PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI DI KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI DI KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015

Diagnosis dan tata laksana difteri

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di

DIFTERIA 1. Identifikasi 2. Penyebab Penyakit 3. Distribusi Penyakit

I. PENDAHULUAN A. PROGRAM REDUKSI CAMPAK

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Buletin SKDR. Minggu ke: 5 Thn 2017

GAMBARAN PENGELOLAAN RANTAI DINGIN VAKSIN PROGRAM IMUNISASI DASAR (Studi di 12 Puskesmas Induk Kabupaten Sarolangun)

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Imunisasi merupakan hal yang wajib diberikan pada bayi usia 0-9

BAB I PENDAHULUAN. penurunan angka kematian bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) adalah

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. meninggal karena penyakit yang sebenarnya masih dapat dicegah. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Wabah. Penyakit. Penanggulangannya.

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. xvi

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat bermakna dalam rangka penurunan angka kesakitan dan kematian yang

Panduan Pelayanan Pencegahan Penyakit Menular

A. Formulir Pelacakan Kasus AFP

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 949/MENKES/SK/VIII/2004 TENTANG

Christopher A.P, S. Ked Yayan A. Israr, S. Ked

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

KEJADIAN LUAR BIASA. Sri Handayani

PELAYANAN IMUNISASI PANDUAN BAB I DEFINISI BAB II

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat berbahaya, demikian juga dengan Tetanus walau bukan penyakit menular

Pedoman Instrumen Penilaian Kinerja Puskesmas Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Campak merupakan penyakit pernafasan yang mudah menular yang

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH & SOLUSI MASALAH PERANCANGAN KAMPANYE PENGGUNAAN VAKSIN

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP )

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan dibidang kesehatan (Depkes, 2007). masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya Sustainable Development

BAB V HASIL PENELITIAN

Informasi penyakit ISPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. agar terhindar dari penyakit sehingga tercapai kekebalan masyarakat

BAB 1 : PENDAHULUAN. Corynebacterium Diphtheria bersifat toxin-mediated desease yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tombak pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan/kecamatan. pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama (Kemenkes, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan cakupan yang diharapkan dalam MDG (Millenium. Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2009 )

BUKU SAKU PETUNJUK TEKNIS. Tenaga Kesehatan di Lapangan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

Pedoman Surveilans dan Respon Kesiapsiagaan Menghadapi Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-COV) untuk Puskesmas di Kabupaten Bogor

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN GENENG DAN KARANG JATI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh virus. Campak disebut juga rubeola, morbili, atau measles. Penyakit ini

Imunisasi PPI: Program imunisasi nasional

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap menjadi salah satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ancaman kesehatan di negara berkembang (Jayamaha, 2011). Epidemi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSEP HOST-AGENT-ENVIRONMENT

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

PENANGANAN INFLUENZA DI MASYARAKAT (SARS, H5N1, H1N1, H7N9)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAN INFORMASI KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI MALANG 2011/2012

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. (1)

Kerangka Acuan. Acute Flacid Paralysis ( AFP )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

cita-cita UUD Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit menular masih merupakan

Epidemiologi Kasus Difteri di Kabupaten Lebak Provinsi Banten Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Laporan kasus. Dua hari berikutnya os batuk,dahak tidak banyak berwarna kekuningan dan suara parau

Seksi Wabah dan Bencana Dinas Kesehatan Kota Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Program kesehatan di Indonesia periode adalah Program

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UPAYA PROMOSI DAN PREVENTIVE KESEHATAN BAYI DAN ANAK

PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pencegahan dan pemberantasan penyakit merupakan prioritas pembangunan

Transkripsi:

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 03 Siska Damayanti Sari Dinas Kesehatan kabupaten bangkalan Difteri merupakan penyakit pernapasan atas yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Kasus difteri di Kabupaten Bangkalan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah kasus 009 sebanyak dengan kematian dan meningkat secara signifikan pada tahun 00 sebanyak 6 kasus dengan kematian dan pada tahun 0 sebanyak 35 kasus dengan kematian dan pada tahun 0 sebanyak 69 kasus dengan kematian. Pada tahun 03, Kabupaten Bangkalan merupakan daerah kasus tertinggi di Propinsi Jawa Timur. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi ini adalah mengetahui besar masalah KLB Difteri dan faktor risiko yang mempengaruhinya. Metodologi yang digunakan adalah mencari kasus suspect, probable dan konfirmasi laboratorium serta melakukan penanggulangan KLB. Pengumpulan data dilakukan langsung di lapangan dengan cara observasi atau pemeriksaan terhadap kontak. Hasilnya adalah Pola sebaran kasus difteri adalah mengelompok dan 7% terjadi pada kelompok umur >5 tahun dan 63% tidak pernah mendapatkan imunisasi. sedangkan Kejadian difteri usia<5 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap dan sub pin hanya 0%, dan semua laporan kasus yang diterima oleh Dinas Kesehatan Tingkat II sebesar 58% berasal dari rumah sakit. Kesimpulannya status imunisasi merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB Difteri. Kata kunci : Difteri, KLB. Faktor Risiko KLB, Kabupaten Bangkalan. LATAR BELAKANG Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteria. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering menyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis, (steven, 0). Difetri merupakan masalah kesehatan baik di seluruh dunia maupun di Indonesia. Baerdasarkan vaccine prevertable disease reported to SEARO mulai tahun 009 tercatat kasus baru difteri 80, dimana 77,7% Indonesia. Tahun 00 tercatat 7 kasus baru difteri, dimana 6% Indonesia. Tahun 0 tercatat 853 kasus baru difteri, dimana 77,9% Indonesia. Tahun 0 tercatat 9 kasus baru difteri, dimana 7% Indonesia. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sudah terjadi penyebaran penyakit difteri di Propinsi Jawa Timur sehingga pada 9

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 periode bulan oktober tahun 0 propinsi Jatim menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit difteri (Dinkes Jatim, 0). Kasus difteri telah menjangkitii seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur, sehingga peristiwa KLB yang terjadi memberikan gambaran bahwa program imunisasi harus mendapatkan perhatian khusus. Peningkatan kasus difteri yang terus-menerus, mendorong Pemprov Jatim melakukan kegiatan ORI mulai tahun 00 sampai dengan tahun 0. Tidak hanya itu saja, kegiatan Sub Pin putaran I,II,III pun dilakukan. Putaran dilaksanakan bulan November Tahun 0, putaran II dilaksanakan bulan Mei Tahun 03 dan Putaran III direncanakan akan dilaksanakan bulan November Tahun 03. Kegiatan Sub Pin ini dilaksanakan di 9 Kabupaten. Dimana daerah itu merupakan daerah dengan jumlah persebaran difteri terbesar (Dinkes Jatim, 03). Sampai saat ini periode januarioktober 03 jumlah difteri di Jawa Timur paling banyak terjadi di Kabupaten Bangkalan yaitu sebanyak 7 kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi penyebaran difteri salah satunya adalah faktor imunisasi (cakupan gagal mencapai target, imunisasi tidak merata segingga masih terdapat kantong endemis difetri). Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan yang baik, benar khusunya daerah yang cakupan imunisasinya rendah sehingga KLB dapat ditanggulangi dan dicegah. Meliputi : a. Mengetahui distribusi kasus menurut variabel epidemiologi. b. Mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya KLB. c. Mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan KLB difteri. d. Menghentikan penyebaran KLB difteri. METODE Pengumpulan data difteri dilakukan langsung di lapangan, meliputi : a. Kontak rumah b. Kontak sekolah dan tetangga., Data Data Sekunder : Dalam bentuk data geografi (Sumber : Puskesmas). PENGAMBILAN SPECIMEN Sediaan (specimen) diambil dari penderita berupa apusan tenggorokan dengan jalan mengoleskan kapas lidi pada pharynx atau tonsil. Dan kalau ada membrane, membrannya harus diangkat sedikit, lalu kapas lidi dioleskan di tempat di bawah atau membrane dimana banyak kuman difteri berkumpul. PEMERIKSAAN SPECIMEN Media loeffler serum yang telah dipakai untuk penyimpanan bakteri harus segera dikirim ke Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Surabaya untuk pemeriksaan bakteriologis. Kalau tidak bisa, dapat disimpan dalam suhu ruangan (temperature 30 C). TUJUAN Mengetahui besar masalah KLB Diptheri yang terjadi dan cara penanggulangannya. 30

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Kasus Menurut Waktu 5 3 0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Berdasarkan Gambar pada periode januari-oktober di Kabupaten Bangkalan tahun 03, jumlah kasus baru difteri sebanyak 9 kasus. Dimana puncak kejadian KLB terjadi pada minggu ke 3 dan, artinya difteri sering muncul pada waktu yang temperaturnya lebih dingin atau musim hujan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chin,000 bahwa penyakit difteri muncul pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis. Distribusi Kasus Menurut Tempat GAMBAR. SEBARAN KASUS DIFTERI DI KEC TANJUNG BUMI KAB.BANGKALAN TAHUN 03 GAMBAR. TRAND BULANAN KASUS DIFTERI USIA <5 THN DAN >5 THN TAHUN 03 Berdasarkan Gambar. menunjukkan bahwa Pola sebaran KLB Difteri yang terjadi adalah pengelompokan kasus (clustering) 3 5 7 9 3 5 7 9 3 <5 9 pada beberapa desa dalam satu kecamatan. Selain itu, hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan petugas surveilans puskesmas dan dinas kesehatan tingkat II diperoleh informasi bahwa kasus difteri yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan epidemiologis (bertetangga). Distribusi Kasus Menurut Orang 0 8 6 0 GAMBAR 3.JUMLAH KASUS DIFTERI MENURUT KEL. UMUR DAN STATUS IMUNISASI TAHUN 03 0 0 0 0 0 0 0 Berdasarkan gambar 3 menunjukkan bahwa jumlah kasus difteri di kecamatan tanjung bumi kabupaten Bangkalan tahun 03 sebesar 7% terjadi pada kelompok umur >5 tahun sehingga sebagian besar kasus (63%) tidak pernah mendapatkan imunisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan vaksinasi masal seperti ORI dan kegiatan sub pin yang dilaksanakan pada kelompok umur <5 tahun sudah berhasil, karena mereka telah mendapatkan imunologis yang dapat memberikan perlindungan dari difteri (Chin, 000). Selain itu, berarti resiko terkena difteri pada masyarakat tanjung bumi sudah bergeser pada kelompok umur dewasa yang tidak pernah mendapatkan imunisasi, oleh karena itu sebaiknya 3 0 0 < th - th 5-9 th 0- th 5 th IMM TDK LGKP TDK IMM 3

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 petugas surveilans mengidentifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan mencari orang-orang yang beresiko pada semua kelompok umur terutama yang tidak pernah mendapatkan imunisasi. Setelah teridentifikasi maka pemberian imunisasi disesuaikan dengan kelompok umur. Menurut Chin, 000 untuk balita (-3 tahun) diberikan imunisasi DPT,,3 untuk umur -6 tahun diberikan imunisasi DT dan untuk 7 tahun keatas diberikan imunisasi Td. Hal ini berguna untuk mencegah penyebaran penyakit difteri yang lebih meluas lagi. FAKTOR RISIKO KLB DIFTERI GAMBAR DISTRIBUSI KASUS DIFTERI USIA <5 TAHUN YANG MENDAPATKAN IMUNISASI LENGKAP DAN SUB PIN TAHUN 03 60% 0% Sedangkan gambar menunjukkan bahwa kejadian difteri usia<5 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap dan sub pin hanya 0%, hal ini berarti belum meratanya pelaksanaan imunisasi sehingga masih terdapat daerah kantong difteri.hal ini berarti status imunisasi masyarakat tanjung bumi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya KLB Difteri. ya tidak GAMBAR 5 ANALISA KASUS DIFTERI BERDASARKAN SUMBER PENEMUAN KASUS TAHUN 03 58% % PUSKESMAS RS Gambar 5 menunjukkan bahwa dari semua laporan kasus yang diterima oleh Dinas Kesehatan Tingkat II sebesar 58% berasal dari rumah sakit, hal ini bararti peran puskesmas perlu ditingkatkan. Karena penemuan kasus secara dini maka pencegahan dan penanggulangan KLB difteri akan lebih efektif. PEMBAHASAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KLB DIFTERI a. Penanganan penderita ) Isolasi Penderita diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan usap tenggorok negatif kali berturut-turut (Soedarmo et al., 00). Penderita tetap bersifat menular hingga basil-basil difteri tidak berhasil dibiakkan dari tempat infeksi; jika hasil negatif, penderita sudah bisa di bebaskan dari isolasi (Nelson, 99). ) Pengobatan Antitoksin : Antitoksin diberikan segera setelah dinyatakan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin di hari pertama, angka kematian penderita kurang dari %. Jika penundaan lebih dari hari ke-6, 3

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 angka kematian bisa meningkat sampai 30%. Dosis serum anti difteri (ADS) ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung dengan berat badan penderita, berkisar antara 0.000-0.000 KI (Soedarmo et al., 00). Antibiotik : Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Corynebacterium diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromicin, klindamisin, rifampin dan tetrasiklin. Penisilin dan eritromisin merupakan obat yang dianjurkan; eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritomisin yang diberikan secara oral atau parental (0-50 mg/kg/ jam; maksimum gr/ jam). Terapi diberikan selama hari. Beberapa penderita dengan difteri kulit diobati selama 7-0 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurangkurangnya biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak jam sesudah selesai terapi. Pengobatan eritromisin diulangi jika hasil biakan positif (Nelson, 000). b. Penanganan kontak Adapun penanganan kontak menurut Nelson (000) yaitu: ) Seluruh kontak serumah/kontak erat lainnya dipantau secara ketat untuk sakitnya selama 7 hari. ) Usap hidung, tenggorok 3) Profilaksis antimikroba tanpa memandang status imunisasi, dengan menggunakan eritomisin (0-50 mg/kg/ jam; maksimum gr/ jam) selama 7-0 hari. ) Vaksinasi toksoid difteri. c. Penanganan carrier Adapun penanganan carrier yaitu: ) Profilaksis antimikroba selama 7-0 hari. ) Vaksinasi difteri toksoid, diberikan segera jika belum di booster dalam tahun. 3) Isolasi sekurang-kurangnya kali pembiakan berturut-turut yang diambil berselang jam sesudah penghentian terapi negatif (Nelson, 000). KESIMPULAN DAN SARAN. Jumlah kasus baru difteri periode januari-oktober 03 di Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan sebanyak 9 kasus, dimana puncak kejadian KLB terjadi pada minggu ke 3 dan, artinya difteri sering muncul pada waktu yang temperaturnya lebih dingin atau musim hujan. Dan sebesar 7% terjadi pada kelompok umur >5 tahun sehingga 63% tidak pernah mendapatkan imunisasi. sedangkan Pola sebaran kasus adalah pengelompokan (clustering) pada beberapa desa dalam satu kecamatan yang 33

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 dibuktikan dengan hubungan epidemiologis (tetangga).. Kejadian difteri usia<5 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap dan sub pin hanya 0%, dan semua laporan kasus yang diterima oleh Dinas Kesehatan Tingkat II sebesar 58% berasal dari rumah sakit. 3. Penangan penderita dapat dilakukan dengan cara isolasi, pemberian antitoxin dan antibiotika. Selain itu penanggulangan KLB Difteri dapat juga dilakukan pada penanganan kontak dan carrier. SARAN. Penanggulangan difteri harus dilakukan <jam sejak laporan diterima, mengingat penyebaran kasus difteri sangat cepat dan klb yang terjadi mengelompok.. Perlu dilakukan survei cakupan imunisasi DPT3 pada 0-30 balita di sekitar kasus untuk mengetahui apakah terdapat kelompok rentan atau bukan. 3. Sosialisasi tentang pencegahan dan penanggulangan KLB Difteri sehingga masyarakat waspada terhadap penyakit difteri dengan gejala klinis tertentu untuk secepatnya melaporkan.. Perlu dilakukan surveilans intensive difteri yang bertujuan untuk kewaspadaan dini dengan menemukan kasus awal dengan gejala mirip difteri di wilayah yang dicurigai telah terjadi penyebaran. Tidak hanya terbatas pada pemantauan penyakit, tetapi juga termasuk kegiatan imunisasi sehingga diharapkan ada kewaspadaan dari petugas imunisasi. DAFTAR PUSTAKA Chin James, 000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular 7th ed., Jakarta. Depkes RI, 00b. Prosedur Kerja Surveilans Faktor Risiko Penyakit Menular dalam Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular Terpadu Berbasis Wilayah, Khusus Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku Penyakit ISPA, Malaria, TBC, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan H, Jakarta. Depkes RI, 005a. Kepmenkes Nomor : 6/Menkes/SK/XI/005 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta. Depkes RI, 005b. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi Depkes RI, ed., Jakarta. Depkes RI, 009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 009, Jakarta. Dinkes Jatim, 0. Pedoman Penanggulangan KLB Difteri Di Jawa Timur 0. Dittmann, S. et al., 998. Successful Control of Epidemic Diphtheria in the States of the Former Union of Soviet Socialist Republics : Lessons Learned., pp.0-. Egemen et al, 000. Immunity to diphtheria in Izmir, Turkey. 3

Kabupaten Bangkalan Tahun 03 European Journal of Epidemiology, 6. Available at: http://springerlink3.metapress.co m/content/k38588875/. Steven, 0. Analisa System Surveilans Dinas Kesehatan Tingkat I Jawa Timur. 35