesaikan skripsi dengan judul Marginalisasi Perempuan Dalam Industrialisasi Pedesaan sebagai salah satu syarat kelulusan studi. Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, peneliti mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk menjawab pertanyaan pertanyaan pada kuesioner ini dengan jujur dan sesuai keadaan yang sebenarnya. Hasil dan kerahasiaan jawaban anda semata mata hanya dipergunakan untuk kepentingan penelitian dan penulisan skripsi saja. Atas bantuan dan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I mengisi kuesioner ini, peneliti menyampaikan terima kasih. A. Identitas Responden Nama responden : Umur : Jenis Kelamin* : a. Laki-laki b. Perempuan Alamat : No. Tlp : Pendidikan Terakhir : *) Lingkari jawaban yang sesuai

71 B. Data Rumah Tangga (Pelebaran Ketimpangan Ekonomi Antara Rumah Tangga Laki-laki dan Rumah Tangga Perempuan) No Nama Jenis Kelamin L P Status dalam Keluarga Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan C. Marginalisasi Berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban yang tersedia 1. Apakah Anda bekerja? a. Ya b. Tidak 2. Apa jenis pekerjaan yang Anda lakukan? Jawab :... 3. Apa alasan Anda melakukan pekerjaan tersebut? a. mencari nafkah b. mengisi waktu luang c. membantu kepala keluarga d. menyalurkan bakat/hobi e. lain-lain (sebutkan). 4. Apa status pekerjaan Anda? a. Pengusaha/Pemilik usaha b. Buruh/karyawan c. Pekerja keluarga yang tidak dibayar 5. Sudah berapa lama Anda melakukan pekerjaan tersebut? Jawab :...

72 6. Berapa curahan waktu yang Anda gunakan untuk melakukan pekerjaan tersebut? Jawab : 7. Bagaimana cara Anda memperoleh imbalan dari pekerjaan tersebut? Jawab : 8. Berapa imbalan yang Anda peroleh dari pekerjaan tersebut selama satu bulan? Jawab :... 9. Apakah Anda memiliki pekerjaan sampingan? Jawab :.. (Jika Tidak, lanjut ke pertanyaan nomor 17) 10. Apa jenis pekerjaan sampingan Anda? Jawab :.. 11. Mengapa Anda memilih pekerjaan sampingan tersebut? a. mencari nafkah b. mengisi waktu luang c. membantu kepala keluarga d. menyalurkan bakat/hobi e. lain-lain (sebutkan)... 12. Apa status pekerjaan sampingan Anda? a. Pengusaha/Pemilik usaha b. Buruh/karyawan c. Pekerja keluarga yang tidak dibayar 13. Sudah berapa lama Anda melakukan pekerjaan sampingan tersebut? Jawab :.. 14. Berapa curahan waktu yang Anda gunakan untuk melakukan pekerjaan sampingan tersebut? Jawab :.. 15. Bagaimana cara Anda memperoleh imbalan dari pekerjaan sampingan tersebut? Jawab :.. 16. Berapa imbalan yang Anda peroleh dari pekerjaan sampingan tersebut selama satu bulan? Jawab :... D. Lapisan Sosial Ekonomi

Berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban yang tersedia 17. Dimanakah sumber mata air yang digunakan untuk keperluan MCK? a. Sumur galian c. PAM b. Pompa listrik d. Air tanah e. lain-lain (sebutkan) 18. Bagaimanakah bentuk bangunan rumah Bapak/Ibu? a. Permanen b. Semi permanen c.tidak permanen 19. Berapakah besarnya tegangan listrik maksimum di rumah Bapak/Ibu? Jawab.. 20. Bagaimanakah bentuk kepemilikan rumah Bapak/Ibu? a. Sewa c. Menumpang b. Milik sendiri d. lain-lain (sebutkan). 21. Berapakah jumlah kendaraan roda dua yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 22. Berapakah jumlah kendaraan roda empat yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 23. Berapakah jumlah televisi yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 24. Berapakah jumlah radio yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 25. Berapakah jumlah VCD/DVD player yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 26. Berapakah jumlah tape recorder yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 27. Berapakah jumlah telepon genggam (Hp) yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 28. Berapakah jumlah kulkas yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 29. Berapakah jumlah AC yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 30. Berapakah jumlah kipas angin yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 31. Berapakah jumlah mesin cuci yang Anda miiki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 32. Berapakah jumlah magic com yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 33. Berapakah jumlah hewan ternak yang Anda miliki? a. Tidak ada b. 1 c. >1 34. Apakah Anda memiliki sawah? a. Ya b. Tidak Jika Ya, sebutkan luasnya 73

74 35. Apakah Anda mengikuti organisasi yang ada di desa? a. Ya b. Tidak (Jika Tidak, lanjutkan ke bagian d) 36. Jenis Organisasi apa yang anda ikuti? a. Karang Taruna b. PKK c. Gapoktan d. lain-lain (sebutkan ) 37. Apakah Anda aktif terlibat dalam organisasi tersebut? a. Ya b. Tidak 38. Apakah jabatan Anda dalam organisasi tersebut? a. Ketua b. Sekretaris c. bendahara d. Pengurus e. Anggota f. lainnya (sebutkan...) E. Berdasarkan tunjangan yang diperoleh 1. Berikan tanda checklist ( ) untuk jaminan keluarga yang Anda dapatkan dari tempat kerja No Jaminan dan Fasilitas yang Diterima Ya Tidak 1. Memperoleh THR 2. Memperoleh santunan menikah 3. Memperoleh santunan anggota keluarga sakit 4. Memperoleh santunan pendidikan anak 5. Memperoleh santunan keluarga meninggal dunia 6. Memperoleh rumah/tempat tinggal 7. Memperoleh pinjaman/hutang 8. Memperoleh sembako bulanan 9. Memperoleh dana pensiun 10. Memperoleh pesangon bila di-phk 2. Berikan tanda checklist ( ) untuk jaminan kesehatan yang Anda

75 dapatkan dari tempat kerja No Jaminan dan Fasilitas yang Diterima Ya Tidak 1. Libur/cuti jika sakit 2. Libur/cuti menstruasi dan melahirkan 3. Biaya pengobatan rawat inap bila sakit 4. Biaya pengobatan rawat jalan bila sakit 5. Asuransi kesehatan penduduk miskin 3. Berikan tanda checklist ( ) untuk jaminan keselamatan dan fasilitas yang Anda dapatkan dari tempat kerja No Jaminan dan Fasilitas yang Diterima Ya Tidak 1. Asuransi keselamatan kerja 2. Kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja 3. Fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas, karung) D. Pola Alokasi tenaga Kerja 1. Sebutkan kegiatan yang Anda kerjakan sejak bangun tidur (pagi) hingga tidur kembali (malam) sehari yang lalu pada tabel di bawah ini! No. Waktu Kegiatan Lamanya

76 Lampiran 2. Pedoman Wawancara Mendalam PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM Nama : Umur : Jenis kelamin : Tanggal wawancara : 1. Apakah terdapat perbedaan pemberian upah antara perempuan dan laki-laki? Mengapa? 2. Apakah terdapat perbedaan jaminan kerja antara perempuan dan laki-laki? Mengapa? 3. Apakah terdapat perbedaan jaminan keluarga antara perempuan dan laki-laki? Mengapa? 4. Apakah terdapat jaminan kesehatan antara perempuan dan laki-laki? Mengapa? 5. Sebutkan nama lima orang warga desa yang disebut orang kaya! Berikan alasannya! 6. Sebutkan nama lima orang warga desa yang disebut sederhana! Berikan alasannya! 7. Sebutkan nama lima orang warga desa yang disebut tidak mampu! Berikan alasannya!

77 Lampiran 5. Dokumentas Penelitian 1. Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perindustrian 2. Gerbang Utama PT. Ricky Putra Globalindo, Citeureup-Bogor

78 3. Kondisi jalan Desa Tarikolot pada jam pulang kerja 4. Kantor Desa Tarikolot

79 5. Gerbang utama PT. Wacoal Indonesia, Citeurep-Bogor 6. Kondisi karyawan saat pulang kerja dan menunggu jemputan

80 Lampiran 6. Sketsa Lokasi Penelitian 1. Sketsa Desa Cikarawang

2. Sketsa Desa Tarikolot 81