BAB II. DASAR TEORI 2.1 CITRA DIGITAL

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI DAN IMPLEMENTASI NON BLIND WATERMARKING DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

PERBANDINGAN TEKNIK PENYEMBUNYIAN DATA DALAM DOMAIN SPASIAL DAN DOMAIN FREKUENSI PADA IMAGE WATERMARKING

BAB III. ANALISIS MASALAH

* Kriptografi, Week 13

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

Studi Perbandingan Metode DCT dan SVD pada Image Watermarking

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI HASH

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

BAB IV. ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

Stenografi dan Watermarking. Esther Wibowo Erick Kurniawan

DIGITAL WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL FOTOGRAFI METODE DISCRETE WAVELET TRANSFORM

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

BAB 2 LANDASAN TEORI

TUGAS SEKURITI KOMPUTER

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

Digital Watermarking 1

Analisis Beberapa Teknik Watermarking dengan Domain Spasial pada Citra Digital

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. Perancangan aplikasi yang dibuat dalam skripsi ini menggunakan aturan

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Analog

ANALISIS DIGITAL AUDIO WATERMARKING BERBASIS LIFTING WAVELET TRANSFORM PADA DOMAIN FREKUENSI DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Digital Right Management of Multimedia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

OPTIMASI AUDIO WATERMARKING BERBASIS DISCRETE COSINE TRANSFORM DENGAN TEKNIK SINGULAR VALUE DECOMPOSITON MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

Model Citra (bag. I)

PENYISIPAN WATERMARK MENGGUNAKAN METODE DISCRETE COSINE TRANSFORM PADA CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI ALGORITMA ADAPTIVE WATERMARKING PADA PELABELAN IDENTITAS FILE CITRA DIGITAL

N, 1 q N-1. A mn cos 2M , 2N. cos. 0 p M-1, 0 q N-1 Dengan: 1 M, p=0 2 M, 1 p M-1. 1 N, q=0 2. α p =

Pada tugas akhir ini citra yang digunakan adalah citra diam.

KEAMANAN JARINGAN. Jaringan Komputer

BAB V. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

Digital Watermarking

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

BAB II LANDASAN TEORI

PENERAPAN DISCRETE DAUBECHIS WAVELET TRANSFORM D A L A M W A T E R M A R K I N G C I T R A D I G I T A L

Watermarking Audio File dengan Teknik Echo Data Hiding dan Perbandingannya dengan Metode LSB dan Phase Coding

Analisis dan Implementasi Watermark untuk Copyright Image Labelling

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. 1. Citra diam yaitu citra tunggal yang tidak bergerak. Contoh dari citra diam adalah foto.

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... vii. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah...

IMPLEMENTASI DIGITAL WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE DISCRETE HARTLEY TRANSFORM (DHT)

Pengolahan Citra : Konsep Dasar

ANALISIS STEGANOGRAFI METODE TWO SIDED SIDE MATCH

ANALISIS METODE MASKING-FILTERING DALAM PENYISIPAN DATA TEKS

Representasi Citra. Bertalya. Universitas Gunadarma

BAB 2 LANDASAN TEORI

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

STEGANOGRAPHY CHRISTIAN YONATHAN S ELLIEN SISKORY A. 07 JULI 2015

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 LANDASAN TEORI

2

BAB II LANDASAN TEORI

Citra Digital. Petrus Paryono Erick Kurniawan Esther Wibowo

WATERMARKING PADA BEBERAPA KELUARGA WAVELET

Grafik yang menampilkan informasi mengenai penyebaran nilai intensitas pixel-pixel pada sebuah citra digital.

Penerapan Steganografi Metode Least Significant Bit (LSB) dengan Invers Matriks Pada Citra Digital

BAB II TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.

Pengantar: Prisoner s Problem

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan digital watermarking. Watermarking bekerja dengan menyisipkan

IMPLEMENTASI STEGANOGRAPHY MENGGUNAKAN ALGORITMA DISCRETE COSINE TRANSFORM

KONSEP PENYANDIAN FILE JPEG DENGAN MENGGUNAKAN METODE LSB

BAB II LANDASAN TEORI

WATERMARKING MENGGUNAKAN METODE DISCRETE COSINE TRANSFORM

Digital Watermarking. Bahan Kuliah IF4020 Kriptografi. Oleh: Rinaldi Munir

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Watermark pada Game I. PENDAHULUAN II. TEKNIK WATERMARKING PADA CITRA

STMIK MDP. Program Studi Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil Tahun 2011/2012

BAB II TINJUAN PUSTAKA

Bahan Kuliah IF4020 Kriptografi. Oleh: Rinaldi Munir. Program Studi Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE BLIND IMAGE-WATERMARKING BERBASIS CHAOS DALAM RANAH DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)

Tanda Tangan Digital Untuk Gambar Menggunakan Kriptografi Visual dan Steganografi

BAB II LANDASAN TEORI. Masalah keamanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari

DAFTAR SINGKATAN. : Human Auditory System. : Human Visual System. : Singular Value Decomposition. : Quantization Index Modulation.

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah. Judul Makalah :

1.1 Latar Belakang Sejak zaman dahulu, pentingnya kerahasiaan suatu informasi telah menjadi suatu perhatian tersendiri. Manusia berusaha mencari cara

Bab 2 LANDASAN TEORI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. perancangan dan pembuatan akan dibahas dalam bab 3 ini, sedangkan tahap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi dan Analisis Teknik-Teknik Steganografi Dalam Media Audio

IV. RANCANG BANGUN SISTEM. Perangkat lunak bantu yang dibuat adalah perangkat lunak yang digunakan untuk

ijns.org Indonesian Journal on Networking and Security - Volume 5 No 3 Agustus 2016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS AKHIR. Watermarking Citra Digital dengan Metode Skema Watermarking Berdasarkan Kuantisasi Warna

Transkripsi:

BAB II. DASAR TEORI Bab dasar teori ini menguraikan mengenai beberapa pengetahuan dan hal mendasar yang melatarbelakangi watermarking pada citra digital. Dasar teori ini dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu dasar teori mengenai citra digital, konsep DCT, dan watermarking. 2.1 CITRA DIGITAL Pada berkas digital, sebuah citra digital merupakan objek penampung yang paling sering digunakan dalam implementasi penyembunyian data, termasuk watermarking. Hal ini disebabkan karena pada citra digital terdapat karakteristik dan atribut yang sesuai untuk dimanfaatkan dalam penyembunyian data, yaitu kemampuan indera penglihatan yang terbatas untuk mengenali citra yang sedikit berubah. Citra dapat diartikan gambar dalam proyeksi dua dimensi. Menurut definisi umum, citra merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Citra sebagai keluaran dari suatu perekaman data dapat bersifat analog, optik, atau digital. Pada tugas akhir ini, digunakan citra digital untuk mengimplementasikan digital watermarking. Citra digital dapat didefinisikan secara matematis sebagai fungsi intensitas dalam dua variabel x dan y yang dapat dituliskan f(x,y), dimana (x,y) merepresentasikan koordinat spasial pada bidang dua dimensi dan f(x,y) merupakan intensitas cahaya pada koordinat tersebut. Cahaya merupakan energi, maka intensitas cahaya bernilai antara 0 sampai tak terhingga (0 f(x,y)< ) [MEL03]. Nilai f(x,y) merupakan hasil perkalian dari : 1. i(x,y) = jumlah cahaya yang berasal dari sumbernya (illumination) ; II-1

II-2 2. r(x,y) = derajat kemampuan objek memantulkan cahaya (reflection). Jadi, f(x,y) = i(x,y). r(x,y) dengan 0 i(x,y)< 0 r(x,y)<1 sehingga 0 f(x,y)<. Intensitas f dari gambar hitam putih pada titik (x,y) disebut derajat keabuan (grey level) yang bergerak dari hitam ke putih sedangkan citranya disebut citra skala-abu (grayscale image) atau citra monokrom (monochrome image). Derajat keabuan memiliki rentang nilai dari l min sampai l max. Selang (l min, l max ) disebut skala abu. Citra monokrom disebut juga citra satu kanal yang berarti warna hanya ditentukan oleh satu fungsi intensitas saja. Berbeda dengan citra monokrom, citra berwarna disebut juga citra spektral karena warna disusun oleh tiga komponen warna, yaitu merah, hijau, dan biru (Red, Green, Blue - RGB). Intensitas pada suatu titik merupakan kombinasi dari tiga intensitas warna tersebut, yaitu (f merah (x,y)), (f hijau (x,y)), dan (f biru (x,y)). Nilai dari masing-masing komponen warna RGB tersebut berkisar antara 0 sampai 255. Representasi nilai ini berupa integer. Gambaran komponen warna RGB pada suatu piksel dalam citra digital dapat dilihat dalam ilustrasi pada Gambar II-1.

II-3 Gambar II-1. Komponen warna RGB pada suatu piksel citra Citra digital yang berukuran M N dapat dinyatakan sebagai matriks dengan M baris dan N kolom. Masing-masing elemen pada citra digital disebut image element, picture element, atau piksel. Secara matematis, citra yang berukuran M N memiliki MN buah piksel. Representasi citra dari fungsi malar menjadi nilai diskrit disebut digitalisasi. Proses digitalisasi sendiri ada dua macam, yaitu proses digitalisasi secara spasial dan digitalisasi intensitas [MEL03]. Kedua proses digitalisasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Digitalisasi spasial (sampling) Sebagai contoh sederhana untuk digitalisasi spasial ini, jika pada suatu gambar berukuran 6 x 5 inci akan dilakukan proses sampling menjadi citra digital berukuran 2 x 3, artinya 2 baris dan 3 kolom, maka setiap piksel pada gambar akan mewakili area pada citra malar dengan lebar 2,5 inci dan tinggi 2 inci. Nilai piksel merupakan rata-rata intensitas cahaya pada area tersebut.

II-4 Untuk mempermudah implementasi, jumlah sampler umumnya merupakan perpangkatan dari dua, N = 2 n, dimana N adalah jumlah sampling ada suatu baris atau kolom dan n adalah bilangan bulat positif. 2. Digitalisasi intensitas (kuantisasi) Proses kuantisasi membagi skala keabuan (0,L) menjadi G buah level yang dinyatakan dengan suatu bilangan bulat, biasanya G diambil dari bilangan perpangkatan dua, G = 2 m, dimana G adalah derajat keabuan dan m merupakan bilangan bulat positif. Tabel II-1 menunjukkan beberapa skala abu dan rentang nilai keabuannya. Tabel II-1. Skala abu dan rentang nilai keabuan Skala Abu Rentang Nilai Keabuan 2 1 (2 nilai) 1 2 2 (4 nilai) 0,1,2,,7 2 4 (16 nilai) 0,1,2,,15 2 8 (256 nilai) 0,1,2,,255 Hitam dinyatakan sebagai derajat keabuan terendah sedangkan putih dinyatakan sebagai nilai derajat keabuan tertinggi. Berkas citra yang akan dijadikan objek penampung dalam implementasi Tugas Akhir ini adalah berkas citra dengan format JPEG. Citra berformat JPEG dipilih karena format ini paling umum digunakan sebagai format gambar dan relatif lebih mudah dikompresi. 2.2 DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT) Discrete Cosine Transform (DCT) adalah sebuah fungsi dua arah yang memetakan himpunan N buah bilangan real menjadi himpunan N buah bilangan real pula. Secara umum, DCT satu dimensi menyatakan sebuah sinyal diskrit satu dimensi sebagai kombinasi linier dari beberapa fungsi basis berupa gelombang kosinus dikrit dengan amplitudo tertentu. Masing-masing fungsi basis memiliki

II-5 frekuensi yang berbeda-beda, karena itu, transformasi DCT termasuk ke dalam transformasi domain frekuensi. Amplitudo fungsi basis dinyatakan sebagai koefisien dalam himpunan hasil transformasi DCT. DCT satu dimensi didefinisikan pada persamaan berikut: C(u) = "(u) N*1 + x= 0 $ #(2x +1)u' f (x)cos (2.1) % & 2N ( ) untuk 0 " u " N #1. C(u) menyatakan koefisien ke-u dari himpunan hasil transformasi DCT. f(x) menyatakan anggota ke-x dari himpunan asal. N menyatakan banyaknya suku himpunan asal dan himpunan hasil transformasi. α(u) dinyatakan oleh persamaan berikut: untuk u = 0; untuk 1" u " N #1. (2.2) Transformasi balikan yang memetakan himpunan hasil transformasi DCT ke himpunan bilangan semula disebut juga inverse DCT(IDCT). IDCT didefinisikan oleh persamaan di bawah ini: f (x) = N*1 + u= 0 $ #(2x +1)u' "(u)c(u)cos % & 2N ( ) (2.3) untuk 0 " u " N #1. DCT dua dimensi dapat dipandang sebagai komposisi dari DCT pada masing-masing dimensi. Sebagai contoh, jika himpunan bilangan real disajikan dalam array dua dimensi terhadap masing-masing baris dan kemudian melakukan DCT satu dimensi terhadap masing-masing kolom dari hasil DCT tersebut. DCT dua dimensi dapat dinyatakan sebagai berikut dengan persamaan:

II-6 M 1N 1 π(2x +1)u π(2y +1)v C(u,v) = α(u)α(v) f (x, y)cos 2M cos 2N (2.4) x= 0 y= 0 sedangkan transformasi balikannya (invers) dinyatakan dengan M *1N*1 $ #(2x +1)u' $ #(2y +1)v ' f (x, y) = "(u)"(v) + + C(u,v)cos % & 2M ( ) cos % & 2N ( ) x= 0 y= 0 (2.5) Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 dapat dilihat pada Gambar II-2. Koefisien DCT ke-n menyatakan amplitudo dari fungsi basis untuk u=n-1. Pada DCT dua dimensi, fungsi basisnya adalah hasil perkalian antara fungsi basis yang berorientasi horisontal dengan fungsi basis yang berorientasi vertikal, sehingga koefisien-koefisien DCT dua dimensi biasa disajikan dalam bentuk matriks. Gambar II-2. Fungsi basis DCT satu dimensi untuk N=8 [KHA03] Koefisien pertama, yaitu C(0) pada DCT satu dimensi atau C(0,0) pada DCT dua dimensi disebut koefisien DC. Koefisien lainnya disebut koefisien AC.

II-7 Dapat dilihat bahwa fungsi basis yang berkorespondensi dengan koefisien DC memiliki nilai tetap, sedangkan koefiisen AC berkorespondensi dengan fungsi basis yang berbentuk gelombang. Transformasi DCT dapat dilakukan secara langsung maupun dengan membagi menjadi blok-blok kecil terlebih dahulu. Transformasi kemudian dilakukan secara terpisah untuk masing-masing blok. Pembagian ini dapat memudahkan dalam melakukan komputasi. Pada transformasi DCT, dikenal juga istilah koefisien frekuensi rendah, frekuensi menengah, dan frekuensi tinggi. Hal ini berkaitan dengan frekuensi gelombang pada fungsi basis DCT. Jika frekuensi fungsi basisnya kecil, maka koefisien yang berkorespondensi disebut koefisien frekuensi rendah. Contoh pembagian koefisien menurut frekuensinya pada DCT dua dimensi dengan ukuran blok 8 8 ditunjukkan pada Gambar II-3. Gambar II-3. Pembagian frekuensi koefisien DCT untuk ukuran blok 8 x 8 Transformasi DCT dua dimensi sering digunakan dalam pemrosesan citra digital. Ukuran blok yang banyak digunakan pada pemrosesan citra adalah ukuran

II-8 blok kecil, misalnya 8 8 seperti pada kompresi JPEG. Untuk citra digital, fungsi basis dari DCT adalah sekumpulan citra yang disebut citra basis. Citra basis diumpamakan sebagai gabungan dari dua buah gelombang kosinus pada sumbu tegak lurus di bidang dua dimensi dengan frekuensi yang menyatakan frekuensi perubahan derajat keabuan antara gelap dan terang. Pada citra berwarna, DCT dilakukan terhadap setiap kanal warna. Dalam hal ini, masing-masing kanal dapat dipandang sebagai sebuah citra grayscale. Jika ukuran panjang atau lebar citra tidak habis dibagi oleh ukuran panjang atau lebar blok, maka dilakukan padding dengan cara melakukan penambahan piksel pada dimensi panjang dan lebar citra. Setelah dilakukan transformasi balikan, hasil padding tersebut dibuang. 2.3 WATERMARKING Dengan teknologi yang semakin maju, data dan informasi disajikan dalam bentuk format digital, baik berupa teks, citra, audio, dan video. Penyebaran data digital ini semakin meningkat dengan persentase yang signifikan. Hal ini disebabkan internet merupakan sebuah sistem distribusi yang cepat, murah, dan mudah untuk data digital tersebut. Permasalahan yang muncul adalah jika produk digital yang disebarkan tersebut merupakan karya yang perlu dilindungi, misalnya karya fotografi, musik mp3, video peristiwa penting, dan sebagainya. Dengan kata lain, terdapat penyalahgunaan kemudahan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan hak cipta terhadap produk digital tersebut agar meminimalisasi tindakan-tindakan ilegal yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Contoh permasalahan yang muncul adalah : 1. Masalah kepemilikan. Kepemilikan atas suatu produk digital kerap kali dipalsukan untuk mendapatkan hak milik atas produk tersebut sehingga orang yang

II-9 memalsukan akan mendapatkan pujian atau penghargaan atas sebuah karya. Salah satu contoh kasus misalnya ditemukan pada sebuah karya fotografi yang berupa foto digital. Apabila tidak ada informasi atau label yang mengindikasikan identitas pemilik yang melekat pada foto tersebut, maka potensi klaim dari pihak lain semakin tinggi. Jika hal ini terjadi, maka pemilik foto tersebut tidak dapat memberikan bantahan karena memang ia tidak memiliki bukti yang cukup otentik yang menandakan kepemilikan atas foto tersebut. 2. Pelanggaran hak cipta. Penggandaan ilegal terhadap suatu produk digital sangat merugikan pemilik atau pemegang hak cipta produk tersebut. Hal ini disebabkan pemegang hak cipta tersebut dapat tidak mendapatkan apa-apa dengan hasil karya yang dimilikinya. Hasil karyanya telah diklaim oleh orang lain dan pemegang hak cipta pun tak dapat berbuat banyak karena tidak ada bukti yang mendukung bahwa produk digital tersebut memang miliknya. 3. Masalah keaslian. Salah satu kelemahan suatu produk digital adalah sifatnya yang relatif mudah untuk dilakukan perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa rekayasa terhadap produk yang asli. Perubahan ini dapat menyebabkan informasi yang penting dalam citra hilang dan tentunya citra tersebut tidak lagi sama dengan aslinya. Terdapat beberapa cara yang telah ditempuh untuk mengatasi masalah ini atau dengan kata lain, memproteksi data digital, seperti enkripsi, proteksi penyalinan, visible marking, header marking, dan sebagainya. Akan tetapi, semua cara tersebut memiliki kelemahan dan terkesan kurang optimal dalam melindungi data digital.

II-10 Oleh karena itu, diperkenalkan teknik digital watermarking. Digital watermarking adalah teknik untuk menyisipkan informasi tertentu ke dalam data digital yang disebut watermark [MUN06]. Watermark dapat berupa teks, gambar yang berupa logo, data audio, atau rangkaian bit yang acak. Penyisipan watermark ke dalam citra dilakukan sedemikian rupa sehingga watermark tidak dapat dipersepsi oleh panca indera dan tidak merusak data digital yang diproteksi. Watermark yang telah disisipkan tidak dapat dihapus dari dalam data digital, sehingga jika terjadi penggandaan, maka watermark tersebut akan terbawa. Watermark dalam sebuah data digital dapat dideteksi oleh komputer dengan menggunakan kunci yang benar dan juga dapat diekstraksi kembali. Gambar II-4 menunjukkan sebuah citra yang telah disisipi logo biner sebagai berkas informasi watermark sehingga menghasilkan sebuah citra yang mengandung watermark. + = Gambar II-4. Penyisipan watermark pada sebuah citra digital 2.3.1 SEJARAH WATERMARKING Keberadaan watermarking telah diketahui sejak kira-kira 700 tahun yang lalu. Pada akhir abad ke 13, pabrik kertas di Italia membuat kertas yang diberi watermark atau tanda air dengan cara menekan bentuk cetakan gambar atau tulisan pada kertas yang baru setengah jadi. Setelah kertas dikeringkan, maka kertas ber-watermark pun terbentuk. Kertas yang sudah dibubuhi tanda air tersebut sekaligus dijadikan identifikasi bahwa karya seni di atasnya adalah milik mereka [HEN03].

II-11 Kemunculan ide untuk menggunakan watermarking pada suatu data digital yang selanjutnya diistilahkan dengan digital watermarking, dikembangkan di Jepang dan Swiss pada awal tahun 90-an. Perkembangan digital watermarking semakin cepat seiring penggunan internet yang makin meluas sebagai suatu sistem distribusi untuk produk digital. 2.3.2 PERBEDAAN WATERMARKING DAN STEGANOGRAFI Watermarking merupakan aplikasi dari steganografi, namun ada perbedaan di antara keduanya. Pada steganografi, media penampung pesan rahasia hanya sebagai pembawa atau dengan kata lain, tidak berarti apa-apa. Hal ini jauh berbeda dengan watermarking karena pada watermarking, justru media penampung tersebut dilindungi kepemilikannya dengan memberikan label hak cipta [MUN06]. Lebih dari itu, kekokohan pada data tidak terlalu penting pada steganografi. Lain halnya dengan watermaking dimana kekokohan watermark menjadi elemen yang signifikan sebab watermark tidak boleh hilang atau rusak meskipun media penampung dimanipulasi. 2.3.3 DIGITAL WATERMARKING Teknik digital watermarking pada prinsipnya memiliki prinsip yang sama dengan watermarking pada media selain citra. Secara umum, watermarking terdiri dari dua tahapan, yaitu penyisipan watermark dan ekstraksi atau pendeteksian watermark [MUN06]. Pengekstraksian dan pendeteksian sebuah watermark sebenarnya tergantung pada algoritma yang digunakan untuk watermarking. Pada beberapa algoritma watermarking, watermark dapat diekstraksi dalam bentuk yang eksak, sedangkan pada algoritma yang lain, hanya dapat dilakukan pendeteksian watermark pada citra. Mutu dari digital watermarking meliputi beberapa parameter utama, yaitu :

II-12 a. Fidelity Penyisipan suatu watermark pada citra seharusnya tidak mempengaruhi nilai citra tersebut. Watermark pada citra idealnya tidak dapat dipersepsi oleh indera dan tidak dapat dibedakan dengan citra yang asli. b. Robustness Watermark dalam citra digital harus memiliki ketahanan yang cukup terhadap pemrosesan digital yang umum. c. Security Watermarking memiliki daya tahan terhadap usaha sengaja untuk memindahkan watermark dari suatu citra ke citra yang lain. Dari ketiga kriteria mutu digital watermarking di atas, fidelity merupakan kriteria yang menjadi prioritas. Pada pengaplikasian watermarking, terkadang harus ada yang dikorbankan antara dua parameter utama penyisipan watermark, yaitu fidelity dan robustness. Jika robustness dari suatu watermark tinggi maka biasanya memiliki fidelity yang relatif rendah. Begitu pula sebaliknya, jika fidelity dari watermark tinggi maka watermark tersebut tidak memiliki robustness yang cukup baik. Sebuah teknik watermarking yang bagus dalam memproteksi sebuah citra digital harus memenuhi persyaratan berikut: a. Imperceptibility Keberadaan watermark tidak dapat dipersepsi oleh indera visual. Hal ini bertujuan untuk menghindari gangguan pengamatan visual. b. Key uniqueness Sebuah kunci harus identik terhadap sebuah watermark. Hal ini berarti kunci yang berbeda seharusnya menghasilkan watermark yang berbeda. Penggunaan kunci yang salah dapat mengakibatkan hasil ekstraksi/deteksi watermark yang salah pula c. Non Invertibility Pendeteksian watermark akan sangat sulit secara komputasi jika hanya diketahui sebuah citra ber-watermark. d. Image dependency

II-13 Sebuah kunci menghasilkan sebuah watermark tunggal. Watermark bergantung pada isi citra. e. Robustness Watermark seharusnya tetap kokoh terhadap berbagai serangan yang dilakukan pada citra ber-watermark. Manipulasi terhadap citra berwatermark tidak akan merusak watermark dalam citra tersebut. 2.3.4 JENIS DIGITAL WATERMARKING Digitalwatermarking dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yaitu : 1. Persepsi Manusia. Berdasarkan persepsi manusia, image watermarking dibedakan menjadi visiblewatermarking dan invisiblewatermarking. Invisible watermarking pada citra membuat watermark yang disisipkan tidak dapat dipersepsi oleh indera visual. Visible watermarking memungkinkan watermark untuk tampak dan indera visual untuk mempersepsi watermark yang ada pada citra. 2. Tingkat Kekokohan Watermark. Berdasarkan tingkat kekokohan watermark, image watermarking dibedakan menjadi secure watermarking, robust watermarking, dan fragile watermarking. Secure watermarking menjadikan watermark yang tetap bertahan terhadap non-malicious attack, yaitu manipulasi yang normal terjadi dalam penggunaan citra, dan malicious attack, yaitu serangan yang ditujukan untuk merusak atau menghancurkan watermark pada citra [MUN06]. Jika sebuah watermark bertahan terhadap non malicious attack, maka dapat dikatakan bahwa watermark tersebut memiliki kekokohan yang baik. Robust watermarking mengharuskan watermark bertahan terhadap non malicious attack.pada fragile watermarking, watermark mudah rusak jika citra dimodifikasi. Jenis watermarking ini biasanya ditujukan pada aplikasi untuk memverifikasi isi citra dan bukti kepemilikan citra,

II-14 dimana watermark yang hilang atau berubah adalah pertanda bahwa citra sudah dirusak. 2.3.5 APLIKASI DIGITAL WATERMARKING Penggunaan digital watermarking yang umum di antaranya : a. Memberikan label kepemilikan (copyright) kepada citra digital. Watermark menyatakan sebuah informasi yang dapat menyatakan kepemilikan suatu citra. Informasi tersebut bisa berupa teks atau gambar yang mencerminkan karakteristik pemilik. Klaim dari pihak lain dapat dipertentangkan dengan membandingkan watermark yang diekstrak dengan watermark pemilik citra. Untuk pemberian copyright, watermark yang digunakan harus tak tampak (invisible) dan kokoh (robust). b. Otentikasi atau tamper proofing. Salah satu tujuan pemilik citra menyisipkan watermark ke dalam citra adalah untuk membuktikan apakah citra tersebut masih asli ataupun sudah mengalami pengubahan. Jika watermark yang diekstraksi tidak sama dengan watermark asli, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi manipulasi atau pengubahan pada citra tersebut. Watermark yang ditujukan membuktikan otentikasi harus tak tampak dan fragile. c. Fingerprinting (traitor-tracing). Sebuah citra yang identik dapat didistribusikan ke beberapa distributor. Sebelum pendistribusian dilakukan, disisipkan watermark yang berbeda untuk setiap distributor pada citra tersebut. Jika terjadi penggandaan ilegal oleh distributor tertentu, maka sang pemilik citra hanya tinggal mengekstraksi watermark pada citra tersebut untuk menemukan distributor yang curang ini untuk selanjutnya dituntut berdasarkan hukum yang berlaku. Persyaratan yang dibutuhkan untuk aplikasi semacam ini adalah watermark yang tak tampak dan kokoh.

II-15 d. Aplikasi medis. Citra medis seperti foto rontgen dapat diberi watermark yang berupa ID pasien atau hasil diagnosis penyakit dengan tujuan untuk memudahkan identifikasi pasien dan pengobatan selanjutnya. Watermark yang diperlukan untuk citra medis seperti ini bersifat tak tampak dan fragile. e. Covert communication. Watermarking dapat juga digunakan untuk menyisipkan pesan rahasia dalam sistem komunikasi. Pada prinsipnya, aplikasi semacam ini tidak jauh berbeda dengan steganografi yaitu penyisipan pesan rahasia pada citra yang dikirimkan untuk selanjutnya diekstraksi pesan tersebut oleh pihak penerima. f. Piracy protection Salah satu kegunaan watermark dalam citra adalah mencegah penggandaan ilegal. Hal ini membutuhkan sebuah sistem terstruktur yang memanfaatkan perangkat keras. 2.3.6 METODE DIGITAL WATERMARKING Banyak metode watermarking untuk citra digital yang dapat diteliti oleh para ahli untuk kemudian dikembangkan. Pada dasarnya, metode digital watermarking ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu teknik domain spasial dan teknik domain frekuensi. Gambar II-5 menunjukkan skema penyisipan watermark secara umum dalam sebuah proses digital watermarking. Gambar II-5. Proses penyisipan watermark pada digital watermarking [SIR04]

II-16 Pada domain spasial, watermark disisipkan dengan sedikit mengubah nilai piksel-piksel tertentu sedangkan dalam domain frekuensi, sebuah citra diubah terlebih dahulu ke dalam domain transformasi. Beberapa metode digital watermarking dijelaskan sebagai berikut : 1. LSB (Least Significant Bit) Metode ini merupakan metode yang paling sederhana. Dalam implementasi, metode ini menggunakan domain spasial. Penyisipan watermark dalam metode ini dilakukan dengan mengubah bit-bit LSB pada suatu citra dengan bit-bit label watermark yang akan disembunyikan. Skema proses watermarking dengan memanfaatkan metode LSB digambarkan pada Gambar II-6. Gambar II-6. Proses penyisipan dan ekstraksi watermark pada satu citra digital dengan LSB[SIR04] Walaupun dengan metode ini akan dihasilkan citra yang sangat mirip dengan aslinya namun watermark yang disisipkan tersebut tidak kokoh terhadap perubahan pada citra. Jika dilakukan manipulasi terhadap citra ber-watermark, maka bit LSB akan berubah yang pada akhirnya mengakibatkan watermark yang diekstraksi juga rusak. Karena metode ini paling mudah diserang, metode LSB tidak cocok untuk aplikasi robust watermarking melainkan fragile watermarking.

II-17 2. Spread spectrum Metode ini diperkenalkan oleh Ingemar J. Cox dan kawan kawan. Metode spread spectrum ini memanfaatkan domain frekuensi dari suatu citra digital. Langkah yang pertama kali dilakukan dalam watermarking dengan metode spread spectrum ini adalah mentransformasikan citra ke domain frekuensi. Selanjutnya, bit watermark disipkan pada koefisien transformasi (misalnya koefisien DCT, FFT, atau DWT). Gambar II-7 menunjukkan tahap-tahap yang harus dilalui dalam proses digital watermarking dengan metode spread spectrum yang diperkenalkan oleh Cox. Pada gambar sebelah kiri terdapat tahapan proses untuk menyisipkan berkas watermark sedangkan pada gambar sebelah kanan ditunjukkan proses ekstraksi watermark dari sebuah citra ber-watermark. Gambar II-7. Teknik watermarking dengan metode spread spectrum [COX97] Teknik watermarking dengan metode spread spectrum ini dapat dianalogikan dengan komunikasi spread spectrum, yaitu watermark disebar di antara banyak komponen frekuensi. Secara umum, watermarking dengan metode spread spectrum ini menghasilkan

II-18 watermark yang lebih kokoh terhadap serangan, seperti kompresi, cropping, dan teknik editing umum lainnya. 3. Patchwork Metode patchwork ini didasarkan dengan pendekatan pseudorandom statistik yang diperkenalkan oleh Bender et al. Metode ini menanamkan label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik. Sebanyak n pasang titik (a i, b i ) dipilih secara acak pada sebuah citra untuk selanjutnya derajat terang (brightness) dari a i dinaikkan satu sedangkan pasangannya, b i, diturunkan satu derajat. Jumlah perbedaan n pasang titik tersebut yang diharapkan adalah 2n. Ilustrasi proses patchwork digambarkan pada Gambar II-8. Dua patch pada citra tersebut dipilih secara pseudorandom. Patch pertama adalah bagian A dan yang kedua adalah bagian B. Data pada patch A dinaikkan derajat terangnya sedangkan data pada patch B diturunkan derajat terangnya. Gambar II-8. Ilustrasi proses patchwork [SIR04] 2.3.7 WATERMARKING PADA BERKAS CITRA Teknik penyisipan watermark ke dalam sebuah citra dapat dibedakan berdasarkan ranah penyisipannya, yaitu : 1. Domain spasial

II-19 Penyisipan watermark dilakukan dengan melakukan pengubahan bit-bit data secara langsung pada data spasial citra penampungnya. Contohnya adalah penyisipan watermark pada LSB (Least Significant Bit) dan metode adaptif. 2. Domain frekuensi Penyisipan watermark dilakukan dengan cara melakukan transformasi pada data penampung, kemudian perubahan dilakukan terhadap koefisien transformasinya. Contohnya adalah penyisipan watermark di ranah frekuensi dengan terlebih dahulu melakukan transformasi DCT (Discrete Cosine Transform). 3. Domain feature Penyisipan watermark dilakukan dengan menggunakan feature point extraction untuk menentukan daerah yang akan disisipi watermark. Metode ini termasuk metode baru di bidang watermarking. Namun, penyisipan watermark tetap dilakukan pada ranah spasial dan ranah frekuensi. Pada sub bab kali ini, akan dijelaskan secara garis besar watermarking dalam domain frekuensi dengan menggunakan metode yang diperkenalkan oleh Cox et al dengan memanfaatkan DCT (Discrete Cosine Transform). 2.3.7.1 Penggunaan DCT dalam Domain Frekuensi Selain domain spasial, metode lain yang digunakan untuk menyisipkan watermark pada berkas citra adalah metode domain frekuensi. Pada metode domain frekuensi ini, watermark tidak langsung disisipkan pada piksel-piksel tertentu. Berkas citra terlebih dahulu harus ditrasformasikan menjadi salah satu bentuk transform (berbentuk seperti matriks frekuensi) sebelum disisipkan bit-bit watermark. Seperti yang telah disebutkan di atas, penyisipan watermark pada citra di ranah DCT dilakukan dengan cara terlebih dahulu melakukan transformasi DCT

II-20 terhadap citra yang akan disisipi watermark. Setelah dilakukan transformasi, kemudian dilakukan modifikasi terhadap koefisien-koefisien DCT sesuai dengan bit watermark yang akan disisipkan. Setelah dilakukan modifikasi, dilakukan inverse DCT untuk mengembalikan data citra ke ranah spasial. Skema proses watermarking di ranah DCT dapat dilihat pada Gambar II-9. Gambar II-9. Skema watermarking citra di ranah DCT f melambangkan matriks nilai piksel citra asal, C melambangkan matriks koefisien DCT citra asal, W melambangkan data watermark yang disisipkan, C melambangkan matriks koefisien DCT yang sudah dimodifikasi, dan f melambangkan matriks nilai piksel sesudah penyisipan watermark. Proses penyisipan watermark pada pelaksanaan Tugas Akhir ini mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Cox et al. Watermark yang disisipkan terdiri dari deretan bilangan real W = w 1,...,w n. Watermark tersebut diacak sehingga setiap bilangan real w i bersifat independen terhadap bilangan real yang lain. Koefisien DCT dimodifikasi menurut persamaan: c i '= c i (1+ "w i ) (2.6) dimana adalah koefisien DCT setelah dimodifikasi, merupakan koefisien DCT sebelum dimodifikasi, dan adalah nilai bit watermark yang disisipkan. Dalam implementasi metode ini, nilai bilangan real acak yang dihasilkan berada antara 0 dan 1 agar tidak terlalu jauh mengubah citra asli namun tetap kokoh terhadap pengolahan atau manipulasi.

II-21 Nilai α dapat bernilai bilangan bulat positif berapa pun. Namun, yang perlu diperhatikan adalah penggunaan nilai α yang besar dapat membuat citra lebih rapuh terhadap pengolahan lanjutan dibandingkan penggunaan nilai α yang kecil. Lebih dari itu, nilai α yang besar dapat mengakibatkan terjadinya perubahan yang siginifikan atau terlihat pada citra. Pada gambar D yang akan disisipi watermark, diambil koefisien-koefisien C = c 1,...,c n dimana watermark W = w 1,...,w n akan disisipkan yang nantinya akan menghasilkan koefisien-koefisien termodifikasi C = c 1,...,c n. C akan dimasukkan kembali ke lokasi yang bersesuaian untuk menghasilkan gambar berwatermark D. Panjang n menunjukkan sejauh mana watermark akan disebar kepada komponen koefisien yang relevan dari sebuah gambar. Pada beberapa kasus tertentu, panjang n disesuaikan dengan banyaknya bit dari sebuah berkas watermark yang akan disisipkan, misalnya teks atau logo. Ada beberapa cara dalam menentukan lokasi penyisipan watermark. Yang perlu diperhatikan adalah pemilihan posisi penyisipan watermark dapat berpengaruh terhadap fidelity dan robustness. Penyisipan pada koefisien yang bernilai tinggi (biasanya koefisien yang berasosiasi dengan frekuensi rendah) lebih kokoh terhadap modifikasi citra, tetapi relatif lebih mudah mengakibatkan perubahan yang dapat dilihat. Sebaliknya, penyisipan pada koefisien bernilai kecil (frekuensi tinggi) tidak mengakibatkan perubahan yang terlalu besar, tetapi kurang kokoh terhadap modifikasi citra. Oleh karena itu, untuk menunjang karakteristik fidelity dan robustness, watermark akan disisipkan ke dalam koefisien-koefisien tertinggi dari matriks transformasi namun tidak termasuk komponen DC. Ekstraksi watermark dapat dilakukan dengan cara membandingkan koefisien DCT citra ber-watermark dengan koefisien DCT citra yang asli. Perubahan koefisien akan terjadi pada matriks transformasi dari sebuah citra berwatermark tersebut. Oleh karena itu, perbandingan antara kedua matriks koefisien

II-22 DCT tersebut akan menunjukkan koefisien mana yang berubah dan mana yang tidak. Koefisien DCT citra ber-watermark yang berbeda dari koefisien citra asli menunjukkan adanya modifikasi dari koefisien tersebut sehingga pelacakan bit watermark dapat dilakukan terhadap koefisien tersebut. Data watermark yang diekstraksi tersebut kemudian dibandingkan dengan data watermark asli.salah satu cara untuk melakukan perbandingan watermark adalah dengan menghitung bit error rate (BER), yaitu perbandingan antara bit yang salah dengan banyaknya bit secara keseluruhan. Persamaan BER dijabarkan sebagai berikut: BER(W,W ') = (2.7) w adalah watermark asli dan w adalah watermark yang diekstraksi. N adalah banyaknya bit dan nilai p i didefinisikan sebagai berkut: untuk w i w i " p i N untuk w i = w i (2.8) Cara lain untuk melakukan perbandingan watermark adalah dengan menghitung koefisien korelasi. Koefisien korelasi dihitung dengan persamaan berikut ini: "w i w i ' C(W,W ') = 2 " w i " w i ' 2 (2.9) Untuk menentukan kemiripan watermark, koefisien korelasi dibandingkan dengan nilai batas tertentu. Jika koefisien korelasi lebih besar dari nilai batas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watermark yang diekstraksi dari citra yang diuji memiliki kemiripan dengan watermark asli.