BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam, kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar perusahaan, antar negara dan antar kelompok. Dunia bisnis merupakan suatu dunia yang sulit untuk diprediksi, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik, dan sering kali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dalam kondisi ekonomi global sekarang ini, para pelaku bisnis menginginkan mampu ikut serta berkompetisi dalam pasar global, sehingga membutuhkan dukungan permodalan yang cukup kuat. Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai keinginan yang kuat untuk melaksanakan pembangunan, terutama di bidang perekonomian, yang bertumpu pada tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan pembangunan nasional Indonesia antara lain adalah memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diatur lebih rinci dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah perlu meningkatan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik dalam bidang regulasi sektoral maupun melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sekaligus memberi
2 kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan negara. Berdasarkan tujuan tersebut pemerintah membentuk suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang BUMN dijelaskan bahwa BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil atau koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi. Meskipun demikian, suatu BUMN tetap dimungkinkan untuk dinyatakan pailit. Di Indonesia, pengaturan kepailitan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1905 dengan diberlakukannya S.1905-217 juncto S.1906-348, kemudian pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan, Perpu ini mulai berlaku setelah 120 hari diundangkan. Perpu Kepailitan tersebut kemudian telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. 1 1 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.. 5-6
3 Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sebagai dasar hukum kepailitan diharapkan dapat memenuhi syarat-syarat hukum yang efektif, adil, efisien, cepat, pasti, modern dan terekam dengan baik. Seiring dengan perkembangannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 masih dirasa belum memenuhi tuntutan perkembangan kasus-kasus yang terjadi. Atas dasar hal tersebut, maka diadakan perubahan lagi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004) ialah menambah pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan terhadap instansi tertentu, salah satunya ialah permohonan pailit terhadap BUMN. BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut Abdulkadir Muhammad bentuk dari BUMN terdiri atas perusahaan Perseroan (Persero) dan perusahaan u mum (perum). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseoran terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Organ Persero yaitu direksi, komisaris dan rapat umum pemegang saham (RUPS). 2 2 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung, 2006, hlm. 138
4 BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak dapat ditafsirkan semua BUMN yang ada di Indonesia. BUMN yang dimaksud hanyalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik saja. Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. 3 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, suatu BUMN dapat dimohonkan pailit. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 3 ayat (5). Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan pubik ialah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Artinya untuk dapat disebut sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik haruslah memenuhi dua syarat tersebut. Selanjutnya Pasal 3 ayat (5) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam hal debitor merupakan badan hukum, maka tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Kepailitan pada hakekatnya akan menyangkut status hukum dari subjek hukum yang bersangkutan (baik subjek hukum pribadi maupun subjek hukum 3 Kelik Pramudya, Kelemahan Hukum Kepailitan Di Indonesia, dalam http://www.blogger.com, tanggal 28 Oktober 2008
5 badan hukum/bukan badan hukum) sehingga harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu untuk dapat dinyatakan pailit berdasarkan keputusan hakim. Namun seringkali putusan-putusan hakim dalam perkara kepailitan seringkali saling bertentangan bahkan putusan Mahkamah Agung sendiri (misalkan putusan Kasasi bertentangan dengan putusan Peninjauan Kembali), sehingga hal ini sering mencerminkan inkonsistensi dalam penerapan hukum kepailitan, yang pada akhlirnya akan melahirkan ketidak pastian hukum. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dalam penerapannya masih menemui kesimpang siuran, terlebih lagi dalam menghadapi proses pemailitan suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selama kurun waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak banyak ditemukan permohonan pernyataan pailit yang menyangkut debitor atau kreditor BUMN Persero. Beberapa permohonan kepailitan atas BUMN Persero memang pernah terjadi, yakni selama kurun waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (periode 1998-2007) yaitu : 1) Canadian Imperial Bank of Commerce dengan PT. Hutama Karya (persero), 2) Chinatrust Commercials Bank dengan PT. Asuransi Jasa Indonesia (Persero), 3) The Hongkong Chinesse Bank LTD dengan PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) itupun pada akhirnya tidak ada satu pun BUMN Persero yang betulbetul berakhir dengan dipailitkan sampai tahun 2007. Kemudian Tahun 2007, muncul kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, akan tetapi pada tingkat kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya mengabulkan permohonan kasasi PT. Dirgantara Indonesia
6 (Persero), sehingga PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dinyatakan tidak pailit. Berikutnya pada tahun 2009, PT. Interchem Plasagro mengajukan permohonan pailit PT. IGLAS (Persero). Namun Pengadilan Niaga, dalam putusan No. 01/Pailit/ 2009/ PN. Niaga. Sby, Tanggal 03 April 2009 menolak permohonan PT. Interchem Plasagro, sehingga PT. IGLAS (Persero) tidak pailit. 4 Pada tahun 2010 kasus permohonan kepailitan atas BUMN Persero diajukan oleh PT Japan Asia Investment Company (JAIC) Indonesia terhadap PT Istaka Karya (Perse ro). Dalam putusannya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 73/PAILIT/2010/P.Niaga.JKT.PST. tanggal 16 Desember 2010, menolak permohonan pailit yang dilayangkan oleh PT JAIC Indonesia terhadap PT Istaka Karya (Persero). PT Japan Asia Investment Company (JAIC) kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) RI. Dalam putusannya Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 11 Maret 2011, Mahkamah Agung Tingkat Kasasi mengabulkan permohonan PT JAIC Indonesia untuk mempailitkan PT Istaka Karya (Persero). Dengan dikabulkannya permohonan PT JAIC Indonesia tersebut, maka membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pailit oleh PT Japan Asia Investment Company (JAIC) terhadap PT Istaka Karya (Persero). 5 Menanggapi hasil putusan tersebut, PT Istaka Karya (Persero) kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas pailit yang diajukan PT JAIC Indonesia. Atas perkara tersebut, Mahkamah Agung (PK) dalam Putusan Nomor 142 PK/PDT.SUS/2011, tanggal 13 Desember 2011 mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari PT Istaka Karya (Persero) dan membatalkan putusan 4 Rahayu Hartini, Kepailitan BUMN (Persero), dalam http://www.gagasanhukum.wordpress.com, tanggal 04 Oktober 2010. 5 Medan Bisnis, Satu BUMN Konstruksi Pailit, Jakarta Sabtu 13 Agustus 2011
7 Mahkamah Agung (Kasasi) Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 22 Maret 2011. Dengan demikian, maka PT Istaka Karya (Persero) tidak palit. 6 Hal yang menarik dari kasus-kasus tersebut di atas yaitu adanya perbedaan pertimbangangan hukum oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Hakim Mahkamah Agung ( Kasasi) dan Hakim Mahkamah Agung (P eninjauan Kembali) dalam memutuskan permohonan pailit pada BUMN (Persero). Adanya perbedaan pertimbangan hakim tersebut membawa pengaruh bagi pemahaman hukum kepailitan di Indonesia. Menurut penulis adanya perbedaan pertimbangangan hukum untuk memutuskan permohonan pailit pada BUMN (Persero) merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Oleh sebab itu, penulis ingin mengakaji kasus tersebut lebih dalam terutama yang berhubungan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara kepailitan pada BUMN (Persero) dalam bentuk tesis dengan judul Analisis Yuridis Atas Putusan Mahkamah Agung Terhadap Pembatalan Pernyataan Pailit Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Analisis Kasus PT. ISTAKA KARYA (Persero)) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada PT Istaka Karya (Persero)? 6 Andi Saputra, Istaka Karya Tak Jadi Pailit, dalam http://www.finance.detik.com/ Senin, 19/12/2011 18:05 WIB
8 2. Bagaimana akibat hukum bagi para pihak atas pembatalan penyataan pailit oleh Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali pada kasus PT Istaka Karya (Persero)? C. Keaslian Penelitian Penulisan tesis ini merupakan hasil karya penulis sendiri dan sepengetahuan penulis, pada saat penelitian ini dilaksanakan belum ada penulis lain yang meneliti tentang Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali Dalam Pembatalan Putusan Kasasi Atas Pernyataan Pailit Pada PT Istaka Karya (Persero), tetapi beberapa penelitian yang sejenis telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yudaning Tyassari (2008) dengan judul Akibat Hukum Putusan Pailit Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu tentang akibat hukum bagi para pihak terhadap pernyataan pailit pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan hal-hal apa saja yang harus dijadikan pertimbangan dalam memailitkan suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudaning Tyassari adalah permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada PT Istaka Karya (Persero) dan bagaimana akibat hukum bagi para pihak atas pembatalan penyataan pailit oleh Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali pada kasus PT Istaka Karya (Persero).
9 2. Penelitian yang dilakukan oleh Uray Yanice Neysa (2010) dengan judul Kepailitan Pada Badan Usaha Milik Negara (Analisis Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor 24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst). Permasalahan yang dikaji dalam penelitiannya yaitu membahas mengenai putusan kepailitan PT. Hutama Karya dan aspek-aspek hukum yang perlu di perhatikan terkait dengan kepailitan BUMN. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Uray Yanice Neysa (2010) adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada PT Istaka Karya (Persero) dan bagaimana akibat hukum bagi para pihak atas pembatalan penyataan pailit oleh Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali pada kasus PT Istaka Karya (Persero). 3. Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Khairandy (2010) dengan judul Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Kepailitan PT. Dirgantara (Persero). Permasalahan penelitian terdahulu yaitu apakah pihak selain Menteri Keuangan. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Khairandy adalah pokok permasalahan yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada PT Istaka Karya (Persero) dan bagaimana akibat hukum bagi para pihak atas pembatalan penyataan pailit oleh Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali pada kasus PT Istaka Karya (Persero).
10 Bedasarkan penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan dengan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa penulisan tesis ini adalah asli hasil karya penulis sendiri dan bukan duplikasi atau plagiat hasil karya orang lain. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada BUMN. b. Memperkaya khasanah dan koleksi hasil penelitian dalam ilmu hukum yang dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini dijadikan sebagai sarana bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada BUMN dan akibatnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para hakim berkaitan dengan penyelesaian kasus kepailitan pada BUMN dan akibatnya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para praktisi dan masyarakat luas mengenai pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam pembatalan Putusan atas pernyataan pailit pada BUMN.
11 E. Tujuan Penelitian Mengacu kepada pokok permasalahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mencari jawaban atas persoalan-persoalan/permasalahan tentang : 1. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali dalam pembatalan Putusan Kasasi atas pernyataan pailit pada PT Istaka Karya (Persero). 2. Akibat hukum bagi para pihak atas pembatalan penyataan pailit oleh Hakim Mahkamah Agung Tingkat Peninjauan Kembali pada kasus PT Istaka Karya (Persero).