BAB II KAJIAN PUSTAKA. Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah"

Transkripsi

1 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Imunosupresi adalah penurunan fungsi sistem imun. Imunodefisiensi adalah sekumpulan gejala atau penyakit akibat adanya defek pada sistem imun. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman, bahaya yang berasal dari infeksi mikroorganisme patogen, autoimun ataupun kanker. Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011). Para ahli mencoba menyodorkan banyak teori untuk menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Sacara umum teori tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear pada prinsipnya berusaha menjelaskan bahwa tubuh menjadi lemah dan lelah lalu meninggal adalah akibat dari penggunaan dan kerusakan yang berlangsung terus menerus, meliputi teori kerusakan DNA, glikoslasi dan radikal bebas. Teori program, berkeyakinan bahwa tubuh memiliki jam biologis meliputi terbatasnya replikasi, proses imun dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2011). Beberapa teori tentang penuaan antara lain: 1. Teori Radikal Bebas Pada tahun 1954 muncul teori radikal bebas yang memiliki argumen bahwa penumpukan radikal bebas dalam tubuh menyebabkan penuaan dan kematian 8

2 2 makhluk hidup dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas eksogen dan endogen dapat memicu serangkaian kerusakan pada struktur meolekular yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fungsi fisiologis (Winarsi, 2010). 2. Teori Proses Imun Penuaan dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh dikenal sebagai immunosenescence. Situasi ini menyebabkan peningkatan kerentanan tubuh terhadap penyakit menular dan kanker akibat kapasitas penurunan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi rangsangan antigen, berubahnya lingkungan mikro sitokin serta penurunan kemampuan kedua imunitas, yakni imunitas bawaan dan imunitas yang didapat (Srinivasan dkk., 2005). Teori ini juga menyatakan bahwa pada siklus kehidupan akan terjadi involusi pada kelenjar timus. Timus ini adalah sumber dari sel T dewasa yang berperan penting pada sistem imun. Pada penuaan, jumlah sel T tidak berkurang secara drastis namun terjadi penuruan pada fungsinya (Pangkahila, 2011). 3. Teori Neuroendokrin Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofisis dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh pada usia muda, namun seiring dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan produksi hormon,

3 3 yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh (Goldman dan Klatz, 2007). 2.2 Sistem Imun Sistem imun berfungsi mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbentuk dari gabungan sel, molekul, dan jaringan yang berperan dalam melawan infeksi. Respons imun terbentuk dari koordinasi dan komunikasi reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Sistem Imun Nonspesifik spesifik Fisik Seluler Larut Humoral seluler Kulit Selaput lendir Silia Batuk bersin Biokimia: Asam lambung Lisozime Laktoferin Asam neurominik Humoral: Komplemen Mediator asal lipid Fagosit mononuklear Pomorfonuklear Sel NK Sel Mediator Basofil Sel mast Sel B IgA IgG IgM IgE IgD Sitokin Sel T Th1 Th2 Ts/Tr/Th3 Tdth CTL/Tc NKT Th7 Gambar 2.1 Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Renggani, 2009)

4 4 Imunitas (kekebalan) merupakan terminologi yang digunakan untuk respons spesifik dari sistem imun. Kekebalan terhadap infeksi, baik yang terbentuk mengikuti paparan organisme penyebab maupun yang dapat dirangsang secara buatan dengan imunisasi terutama untuk resiko paparan. Pada gambar 2.1 dengan jelas menerangkan pembagian sistem imun. Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Kresno, 2013) Sistem Imun Nonspesifik a. Pertahanan fisik Pertahanan fisik terdiri dari kulit yang utuh dan epitel lapisan mukus yang dalam kondisi normal tidak dapat ditembus mikroorganisme patogen. Disamping itu, tubuh melakukan gerakan yang dapat membuang mikroorganisme, seperti pada refleks batuk, bersin dan muntah, bersama-sama dengan gerakan yang konstan seperti bergetarnya silia pada traktus respiratorius dan peristaltik usus (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). b. Pertahanan biokimia Lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Air susu ibu mengandung laktosidase dan asam neuraminik yang bersifat antibakteri terhadap E.coli dan asam dalam saluran pencernaan oleh enzim proteolitik dan cairan empedu dalam usus halus dan oleh asiditas vagina. Zat kimia

5 5 ini membentuk lingkungan yang tidak nyaman untuk bakteri yang bukan flora normal (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). c. Pertahanan humoral Sistem imun nonspesifik menggunakan berbagai molekul larut. Faktor larut lainnya diproduksi ditempat yang lebih jauh dan dikerahkan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid dan sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α (Kresno, 2013). d. Pertahanan Seluler Fagosit, sel natural killer (NK), sel mast dan eosinofil berperan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Fagositosis adalah garis pertahanan kedua tubuh terhadap agen infeksius. Pertahanan ini terdiri dari proses penelanan dan pencernaan mikroorganisme serta toksin setelah berhasil menembus tubuh (Baratawidjaja dan Renggani, 2009) Sistem Imun Spesifik a. Humoral Pemeran utama dalam sistem sel imun spesifik humoral adalah sel B atau limfosit B. Sel B berasal dari sel multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berpoliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepaskan dapat ditemukan di dalam serum (Baratawidjaja dan Renggani, 2009).

6 6 b. Seluler Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T berasal dari sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam timus. Sel T terdiri dari beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu CD4 + (Th1, Th2), CD8 + ( CTL/Tc) dan T regulator (Th3). Fungsi sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel CD4 + mengaktifkan sel Th yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8 + memusnahkan sel terinfeksi. (Baratawidjaja dan Renggani, 2009) Sitokin Sitokin merupakan protein pemberi sinyal intraseluler yang bekerja secara lokal dengan parakrin atau autokrin dengan terikat pada reseptor yang memiliki afinitas dan memacu reaktivitas sistem imun, baik pada imunitas spesifik atau nonspesifik. Sitokin diproduksi oleh makrofag atau monosit, limfosit, sel-sel endotel, hepatosit, sel-sel epitel keratinosit dan fibroblas. Sitokin jika dijumpai dalam sirkulasi, biasanya terdapat dalam konsentrasi pikogram permililiter (pg/ml) (Kresno, 2013). Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik untuk mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respons nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh sitokin disamping juga makrofag memproduksi sitokin-sitokin tersebut. IL-1, IL-6, TNF-α, merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Inteleukin juga berperan dalam proliferasi sel-sel imun diantaranya IL-1,IL-2 dan IL-6 (Kresno, 2013).

7 Leukosit Leukosit merupakan sel darah yang memiliki nukleus dan tidak bewarna. Bentuknya bulat dalam peredaran darah, tetapi berupa sel ameboid pleimorfik dalam jaringan, atau pada substrat padat in vivo. Leukosit terdiri dari leukosit leukosit granular atau leukosit nongranular. Leukosit granular terdiri dari eosinophil, basofil, dan neutrofil. Leukosit nongranular terdiri dari dari limfosit dan monosit. Jumlah leukosit adalah 4,3 10,8 x 10 9 /L, dengan neutrofil 45 74%, limfosit 16 45%, monosit 4 10%, eosinofil 0 7%, dan basofil 0 2% (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). Pelepasan zat kimia dan sitokin oleh jaringan yang rusak pada proses inflamasi menyebabkan leukosit bergerak mendekati (kemotaksis positif) atau menjauhi (kemotaksis negatif) sumber zat. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme patogen secara fagositik sedangkan limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki fungsi fagositik (Kresno, 2013) Limfosit Sebanyak 20% dari semua leukosit dalam sirkulasi darah orang dewasa merupakan limfosit yang terdiri dari sel B dan sel T yang merupakan kunci pengontrol sitem imun. Pada keadaan normal, sel limfosit hanya memberikan reaksi terhadap zat asing tetapi tidak terhadap selnya sendiri. Limfosit berasal dari sel-sel sumsum tulang merah, tetapi melanjutkan diferensiasi dan proliferasinya dalam organ lain (Chaplin, 2009).

8 8 Sel T imatur (pada organ timus) ditandai dengan sel timus double negative (CD4 - dan CD8 - ) sedangkan sel T yang sudah matur akan bersirkulasi ke darah perifer ditandai dengan double positive (CD4 + dan CD8 + ). Sel T yang naïve (imatur) akan berkembang menjadi dua subset, yaitu sel Th1 dan Th2. Polarisasi ke arah sel Th1 atau Th2 bergantung pada berbagai faktor tanskripsi yang diaktivasi maupun lingkungan mikro dan sitokin khususnya IL-12, IFN-γ dan IL-4. Keseimbangan antara limfosit Th1 dan Th2 harus dalam keadaan seimbang untuk mempertahankan inegritas sistem imun (Kresno, 2013). Sel B bertanggung jawab atas pembentukan immunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Terdapat hubungan antara sel B dan sel T, dimana sel Th2 dapat membantu produksi antigen oleh sel B (Kresno, 2013). Sel NK adalah sel yang tidak mengekspresikan reseptor antigen di permukaan sehingga dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa perlu disensitisasi terlebih dahulu tanpa bergantung pada produk MHC (Kresno, 2013). 2.3 Hubungan Sistem Imun dan Penuaan Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia. Sistem imunitas tubuh berfungsi membantu perbaikan DNA, mencegah infeksi organisme patogen serta menghasilkan antibodi untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam tubuh. Fungsi sistem imunitas tubuh menurun sesuai umur. Seiring bertambahnya usia manua lebih rentan terhadap seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik.

9 9 Pada keadaan immunosenescence dapat terjadi penurunan fungsi pada sistem imun nonspesifik dan dan spesifik (Srinivasan dkk., 2005) Sistem Imun Nonspesifik dan Penuaan Pada sistem imun nonspesifik, terjadi penurunan fungsi pertahanan epithelial seperti kulit, paru, dan saluran gastrointestinal dan tubuh lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Granulosit, makrofag dan monosit secara jumlah relatif sama, namun menunjukkan pergeseran fungsi. Pengamatan yang dilakukan pada granulosit terutama neutrofil pada orang lanjut usia dan pada tikus tua terlihat adanya penurunan signifikan fungsi utama granulosit, seperti penurunan kemotaksis dan menurunnya kemampuan fagositosis. Fungsi Penurunan respons juga dialami oleh neutrofil terhadap GM-CSF dan tejadi peningkatan apoptosis neutrofil seiring usia (Ponnappan dan Ponnappan, 2011). Makrofag adalah monosit yang berfungsi sebagai sensor patogen di jaringan. Pada usia lanjut fungsi fagositosis makrofag juga menurun disertai penurunan reseptor MHC-II di permukaan sel dan ditemukan ekspresi toll-like reseptor (TLR). Adanya ekspresi TLR dipercaya dapat menginduksi sitokin proinflamasi (Ponnappan dan Usha Ponnappan, 2011). Sel NK merupakan mediator alamiah tubuh terhadap virus dan sel tumor. Sel NK berfungsi untuk menjadi jembatan antara respons imun nonspesifik dan spesifik. Adanya penurunan sel NK dipercaya sebagai salah satu patogenesis terjadinya kanker (Solana dkk., 2006).

10 10 Terdapat juga pengaruh penuaan terhadap sel-sel dendritik. Orang tua mempunyai jumlah sel-sel dendritik yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang lebih muda meskipun sel-sel tersebut masih menunjukkan kemampuannya sebagai antigen presenting cell dan dalam merangsang aktifasi dan proliferasi sel limfosit T namun terjadi penurunan kemampuan sel-sel tersebut dalam memproses, menyaji dan melakukan fagositosis terhadap antigen (Ponnappan dan Ponnappan, 2011) Sistem Imun Spesifik dan Penuaan Sistem imun spesifik diperankan oleh sel limfosit T dan limfosit B. Adanya antigen akan merangsang respons imun spesifik. Pada mulanya akan mengaktifasi sel limfosit T. Sekali sel limfosit T teraktifasi, sel tersebut akan melawan antigen dan merangsang aktifasi sel limfosit B. Sel limfosit B yang teraktifasi akan merangsang pembentukan antibodi yang akan melawan antigen tersebut. Masalah utama penuaan pada sistem imun spesifik terletak pada kemampuan sel limfosit T dan limfosit B untuk mengadakan pembelahan sel secara cepat. Sel limfosit B akan menghasilkan antibodi bila terpapar antigen. Pada proses penuaan, terjadi keterlambatan respons dalam memproduksi imunoglobulin. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua (Srinivasan dkk., 2005).

11 Penuaan dan Gangguan Fungsi Imun Gambar 2.2 Dasar Molekular Hubungan Penuaan Dan Sistem Imun (Ponnappan dan Ponnappan, modified, 2011) Immunosenescence adalah penurunan fungsi sistem imun yang disebabkan oleh usia. Pada proses penuaan, terjadi pergeseran faktor transkripsi, stres oksidatif yang menumpuk, ketidakmampuan DNA untuk memperbaiki diri, kerusakan telomer, involusi timus serta perubahan sel T, Sel B dan APC mengakibatkan akumulasi dan peningkatan NF-кB. Peningkatan NF-кB dihubungkan dengan inflamm-aging/oxiinlamm-aging yang akan menyebabkan apoptosis sel imun, peningkatan risiko infeksi serta penurunan imunitas nonspesfik dan spesifik, seperti yang dijelaskan pada gambar 2.2 (Ponnappan dan Ponnapan, 2011).

12 Imunomodulator Imunomodulator adalah obat yang diharapkan memperbaiki dan mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun yang fungsinya terganggu atau menekan fungsinya yang berlebihan. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation. Imunostimulan atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun (Carrillo-Vico dkk., 2013). Bahan yang disebut imunostimulator yaitu hormon, timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, ekstrak leukosit, bahan asal bakteri dan jamur juga bahan sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptida dan lain-lain. Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau autoinflamasi. Bahan yang berfungsi sebagai agen imunosupresi seperti metotreksat, steroid (glukokortikoid dan kortikosteroid) dan lain-lain. (Baratawidjaja dan Renggani, 2009). 2.5 Kortikosteroid Kortikosteroid adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat bertahan menghadapi perubahan lingkungan dan infeksi. Kortikosteroid dihasilkan dari korteks adrenal kelenjar suprarenal yang terdiri dari hormon glukokortikoid dan mineralokortikoid.

13 13 Homon ini banyak fungsi metabolisme karbohidrat, keseimbangan cairan dan elektrolit. Dapat memperbaiki gejala klinik penyakit tetapi bukan merupakan terapi kausalis. Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulator. Hormon ini menghambat transkripsi terhadap gen yang mengkode sitokin proinflamasi dengan cara menurunkan aktivitas NF-кB sehingga, kortikosteroid akan menghambat sintesis atau aksi sebagian besar sitokin proinflamasi (Rhen dan Cidlowski, 2005). Gambar 2.3 Mekanisme Penghambatan NF- кb oleh Glukokortikoid (Rhen dan Cidlowski, 2005) Glukokortikoid, bermanfaat untuk menghambat NF-кB dan turunan-turunannya (gambar 2.2). Terdapat tiga bukti yaitu: (1) Glukokortikoid meningkatkan mrna IкB (Inhibitor famili NF-кB), yang menyebabkan meningkatnya protein IкB dan peningkatan sekuestrasi NF-кB di sitoplasma; (2) Reseptor glukokortikoid bersaing

14 14 dengan NF-кB untuk berikatan dengan kofaktor; (3) Reseptor glukokortikoid secara langsung berikatan dengan subunit p65 NF-кB dan menghambat pengaktifannya (Rhen dan Cidlowski, 2005). Tabel 2.1 Efek Kortikosteroid dalam Transkripsi Gen (Barnes, 2006) Kortikosteroid sintetik sebagai imunosupresan, mampu menghambat transkripsi sejumlah sitokin, kemokin, molekul peptide, enzim inflamasi, peptida yang dapat menurunkan jumlah ataupun kemotaksis sel radang seperti leukosit, limfosit dan makrofag (Barnes, 2006). Penghambatan terhadap proses inflamasi juga terlihat pada penghambatan NO, COX-2 dan phospholipase A2 oleh kortikosteroid. Mekanime ini melalui penghambatan NF-кB secara tidak langsung mempengaruhi kemotaksis leukosit dan sistem imun nonspesifik (Kresno, 2013). Ekpresi inos dipengaruhi oleh infeksi

15 15 bakteri, LPS dan sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α, IFNγ). Kortikosteroid besama dengan IL-10, TGFβ berefek negatif terhadap ekspresi inos (Sukumaran dkk., 2012). Limfosit Th1 dan Th2 memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan perbedaan sitokin yang dihasilkan. Sel Th2 memproduksi IL-10, sebaliknya sel Th1 tidak. Fungsi IL-10 adalah dengan menghambat beberapa jenis sitokin (IL-1, TNF, kemokin dan IL-12). Kortikosteroid melalui induksi IL-10 menghambat fungsi makrofag karena menghambat ekspresi MHC II. Dampak akhir dari aktivitas IL-10 adalah hambatan sistem imun nonspesifik maupun spesifik yang diperantarai sel T (Kresno, 2013). Efek imunosupresi kortikosteroid pada sel-sel imun akibat terjadinya penghambatan transkripsi gen untuk induksi pelepasan terutama oleh IL-1 dan IL-2. IL-1 yang diroduksi oleh makrofag akan merangsang ekspresi IL-2 pada permukaan limfosit T serta pembentukan IL-2. IL-2 dapat menginduksi proliferasi sel T terutama berperan pada fase G1 ke fase S dari siklus sel. IL-2 juga berfungsi merangsang proliferasi limfosit B dan produksi antibodi, serta aktivitas Sel NK. Akibat penghambatan terutama terhadap IL-1 dan IL-2 mengakibatkan limfopenia (Kresno, 2013). Peningkatan annexin A1 sebagai efek glukokortikoid mampu menimbulkan efek imunosupresi pada imunitas nonspesifik dengan cara mengganggu aktivitas dan migrasi leukosit dan makrofag. Di sisi yang lain, efek imunosupresi glukokortokoid ternyata menekan annexin A1 sehingga menurunkan proliferasi dan aktivasi sel T

16 16 serta menurunkan diferensiasi sel Th1 dan meningkatkan aktivitas dan diferensiasi sel Th2 pada respon imun didapat (gambar 2.4). Gambar 2.4 Efek Glukokortikoid Terhadap Sel-Sel Imun (Perretti dan D'Acquisto, 2009) Kortikosteroid sistemik yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang terutama pada pasien asma dihubungkan dengan hipogammaglobulinemia (Aun dkk., 2010). Penghambatan aktivitas sel B juga dapat diakibatkan penurunan IL-6, dimana IL-6 merupakan faktor induksi utama pada diferensiasi sel fase terminal, juga mempercepat pertumbuhan dan diferensiasi sel B (Kresno, 2013). TNF-α merupakan mediator utama pada proses inflamasi akut diproduksi terutama oleh makrofag, sel T, B, dan NK (Kresno, 2013). Metilprednisolon mampu menghambat produksi maupun jalur pembentukan TNF-α. Metilprednisolon ternyata juga mampu memperkuat TGF-β dengan cara meningkatkan ekspresi SMAD3 dan

17 17 menurunkan ekspresi SMAD7 yang merupakan inhibitor terhadap cascade SMAD, dalam hal ini merupakan imunosupresan yang kuat dengan menekan proliferasi dan maturasi sel T, B serta menekan aktivitas makrofag (Davis dkk., 2013). Hambatan terhadap kemotaksis dan perlekatan makrofag juga diinhibisi oleh kortikosteroid (Flaster dkk., 2007). Kortikosteroid dosis tinggi dan yang dilepaskan selama inflamasi terlihat meningkatkan apoptosis timosit yang dimediasi oleh induksi caspase-9 (Zen dkk., 2011). Timus merupakan organ limfoid primer yang berfungsi dalam maturasi sel T. Thymopoiesis dipengaruhi diantaranya oleh sitokin seperti IL-1, IL-3, IL-6, IL-7 macrophage-colony stimulating factor, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sel T imatur ditandai dengan sel timus double negarive (CD4 - dan CD8 - ) sedangkan sel T yang sudah matur ditandai dengan double positive (CD4 + dan CD8 + ). Double positive sel adalah paling sensitif terhadap reaksi glukokortikoid yang menginduksi apoptosis melalui aksi TGF-β. Medula timus menghasilkan IL-6. Timosit dalam proliferasi dan perkembangan membutuhkan IL-6 (Lynch, 2009). Sedangkan kortikosteroid menurunkan ekpresi IL-6 (Barnes, 2006) Metilprednisolon Metilprednisolon adalah derivat dari prednisolon yang mempunyai kelebihan sebagai anti inflamasi yang sangat kuat dengan efek samping yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan steroid yang lain. Berbeda dengan kortikosteroid yang lain yang memiliki efek kuat terhadap mineralokortikoid, efek glukokortikoid metilprednisolon lebih dominan. Metilprednisolon mempunyai waktu paruh 6-12 jam

18 18 di dalam darah, dan mempunyai konsentrasi puncak dalam 1-2 jam setelah diberikan. Metilprednisolon 4-48 mg per oral lazim digunakan pada kasus alergi dan inflamasi kronik (Sinha dan Bagga, 2008). Adapun efek samping dan komplikasi pada penggunaan metilprednisolon adalah osteoporosis, gangguan pertumbuhan, kelemahan otot, gangguan emosi dan penurunan fungsi sistem imun (Coutinho dan Chapman, 2010). 2.6 Melatonin Fisiologi Melatonin Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu pinealocytes, yang dibedakan menjadi asidofil dan basofil yang berfungsi menghasilkan indolamin (terutama melatonin) dan peptida, dan sel neuroglial (Al- Hussain, 2006). Melatonin atau yang juga disebut N-acethyl-5-methoxytryptamine disintesis dari serotonin. Pada biosintesis melatonin yang diilustrasikan pada gambar 2.5 tryptophan yang sedang bersirkulasi diambil dan diubah menjadi 5- hydroxytryptophan oleh tryptophan hydroxylase. 5-hydroxytryptophan kemudian didekarboksilasi menjadi serotonin. Serotonin diubah menjadi melatonin melalui rangkaian proses yang melibatkan enzim N-acetyl-transferase (NAT) sebagai pembatas sintesis melatonin dan enzim hydroxyindole-o-methyl-transferase (HIOMT). Aktivasi kedua enzim ini ditentukan oleh mrna yang dipengaruhi oleh siklus siang malam (Sanchez dkk., 2015).

19 19 Gambar 2.5 Biosintesis Melatonin (Sanchez dkk., 2015) Melatonin berperan penting dalam sinkronisasi peristiwa biologis yang dicetuskan oleh isyarat lingkungan eksternal. Supra chiasmatic nuclear (SCN) yang terletak pada hipotalamus anterior berfungsi sebagai pacemaker yang mengatur sekresi melatonin (gambar 2.6). Irama sekresi dipengaruhi oleh ransangan cahaya dalam hal ini siklus terang dan gelap. Sekresi melatonin dirangsang oleh kegelapan dan dihambat oleh cahaya (Doghramji, 2007). Gambar 2.6 Pengaruh Cahaya Dalam Sekresi Melatonin (Dubocovich, 2007)

20 20 Informasi cahaya ditangkap oleh sel rod dan cone pada retina. Sepanjang hari, SCN secara aktif memproduksi arousal signal yang mempertahankan kesadaran dan menghambat dorongan untuk tidur. Fotoreseptor di mata terhubung melalui saluran retinohypothalamic (RHT) ke SCN. Pada malam hari, sebagai respons pada keadaan gelap, terjadi feedback loop pada SCN yang diawali dengan pengiriman sinyal untuk memicu produksi hormon melatonin yang menghambat aktivitas SCN (gambar 2.7). Jalur ini akan aktif pada saat gelap, karena aktivitas saraf ganglion cervical superior dihambat oleh terang. Noradrenalin disekresikan oleh saraf terminal dari ganglion cervical superior dan menstimulasi kelenjar pineal melalui reseptor B, yang akan mensintesis camp untuk mengaktifkan NAT (Yonei dkk., 2009). Gambar 2.7 Jalur Sintesis Melatonin (Yonei dkk., 2009) Melatonin dapat memicu tidur dengan cara menekan wake promoting signal atau neuronalfiring pada SCN. Pemicu tidur pada hypothalamic ventrolateral preoptic nucleus dan aktivitas pemicu terjaga pada locus coeruleus, dorsal raphe, dan

21 21 tuberomammillary nuclei, sistem yang dapat mengatur sleep switchin. SCN dapat mempengaruhi kedua subsistem ini melalui ventral subparaventricular zone menuju ke hypothalamic dorsomedial nucleus, dimana berbagai fungsi sirkadian diregulasi. Proyeksi dari dorsomedial nucleus menuju ventrolateral preoptic nucleus dapat memicu tidur, sedangkan proyeksi menuju lateral hypothalamus berhubungan dengan aktivitas yang terjadi dalam keadaan terjaga. Melatonin dapat mempengaruhi switching mechanism ini dan mempercepat sleep onset melalui reseptor-reseptor yang banyak terdapat pada SCN (Yonei dkk., 2009). Gambar 2.8 Reseptor Melatonin (Slominski dkk., 2012) Seperti pada gambar 2.8, melatonin mengakibatkan berbagai aktivitas biologi melalui reseptor MT1 dan MT2 membran reseptor (G protein-coupled) atau melalui reseptor nuklear (ROR/RZR). Di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan

22 22 calmodulin. (Srinivasan dkk., 2005). MT3 hanya ditemukan pada hamster dan kelinci (Slominski dkk., 2012). Reseptor MT1 dan atau MT2 ini ditemukan pada sistem saraf pusat, hipofisis, duodenum, kolon, caecum, appendikx, epitel saluran kencing, kelenjar paratiroid, kelenjar eksokrin pancreas, sel β pankreas, epitel kelenjar mamme, miometrium, plasenta, epitel granulosa dan luteal, ginjal, ventrikel jantung, aorta, koronaria, arteri serebral, lemak, trombosit serta sel-sel darah yang berperan dalam sistem imun seperti pada limfosit, leukosit, dan monosit (Srinivasan dkk., 2005; Slominski dkk., 2012). Tabel 2.2 Distribusi Reseptor Melatonin Pada Berbagai Organ Tubuh (Slominski dkk., 2012) Kadar melatonin di kelenjar pineal dan darah mengikuti irama sirkadian. Saat malam hari, sintesis melatonin meningkat. Pada manusia, kadar melatonin di plasma

23 23 mulai meningkat setelah 9.00 PM PM dan mencapai puncak sekitar 2.00 AM hingga 4.00 AM, lalu menurun di pagi hari. semakin menurun seiring dengan pertambahan usia (Gambar 2.9). Nilai plasma melatonin malam hari paling tinggi terdapat pada tahun pertama kehidupan, dan makin menurun saat dewasa (Pandi- Perumal et al., 2006). Gambar 2.9 Kadar Melatonin Waktu Malam Dihubungkan dengan Usia (Harrison dan Pierzynowski, 2008) Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui hepar, dimana sel hepar membentuk 6-hydroxymelatonin sebagai sisa metabolisme yang kemudian diubah menjadi 6-sulfatoxymelatonin dan glucuronide. Sejumlah kecil melatonin akan dibuang melalui urin dan air liur (Buscemi dkk., 2004). Pada tikus berumur 10 hari, puncak kadar melatonin pada malam hari adalah mencapai hingga 120pg/ml kemudian berangsur menurun hingga pg/ml pada tikus hari (Yu dan Retler, 1992).

24 Fungsi dan Manfaat Melatonin Penelitian menunjukan bahwa melatonin membantu memperbaiki kualitas tidur pada orang sehat. Melatonin digunakan pada kasus jet lag dan delayed sleep phase syndrome. Pemberian melatonin terbukti membantu mengatasi gangguan tidur pada anak yang memiliki gangguan neuropsikiatri, autisme, gangguan penglihatan, epilepsi. Terapi sulih melatonin pada orang tua juga terbukti memperbaiki kualitas tidur (Pangkahila dan Wong, 2015). Melatonin merupakan sebuah antioksidan yang sangat kuat. Bahkan dalam dosis kecil, melatonin mampu menetralisir radikal bebas dan menghambat terjadinya stres oksidatif (Tan dkk., 2007; Espino dkk., 2012). Melatonin juga bekerja secara tidak langsung dalam sistem imun dengan cara meningkatkan kapasitas total antioksidan dan atau menurunkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen spesies (RNS). Melatonin juga melindungi mitokondria dengan cara memperbaiki fungsi sistem antioksidan mitokondria dengan cara meningkatkan kadar glutation dan aktivitas glutation reduktase serta menurunkan peroksidasi lipid pada berbagai jaringan (Carrillo-Vico dkk., 2013) Melatonin sebagai Imunomodulator Studi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa melatonin memiliki peran imunomodulator. Penghambatan sintesis melatonin menurunkan sistem imun baik seluler dan sistem imun humoral pada tikus. Melatonin juga telah dapat melindungi sel prekursor hematopoietik dari efek toksik dari agen

25 25 kemoterapi kanker. Pemberian melatonin telah terbukti melawan keadaan imunodefisiensi sekunder (Pandi-Perumal dkk., 2006). Penurunan produksi sejumlah hormon yang berhubungan dengan penuaan, seperti melatonin, memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi bagi imunodefisiensi terkait usia. Ketika mencapai usia 30-an hormon melatonin kadarnya mulai menurun. Akibat penurunan kadar melatonin, terjadi ketidakseimbangan ROS dan antioksidan endogen karena melatonin berfungsi sebagai antioksidan yang sangat kuat. Sebagai konsekuensinya, terjadi penurunan fungsi sel imun (Espino dkk., 2012). Pemberian melatonin baik pada tikus normal maupun tikus immunocompromise terbukti menghasilkan respons antibodi yang tinggi baik pada penelitian in vitro dan in vivo. Pada proses penuaan terjadi kehilangan sel timus hingga atrofi timus baik secara struktural dan penurunan berat timus. Pemberian melatonin terbukti dapat mencegah atrofi timus sehingga dapat memperbaiki sistem imun. Involusi timus oleh melatonin dapat dicegah karena dapat mempertahankan jumlah sel-sel timus terhadap apoptosis serta peningkatan proliferasi sel timus (Espino dkk., 2012). Melatonin telah terbukti menghambat produksi sitokin proinflamasi, menunjukkan indolamin yang dapat membantu untuk mengurangi peradangan akut dan kronis. Melatonin mampu mengurangi kadar TNF-α dan IL-1β dan meningkatkan IL-6 dan IL-10. Efek imunomodulator melatonin pada penuaan juga jelas dalam sistem saraf pusat (SSP) yaitu melatonin meningkatkan respons otak serta menghambat proses inflamasi pada otak yang diinduksi oleh LPS (Song dkk., 2015).

26 26 Kemampuan antioksidan melatonin yang poten serta produk metabolitnya berperan pada aspek anti apoptosis sel-sel imun terkait usia. Melatonin juga mampu menunda kerusakan yang disebabkan apoptosis di neutrofil dan limfosit tua akibat proses degeneratif dan stres oksidatif (Espino dkk., 2012). Melatonin mampu berperan sebagai anti inflamasi dengan cara menekan respons radang dengan cara memblok signal NF-кB dan menghambat translokasi ke inti sel, menghambat pengikatan NF-кB subunit p50 dan mensupresi signal STAT-1. Melatonin juga mampu menurunkan TLR-3 yang dimediasi oleh TNF-α dan ekspresi inos, menurunkan COX-2 serta menurunkan leukotrin yang dapat mempengaruhi kemotaktis dan perlekatan neutrofil serta sel-sel radang yang lain Pada kasus asma, melalui aktifasi respetor melatonin pada CD4 +, melatonin mampu menurunkan IgE, IL-4, dan IFN-γ (Carillo-Vicco dkk., 2013). Menurut beberapa studi, ditemukan adanya peningkatan prevalensi penyakit autoimun pada musim dingin akibat meningkatnya sistem imum yang distimulasi oleh melatonin pada malam yang lebih panjang. Hal ini membuktikan adanya hubungan melatonin dan pengaruh waktu malam yang lebih panjang sebagai signal pada sistem imun. Pada orang dengan penyakit autoimun, ditemukan adanya kadar melatonin yang lebih tinggi pada malam hari (Pandi-Perumal dkk., 2006). Pada penelitian yang lain, disebutkan bahwa adanya penurunan sitokin proinflamasi pada pasien dengan SLE namun, belum dapat dipastikan apakah pemberian melatonin pada kondisi autoimun bermanfaat atau memberikan efek yang lebih buruk (Carrillo-Vico dkk., 2013).

27 27 Pada studi in vitro, pemberian glukokortikoid, mengubah fungsi dan fisiologis konsentrasi melatonin. Pemberian melatonin eksogen, ternyata mampu mengaktifasi reseptor melatonin pada sel-sel imun, terutama limfosit sehingga mengaktifkan sitokin-sitokin yang berperan dalam kontrol jumlah limfosit. Gambar 2.10 Efek Aktivasi Sistem Imun Oleh Melatonin (Szczepanik, 2007) Melatonin mampu merangsang sel APC, Sel T dan sel NK (gambar 2.10). Pada penelitian tersebut terbukti bahwa melatonin melalui reseptor di permukaan sel limfosit mampu merangsang pelepasan IFN-γ dan IL-2. CD4 +, CD8 +.. Sel APC yang terangsang akan mengeluarkan IL-2, TNF-β, memperkuat dan meningkatkan MHC-II makrofag secara autokrin maupun parakrin, memperkuat kemampuan fagositosis selsel fagosit dan merangsang IL-12. IL-12 juga akan memperkuat CD4 + dan meningkatkan kemampuan proliferasi sel T. Sel Th1 akan menghasilkan IFN-γ. Sel NK yang teraktivasi oleh melatonin juga menghasilkan IFN-γ yang penting dalam

28 28 menigkatkan ekpresi MHC, meningkatkan fagositosis maktofag dan merangsang diferensiasi sel T dan sel B melalui aktifasi IL-6 dan IL-12. Pada monosit pemberian melatonin meningkatkan ekpresi IL-1, IL-6 dan IL-12). Inteleukin yang terinduksi oleh melatonin pada penelitian ini merupakan counterbalance imunosupression yang akibat rangsangan stres yang terjadi akibat imunodefisiensi sekunder (Kostoglou- Athanassiou, 2013). Pada penelitian ekperimental transplantasi ovarium dan pankreas pada tikus, efek imunosupresif dari melatonin sangat terlihat dari adanya penghambatan langsung pada jumlah sel Th1 serta efek inhibisi sitokin yang produksi oleh sel Th1 dan peningkatan produksi IL-10. Pada kasus transplantasi melatonin mampu melindungi sel normal dan berfungsi sebagai anti apoptosis terhadap sel normal dengan melalui mekanisme antioksidan (Carrillo-Vico dkk., 2013). Pada imunitas nonspesifik melatonin mampu menstimulasi aktivitas sel NK, sel CD4 + dan CD8 + melalui jalur IFN-γ meningkatkan kapasitas kemotaksis leukosit, dan meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag serta meningkatkan ekspresi MHC II dan peningkatan produksi IL-1 dan TNF-α oleh makrofag. Melalui aktivasi IL-2 oleh melatonin, maka akan meningkatkan ekspresi TNF-α dalam hal ini yang berperan sebagai penginduksi molekul adhesi, sitokin, dan aktivasi neutrofil. Pada monosit, melatonin juga mampu memperkuat produksi IL-6 dan IL-12 pada keadaan suboptimal. Sehingga aktivasi IL-2 oleh melatonin memiliki peran penting sebagai immunostimulant (Carrillo-Vico dkk., 2013).

29 29 Pada imunitas spesifik, melatonin ternyata mampu meningkatkan proliferasi sel B dan sel T serta meningkatkan respons sel Th1 dan menurunkan sitokin yang dihasilkan oleh Th2 pada tikus tua. Melatonin meningkatkan produksi IL-2 dan IL-6 oleh limfosit dan serta meningkatkan ekspresi IL-2 dan IL-12 di makrofag (Carrillo- Vico dkk., 2013). Pada gambar 2.11 melatonin, dapat meningkatkan produksi IL-2 melalui reseptor melatonin MT1 pada membran sel melalui penurunan aktivitas camp sehingga meningkatkan sekresi IL-2 serta melalui reseptor melatonin pada inti RZR/ROR yang juga akan meningkatkan IL-2 (Carrillo-Vico dkk., 2003) Gambar 2.11 Melatonin Melalui Reseptor Membran dan Reseptor Inti Meningkatkan Ekspresi Sitokin IL-2 (Carrillo-Vico dkk., 2003)

30 30 Gambar 2.12 Mekanisme Autokrin IL-2 pada Sel T (Boyman dan Jonathan Sprent 2012) Seperti pada gambar 2.12, IL-2 yang dihasilkan oleh sel Th1, akan bekerja secara autokrin dan parakrin dan mengaktifkan jalur JAK-STAT, jalur MAPK, aktivasi jalur ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi produksi faktor-faktor transkripsi seperti NF-кB, AP-1 dan sitokin-sitokin yang lain. (Chiossone dkk, 2007). Melatonin meningkatkan sistem imun tidak hanya pada kemampuan meningkatkan produksi sitokin, tapi juga pada aksi anti apoptosis dan antioksidan pada berbagai kondisi dan berbagai organ (Carrillo-Vicco, 2013). Melatonin memiliki kemampuan dalam meregulasi kematian sel baik anti apoptosis maupun proapoptosis (Da-Silva-Ferreira dkk, 2010). Pada timus, melatonin akan merangsang IL-2 (gambar

31 ) dan bekerja secara autokrin pada limfosit serta bekerja secara parakrin terhadap sel medula timus, pada sel timus juga terdapat resepor inti melatonin RORα untuk meningkatkan proliferasi sel timus dan mencegah atrofi involusi timus (Lynch dkk, 2009). Pada kerusakan sel akibat ROS melatonin menurunkan kerusakan DNA dan menginhibisi pelepasan sitokrom c mitokondria dan menghambat caspase 3 (Zhang dkk., 2013). Melatonin mampu menghalangi proses caspase-9 dan caspase-3 yang dapat memodulasi kedua pembukaan permeabilitas mitokondria dan aktivasi protein Bax yang proapoptotik (Espino dkk., 2012). Kadar melatonin yang rendah ditemukan pada orang dengan infeksi HIV. Pada penelitian yang melibatkan 77 orang terinfeksi HIV ditemukan kadar melatonin rendah, sel Th1 yang rendah serta IL-12 yang rendah. Pada studi in vivo, pemberian implan melatonin dapat meningkatkan sel Th2 (Pandi-Perumal dkk., 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Mahkota Dewa Mahkota dewa merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya Papua dan secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Mahkota Dewa Berikut adalah sistematika tanaman, daerah, deskripsi tanaman, bagian yang digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. 2.1.1 Sistematika Tanaman Sistematika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

IMUNOLOGI DASAR. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired

IMUNOLOGI DASAR. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired IMUNOLOGI DASAR Sistem Imun Antigen (Ag) Antibodi (Ab) Reaksi Hipersensitivitas Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

Imunisasi: Apa dan Mengapa? Imunisasi: Apa dan Mengapa? dr. Nurcholid Umam K, M.Sc, Sp.A Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia Campak

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penggunaan obat-obat kemoterapi seperti doxorubicin memiliki efek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penggunaan obat-obat kemoterapi seperti doxorubicin memiliki efek 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan obat-obat kemoterapi seperti doxorubicin memiliki efek samping menurunkan sistem imun yang dapat menyebabkan tubuh mudah terkena serangan penyakit.

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium 49 BAB 5 PEMBAHASAN Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium Biokimia Universitas Muhammdiyah Jogjakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24 ekor, di mana tiap kelompok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organisme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Menurut Herbarium Medanense (2016), mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting sehingga mampu menghadapi serangan zat asing seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada keadaan normal, paparan mikroorganisme patogen terhadap tubuh dapat dilawan dengan adanya sistem pertahanan tubuh (sistem imun). Pada saat fungsi dan jumlah sel

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay

Lebih terperinci

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI OLEH: TUTI NURAINI, SKp, M.Biomed. DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR PENDAHULUAN Asal kata bahasa latin: immunis: bebas dari beban kerja/ pajak, logos: ilmu Tahap perkembangan

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia yang menjadi perhatian serius untuk segera ditangani. Rendahnya kesadaran masyarakat akan hidup sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tubuh manusia secara fisiologis memiliki sistim pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Uraian Tanaman 1. Sistematika tumbuhan Berdasarkan pustaka, berikut klasifikasi secara umum dari tumbuhan Lamtoro (Leucaena leucocephala) : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen yang berfungsi dalam sistem transportasi pada tubuh hewan tingkat tinggi. Jaringan cair ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian cair yang disebut

Lebih terperinci

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari serangan epidemi cacar dapat menangani para penderita dengan

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidur merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang untuk mengembalikan stamina tubuh dalam kondisi yang optimal. Tidur dapat diartikan sebagai suatu keadaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik Tahapan Respon Sistem Imun 1. Deteksi dan mengenali benda asing 2. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon 3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon 4. Destruksi atau supresi penginvasi Respon Imune

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat

BAB VI PEMBAHASAN. Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat BAB VI PEMBAHASAN Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat menyebabkan perlemakan hati non alkohol yang ditandai dengan steatosis hati, inflamasi dan degenerasi ballooning hepatosit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jamur merupakan sumber terbesar dari produk baru dalam bidang farmasi. Lebih dari itu, jamur memiliki peranan penting dalam pengobatan modern, itu menunjukkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi. Hormon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Dasar-dasar Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Departemen Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Unair Pokok Bahasan Sejarah Imunologi Pendahuluan Imunologi Komponen Imunologi Respons Imun Imunogenetika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya semua manusia memiliki sistem imun. Sistem imun diperlukan oleh tubuh sebagai pertahanan terhadap berbagai macam organisme asing patogen yang masuk ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan pada usus besar dan rektum. Gangguan replikasi DNA di dalam sel-sel usus yang diakibatkan oleh inflamasi kronik dapat meningkatkan

Lebih terperinci

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diinginkan dan perlu disingkirkan. Lingkungan disekitar manusia mengandung

tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diinginkan dan perlu disingkirkan. Lingkungan disekitar manusia mengandung BAB I PENDAHULUAN Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyaknya faktor-faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyaknya faktor-faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya faktor-faktor yang dapat menurunkan kekebalan tubuh seseorang, seperti tingginya tingkat polusi, perubahan gaya hidup dan pola makan, banyaknya wabah penyakit,

Lebih terperinci