BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan gaya hidup yang terjadi pada masyarakat moderen seperti saat ini cenderung menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Perubahan gaya hidup yang kurang sehat seperti diet tinggi karbohidrat dan lemak, serta pola hidup sedentari dimana aktivitas fisik sehari-hari sangat minimal akan menimbulkan berbagai penyakit. Obesitas terutama yang disebabkan oleh paparan jangka panjang diet tinggi lemak dan merupakan sebuah epidemi yang muncul di seluruh dunia, termasuk di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia (Alder et al., 2014; Riskesdas, 2013). Asupan lemak merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan obesitas remaja di Indonesia tahun 2010 setelah dikontrol asupan energi, jenis kelamin, pekerjaan, sosioekonomi. Lemak mengandung kalori 2 kali lebih banyak dibandingkan karbohidrat dan protein, 1 gram lemak akan menyumbang 9 Kkal energi. Pola makan subjek obesitas diketahui mengandung 5-8% lebih tinggi lemak dari makanan dengan berat badan normal (Fentiana, 2012). Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang rata-rata konsumsi kalori terus meningkat dari tahun- ke tahun. Rata-rata konsumsi kalori per kapita per hari dinilai dari berbagai indikator kelompok makanan, diketahui bahwa Indikator minyak dan lemak didapatkan sebesar 183,6 menjadi 198,91 Kal/Kapita/Hari dari tahun Dan menempati urutan kedua setelah indikator makanan pokok Indonesia seperti padi-padian yaitu Kal/Kapita/Hari. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan prevalensi obesitas akibat intake kalori berlebihan khususnya diet makanan tinggi lemak (BPS, 2014). Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial yang ditandai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang ditetapkan WHO adalah > 30 bagi 1

2 2 penduduk Eropa, sedangkan cut off point obesitas di Asia Pasifik memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya yaitu IMT (Purnamasari, 2011). Pada tahun 2014, lebih dari 600 juta (13%) orang dewasa mengalami obesitas. Pada tahun 2013, 42 juta anak-anak usia kurang dari 5 tahun mengalami overweight dan obesitas (WHO, 2015). Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, pada laki-laki dewasa (> 18 tahun), terjadinya obesitas mengalami peningkatan yaitu dari 13,9% pada tahun 2007 menjadi 19,7 % pada tahun Sedangkan pada wanita dewasa (> 18 tahun) terjadi kenaikan yang ekstrim mencapai 19 %. Dari 14,8% pada tahun 2007 menjadi 32,9 % pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Analisis data dari enam penelitian kohort menunjukan bahwa obesitas merupakan penyebab atas kematian pertahun di Amerika Serikat. Hal ini diperantarai dengan terjadinya penyakit diabetes miletus tipe 2, penyakit kardiovaskuler, hipertensi, kanker (payudara, kolon, esofagus, ginjal, ovarium, pankreas dan rahim), infeksi saluran pernafasan akut seperti bronkitis, pneumonia, TBC dan meningkatkan risiko osteoporosis pada saat dewasa. Obesitas dapat menyebabkan inflamasi kronis yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko kematian dini. Inflamasi kronis terjadi akibat peningkatan sitokin proinflamasi serta kemokin oleh sel adiposit dan peningkatan sel-sel proinflamasi seperti leukosit semakin memperberat kondisi ini. Inflamasi kronis juga dikaitkan dengan peningkatan jumlah adiposit serta penuaan jaringan limfoid seperti timus dan sumsum tulang (Dixit, 2008; Taylor, 2015). Bukti epidemiologi menunjukan bahwa obesitas (BMI > 30) meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik akibat penyakit infeksi maupun non-infeksi. Penelitian ini penting bagi masyarakat mengingat WHO meperkirakan satu dari sepuluh orang dewasa mengalami obesitas dan obesitas dapat dicegah (Dixit, 2008). Pada 70 tahun terakhir banyak penelitian untuk menurunkan insidensi obesitas tersebut, salah satunya restriksi diet. Hasilnya didapatkan bukti

3 3 bahwa restriksi diet dapat meningkatkan umur maksimal pada hewan pengerat, memiliki efek anti-penuaan yang diperkirakan akibat penundaan terjadinya berbagai penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, autoimun, diabetes, Parkinson dan Alzeimer, serta beberapa penyakit ini berhubungan dengan komponen imun dalam progresivitasnya seperti pada penyakit autoimun. Dengan restriksi diet mampu meningkatkan mekanisme pertahanan antioksidan, serta pergeseran proporsi limfosit-t dan mencegah mutasi DNA (Jolly, 2004). Salah satu bentuk restriksi diet adalah intermittent fasting dimana sehari makan biasa secara ad libitum dan sehari sesudahnya dibatasi atau dipuasakan. Metode ini terbukti dapat mempercepat hilangnya lemak tubuh sehingga efektif digunakan dalam penurunan berat badan, menurunkan kadar kolesterol, trigliserid dan LDL darah, dapat meningkatkan HDL sehingga dapat terhindar dari penyakit kardiovaskular, serta dapat meningkatkan fungsi dan struktur otak serta dapat meningkatkan angka harapan hidup (Chausse et al, 2015; Li et al, 2013). Peningkatan sel-sel adiposit sumsum tulang pada obesitas, berhubungan dengan terjadinya peningkatan produksi sitokin proinflamasi. Hal ini diduga merupakan awal terjadinya reaksi inflamasi yang memicu timbulnya berbagai penyakit yang berkaitan dengan sistem imun (Tripathy, 2014; Dixit, 2008). Penelitian mengenai efek restriksi diet terhadap adiposit sumsum tulang masih kontroversi sehingga penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pengaruh intermittent fasting terhadap adiposit sumsum tulang Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh intermittent fasting subkronik pada jumlah adiposit sumsum tulang tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar yang mendapat diet tinggi lemak?

4 Tujuan Penelitian Mengetahui adanya pengaruh intermittent fasting subkronik pada jumlah adiposit sumsum tulang tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar yang mendapat diet tinggi lemak Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti bahwa penelitian dengan judul Pengaruh intermittent fasting subkronik pada jumlah adiposit sumsum tulang tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar yang mendapat diet tinggi lemak yaitu penelitian yang benar-benar baru dan belum ada yang meneliti sebelumnya. Namun terdapat penelitian yang menyerupai yaitu: 1. Chausse et al. (2015) dengan penelitiannya yang berjudul Intermittent Fasting Results in Tissue-Specific Changes in Bioenergetics and Redox State. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa intermittent fasting dapat menurunkan berat badan, menurunkan kejadian obesitas, mencegah cedera iskemik pada jantung dan kerusakan otak akibat efek antioksidan serta pertahanan terhadap kerusakan oksidatif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Chausse et al. yaitu pada penelitian Chausse et al. Intervensi yang dilakukan adalah dalam 1 bulan, lalu dinilai efek intermittent fasting terhadap berat badan tikus, efek pada berbagai organ seperti hati, otak dan jantung. Sedangkan intervensi yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan memberikan diet tinggi lemak serta intermittent fasting yang dilakukan selama 72 hari dan dinilai efeknya pada organ sumsum tulang tikus. 2. Adler et al. (2014) dengan penelitiannya yang berjudul High Fat Diet Rapidly Suppresses B Lymphopoiesis by Disrupting the Supportive Capacity of the Bone Marrow Niche. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa populasi sel B pada diet tinggi lemak tidak mengalami penurunan, namun pada diet tinggi lemak setelah 3 minggu dan 6 minggu mengalami penurunan sel B sebanyak 10% dan

5 5 25%. penilaian terhadap marker perkembangan sel B yaitu Il-7, EBF- 1 dan Pax-5. Pada hari ke-2, ekspresi Il-7 dan EBF-1 berkurang 20% dan 11%, sedangkan Pax-5 tidak berdampak secara signifikan. Pada satu minggu, ekspresi dari Il-7, EBF-1, dan Pax-5 pada tikus HFD turun sebanyak 19%, 20% dan 16%. Pada enam minggu turun sebanyak 23%, 29% dan 34% dibandingkan dengan tikus tanpa diet tinggi lemak. Penilaian terhadap fraksi jaringan adiposit meningkat sebanyak +363%, luas daerah rata-rata adiposit sumsum tulang meningkat 72% dan kadar gliserida sumsum tulang meningkat 48% pada tikus dengan diet tinggi lemak dibanding kontrol. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Adler et al. yaitu pada penelitian Adler et al. Intervensi yang dilakukan adalah diet tinggi lemak yang dinilai pada hari ke-2, 1 minggu dan 6 minggu. Organ yang digunakan adalah tulang femur tikus. Sedangkan intervensi yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan memberikan diet tinggi lemak selama 30 hari, serta intermittent fasting yang dilakukan selama 72 hari dan dinilai efeknya pada organ vertebra L4 tikus. 3. Li et al. (2013) dengan penelitiannya yang berjudul Chronic Intermittent Fasting Improves Cognitive Functions and Brain Structures in Mice. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa puasa intermiten mampu meningkatkan fungsi dan struktur otak dan diet tinggi lemak tidak menyebabkan perubahan yang signifikan dalam fungsi dan struktur otak pada hewan obesitas. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Li et al. yaitu pada penelitian Li et al. organ yang diteliti adalah otak tikus. Sedangkan pada peneliti, organ yang diteliti adalah sumsum tulang Manfaat Penelitian

6 Manfaat bagi peneliti - Mengetahui bagaimana pengaruh intermittent fasting terhadap jumlah sel adiposit sumsum tulang tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar dengan diet tinggi lemak. - Menambah wawasan peneliti mengenai manfaaat intermittent fasting bagi tubuh dan efek negatif diet tinggi lemak terhadap tubuh. - Membantu menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti untuk dapat melakukan penelitian selanjutnya Manfaat bagi ilmu pengetahuan - Memberikan informasi tentang pengaruh intermittent fasting terhadap rerata jumlah sel adiposit sumsum tulang tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar dengan diet tinggi lemak dan efeknya bagi tubuh. - Mahasiswa kedokteran, menambah informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang manfaaat intermittent fasting bagi tubuh serta mengetahui efek negatif dengan diet tinggi lemak sehingga dapat dijadikan pembanding dalam penelitian di daerah lain Manfaat bagi masyarakat - Memberikan gambaran dan informasi mengenai manfaat intermittent fasting bagi tubuh dan efek negatif dengan diet tinggi lemak sehingga diharapkan dapat menurunkan prevalensi berbagai penyakit yang ditimbulkannya Manfaat bagi pemerintah - Bagi dinas kesehatan, sebagai bahan masukan dalam meningkatkan program kesehatan untuk program pencegahan penyakit khususnya penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh konsumsi makanan tinggi lemak sehingga diharapkan mampu membantu pemerintah dalam menurunkan prevalensi berbagai penyakit yang ditimbulkannya.