Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

dokumen-dokumen yang mirip
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengantar Presiden RI pada Ratas Penanggulangan Asap, di Kanpres, tgl. 24 Juni 2014 Senin, 24 Juni 2013

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KABUT ASAP DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEREKONOMIAN SEKTOR RIIL PROVINSI JAMBI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

Rasionalisasi. Anggaran Prioritas Untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun Anggaran 2016

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI PROVINSI RIAU. Analisis Kebijakan

BAB III KELEMBAGAAN PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAPORAN HARIAN PUSDALOPS BNPB Selasa, 26 Mei 2009

LAPORAN HARIAN UPTB PUSDALOPS PB BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN,

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

LAMPIRAN IV PANDUAN PENYIAPAN LAHAN DENGAN PEMBAKARAN UNTUK MASYARAKAT ADAT/TRADISIOANAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini Indonesia banyak ditimpa musibah

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus

Policy Brief. Anggaran Karhutla FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. FITRA Provinsi Riau

BUPATI BENGKALIS ASSALAMU ALAIKUM WR. WB SELAMAT PAGI, SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA,

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

LAPORAN HARIAN UPTB PUSDALOPS PB BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB IV. A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan. Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah Industri Rumahan sesuai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan adalah elemen terpenting dalam kehidupan manusia, yang

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN ATAU HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Trend Pemberantasan Korupsi 2013

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) JAWA BARAT TAHUN 2015

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 20 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

1. Jumlah update laporan hotspot tanggal 01 Oktober 2016 adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 03 NOVEMBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

PERAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah :

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BUPATI BARITO KUALA KEPUTUSAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR / 231 /KUM/2012 TENTANG

INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W)

I. PENDAHULUAN. khatulistiwa. Curah hujan di Indonesia cukup tinggi dan memiliki cadangan air

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGANAN KEBAKARAN LAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA

BAPPEDA Planning for a better Babel

memperbaiki sistem irigasi dan pembangunan dengan mengalokasikan dana Provinsi untuk pencegahan kebencanaan.

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KABUPATEN NUNUKAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 12/Menhut-II/2009 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

Memperkuat Kapasitas Kelembagaan PemerintahDaerah untuk Mengintegrasikan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Rencana Pembangunan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Indeks polutan Provinsi Riau sudah mencapai 900,29 u gram/m3 (Sumber: Pusat Data dan Informasi BNPB)

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

300 Hektar Hutan Terbakar di Batam

ANALISIS ANOMALI CURAH HUJAN FEBRUARI 2018 DALAM KAITAN TERJADINYA KARHUTLA DI KALBAR. Fanni Aditya, Firsta Zukhrufiana Setiawati, Ismaharto Adi

1. Jumlah update laporan hotspot tanggal 26 September 2016 adalah sebagai berikut :

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 14 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

2015, No Mengingat : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85,

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam arti luas bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

WALIKOTA PANGKALPINANG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TASIKMALAYA

PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.

Transkripsi:

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus ini bukan hal baru di kedua wilayah tersebut. Namun, seiring dengan musim kering berkepanjangan yang dipengaruhi siklom tropis dan El Nino (naiknya suhu permukaan laut), masalah kebakaran lahan dan hutan jadi masalah yang mendesak untuk ditindaklanjuti. Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), di Sumatera terdapat 693 titik panas yang terpantau lewat Satelit Modis. Di Sumatera Selatan terdapat 613 titik panas, Lampung, 37 titik apa, dan Jambi 32 titik api. Selebihnya 9 titik panas di Bangka Belitung dan Kepulauan Riau dengan 1 titik panas. Informasi lain juga menyebutkan bahwa di Sumatera tercatat ada sebuah perusahaan yang 6 ribu hektar dari total 8 ribu hektar lahannya terbakar. Sektor pariwisata dan transportasi juga terkena imbas musibah asap pekat ini. Di Riau sudah ada lima bayi yang harus dirawat karena ISPA karena asap pekat dan kualitas udara yang terus memburuk. Bandara di Bangka Belitung sempat tutup hingga 11 jam. Di Sumatera Barat, sekolah-sekolah harus ditutup untuk menghindari dampak negatif ISPA.. Lebih jauh, jumlah pasien di rumah sakit khusus paru-paru di Sumatera Selatan meningkat drastis selama tiga bulan terakhir, terutama pasien anak-anak dan orang tua. Bulan Juli 2015 tercatat 493 kasus dan meningkat menjadi 587 kasus di bulan Agustus. Di Kalimantan, kondisi serupa juga terjadi akibat rentannya kebakaran lahan dan hutan. Di Palangkaraya, indeks udara sudah mencapai sangat tidak sehat dan sangat berbahaya. Kalimantan Tengah mengalami dampak paling parah dibandingkan daerah lain di Kalimantan, seperti jarak pandang yang hanya mencapai 100 meter. Di Kalimantan Selatan, meskipun sempat diterpa curah hujan yang tinggi, kebakaran lahan dan hutan tetap terjadi, sehingga provinsi ini juga merasakan asap pekat, yang menyebabkan jarak pandang sekitar 300 meter. Mengatasi kasus kebakaran lahan dan hutan yang semakin parah, pihak polisi tengah melakukan penyidikan terhadap 18 perusahaan. Lebih jauh, TNI, Polri, Dinas Pemadam Kebarakaran dan dinas terkait lainnya, Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD), lewat koordinasi Pemerintah Daerah setempat. Misalnya, Provinsi Kalimantan Tengah mengalokasikan dana sebesar 1, 5 miliar dari APBD untuk menanggulangi masalah yang kian parah tersebut. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga terus berjalan dalam rangka mengatasi asap tebal dan kebakaran lahan dan hutan yang berdampak multidimensi dan menimbulkan banyak kerugian tersebut. Akar Masalah Asap Masalah kebakaran lahan dan hutan bukan masalah baru di Sumatera dan Kalimantan. Kejadian tahun 2015 menjadi puncak gunung es permasalahan asap tebal di Indonesia. Kasus yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya seperti yang terbesar di Provinsi Riau yang mencapai 26.000 hektar (1997-1998) dan berdampak ke negara tetangga, serta kejadian yang terus terjadi setiap tahunnya, seharusnya jadi pelajaran bagi pemerintah daerah setempat dan para pemangku kebijakan terkait. Termasuk perusahaan yang beroperasi di daerah terkait dan masyarakat sekitar. Studi CIFOR terkait kasus kebakaran lahan dan htan (1998-2003) menyebutkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah pembukaan lahan untuk perkebunan dan HTI. Perubahan kebijakan pemerintah daerah terkait tata guna lahan, dari kawasan hutan menjadi perkebunan dan transmigrasi. Pembakaran lahan juga dinilai efektif dan murah untuk membuka lahan perkebunan maupun HTI. Penyebab lainnya adalah penguasaan lahan oleh masyarakat untuk membuka lahan baru, penyebaran api liar dan tanah yang ditinggalkan atau sudah habis izinnya, sehingga dibuka dan dikuasai oleh masyarakat dengan pembakaran. Patut dicatat, bahwa kasus kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal merupakan salah satu dampak dari implementasi desentralisasi dan pembangunan yang tidak mengindahkan dampak terhadap lingkungan dan aspek lainnya, baik kesehatan, pariwisata, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kerapkali bertabrakan dengan pertimbangan ini. Provinsi Riau dalam kasus berbeda juga pernah mengalami hal ini, yaitu kasus ekspor pasir ke Singapura yang kontroversial, karena menyebabkan kerusakan lingkungan terutama laut, sumber mata pencaharian para nelayan di daerah setempat. Penanggulangan masalah juga selalu menghadapi pelbagai masalah klasik birokrasi dan sistem pemerintahan. Diantaranya adalah ego sektoral, lemahnya

koordinasi, keterbatasan dana dan tenaga ahli. Ternyata desentralisasi tidak sertamerta membuat penanganan kasus seperti kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal menjadi lebih mudah. Sudah jadi rahasia umum bahwa alokasi APBD lebih banyak terserap untuk operasional seperti belanja pegawai daripada pelayanan. Namun, asumsinya, dengan model seperti itu seharusnya segenap aparat pemerintah daerah bisa lebih optimal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, baik lewat sumber daya manusia maupun fasilitas penunjang kerja lainnya. Lebih jauh, wewenang kepada pemerintah daerah setempat untuk menyatakan kondisi darurat terkesan lambat dinyatakan, sehingga bantuan pemerintah pusat tidak bisa langsung bergerak memberikan bantuan. Misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus menunggu pernyataan dan pemberitahuan dari pemerintah daerah setempat sebelum memberikan bantuan berupa hujan buatan dan bom air. Evaluasi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) tahun 2013 tentang penanggulangan bencana alam di Provinsi Jawa Barat juga menunjukkan masalah koordinasi antara BPBD di tingkat Provinsi dan Kabupaten, serta Nasional, terkait pembagian wewenang dan wilayah kerja operasi badan penanggulangan bencana terkait. Lagi-lagi hal ini menunjukkan dilema dan tantangan dalam penerapan desentralisasi di Indonesia. Mendorong Inisiatif Masyarakat Melarang dan menghentikan pembangunan bukan jalan keluar yang bijak dalam mengatasi masalah kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal. Satu hal yang pasti, penegakan hukum menjadi hal yang mutlak diperlukan. Tidak bisa dipungkiri, masalah kebakaran lahan dan hutan, serta asap tebal kebanyakan disebabkan oleh faktor manusia sebagai pelaku utama penyebab kebakaran. Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum (Tim Penegakan Hukum Penanggulangan Kebakaran Lahan dan Hutan) harus mampu bertindak tegas terhadap para pelaku kebakaran tanpa pandang bulu. Bahkan jika pelaku kebakaran melibatkan pejabat publik, pengusaha, maupun aparat keamanan dan pertahanan. Bila perlu, dengan saksi dan bukti yang kuat, pemerintah harus menjatuhkan sanksi terberat terhadap para pelaku kebakaran. Pemerintah juga perlu melibatkan aktor non-negara seperti LSM dan media, serta para pakar teknis untuk menanggulangi permasalahan ini.

Terkait kebijakan daerah, pemerintah daerah lewat pengawasan DPRD dan DPD, serta masyarakat sipil harus menerapkan kebijakan yang tidak hanya propembangunan dan kesejahteraan, namun juga memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Peraturan tentang tata ruang dan wilayah harus diterapkan secara seksama dan konsisten dan berlaku untuk semua pemangku kebijakan. Pemberian ijin perkebunan dan HTI harus diikuti pengawasan yang rutin dan ketat terutama untuk pembukaan lahan, mengingat parahnya dampak kebakaran lahan dan hutan selama ini. Jika terbukti ada pelanggaran, maka pemerintah tidak boleh sungkan untuk mengambil tindakan hukum, termasuk pencabutan ijin usaha. Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk pembukaan lahan yang ramah lingkungan untuk mencegah kebakaran lahan dan hutan. Hal ini bisa dilakukan melalui dinas-dinas terkait, seperti dinas pertanian dan dinas kehutanan, serta LSM peduli lingkungan. Selain itu, jika ada kebijakan lokal yang diterapkan masyarakat seperti masyarakat adat terkait pembukaan lahan, hal ini bisa menjadi masukan pemerintah dan para pengolah lahan yang ada, termasuk masyarakat pada umumnya. Namun, jika terjadi pelanggaran terhadap pembukaan lahan, sekali lagi, pemerintah harus tegas menegakkan hukum. Terkait masalah klasik seperti koordinasi, sudah menjadi pekerjaan rumah wajib bagi pemerintah untuk memperbaiki komunikasi dan koordinasinya dengan pihakpihak terkait. Ini harus dilakukan di pelbagai lini dari tingkat pusat hingga daerah. Jika perlu, kebijakan yang menghambat penanggulangan masalah dengan sigap harus dikaji kembali, apalagi mengingat sifat birokrasi yang hirarkis, prosedural, dan membutuhkan landasan peraturan yang jelas untuk bertindak. Lebih jauh, untuk melakukan tindakan preventif, pemerintah harus memastikan bahwa informasi penting dari badan-badan terkait, seperti BMKG dan BPBD, maupun laporan dari masyarakat, LSM, dan media dapat segera dicek dan ditindaklanjuti, apalagi masalah kebakaran lahan dan hutan bukan masalah yang baru terjadi sekali dan sudah berdampak serius di berbagai bidang. Untuk itu, pemerintah pusat maupun daerah harus memiliki good will dan kesadaran untuk mengalokasikan anggaran yang memadai baik untuk tindakan preventif, responsif, dan kuratif dalam mengatasi permasalahan kebakaran lahan dan hutan. Jika diperlukan, seharusnya pemerintah juga bisa meminta bantuan internasional sesuai dengan kebutuhan.

Lewat langkah-langkah ini diharapkan pemerintah dapat didorong untuk mampu memperbaiki kinerjanya dengan mengatasi masalah klasik sekaligus menerapkan prinsip-prinsip good governance agar dapat melakukan fungsinya secara optimal, responsif, dan relevan.