I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN Latar Belakang

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA AIDIL JUZAR

I.1. Latar Belakang strategi Permasalahan Dari sisi pertanian

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

10Pilihan Stategi Industrialisasi

IV. METODOLOGI 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

Daerah dan Pusat, merupakan wujud komitmen dalam menjabarkan desentralisasi.

INDUSTRI.

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

3. PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI BERBASIS KLASTER

PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA GLOBALISASI

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

BAB I PENDAHULUAN. Dalam usaha percepatan pembangunan ekonomi, industrialisasi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR TEKSTIL INDONESIA TAHUN

BAB 25 Tahap -Tahap Pembangunan Cluster Industri Agribisnis

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

2. AGROINDUSTRI KOMODITAS UNGGULAN

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

V. ANALISA SISTEM. 5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini

BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

I. PENDAHULUAN. Penlbangunan nasional pada kerangka makro hakekatnya mempunyai

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan nasional yang telah ditetapkan dalam. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 mengamanatkan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Membangun Pertanian dalam Perspektif Agribisnis

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang penuh patriotisme, Indonesia berusaha membangun perekonomiannya. Sistem perekonomian Indonesia yang terbuka membuat kondisi

DAMPAK PERKEMBANGAN INDUSTRI BESAR TERHADAP SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN TEMANGGUNG TUGAS AKHIR. Oleh: RIZKI OKTARINDA L2D

I. PENDAHULUAN. Menurut Saragih (2001), pengembangan sektor agribisnis pada. masa yang akan datang menghadapi sejumlah tantangan besar yang

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN. negara, meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

14Pengembangan Agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari. pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara agraris dan maritim harus memberdayakan potensi dan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang

MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. ditujukan kepada pengembangan industri yang berbasis pertanian dan

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB II KERANGKA TEORITIS

I. PENDAHULUAN. khususnya yang dihasilkan dari industri agro perlu dianalisis, dipahami

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. pada situasi krisis moneter yang melanda lndonesia saat ini harus memikul

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROSPEK AGRIBISNIS 2001 DAN EVALUASI PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, diawali dengan strategi substitusi impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (Siahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk mengimpor produk-produk industri manufaktur, dan pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain berupa larangan impor, kuota dan lisensi impor, ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya. Pilihan pada strategi substitusi impor tersebut telah mendorong diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri-industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industriindustri berbasis pertanian (agroindustri) yang berpotensi memiliki keunggulan kompetitif bila dikembangkan, kurang mendapatkan perhatian. Strategi substitusi impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki. Melihat pengalaman beberapa negara berkembang yang kurang berhasil dengan strategi substitusi impor, badan-badan dunia (a.l. Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan strategi promosi ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari strategi substitusi impor menjadi strategi promosi ekspor.

2 Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, maka industrialisasi harus sepenuhnya dilaksanakan dengan strategi promosi ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990-an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang dimasa lalu dibangun dengan strategi substitusi impor, dengan pendekatan industri berspektrum luas dan dengan pendekatan industri teknologi tinggi, kurang memiliki kemampuan untuk memasuki pasar ekspor karena kurang memiliki daya saing. Dilain pihak terlihat bahwa dalam menghadapi krisis ekonomi ini, industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut (Saragih 2001). Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri. Agroindustri yang dimaksud disini adalah industri sebagaimana yang didefinisikan oleh Austin dalam Brown (1994) yaitu: Perusahaan yang memproses bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dalam proses mana terjadi transformasi dan preservasi melalui perubahan fisika atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Pengembangan agroindustri akan memberikan manfaat sebagai berikut (Saragih 2001) : 1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan -kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri.

3 2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup terjamin. 3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam. 4) Pasar untuk produk agroindustri memiliki peluang untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi. 5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota. 6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa. Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehin gga antara lain dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti: mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan (Saragih 2001). Dillon (1999) berpedapat bahwa investasi di agroindustri akan membawa dampak positif ganda dalam perekonomian nasional. Pertama, pengembangan produk agroindustri dengan bahan baku hasil pertanian lokal akan meningkatkan produktivitas petani, menghemat devisa, dan mendorong pertumbuhan yang lebih merata. Kedua, melalui peningkatan pangsa pasar ekspor produk agroindustri, akan dapat diraih devisa dalam jumlah yang lebih besar.

4 Agar pembangunan agroindustri dimaksud dapat menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat, maka Propenas menetapkan agar pembangunan tersebut dilakukan dengan pendekatan klaster industri. Selanjutnya Propenas menyatakan bahwa: Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horizontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing nasional. Pengembangan klaster industri membutuhkan rumusan strategi nasional industrialisasi yang perumusannya melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha. Strategi nasional tersebut memuat arahan pengembangan masing-masing klaster industri yang secara khusus mempertimbangkan potensi sumber daya lokal. Melalui pendekatan ini Pemerintah Daerah beserta pelaku usaha terkait memiliki peluang lebih besar di dalam menciptakan lingkungan bisnis lokal yang kondusif. Pada hakekatnya, klaster industri merupakan bentukan organisasi industrial yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, tuntutan disentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Pendekatan klaster industri sebagaimana yang diamanatkan oleh Propenas tampaknya tidak terlepas dari pengaruh hasil penelitian Porter (1990) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya pada 10 negara yang industrinya sudah maju (Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Korea, Singapura, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat), ditemukan kenyataan bahwa lokasi industri-industri yang kompetitif di negara-negara tersebut tidak tersebar merata diseluruh wilayahnya, tetapi cenderung mengelompok pada daerah -daerah tertentu, membentuk klaster-klaster industri. Hal ini menurut Porter terjadi karena dinamika dari national diamond negara-negara tersebut mendorong terbentuknya klaster-klaster industri yang kompetitif di daerah -daerah tertentu saja.

5 Sejak terbitnya hasil penelitian Porter tersebut, maka fenomena klaster industri telah menjadi topik pembahasan dan penelitian dibanyak negara, dan pendekatan klaster industri telah dijadikan kebijakan pengembangan industri dibanyak negara industri maju dan di negara yang termasuk newly industrialized countries. Diberbagai daerah di Indonesia pada waktu ini telah terdapat aglomerasi industri-industri di wilayah tertentu, berupa sentra-sentra industri dan kawasankawasan industri. Dengan dipilihnya pendekatan klaster industri dalam Propenas sebagai upaya menjawab tantangan persaingan global yang makin ketat, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan aglomerasi industri tersebut di atas menjadi berbagai klaster industri yang kompetitif. Diantara aglomerasi industri tersebut, terdapat antara lain pengelompokan agroindustri (Depperindag 2001): kelompok agroindustri sawit di Sumatera Utara, kelompok agroindustri pengalengan ikan di Indonesia Bagian Timur, kelompok agroindustri karet di Sumatera dan Kalimantan, kelompok agroindustri berbasis kayu di Kalimantan dan Jawa Tengah, kelompok agroindustri berbasis tembakau di Jawa, kelompok agroindustri berbasis cocoa di Jawa dan Sulawesi, kelompok agroindustri sari buah di Jawa, kelompok agroindustri kulit dan barang jadi dari kulit di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) menemukan bahwa klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat aglomerasi yang diperoleh baru berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai survival cluster. Klaster jenis ini sebagian besar bersifat stagnant, sehingga akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, tetapi tidak mendapatkan manfaat lain dari aglomerasi tersebut. Sebagian lainnya dapat tumbuh dan berkembang menjadi klaster yang sudah lebih maju sebagaimana

6 yang didefinisikan oleh Cooke (2001): Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field. Pada masa-masa yang lalu terlihat bahwa dengan terpisah -pisahnya pembinaan industri pada berbagai departemen teknis, maka pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan sektor industri (industrial sector approach) sehingga tidak tercapai sinergi yang maksimal antar industri. Demikian pula penyediaan prasarana yang diperlukan oleh industri ditangani oleh berbagai departemen teknis yang sulit dikordinasikan. Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sesuai Pasal 7, ayat 1 yang berbunyi: Kewenangan Daerah mencakup kewenangan diseluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiscal, agama, serta kewenangan di bidang lain, dan Pasal 10, ayat 1 yang menetapkan bahwa: Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan, maka kewenangan yang ada pada kepala daerah untuk mengelola sumber daya yang terdapat di daerahnya dapat digunakan untuk memacu pengembangan industri di wilayahnya, terutama sektor agroindustri. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Propenas, bahwa pembangunan klaster industri membutuhkan rumusan strategi nasional industrialisasi yang perumusannya perlu melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha dan pihak-pihak yang terkait. Menurut Blakely dan Bradshaw (2002) sasaran pokok pembangunan ekonomi dari pembuat kebijakan di Pemerintah Daerah adalah peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya. Hal ini hanya dapat terlaksana dengan cara meningkatkan daya saing dari masing-masing daerah. Untuk mencapai hal tersebut, pembuat kebijakan pada tingkat lokal dan wilayah harus mengembangkan kebijakan yang sehat, dan memonitor hasil dari kebijakan yang ditetapkan. Pengalaman diberbagai negara memperlihatkan bahwa wilayahwilayah dimana terdapat klaster-klaster industri telah mengalami pertumbuhan

7 ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter (1998c) memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan kontributor terbesar dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor keluar daerahnya. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan industri di daerah, Ohmae (1995) berpendapat bahwa dalam dunia tanpa batas saat ini (borderless world), daerah yang disebutnya region state, akan menggantikan negara (nation state) sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global. Region state tersebut dapat berupa wilayah geografis dalam suatu negara ataupun wilayah geografis yang terdiri dari wilayah beberapa negara. Hal yang senada juga disampaikan oleh Porter (1990), bahwa para pelaku industri yang sukses pada skala internasional, ternyata hampir semuanya berupa klaster industri yang berlokasi di suatu kota atau suatu daerah dalam suatu negara. Memahami daya saing suatu daerah menjadi sangat penting bagi setiap daerah yang perlu menyusun rencana strategis pengembangan daerah tersebut (Muchdie 2000). Keunggulan bersaing suatu daerah akan tercipta jika daerah tersebut memiliki kompetensi inti (core-competence) yang dapat dibedakan dari daerah lainnya. Kompetensi inti daerah ini dapat diwujudkan melalui penciptaan berbagai faktor produksi yang bisa menyebabkan prestasi daerah tersebut jauh lebih baik dibandingkan daerah pesaing-pesaingnya (Muchdie 2000). Pembangunan industri di daerah perlu dilandasi oleh kompetensi inti yang dimiliki oleh daerah tersebut. Dalam konteks perusahaan, Hamel dan Prahalad (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai suatu kumpulan keterampilan dan teknologi yang dimiliki suatu perusahaan yang membuat perusahaan tersebut mampu memberikan manfaat tertentu kepada pelanggannya. Dalam konteks daerah, maka yang dimaksud dengan kompetensi inti daerah menurut Roberts dan Stimson (1998) adalah sekumpulan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki daerah tersebut yang berkaitan dengan kekuatan ekonomi domestik di bidang industri dan investasi, orientasi perdagangan, pengembangan teknologi, sumber daya alam dan sumber daya manusia, manajemen, keuangan, pengaturan (governance) dan infrastruktur yang dimiliki daerah, yang dapat mendukung pengembangan ekonomi daerah tersebut.

8 Menurut, Hitt et al. (1999), kompetensi inti daerah adalah kemampuan sumber daya yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut terhadap daerah pesaingnya. Terdapat empat kriteria yang mendukung terbentuknya kompetensi inti daerah, yaitu: kemampuan yang berharga (valuable capabilities), kemampuan yang langka (rare capabilities), kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities) dan kemampuan yang tidak dapat tergantikan (nonsubstitutable capabilities). 1.2 Perumusan Masalah Mengacu pada uraian di atas, maka akan sangat bermanfaat apabila dapat dikembangkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti yang dimiliki daerah. Analisa klaster industri untuk mengidentifikasi klaster dan menyusun strategi yang banyak digunakan di negara industri maju saat ini memerlukan data berupa tabel input ouput dan data kuantitatif lainnya di bidang industri dan perdagangan. Data berupa tabel input output dan banyak data kuantitatif lainnya pada saat ini belum tersedia di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu dikembangkan model untuk identifikasi klaster dan strategi pengembangan, dengan masukan berupa data yang secara teratur sudah dikumpulkan oleh instansi terkait yang bertugas untuk itu, seperti: Badan Pusat Statistik, Departemen -departemen Teknis yang terkait, serta dilengkapi dengan masukan berupa pendapat para ahli. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti di daerah Kabupaten dan kelembagaannya, yang diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak kegiatan ekonomi didaerah tersebut. Tujuan spesifik penelitian ini adalah : 1) Pemilihan kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi menjadi klaster. 2) Pemetaan elemen klaster agroindustri unggulan. 3) Strukturisasi elemen sistem pengembangan klaster agroindustri.

9 4) Implikasi kebijakan pengembangan dan perancangan sistem kelembagaan klaster agroindustri unggulan daerah. Model yang dirancang memiliki kebaruan pada metodologi untuk memilih kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi untuk menjadi klaster dan identifikasi industri intinya dengan merangkai beberapa metode identifikasi kompetensi inti dan identifikasi atribut kelompok agroindustri ke dalam suatu metode pemilihan peringkat kelompok agroindustri. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1) Rekayasa model untuk identifikasi kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri dan identifikasi atribut kelompok agroindustri di daerah Kabupaten. 2) Rekayasa model untuk memilih kelompok agroindustri yang menjadi calon klaster agroindustri unggulan di Kabupaten, dan pemetaan klaster 3) Rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Kabupaten, identifikasi implikasi kebijakan dan perancangan sistem kelembagaan. 4) Verifikasi untuk model dilakukan pada agroindustri di kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. 5) Perusahaan yang membentuk klaster yang dicakup dalam penelitian ini adalah perusahaan agroindustri yang menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik termasuk kategori Perusahaan Industri Sedang, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang, dan Perusahaan Industri Besar, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih. 6) Analisa-analis a dilakukan terhadap kelompok agroindustri yang terdiri dari satu atau beberapa kelompok agroindustri 3-dig it dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri 2000 (KBLI 2000).