1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman, bahaya yang berasal dari infeksi mikroorganisme patogen, autoimun ataupun kanker. Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah sekumpulan gejala atau penyakit akibat adanya defek pada sistem imun. Leukosit terdiri dari sel neutrofil, eosinofil, basofil yang memiliki granul pada permukaan sitoplasma serta limfosit dan monosit yang tidak memiliki granul pada sitoplasma. Jumlah normal total leukosit adalah 4,3 10,8 x 10 9 /L, terdiri dari neutrofil 45-74%, limfosit 16 45%, monosit 4-10%, eosinofil 0-7% dan basofil 0-2%. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme patogen secara fagositik sedangkan limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki fungsi fagositik. Limfosit dan leukosit berperan penting dalam sistem imun. Baik kuantitas maupun kualitas dari limfosit dan leukosit penting dalam menjaga homeostasis dari fungsi sistem imun (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Penuaan didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan menjadi tua atau kemunduran fungsi tubuh yang tidak terelakkan sejalan dengan peningkatan usia. Menjadi tua adalah bagian alami dari proses kehidupan itu sendiri. Kedokteran 1
2 konvensional memandang proses penuaan tidak dapat dicegah sehingga lebih mengupayakan pada pengobatan penyakit sedangkan pada anti aging medicine (AAM) dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, penuaan dianggap sebagai penyakit yang dapat dicegah, diobati serta dikembalikan ke keadaan semula. Melalui paradigma baru ini, diharapkan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya. (Pangkahila, 2011). Penuaan merupakan proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan sejumlah reaksi biokimia disertai dengan perubahan molekul yang diwujudkan dalam sebuah sel tunggal maupun dalam keseluruhan organisme. Proses ini mencerminkan terjadinya perubahan yang terjadi pada organisme hidup yakni, bertambahnya usia menyebabkan gangguan fungsional dan peningkatan patologi. Penuaan ditandai dengan menurunnya kemampuan untuk menanggapi stres. Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dikenal sebagai immunosenescence. Situasi ini menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap penyakit menular dan kanker akibat kapasitas penurunan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi rangsangan antigen, berubahnya lingkungan mikro sitokin serta penurunan kemampuan kedua imunitas, yakni imunitas bawaan dan imunitas yang didapat (Srinivasan dkk., 2005). Adanya peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit dan limfosit, di perifer maupun pada sumsum tulang, dihubungkan dengan berbagai keadaan penyakit yang menyebabkan gangguan pada sistem imunitas. Di pihak yang lain, meskipun jumlah sel-sel imun dalam batas normal, dibutuhkan morfologi normal serta kemapuan sel-
3 sel imun menanggapi respon yang efektif diperlukan dalam mengatur keseimbangan sistem imun (Carrillo-Vico dkk., 2013). Kortikosteroid adalah obat yang telah digunakan sejak tahun 1940 dan hingga saat ini masih sering digunakan dalam dunia kedokteran. Kortikosteroid paling banyak digunakan sebagai obat alergi dan anti inflamasi sebab kortikosteroid dapat menghambat pelepasan mediator radang melalui penghambatan NF-кB. Namun di sisi lain, penggunaan kortikosteroid juga dapat menghalangi respon yang berperan dalam kemotaksis neutrofil, hambatan fagositosis makrofag dan pelepsan sitokin oleh makrofag serta menginhibisi proliferasi limfosit T dan limfosit B melalui penghambatan IL-2. Efek samping yang bisa terjadi umumnya disebabkan oleh terapi dosis tinggi atau penggunaan jangka panjang kortikosteroid (Zen dkk., 2011). Salah satu jenis kortikosteroid adalah metilprednisolon. Saat ini, metilprednisolon sering dipakai dalam jangka waktu yang panjang oleh manusia untuk mengatasi penyakit alergi dan inflamasi. Adapun efek samping dan komplikasi pada penggunaan metilprednisolon adalah osteoporosis, gangguan pertumbuhan, kelemahan otot, gangguan emosi, imunosupresi hingga imunodefisiensi (Coutinho dan Chapman, 2010). Hormon memegang peranan penting dalam proses fisiologis tubuh. Fungsi hormon ini bekerja dengan baik pada usia muda dan menurun fungsinya seiring dengan pertambahan usia. Hormon yang berkaitan dengan pemeliharaan fungsi imunitas juga menurun seiring usia sehingga mengakibatkan perubahan fisiologi normal dan memediasi penyakit degeneratif. Penurunan dalam produksi sejumlah
4 hormon yang terkait dengan usia diantaranya adalah growth hormone (GH), estrogen, testosteron dan melatonin (Pangkahila, 2011). Melatonin, merupakan hormon yang berperan dalam siklus sirkadian diproduksi terutama oleh kelenjar pineal serta dalam jumlah yang kecil diproduksi pula pada retina dan sel-sel euchromatin saluran pencenaan bagian bawah. Banyak studi mengatakan bahwa melatonin berfungsi secara umum untuk meningkatkan kualitas tidur pada orang sehat. Selain digunakan untuk terapi pada kasus jet-lag, melatonin memiliki aktivitas antioksidan serta berperan pada sistem imun manusia (Pangkahila dan Wong, 2015). Menurunnya kadar melatonin seiring proses aging diyakini memiliki peran dalam immunoscenecence (Carrillo-Vico dkk., 2013). Penurunan melatonin seiring proses penuaan dihubungkan dengan kerentanan terhadap infeksi, penyakit autoimun serta kanker (Srinivasan dkk., 2005). Para ahli dalam penelitiannya menunjukkan adanya kemungkinan interaksi antara melatonin dan sistem kekebalan tubuh. Penghambatan sintesis melatonin menyebabkan penghambatan respons imunitas seluler dan respons imunitas humoral pada tikus (Salucci dkk., 2013). Kadar melatonin yang tinggi pada bayi baru lahir terbukti sebagai efek protektif dari respiratory distress syndrome. Pemberian melatonin pada tikus yang terinfeksi dengan Venezuelan Equine Encephalomyelitis Virus (VEEV) terbukti menekan mortalitas hingga 16% daripada tikus yang tidak diberikan melatonin (Carrillo-Vico dkk., 2013). Kadar melatonin yang rendah ditemukan pada orang dengan infeksi HIV.
5 Pada penelitian yang melibatkan 77 orang terinfeksi HIV ditemukan kadar melatonin rendah, sel Th1 yang rendah serta IL-12 yang rendah (Pandi-Perumnal dkk., 2006). Melatonin memiliki cara yang unik dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Melatonin terbukti berperan sebagai anti inflamasi dan antioksidan. Melatonin juga memiliki kemampuan baik sebagai anti apoptosis dan proapoptosis (Da-Silva-Ferreira dkk., 2010). Melatonin memiliki kemampuan melindungi serta turut meregulasi selsel hematopoiesis, mencegah atrofi timus terhadap efek dari obat kemoterapi kanker (Salucci dkk., 2013). Pada studi in vivo pemberian implan melatonin dapat meningkatkan sel Th2 (Pandi-Perumal dkk., 2006). Melatonin memiliki peran dalam melindungi sel imun dan efek imunostimulan, melalui kemampuan peningkatan IL-2 yang berperan dalam proliferasi limfosit serta memperkuat fungsi limfosit, sel dendritik, makrofag dan sel imun yang lain (Carrillo-Vico dkk., 2013; Szczepanik, 2007). Penelitian keterkaitan tentang hubungan hormon dan sistem imun masih terbatas. Penelitian tentang manfaat melatonin sudah banyak dilakukan tetapi yang dikaitkan dengan sistem imunitas juga masih terbatas. Sehingga perlu dibuktikan secara ilmiah adanya keterkaitan antara sistem imun dan hormon. Kortikosteroid paling banyak digunakan sebagai obat alergi dan anti inflamasi. Di masyarakat luas, sering terjadi penyalahgunaan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan imunosupresi. Salah satu jenis kortikosteroid yang sering digunakan adalah metilprednisolon. Limfosit dan leukosit baik kuantitas dan kualitasnya penting dalam menjaga integritas sistem imun. Dalam hal ini jumlahnya memegang peranan
6 yang penting dalam status imunitas. Atas dasar hal tersebut maka penelitian ini dibuat untuk membuktikan apakah melatonin mampu mencegah imunodefisiensi sekunder akibat penggunaan jangka panjang kortikosteroid. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.2.1 Apakah melatonin dapat menghambat penurunan jumlah limfosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon? 1.2.2 Apakah melatonin dapat menghambat penurunan jumlah leukosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Untuk membuktikan bahwa pemberian melatonin dapat menghambat penurunan jumlah limfosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon. 1.3.2 Untuk membuktikan bahwa pemberian melatonin dapat menghambat penurunan jumlah leukosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang diberi metilprednisolon.
7 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah Memberikan informasi ilmiah mengenai peran melatonin dalam menghambat penurunan jumlah limfosit dan leukosit. Dapat dipergunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang penggunaan melatonin sebagai imunostimulator. 1.4.2 Manfaat Aplikasi Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dipakai sebagai acuan masyarakat agar lebih memahami manfaat dari penggunaan melatonin.