IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI. Eko Laillatul Heryansah

INTERSEPSI HUJAN PADA HUTAN TANAMAN Agathis loranthifolia Sal. DI DAS CICATIH HULU SUKABUMI. Eko Laillatul Heryansah

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

NERACA AIR. Adalah perincian dari masukan (input) dan keluaran (output) air pada suatu permukaan bumi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.1. tetap

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTREM SURABAYA DI SURABAYA TANGGAL 24 NOVEMBER 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN PADA HUTAN PINUS DI TAMAN HUTAN RAYA BUKIT BARISAN TONGKOH KABUPATEN KARO BERDASARKAN MODEL KESEIMBANGAN AIR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

ANALISA CUACA TERKAIT KEJADIAN ANGIN KENCANG DI PRAMBON SIDOARJO TANGGAL 02 APRIL 2018

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

MEMBUAT ALAT UKUR HUJAN SEDERHANA

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi 5.2 Model Arsitektur Pohon

BAB III LANDASAN TEORI

global warming, periode iklim dapat dihitung berdasarakan perubahan setiap 30 tahun sekali.

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

TINJAUAN PUSTAKA. sangat penting bagi kehidupan di bumi ini. Menurut ahli silvika, hutan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP INTERSEPSI HUJAN (KASUS SUB DAS NOPU SULAWESI TENGAH)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB III LANDASAN TEORI

PENERAPAN MODEL GASH UNTUK PENDUGAAN INTERSEPSI HUJAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

ANALISIS KEJADIAN HUJAN DISERTAI ANGIN KENCANG DI WILAYAH KOTA PONTIANAK DAN SEKITARNYA KALIMANTAN BARAT TANGGAL 04 DESEMBER 2017

BAB III HUJAN DAN ANALISIS HUJAN

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

Gambar 17. Tampilan Web Field Server

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 PRESIPITASI (HUJAN)

BAB III BAHAN DAN METODE

STUDI TERHADAP PRODUKTIVITAS SERASAH, DEKOMPOSISI SERASAH, AIR TEMBUS TAJUK DAN ALIRAN BATANG SERTA LEACHING PADA BEBERAPA KERAPATAN TEGAKAN PINUS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH

ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018

Pengaruh Hujan terhadap Perubahan Elevasi Muka Air Tanah pada Model Unit Resapan dengan Media Tanah Pasir

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

CONCEPTUAL MODEL OF INTERCEPTION TO ANTICIPATE RUNOFF

Limpasan (Run Off) adalah.

Siklus Air. Laut. awan. awan. awan. Hujan/ presipitasi. Hujan/ presipitasi. Hujan/ presipitasi. Evapotranspirasi. Aliran permukaan/ Run off.

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai dengan Januari 2014 di

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

INTERSEPSI AIR HUJAN PADA TANAMAN KOPI RAKYAT DI DESA KEBET, KECAMATAN BEBESEN, KABUPATEN ACEH TENGAH

I Dewa Gede Jaya Negara*, Anid Supriyadi*, Salehudin*

ANALISIS CURAH HUJAN SAAT KEJADIAN BANJIR DI SEKITAR BEDUGUL BALI TANGGAL 21 DESEMBER 2016

POLA DISTRIBUSI HUJAN JAM-JAMAN DI DAS TONDANO BAGIAN HULU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan bejana berjungkit sebagai alat pengukuran memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan pengggunaan alat pengkuran konvensional. Kelebihan alat ini memberikan kemudahan dalam melakukan pengukuran di lapang. Bejana berjungkit dirancang untuk melakukan pengiriman sinyal secara otomatis ke dalam alat perekam data. Sehingga, tidak perlu melakukan peritungan manual untuk mengetahui jumlah air yang jatuh sebagai curahan tajuk dan aliran batang. Penggunaan alat ini saat di lokasi penelitian tidak memiliki masalah yang signifikan, sehingga sangat efisien dan efektif digunakan untuk melakukan penelitian..1 Kalibrasi bejana berjungkit Kalibrasi statik Bejana berjungkit yang digunakan dalam penelitian dilakukan kalibrasi terlebih dahulu untuk mendapatkan data perhitungan yang akurat. Kalibrasi yang dilakukan yaitu kalibrasi statik dan dinamik. Kalibrasi dilakukan terhadap semua bejana berjungkit untuk melihat karakteristik dari masing-masing alat tersebut. Kapasitas tampung bejana saat awal pembuatan alat di rancang memiliki kapasitas yang sama dengan menentukan bentuk, panjang dan sudut yang sama pada setiap bucket. Namun, dari hasil kalibrasi statik ternyata terdapat perbedaan kapasitas tampung pada masing-masing sisi bejana. Kapasitas awal yang diinginkan setiap sisi bejana pada bejana berjungkit aliran batang adalah sebesar ml dan untuk bejana berjungkit curahan tajuk adalah 3 ml. Hasil kalibrasi statik pada bejana berjungkit aliran batang menunjukkan kapasitas bejana pada masing-masing sisi dengan nilai yang bervariasi berkisar dari 3 ml sampai dengan 3 ml (Lampiran 1) Perbedaan ini dapat disebabkan beberapa hal diantaranya bentuk bejana, posisi dan sudut dari peletakkan bejana pada pipa T pada masing-masing bejana berjungkit. Walaupun tampak sama secara kasat mata, dimungkinkan ada sedikit perbedaan yang menyebabkan kapasitas yang berbeda pada masing-masing sisi bejana. Kapasitas tampung bejana pada bejana berjungkit curahan tajuk juga memiliki variasi nilai, yaitu berkisar antara 16 ml sampai dengan 33 ml (Lampiran ). Perbedaan yang ada pada masing-masing sisi bejana tidak menjadi masalah, dikarenakan nilai kalibrasi ini akan disertakan dalam perhitungan dan analisis hasil pengukuran. Sehingga perhitungan yang dilakukan dapat menghasilkan data yang akurat. Kalibrasi statik dapat menunjukkan kekonsistenan alat pengukuran, kapasitas tampung pada masing-masing sisi bejana tidak memiliki perbedaan nilai yang jauh pada setiap ulangan. Ditunjukkan pada kisaran nilai standar deviasi yang relatif kecil. Nilai ini menunjukan penyimpangan data hasil kalibrasi pada setiap ulangan (Lampiran 1). Kalibrasi dinamik Kalibrasi dinamik merupakan suatu cara untuk mereduksi besarnya air yang tidak terhitung sebagai akibat dari mekanisme bejana berjungkit saat terjadi jungkitan. Air yang masuk ke dalam lubang bejana berjungkit tidak terhitung ketika posisi bejana yang terisi air kembali ke posisi istirahat (tidak terisi air). Kalibrasi dinamik dilakukan untuk menghitung jumlah air yang tidak terhitung. Namun hasil kalibrasi dinamik ini efektif untuk aliran air yang sangat tinggi saat pengukuran (Calder dan Kidd, 197). Hal ini dapat dimaksudkan pada aliran yang tinggi, dinamika jungkitan pada bejana berjungkit bernilai maksimal. Artinya waktu antar jungkitan sangat cepat sehingga air yang tidak terhitung akan lebih besar. Kalibrasi dinamik dilakukan dengan memberikan laju aliran yang berbeda menggunakan pompa air berdaya rendah. Aliran air yang diberikan untuk bejana berjungkit aliran batang yaitu : 19 ml/detik, 13 ml/detik, 9 ml/detik, ml/detik dan 5 ml/detik. Sedangkan aliran air untuk bejana berjungkit curahan tajuk dilakukan dengan aliran yang bervariasi yaitu ; 77 dan 3 ml/detik, 63 dan 67 ml/detik, -5 ml/detik, -9 ml/detik dan 1-1 ml/detik (Lampiran 3 dan ). Kalibrasi dinamik menghasilkan nilai aliran air (Q) dan waktu antar jungkitan (T) yang secara grafik dapat diplotkan antara 1/Q dan T, sehingga akan didapatkan persamaan kalibrasi dinamik yang dapat digunakan untuk melakukan perhitungan hasil pengukuran dengan persamaan 1. 9

Tabel 5. Persamaan hasil kalibrasi dinamik setiap bejana berjungkit Bejana berjungkit curahan No. Tajuk 1 TBB 1 y = 6.7x +.56 TBB y = 9.x +.55 3 TBB y = 96.3x +.65 TBB 5 y = 76.3x +.96 5 TBB y = 63.x +.33 Bejana berjungkit Aliran Batang 6 TBK 1 y = 33.93x + 1.361 7 TBK y = 6.13x + 1.3 TBK 3 y = 33.77x + 1.579 9 TBK y = 6.91x +.155 1 TBK 5 y = 3.x + 1.1 Nilai yang diperoleh dari kalibrasi statik dan dinamis digunakan untuk melakukan perhitungan dengan menentukan resolusi tiap bejana berjungkit... Resolusi tiap bejana berjungkit Nilai yang diperoleh dari hasil kalibrasi statik dan dinamik merupakan nilai kapasitas tampung tiap sisi bucket pada masing-masing bejana berjungkit. Nilai ini sangat penting untuk menentukan besarnya resolusi (dalam satuan mm) yang digunakan dalam perhitungan data hasil pengukuran. Perhitungan resolusi untuk alat pengukuran curahan tajuk didapatkan dari persamaan dengan menghitung luas permukaan dari talang penampung tersebut. Kemiringan sudut yang dibentuk sangat kecil, sehingga luas permukaan tidak berkurang sesuai dengan dimensi dari talang penampung tersebut. Resolusi bejana berjungkit disesuaikan dengan kondisi sisi masing-masing bucket yang berbeda dan hasil dari kalibrasi dinamik. Tabel 6. Resolusi bejana berjungkit curahan tajuk (dalam mm) No. TBB Sisi 1 Sisi TBB 1..1 TBB.. TBB.. TBB 5.1. TBB..1 Nilai resolusi dari masing-masing bejana berjungkit curahan tajuk berkisar antara.1-. mm. Hal ini menunjukkan perbedaan kapasitas tidak bepengaruh besar terhadap resolusinya. Nilai tersebut digunakan untuk perhitungan curahan tajuk dengan asumsi jungkitan yang pertama merupakan sisi 1 dan selanjutnya adalah sisi. Tabel 7. Resolusi bejana berjungkit aliran batang (dalam mm) No. TBK Sisi 1 Sisi TBK 1.7. TBK..5 TBK 3.. TBK.. TBK 5.. Bejana berjungkit yang digunakan untuk pengukuran aliran batang dengan resolusi berkisar.-.7 mm. Tiga dari lima bejana berjungkit yang digunakan untuk pengukuran ini memiliki resolusi masing-masing sisi yang seragam yaitu. mm. Tabel. Resolusi dengan persamaan kalibrasi dinamik T (detik) TBB 1 TBB TBB TBB 5 TBB 3.......... 5..... Stem Flow TBK 1 TBK TBK 3 TBK TBK 5 3.11.9.7.9..9.6.6.5.6 5..5.5..5 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa resolusi tertinggi ketika waktu antar jungkitan (T) adalah 3 detik. Selain itu juga waktu antar jungkitan (T) pada data hasil pengukuran curahan tajuk dan aliran batang nilainya tidak lebih kecil dari 3 detik. Nilai waktu antar jungkitan (T) yang lebih besar dari 3 detik menggunakan resolusi kalibrasi statik untuk perhitungan curahan tajuk dan resolusi kalibrasi statik (Tabel 7) untuk perhitungan aliran batang. Hal ini sesuai dengan pendapat Calder dan Kidd (197) yaitu ketika aliran air rendah dan nilai waktu T lebih besar 1

dari nilai t dari hasil persamaan dinamik maka nilainya setara dengan kalibrasi statik..3. Komponen Intersepsi.3.1 Curah hujan Tercatat 3 kejadian hujan yang teramati selama penelitian. Total curah hujan harian bervariasi dari 1.6 mm sampai 7. mm (Gambar ). Curah hujan diamati dengan penakar hujan tipe bejana berjungkit dengan resolusi. mm dan perekaman data otomatis berinterval 6 menitan (Lampiran 11). Total curah hujan selama penelitian adalah 76. mm dengan total lama hujan sebesar 3.6 jam. Intensitas tertinggi (3. mm/jam) terjadi pada tanggal 15 November 7 dengan curah hujan sebesar 37. mm dan terjadi selama 1.1 jam. Sedangkan intensitas terendah sebesar mm/jam yang terjadi pada tanggal 17 November 7 dengan curah hujan sebesar 1.6 mm. Distribusi curah hujan (Gambar ) menunjukkan bahwa curah hujan kurang atau sama dengan mm/hari lebih sering terjadi selama penelitian yaitu kejadian hujan. Jadi selama penelitian menunjukkan kelas hujan sangat ringan dan ringan lebih sering terjadi. Tabel 9. Kelas hujan berdasarkan total curah hujan harian (mm/hari) Kategori Hujan Jeluk (mm/hari) Hujan sangat ringan < 5 Hujan ringan 5- Hujan normal -5 Hujan Lebat 5-1 Hujan sangat lebat >1 (Sumber: Sosrodarsono, 3) Hal ini sesuai dengan pengamatan selama penelitian bahwa hujan yang terjadi di daerah pegunungan termasuk hujan ringan dan terjadi dalam waktu yang lama. Kejadian ini akibat terbentuknya awan hujan sebagai akibat pengaruh dari orografis yang disebut sebagai hujan orografik. Tipe hujan seperti ini terjadi karena naiknya udara lembab secara paksa oleh pegunungan sehingga membawa udara sampai tahap kondensasi. Udara stabil yang naik menghasilkan awan tipe stratus dengan indikasi curah hujan ringan yang dan jatuh dalam waktu yang lama (Handoko, 1995) Berdasarkan distribusi intensitas hujan harian selama penelitian (Gambar 3) menunjukkan intensitas hujan selama penelitian lebih banyak pada selang kurang dari 5 mm/jam Curah Hujan (mm) yaitu sebanyak 13 kejadian hujan. Sedangkan intensitas lebih besar atau sama dengan 3 mm/jam sebanyak kejadian hujan. 7 6 5 3 1 Frekuejnsi Grafik Curah Hujan di Cangkuang -Oct 3-Oct 5-Oct 7-Oct 9-Oct 31-Oct 7-Nov 9-Nov 11-Nov 13-Nov 15-Nov 17-Nov 7-Nov 3-Nov 3-Des 5-Des 9-Des Tanggal Gambar. Distribusi curah hujan selama penelitian ( Okt-11 Des 7) 1 1 1 6 Distribusi Intensitas Curah Hujan di Cangkuang < 5 5-1 1- -3 >3 Intensitas (mm/jam) Gambar 3. Intensitas hujan selama penelitian.3. Curahan tajuk Data hasil pengukuran selama penelitian menunjukkan besarnya nilai curahan tajuk pada masing-masing kejadian hujan yang berkisar dari.66 mm sampai 3.36 mm. Total keseluruhan curahan tajuk selama penelitian yaitu 35.6 mm dari total curah hujan (76. mm) atau sekitar 57.3 %. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaimuddin (199) dengan persentase curahan tajuk pada tegakan yang sejenis yaitu sebesar 79.5 % dengan total curah hujan 71.9 mm. Persentase curahan tajuk pada masingmasing curah hujan yang terjadi selama penelitian bervariasi dari.39 % sampai 76.13 %. Nilai ini merupakan persentase yang cukup tinggi, sehingga menunjukkan bahwa curahan tajuk merupakan bagian yang paling besar dari curah hujan yang menyentuh lantai hutan. Penggunaan 5 buah talang dibawah tajuk untuk mengukur curahan tajuk dapat dikatakan Intensitas 11

cukup mewakili kondisi tajuk sesuai dengan penelitian Leyton dan Carlisle (1959) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah curahan tajuk dalam satu tajuk vegetasi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kondisi tajuk dalam satu vegetasi Karakteristik daun dari tanaman A.loranthifolia Sal. dengan bentuk yang kecil menjadikan luas permukaan tajuk tanaman ini kecil. Selain itu letak percabangan yang tidak beraturan juga menjadikan posisi daun dalam a) 16 Intensitas Curah Hujan dan Curahan Tajuk 16 November 7 keadaan miring keatas dan kebawah yang menyebabkan air hujan tidak tertahan lama pada tajuk. Faktor lain dari curah hujan yang berpengaruh terhadap besarnya curahan tajuk adalah intensitas hujan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menentukan besarnya intensitas hujan dari data 6 menitan. Intensitas curahan tajuk meningkat dengan meningkatnya intensitas hujan. Hal ini juga menunjukkan peningkatan jumlah curahan tajuk yang jatuh ke lantai hutan (Gambar ). Intensitas ( mm/ 6 menit ) 1 1 1 6 Tf 16 Intensitas Curah Hujan dan Curahan Tajuk 15 November 7 1 1 1 6 15: 15:6 15:1 15:1 15: 15:3 15:36 15: 15: 15:5 16: 16:6 16:1 16:1 16: 16:3 16:36 16: 16: 16:5 1:5 15:1 15: 16:6 16:3 16:5 17:1 17: 1:6 1:3 1:5 19:1 19: :6 :3 :5 1:1 1: : 3:1 Intensitas ( mm/ 6 menit ) Tf Gambar. Intensitas curah hujan dan curahan tajuk untuk melihat pengaruh intensitas hujan terhadap besarnya curahan tajuk ; (a) 16 November 7 ; (b) 15 November 7 1

.3.3 Aliran batang Aliran batang yang terjadi selama penelitian yaitu sebesar 7.17 mm dari total hujan sebesar 76. mm atau sebsar.9 %. Nilai ini sangat kecil dibandingkan dengan curahan tajuk. Nilai aliran batang pada kejadian hujan bervariasi dari sampai 1.1 mm dengan persentase sebesar sampai. %. Nilai aliran batang yang kecil terjadi karena air hujan yang jatuh di atas tajuk tanaman yang kecil, sehingga air yang mengalir di batang sedikit. Diameter batang tanaman dalam penelitian ini besarnya tidak jauh berbeda, sehingga aliran batang yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Asdak et al (199a) menyebutkan bahwa jumlah aliran batang meningkat dengan bertambahnya diameter batang. Hal ini terjadi karena batang utama memiliki waktu yang lebih lama hingga batang tersebut menjadi kering, dapat dimaksudkan bahwa air hujan yang mengalir pada batang dengan diameter yang lebih besar jumlahnya lebih banyak hingga batang tersebut kering setelah hujan berhenti. Intensitas hujan tidak berpengaruh terhadap intensitas aliran batang (Gambar 5) dikarenakan kecilnya air yang mengalir melalui batang dan pengaruh tinggi pohon. Air hujan butuh waktu lebih lama untuk mencapai pangkal batang seiring dengan bertambahnya tinggi pohon (Ford dan Deans, 197) Intensitas Aliran Batang Rataan 16 November 7 16 1 1 1 6 1:5 15: 15:5 16: 16:5 17: 17:5 1: 1:5 19: 19:5 : :5 1: 1:5 3:6 Intensitas (mm/menit) Sf Intensitas ( mm/ 6 menit ) 16 1 1 1 6 Intensitas Curah Hujan dan Aliran Batang 15 November 7 Sf 15: 15:6 15:1 15:1 15: 15:3 15:36 15: 15: 15:5 16: 16:6 16:1 16:1 16: 16:3 16:36 16: 16: 16:5 Gambar 5. Intensitas curah hujan dan aliran batang untuk melihat pengaruh intensitas hujan terhadap besarnya aliran batang ; (a) 16 November 7 ; (b) 15 November 7 13

Kemiringan cabang (sudut 3 ) pada batang utama dapat menyebabkan air mengalir menuju batang (Ford dan Deans, 197). Sehingga pada percabangan yang condong ke bawah, air tidak dialirkan menuju batang. Kulit batang yang licin memberikan peran besar dalam mengalirkan air hujan melalui batang. Air hujan akan mengalir dengan mudah dibandingkan kulit pohon yang kasar. Kondisi kulit yang kasar dan retak-retak menyebabkan air hujan masuk dan tertahan pada kulit batang. Tinggi bebas cabang juga berpengaruh dalam memberikan kontribusi aliran batang. Banyaknya percabangan pada batang utama dapat mengalirkan air menuju batang utama, sehingga semakin besar tinggi bebas cabang akan berpengaruh terhadap kontribusi aliran batang. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Asdak et al (1999) yang menyatakan bahwa jumlah dan posisi percabangan memengaruhi jumlah aliran batang... Karakteristik Tajuk..1. Kapasitas tajuk Air hujan yang jatuh di atas tajuk suatu vegetasi tidak langsung menembus tajuk dan jatuh menyentuh lantai hujan, melainkan tertahan beberapa saat di tajuk dan kemudian akan jatuh sebagai curahan tajuk. Kondisi ini menunjukkan adanya nilai optimum dari suatu tajuk untuk menyimpan air yang tertahan pada tajuk (jenuh). Kemampuan optimum suatu tajuk mengalami penjenuhan akibat hujan di atas tajuk dikenal dengan nama kapasitas tajuk (S). Nilai kapasitas tajuk akan berbeda tiap vegetasi dan hal ini merupakan karakteristik dari tajuk suatu vegetasi (Asdak et al, 199b). Kapasitas tajuk dapat ditentukan dengan menggunakan metode Leyton et al (1967). Nilai ini diperoleh dengan cara memplotkan nilai curah hujan bruto harian dengan nilai curahan tajuk harian. Kemudian ditarik garis lurus titiktitik terluar (berhadapan dengan sumbu-y) hingga menyentuh sumbu-y melewati sumbu-x dengan nilai curah hujan bernilai. Nilai kapasitas tajuk ditunjukkan dengan nilai intersept negatif dari sumbu-y (curahan tajuk). Titik-titik yang berada di sebelah kanan dari garis yang dibentuk menunjukkan nilai evaporasi minimum dimana terjadi hujan yang ringan namun terjadi curahan tajuk. Hal ini terjadi karena adanya proses evaporasi atmosfer yang tidak sempurna (Leyton et al, 1967). Hal ini dapat dimaksudkan hujan ringan jatuh tidak kontinyu atau terdapat jeda waktu hingga terjadi evaporasi namun sebelum proses itu selesai terjadi hujan kembali. Kondisi di atas juga dapat dikatakan bahwa hujan yang jatuh di atas tajuk tidak mampu untuk menjenuhkan tajuk. Karena terjadi hujan kembali maka tajuk yang basah tertimpa kembali oleh air hujan dan mencapai kapasitas maksimum sehingga air hujan jatuh menyentuh lantai hutan dan menjadi curahan tajuk Nilai kapasitas tajuk A.loranthifolia Sal. yang didapatkan dari hasil plot yaitu sebesar.55 mm. Nilai ini juga dapat menunjukkan curahan tajuk akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah hujan terjadi. Nilai curah hujan harian yang terjadi selama penelitian dikatakan dapat menjenuhkan tajuk tanaman ini jika dilihat dari hasil plot dan garis yang dibentuk dari curah hujan dengan curahan tajuk (Lampiran ). Jika dibandingkan dengan nilai kapasitas tajuk hasil penelitian Kaimuddin (199) pada tanaman sejenis didapatkan nilai sebesar.97 mm. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman A.loranthifolia Sal dari hasil penelitian nilai kapasitas tajuk yang lebih rendah menjadikan hujan neto lebih cepat terjadi. Karakteristik tajuk pada tumbuhan ini dengan kondisi tajuk yang kurang rapat, bentuk daun yang kecil dan percabangan yang tidak beraturan berpengaruh terhadap nilai kapasitas tajuk ini. Sehingga air hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman ini lebih kecil dibandingkan tanaman dengan tajuk yang sangat rapat dan permukaan daun yang luas. Kondisi yang diamati ketika terjadi hujan di dalam plot penelitian, air hujan yang masuk dan menyentuh lantai hutan terlihat sangat jelas. Sehingga tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. ini dapat dikatakan memiliki kemampuan yang rendah untuk menahan air hujan yang jatuh.... Porositas tajuk Kerapatan tajuk suatu vegetasi merupakan salah satu faktor terjadinya hujan neto. Tajuk yang kurang rapat akan menyebabkan air hujan mudah lolos dan jatuh melalui tajuk. Porositas tajuk menggambarkan kondisi penutupan tajuk yang menentukan besarnya air yang hujan yang lolos hingga menyentuh permukaan tanah. Nilai porositas tajuk ini berkaitan dengan kerapatan tajuk pada suatu vegetasi. Sehingga jumlah percabangan yang banyak dengan penutupan daun-daun yang rapat memberikan nilai porositas tajuk yang berbeda. 1

Nilai porositas tajuk dapat dikatakan memiliki pengaruh berlawanan terhadap besarnya intersepsi, semakin besar porositas tajuk maka semakin kecil intersepsi yang terjadi. Besarnya porositas tajuk dapat diperoleh dari slope persamaan regresi dengan memplotkan curah hujan bruto harian dengan curahan tajuk. Dari data pengukuran curahan tajuk dan curah hujan selama penelitian didapat slope dari persamaan regresi yang menunjukkan nilai porositas tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. lorantifolia dalam penelitian ini yaitu sebesar.57. Throughfall (mm) Porositas Tajuk Agathis A.loranthifolia lorantifolia y =.57x +.16 5 R =.937 35 3 5 Tf Linear (Tf) 15 1 5 1 3 5 6 7 Curah Hujan (mm) Gambar 6. Porositas tajuk A.loranthifolia Sal. Penelitian yang dilakukan oleh Asdak et al (199a) menunjukkan bahwa berkurangnya sejumlah pohon pada area hutan, menyebabkan berkurangnya air hujan yang terintersepsi dan berpengaruh terhadap besarnya nilai porositas tajuk. Nilai porositas tajuk akan bertambah dan kapasitas tajuk akan berkurang pada area hutan yang mengalami penebangan pohon. Berdasarkan hal tersebut karakteristik suatu pohon sangat berpengaruh terhadap nilai kapasitas tajuk, porositas tajuk dan besarnya air yang terintersepsi pada suatu vegetasi dalam areal hutan..5. Intersepsi hujan oleh tajuk A.loranthifolia Sal. Besarnya intersepsi hujan di atas tajuk A.loranthifolia Sal. diperoleh dari selisih curah hujan bruto dengan hujan neto. Curahan tajuk dan aliran batang merupakan curah hujan neto yang masuk hingga menyentuh lantai hutan. Intersepsi selama penelitian dengan total curah hujan 76. mm terhitung sebesar 317.1 mm atau sebesar 1.75 % dari curah hujan total. Curah hujan neto paling banyak jatuh sebagai curahan tajuk dibandingkan aliran batang. Hal ini terjadi karena kondisi penutupan tajuk yang kurang rapat sehingga air hujan akan mudah lolos melalui celah-celah tajuk. Nilai intersepsi menunjukan besarnya air yang berpotensi untuk terevaporasi ke atmosfer. Hujan neto yang menyentuh lantai hutan akan meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber bagi peningkatan jumlah air tanah. Sehingga persentase curah hujan neto yang tinggi dapat dikatakan memiliki pengaruh yang positif bagi kontribusi air dalam tanah pada ekosistem hutan. Nilai hujan neto harian yang tercatat dari hasil pengukuran memiliki nilai yang cukup tinggi, sehingga penanaman pohon A.loranthifolia Sal. ini dapat dikatakan tidak berpengaruh negatif terhadap kontribusi air tanah. Tanaman ini memiliki karakteristik tanaman dengan tajuk yang kurang rapat, luas permukaan daun yang kecil dan percabangan yang tidak beraturan. Besarnya intersepsi hujan suatu vegetasi juga dipengaruhi oleh umur tegakan vegetasi yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, bagian-bagian tertentu akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dari bagian-bagian vegetasi memiliki pengaruh terhadap besarnya kecilnya intersepsi adalah perkembangan kerapatan tajuk, batang dan percabangan dari vegetasi. Semakin besar kerapatan tajuk maka semakin banyak air hujan yang dapat ditahan sementara kemudian diuapkan kembali ke atmosfer. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kaimuddin (199) dengan tanaman yang sejenis dengan penelitian ini namun umurnya lebih tua, didapatkan hasil besarnya intersepsi sebesar 1.31 mm dari total hujan 71.9 mm atau sebesar 1.7 %. Perbedaan ini disebabkan karakteristik tegakan yang berbeda dan telah mengalami perkembangan. Perkembangan cabang yang tumbuh lebih condong ke atas menyebabkan air tidak tertahan pada daun walaupun luas tajuk bertambah. Berdasarkan hasil penelitian jika dibandingkan dengan penelitian Kaimuddin (199). Intersepsi pada penelitian ini berbeda jauh dan cukup besar. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kesalahan alat dalam melakukan pengukuran. Sehingga nilai hujan neto lebih rendah dari yang sebenarnya. Analisis regresi terhadap intersepsi harian (I) dengan curah hujan harian (CH) menunjukkan hubungan linier. Peningkatan curah hujan akan menyebabkan terjadinya peningkatan air yang terintersepsi (Gambar 7). 15

Intersepsi (m m ) 35 3 5 15 1 5 Grafik Hubungan Intersepsi dengan Curah Hujan 1 3 5 6 7 Curah hujan (mm) I =.1 CH +.66 R =.731 Intersepsi Linear (Intersepsi) Gambar 7. Grafik Hubungan intersepsi dan curah hujan Grafik Kumulatif Hujan Bruto dan Neto Selama Pengukuran 7 6 5 3 1 -Oct 3-Oct 5-Oct 7-Oct 9-Oct 31-Oct 7-Nov 9-Nov 11-Nov 13-Nov 15-Nov 17-Nov 7-Nov 3-Nov 3-Des 5-Des 9-Des Kumulatif (mm) I Tanggal Gambar. Grafik kumulatif hujan bruto dan neto yang menggambarkan intersepsi kumulatif selama pengukuran. Gambaran kondisi tajuk hutan tanaman A.loranthifolia Sal. terlihat pada gambar, dengan nilai curah hujan neto meningkat dengan bertambahnya curah hujan bruto. Selisih antara hujan bruto dan neto yang menunjukkan nilai intersepsi kumulatif yaitu sebesar 1.75 %. Kondisi tajuk yang kurang rapat pada vegetasi ini memudahkan air hujan menembus tajuk dan jatuh ke permukaan tanah sebagai hujan neto. Nilai kapasitas tajuk dan porositas tajuk yang diperoleh dari penelitian ini yaitu sebesar.55 mm untuk kapasitas tajuk dan.57 untuk 16

porositas tajuk. Nilai tersebut berpengaruh terhadap besarnya air yang terintersepsi yaitu sebesar 317.5 mm dari total curah hujan selama penelitian. Nilai kapasitas tajuk dapat dikatakan sebagai gambaran kondisi suatu tajuk, sehingga perbedaan pada kedua komponen tersebut akan memberikan perbedaan terhadap besarnya air yang terintersepsi. Meningkatnya nilai kapasitas tajuk akan seiring dengan menurunnya nilai porositas tajuk.6. Kebasahan Tajuk Data hasil pengukuran curahan tajuk dan aliran batang menggunakan perekaman data otomatis dengan waktu kejadian curahan tajuk dan aliran batang yang dapat dilihat memberikan kemudahan untuk melihat kebasahan tajuk selama terjadinya hujan dan dibandingkan dengan data curah hujan interval 6 menitan. Kebasahan tajuk didapatkan dengan memplotkan besarnya hujan neto dan hujan bruto dalam satu sumbu-x dengan waktu kejadian yang sama. Sehingga dapat dilihat nilai hujan neto dan bruto yang terjadi dalam interval waktu 6 menitan. Data yang diperoleh tidak seluruhnya dianalisa untuk melihat kebasahan tajuk. Data curah hujan bruto diurutkan dari yang terkecil sampai terbesar kemudian dikategorikan menurut kelas hujan (Tabel 9) dan dipilih acak dua kejadian hujan pada masing-masing kelas hujan. Sehingga didapatkan kejadian hujan (Tabel 1). Kebasahan tajuk masing-masing titik pengamatan memiliki pola yang tidak jauh berbeda, sehingga analisis dapat dilakukan menggunakan nilai rataan titik pengamatan. Tabel 1. Kelas kebasahan tajuk No Tgl CH Kelas Hujan 1 17-Nov 1.6 Sangat -Nov. Ringan 3 -Des 1. -Okt 1. Ringan 5 1-Nov 31. 6 16-Nov 3. Normal 7 6-Okt 56 11-Des 7. Lebat tajuk dan air hujan yang tertahan pada tajuk dan berpotensi untuk terevaporasi ke atmosfer. Kelas hujan sangat ringan Hujan sangat ringan (<5 mm/hari) yaitu sebesar 1.6 mm/hari pada tanggal 17 November 7. Hujan terjadi secara tidak kontinyu, dimana hujan terjadi sesaat yang kemudian berhenti dan kembali lagi hujan. Terlihat tajuk mengalami penjenuhan yang cepat sehingga terjadi hujan neto, kondisi ini disebabkan telah terjadi hujan pada hari sebelumnya. Sehingga tajuk dalam kondisi basah saat terjadi hujan kembali. Ketika hujan berhenti, tetes-tetes tajuk masih terjadi sehingga nilai hujan neto tercatat. Jeda waktu antar kejadian hujan menyebabkan tajuk membutuhkan waktu kembali untuk penjenuhan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya evaporasi ketika hujan berhenti. Kejadian hujan pada tanggal November 7 sebesar. mm memiliki pola yang tidak jauh berbeda dimana hujan terjadi tidak kontinyu. Keadaan ini menjadikan besarnya air yang hilang karena intersepsi menjadi besar. Hal ini disebabkan air yang tertahan pada tajuk akan mengalami evaporasi sebelum terjadi hujan kembali dan air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi setelah hujan berhenti. Pada kondisi seperti ini air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi yang dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan kondisi angin saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Leyton et al (1967) pada kondisi ini menjadikan tajuk tanaman dalam keadaan basah yang tidak sempurna karena dipengaruhi proses evaporasi ketika periode kering. Sehingga durasi pembasahan tajuk pada curah hujan sangat ringan relatif singkat. Masing-masing kejadian hujan pada kelas kebasahan tajuk dilihat kondisi kebasahan tajuk yang dapat menunjukkan periode kejenuhan 17

a), Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 17 November 7,3 Jeluk (m m ),,1 3: 3: 3: :1 :36 1: 1: 1: :1 :36 3: 3: 3: :1 :36 5: 5: 5: 6:1 6:36 7: 7: 7: b). Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal November 7.3 Jeluk (mm)..1 : : : 1:1 1:36 : : : 3:1 3:36 : : : 5:1 5:36 6: 6: 6: 7:1 7:36 : : : Gambar 9. Pola kebasahan tajuk (hujan sangat ringan) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 17 November 7; (b) November 7 1

a) 3.5 3 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal Desember 7.5 Jeluk (m m ) 1.5 1.5 1: 1:36 19:1 19: : 1: 1:36 :1 : 3: : :36 1:1 1: : 3: 3:36 :1 : 5: 6: 6:36 7:1 7: : 9: 9:36 1: 11: 11:36 b) 3,5 Kebasahan Tajuk (Rataan Tiap Pohon) Tanggal Oktober 7 3 Jeluk ( mm),5 1,5 1,5 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : : : Gambar 1. Pola kebasahan tajuk (hujan ringan) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) Desember 7; (b) Oktober 7 19

a) Jeluk (m m ) 5,5 3,5 3,5 1,5 1,5 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 1 November 7 1: 1: 1: 13:1 13:36 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : : :1 : b) Jeluk (mm) 5,5 3,5 3,5 1,5 1,5 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 16 November 7 13: 13: 13: 1:1 1:36 15: 15: 15: 16:1 16:36 17: 17: 17: 1:1 1:36 19: 19: 19: :1 :36 1: 1: 1: :1 :36 3: 3:3 3:5 Gambar 11. Pola kebasahan tajuk (hujan normal) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 1 November 7; (b) 16 November 7

a) Jeluk (mm) 16 1 1 1 6 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 6 Oktober 7 1: 1: 1: 13:1 13:36 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : 1:1 1: b) 16 1 1 Kebasahan Tajuk (Rataan Pohon) Tanggal 11 Desember 7 Jeluk (mm) 1 6 1: 1: 1: 11:1 11:36 1: 1: 1: 13:1 13:36 1: 1: 1: 15:1 15:36 16: 16: 16: 17:1 17:36 1: 1: 1: 19:1 19:36 : : : 1:1 1:36 : : Gambar 1. Pola kebasahan tajuk (hujan lebat) untuk menentukan periode kejenuhan dan evaporasi potensial ; (a) 6 Oktober 7; (b) 11 Desember 7 1

Kelas hujan ringan Kejadian hujan pada tanggal Desember 7 menggambarkan kondisi curah hujan dengan total curah hujan yang seragam dalam tiap interval 6 menitan. Hujan ini terjadi dalam waktu yang lama yaitu + 5.5 jam yang terjadi dari pukul : hingga pukul 5. yang kemudian kembali dibasahi air hujan pada pukul 6.1 (Gambar 11). Pada hari sebelumnya (3 Desember 7) telah terjadi hujan secara kontinyu yang dimulai dari pukul.. Tajuk tanaman ini mengalami kebasahan tajuk yang lama dengan indikasi curahan tajuk terjadi kontinyu selama hujan berlangsung. Pada kondisi ini tajuk dalam keadaan basah total. Sehingga proses evaporasi potensial akan berlangsung selama terjadinya hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak et al (199b) bahwa proses evaporasi mulai terjadi setelah tajuk mencapai kapasitas maksimumnya atau jenuh dan saat periode kering. Sehingga selama tajuk dibasahi, air yang tertahan pada tajuk akan terevaporasi dalam laju potensial. Kejadian hujan pada tanggal Oktober 7 terjadi dalam kurun waktu + jam dengan dengan satu kejadian hujan berdurasi cukup lama. Terlihat tajuk membutuhkan waktu lama untuk menjenuhkan tajuk hingga terjadi hujan neto yang menyentuh lantai hutan. Dalam kejadian hujan pada tanggal Oktober 7 terlihat sangat jelas kondisi pembasahan tajuk tanaman A.loranthifolia Sal. ini. Tajuk dalam kondisi basah total karena hujan terjadi secara kontinyu. Menurut Jackson (197), proses evaporasi akan terjadi ketika terjadi hujan dan akan berhenti setelah tajuk kering. Air yang tertahan pada tajuk selama hujan akan terevaporasi dalam laju potensial. Setelah hujan berhenti dan kondisi kering menunjukkan tajuk akan segera mengalami proses evaporasi dan tajuk kembali kering Kejadian hujan dengan total curah hujan yang tinggi dan terjadi lebih dari satu kejadian hujan akan menyebabkan adanya jeda waktu. Proses evaporasi akan terjadi pada jeda waktu tersebut. Sehingga kejadian hujan yang pertama akan membasahi tajuk terdahulu kemudian akan terevaporasi dalam laju potesial selama terjadinya hujan dan setelah hujan berhenti. Tajuk membutuhkan waktu kembali untuk menjenuhkan tajuk ketika terjadi hujan kembali dikarenakan kondisi tajuk yang sudah kering. Kelas hujan normal Kejadian hujan kedua pada tanggal 1 November 7 menjadikan tajuk dalam kondisi pembasahan kembali dengan durasi yang tidak lama yaitu sekitar + 1.5 jam. Dalam jeda waktu yang singkat, tajuk membutuhkan waktu kembali untuk jenuh. Hal ini menunjukkan telah terjadi evaporasi dalam laju potensial selama hujan pertama dan pada kondisi kering. Kejadian hujan pada tanggal 16 November 7 yang terjadi dengan satu kejadian hujan berdurasi cukup lama menggambarkan pula kondisi pembasahan tajuk secara kontinyu. Tajuk dalam kondisi basah total sehingga evaporasi akan terjadi dalam laju potensial selama terjadinya hujan Hujan yang terjadi secara terus-menerus memberikan kondisi pembasahan tajuk yang optimum, sehingga hujan neto juga akan terjadi secara kontinyu seiring dengan bertambahnya intensitas hujan dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hujan neto akan mencapai puncaknya seiring dengan meningkatnya hujan bruto. Kelas hujan lebat Pada tanggal 6 Oktober 7 dan 11 Desember 7 terlihat kondisi tajuk yang mengalami penjenuhan dalam waktu yang sangat lama sementara curah hujan jatuh dalam jumlah yang besar (Gambar 13). Kondisi ini dapat dimungkinkan tajuk tanaman ini dalam kondisi yang sangat kering sehingga tajuk membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terjadi penjenuhan hingga terjadi hujan neto. Sebab lain dimungkinkan data pengukuran tidak terekam, namun dari hasil kalibrasi dinamik menunjukkan bahwa bejana berjungkit yang digunakan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengalirkan air yang masuk dalam jumlah besar yaitu sebesar + 3 ml/s. Nilai ini setara dengan curah hujan sebesar.9 mm yang terjadi selama 1 menit (Lampiran ). Sehingga terdapat sebab lain di luar kesalahan alat dalam mencatat data. Terjadi dua kejadian hujan pada tanggal 11 Desember 7 dimana hujan yang kedua terjadi lebih lama dari hujan yang pertama. Jeda waktu antar kejadian hujan sekitar + jam,

sehingga tajuk membutuhkan waktu kembali untuk menjenuhkan tajuk karena tajuk yang telah mengalami proses evaporasi. Pada hujan yang kedua penjenuhan tajuk tidak membutuhkan waktu lama sementara hujan jatuh dalam jumlah yang kecil. Keadaan pada masing-masing kelas kebasahan tajuk dalam penelitian ini menunjukan bahwa tajuk A. loranthifolia Sal berespon cepat untuk mengalami kejenuhan. Namun intensitas hujan sangat berpengaruh dalam hal ini. Lamanya pembasahan tajuk akan meningkat seiring dengan lama terjadinya hujan, ditambah dengan waktu setelah terjadi curah hujan dimana tetesan-tetesan air dari tajuk masih terjadi. Kejadian hujan yang terjadi dengan durasi yang cukup lama menggambarkan kondisi tajuk yang mengalami pembasahan tajuk yang optimum. Sehingga tajuk dalam keadaan basah total dan evaporasi akan terjadi dalam laju potensial. Meningkatnya curah hujan dalam kurun waktu singkat berpotensi untuk membasahi seluruh permukaan daun dikarenakan terjadinya air yang saling menimpa pada daun-daun tersebut hingga terjadi hujan neto. Sehingga air yang tertahan sebelumnya akan jatuh. Air yang terintersepsi pada tajuk selama dan setelah terjadinya hujan dan merupakan besarnya air hujan yang berpeluang akan terevaporasi dalam laju potensial dan tergantung dari kondisi atmosfer saat itu. Jeda waktu yang besar antar kejadian hujan akan memberikan peluang yang lebih besar untuk tajuk terevaporasi ke atmosfer. Dari hasil penelitian diperoleh jeda waktu sekitar + 1.5 jam dapat menjadikan kondisi tajuk kering dengan indikasi tajuk membutuhkan waktu kembali untuk jenuh hingga terjadi hujan neto. Namun hal ini tergantung dari kondisi atmosfer pada saat terjadinya hujan. Hal ini sesuai dengan pendapat Leyton dan Carlisle (1959) yang menyatakan bahwa pada periode kering, air yang tertahan pada tajuk akan mengalami evaporasi dengan lajunya yang tergantung dari kondisi atmosfer seperti temperatur, kelembaban udara, angin dll. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan ini, pengukuran curahan tajuk dan aliran batang menggunakan bejana berjungkit memiliki beberapa kelebihan, salah satunya dalam melakukan pencatatan dan pengolahan data.. Kalibrasi statik dan dinamik sangat penting dilakukan terhadap bejana berjungkit untuk mendapatkan perhitungan data yang akurat. Persentase komponen intersepsi yaitu curahan tajuk sebesar 57.3 % dan menunjukkan curahan tajuk merupakan bagian terbesar dari hujan yang mencapai lantai hutan. Sedangkan aliran batang memiliki persentase yang sangat kecil yaitu sebesar.9 % dari curah hujan total. Hasil pengukuran didapatkan persentase intersepsi pada tanaman ini sebesar 1.75 % dari total hujan selama penelitian (76. mm). Hal ini berbeda jauh dengan hasil penelitian Kaimuddin (199) di Hutan Gunung Walat Sukabumi. Diperoleh besarnya intersepsi selama pengukuran sebesar 1.7 % dari total hujan 71.9 mm. Kondisi ini menunjukkan adanya kehilangan air yang cukup besar akibat intersepsi. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan kondisi tajuk yang berbeda karena terdapat perbedaan umur dan kondisi cuaca saat pengukuran. Selain itu juga dimungkinkan adanya perbedaan penerimaan curah hujan pada plot penelitian dan penakar hujan. Hal lain dapat sebabkan adanya kesalahan alat saat pengukuran curahan tajuk dan aliran batang di lokasi penelitian, yang menyebabkan perhitungan hujan neto lebih rendah dari yang sebenarnya. Besarnya intersepsi pada tanaman A.loranthifolia Sal. ini dipengaruhi oleh jumlah curah hujan dan karakteristik dari tajuk. Intensitas hujan memengaruhi besarnya curahan tajuk, meningkatnya intensitas hujan akan meningkatkan besarnya curahan tajuk. Air yang terintersepsi pada tajuk selama dan setelah terjadinya hujan dan merupakan besarnya air hujan yang berpeluang akan terevaporasi dalam laju potensial ketika tajuk dalam kondisi basah total dan tergantung dari kondisi cuaca saat itu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jeda waktu antar kejadian hujan dapat menyebabkan tajuk kering kembali sehingga tajuk hutan tanaman ini membutuhkan waktu untuk jenuh kembali. Besarnya jeda waktu antar kejadian hujan berpeluang lebih besar untuk air yang terintersepsi akan terevaporasi. 5.. Saran Bertambahnya umur suatu vegetasi akan meningkatkan pertanaman dan perkembangan dari bagian-bagian vegetasi tersebut seperti 3