BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Difteri Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadangkadang konjungtiva dan atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin specific yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, pada diphtheria faucial atau pada diphtheria faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas (Chin, 2000). Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae, berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Ada 3 type variant dari Corynebacterium diphtheriae yaitu type gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004a). Corynebacterium diphtheriae dapat diklasifikasikan dengan cara Bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1 sampai 3 termasuk type mitis, tipe 4-6 termasuk type intermedius, tipe 7 termasuk type gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk type gravis yang virulen (Widoyono, 2005). Sedangkan Menurut Fredlund et al., (2011) difteri disebabkan oleh beberapa jenis spesies yaitu Corinebacterium diphtheriae, Corinebacterium

2 ulcerans, dan Corinebacterium pseudotuberculosis. Spesies yang paling terkenal dan paling umum penyebab agen penyakit difteri adalah Corinebacterium diphtheriae. Menurut Wagner et al., (2009) Corinebacterium ulcerans secara historis terkait dengan sapi atau produk susu mentah, sedangkan Corinebacterium pseudotuberculosis jarang menginfeksi manusia dan biasanya terkait dengan hewan ternak. 2.2 Epidemiologi Difteri Munculnya wabah difteri di Uni Soviet telah menjadi perhatian dalam epidemiologi penyakit. Selama tahun wabah difteri telah menyebar ke 15 negara federasi Uni Soviet. Sedangkan di Eropa pada tahun 1992 terjadi wabah difteri yang mempunyai hubungan dengan kejadian wabah di Uni Soviet, antara lain di Belgia, Inggris, Firlandia, Jerman, Yunani dan Polandia. Di Polandia pada tahun dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri sebelumnya telah mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus (Galazka, 2000). Sedangkan di negara berkembang menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia Region (SEARO) selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak kasus (tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 76 kasus. Dari 19 propinsi yang melaporkan adanya kasus

3 difteri, kasus tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Timur sebanyak 955 kasus (79,5%), diikuti oleh Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Sulawesi Selatan masing-masing sebanyak 61 kasus (5,6%) dan 49 kasus (4,5%) (Kementrian Kesehatan, 2013). Dinas Kesehatan Jawa Timur (2013) menyebutkan difteri merupakan kasus re emerging disease karena kasus difteri tersebut sebenarnya sudah menurun pada tahun 1985, namun kembali meningkat pada tahun 2005 saat terjadi KLB di Kabupaten Bangkalan. Sejak itu penyebaran difteri semakin meluas dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebanyak 955 kasus dengan 37 kematian. Kabupaten Bangkalan merupakan penyumbang kasus tertinggi kedua di Propinsi Jawa Timur Tahun 2013, seperti tercatat dalam laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan bahwa tahun 2013 mencapai 76 kasus. 2.3 Patogenesis Difteri Kuman Corinebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pada awalnya mudah dilepas. Semakin banyak produksi toksin maka

4 semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung (IDAI, 2008). Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kesulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan, 2013).

5 2.4 Masa Inkubasi dan Masa penularan Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari, terkadang lebih lama. Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi, biasanya berlangsung kurang lebih 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. Terapi yang paling efektif mengurangi penularan adalah terapi antibiotik. Antibiotik biasanya membuat pasien menjadi non-infeksius dalam waktu 24 jam. (Chin, 2000). 2.5 Kerentanan dan Kekebalan Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga. Perlindungan yang diberikan oleh ibu kepada bayinya bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. Imunitas dapat timbul setelah sembuh dari penyakit atau dari infeksi yang subklinis namun tidak memberikan kekebalan seumur hidup. Imunisasi dengan toksoid memberikan kekebalan cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja memiliki kadar antitoksin protektif yang rendah. Demikian juga tingkat imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997 dan sebanyak 95% dari 174 anakanak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk

6 melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun melindungi dari kolonisasi pada nosofaring (Chin, 2000). 2.6 Klasifikasi Difteri Secara klinis difteri diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi sebagai berikut (IDAI, 2008) : Difteri hidung Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama untuk terdiagnosis Difteri faring Gejala difteri faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah laring trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau

7 sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna Difteri laring Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas kepercabangan trakeobronkial. Apabila difteri laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia Difteri kulit, vulvovagina, konjungtiva dan telinga Difteri kulit, vulvovagina, konjungtiva dan telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri

8 pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau. 2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Kejadian Difteri Menurut Nugroho (2012) Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Adanya membran di tenggorokan tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Apabila diangkat terjadi pendarahan. Sedangkan untuk diagnosa banding menurut Haq (2011) adalah sebagai berikut: Difteri hidung Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital) Difteri fausial, harus dibedakan dengan:

9 1. Tonsilitis folikularis atau lakunaris. Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap penderita difteri bila panas terlalu tinggi, anak menjadi lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah apabila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tidak terlalu lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja. 2. Angina Plaut Vincent. Penyakit ini juga membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif). 3. Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa. Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi. 4. Blood dyscrasia (misalnya leukimia). Mungkin ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil Difteri laring Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala striddor inspirasi dan sesak.

10 2.7.4 Difteri kulit Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus. 2.8 Pencegahan Kejadian Difteri Pencegahan difteri dapat dilakukan dengan cara: Penyuluhan Pencegahan dapat dilakukan dengan cara penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya difteri dan perlunya imunisasi difteri pada bayi dan anak-anak, Chin (2000) Imunisasi massal Tindakan yang paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara massal dengan Diptheria Toxoid (DT) Chin (2000). Menurut kementerian Kesehatan (2013) sasaran imunisasi untuk daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah anak usia 2 bulan sampai 15 tahun atau sampai usia tertinggi kasus terjadi, dengan pengelompokan sebagai berikut: 1. Umur 2 bulan sampai dengan 3 tahun diberikan vaksin DPT-HB-Hib. 2. Umur >3 tahun sampai dengan 7 tahun diberikan vaksin DT. 3. Umur >7 tahun diberikan vaksin Td. 4. Kasus mungkin atau kasus konfirmasi laboratorium dari kasus difteri. 5. Memberikan imunisasi DPT/DT/Td (disesuaikan dengan umur penderita) selama masa pemulihan. 6. Imunisasi diperlukan karena difteri klinis tidak memberikan kekebalan.

11 7. Memutuskan rantai penyebaran dengan memberikan imunisasi difteri sesuai dosis kepada orang dekat (kontak) penderita kecuali mereka yang diketahui sudah diimunisasi lengkap dalam lima tahun terakhir. 8. Tindakan pencegahan untuk wisatawan adalah semua wisatawan datang dan keluar dari daerah harus up to date dengan vaksin difteri toksoid sebelum keberangkatan. Setelah itu, dosis booster Td secara rutin harus diberikan kepada semua orang dewasa setiap 10 tahun untuk mempertahankan perlindungan terhadap difteri serta tetanus. Penguat ini sangat penting bagi wisatawan yang akan tinggal atau bekerja dengan penduduk lokal di daerah endemis, seperti Pulau Madura di Jawa Timur Pemberian imunisasi sesuai jadwal Imunisasi ad]alah suatu program dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu (Proverawati & Andhini, 2010). Program imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective dan telah diselenggrakan di Indonesia sejak tahun Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis B serta Penumonia (Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan, 2013). Imunisasi diklasifikasikan dalam imunisasi wajib dan pilihan. Imunisasi wajib diberikan kepada sasaran bayi, batita, anak sekolah dasar

12 sederajat dan wanita usia subur, terdiri dari imunisasi rutin (bertujuan untuk melengkapi imunisasi rutin pada bayi seperti DPT1, DPT2, DPT3) dan imunisasi tambahan. Yang termasuk imunisasi tambahan adalah Backlog Fighting, Cash Program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub PIN, Catch Up Campaign Campak. Sedangkan Imunisasi pilihan adalah imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi wajib, namun penting diberikan pada bayi, anak dan dewasa di Indonesia mengingat beban peyakit dari masing-masing penyakit (seperti: Measles Mumps Rubella (MMR), Haemophillus influenzae type B (HiB), Demam Tifoid, Varisela, Hepatitis A, Influenza, Pneumokokus dan Rotavirus) (Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan, 2013). Pemberian suntikan imunisasi pada bayi tepat pada waktunya merupakan faktor yang sangat penting untuk kesehatan bayi. Imunisasi diberikan mulai dari lahir sampai awal masa kanak-kanak. Imunisasi dapat diberikan ketika ada kegiatan posyandu, pemeriksaan kesehatan pada petugas kesehatan atau pekan imunisasi (Proverawati & Andhini, 2010). Berikut jadwal pemberian imunisasi (Tabel 2.1) Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi pada Bayi, Anak Sekolah Dasar 1,2 dan 3 No. Jenis Imunisasi Usia Pemberian Jumlah Pemberian Interval Minimal 1. Bayi Hepatitis B 0-7 hari 1 BCG 1 bulan 1 Polio atau IPV 1,2,3,4 bulan 4 4 minggu DPT-HB-Hib 2,3,4 bulan 3 4 minggu Campak 9 bulan 1 2. Batita (usia <3 tahun) Usia Pemberian Jumlah

13 Pemberian DPT-HB-Hib 18 Bulan 1 Campak 24 Bulan 1 3. Anak Kelas 1 SD Waktu Pelaksanaan Keterangan Campak Bulan Agustus Bulan Imunisasi Anak DT Bulan November Sekolah (BIAS) Td Bulan November BIAS Sumber : Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI Salah satu kebijakan program imunisasi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu mengupayakan kualitas pelayanan bermutu. Kualitas vaksin dan logistik imunisasi sangat mempengaruhi keberhasilan imunitas yang ditimbulkan oleh vaksin tersebut (Depkes RI, 2005a). Penelitian yang dilakukan oleh Kunarti, (2004) di Kota Semarang terkait dengan titer antibodi dipengaruhi oleh kualitas pelayanan bermutu yakni cara pemberian vaksin DPT atau safety injection dan interval waktu pemberian imunisasi DPT mempengaruhi titer antibodi seseorang. Menurut Kristini T.D (2006) yang melakukan penelitian di Kota Semarang menyebutkan bahwa pengelolaan kualitas vaksin di pengaruhi oleh tingkat pengetahuan petugas, fungsi lemari es, cara pembawaan vaksin, ketersediaan pedoman program imunisasi. 2.9 Penanganan Kejadian Difteri Penanganan penderita 1. Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteri faringeal, isolasi untuk difteri kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (sampel dari lesi

14 kulit pada difteri kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil). Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (Chin, 2000). Penderita diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan usap tenggorok negatif 2 kali berturutturut (Soedarmo et al., 2002). Penderita tetap bersifat menular hingga basil-basil difteri tidak berhasil dibiakkan dari tempat infeksi, jika hasil negatif penderita sudah bisa di bebaskan dari isolasi (Nelson, 1992). 2. Pengobatan Antitoksin : Antitoksin diberikan segera setelah dinyatakan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin di hari pertama, angka kematian penderita kurang dari 1%. Jika penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian bisa meningkat sampai 30% (Soedarmo e t al., 2002). Dosis Anti Diphteria Serum (ADS) ditentukan secara empiris berdasarkan lokasi membran dan lama sakit, yang dapat dilihat pada tabel 2.2 Tabel 2.2 Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama sakit Dosis ADS Tipe Difteri (Unit) Cara Pemberian Difteri Hidung Intramuskular Difteri Tonsil Intramuskular atau Intravena Difteri Faring Intramuskular dan Intravena

15 Difteri Laring Intramuskular dan Intravena Kombinasi lokasi di atas Intravena Difteri + komplikasi, bullneck Intravena Terlambat berobat (>72 jam) lokasi dimana saja Intravena Sumber: Kementerian Kesehatan (2013). Antibiotik : Terapi antibiotik bukan sebagai substitusi terhadap terapi anti toksin. Pemberian intramuskuler penisilin prokain unit/kg/hari selama 10 hari (Kementerian Kesehatan, 2013). Corynebacterium diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromicin, klindamisin, rifampin dan tetrasiklin. Penisilin dan eritromisin merupakan obat yang dianjurkan, eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritomisin yang diberikan secara oral atau parental (40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 gr/24 jam). Terapi diberikan selama 14 hari. Beberapa penderita dengan difteri kulit diobati selama 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurangkurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. Pengobatan eritromisin diulangi jika hasil biakan positif (Nelson, 2000) Penanganan kontak

16 Adapun penanganan kontak berdasarkan petunjuk teknis pelaksanaan imunisasi dan surveilans dalam rangka penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri (Kementerian Kesehatan, 2013) adalah sebagai berikut: 1. Yang termasuk kontak erat adalah tinggal serumah, teman bermain di lingkungan tempat tinggal, teman sekolah dalam 1 kelas, teman ngaji dalam 1 kelas, tenaga kesehatan yang merawat kasus atau mengambil spesimen, orang lain yang ada riwayat kontak dengan kasus dalam jarak <1 meter terhitung 5 hari sejak muncul gejala klinis pada kasus. 2. Setelah ditemukan adanya kasus, maka pencarian kontak erat harus segera dilakukan dengan cara mendatangi keluarga kasus kemudian menggali informasi secara detail orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai kontak erat. 3. Lakukan pengambilan spesimen usap hidung dan tenggorok pada 3-5 kontak erat dengan kasus secara random. 4. Berikan obat profilaksis berupa eritromisin (etyl suksinat) dengan dosis 50 mg/kg BB/hari yang dibagi dalam 4 kali pemberian (dosis maksimal 2000mg/hari) atau 500 mg diberikan 4 kali sehari selama 7 hari. Antibiotik yang diberikan dapat membuat kontak erat menjadi non infeksius dalam waktu 24 jam.

17 5. Kontak yang hasil awal laboratoriumnya negatif Corynebacterium diphtheriae (carrier) sebelum 7 hari, maka obat propilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai. 6. Kontak yang hasil laboratoriumnya positif Corynebacterium diphtheriae (carrier) sebelum 7 hari, maka obat propilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai, lalu dilakukan pemeriksaan spesimen ulang setelah pemberian propilaksis 7 hari. 7. Bila kontak yang positif (carrier) hasil pemeriksaan laboratorium ulang (setelah 7 hari propilaksis) tetap positif, maka terapi ulang dilanjutkan selama 7 hari Faktor Risiko Kejadian Difteri Umur Menurut Chin (2000) Penyakit difteri lebih sering menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di Amerika Serikat dari tahun 1980 sampai dengan 1998 kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya, dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri di kalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya

18 gerakan yang menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kunarti (2004) tentang titer imunoglobulin G (IgG) difteri pada anak sekolah, menjelaskan bahwa semakin bertambahnya umur anak maka titer IgG akan semakin menurun, dan akan meningkat kembali setelah mendapatkan imunisasi ulangan. Rata-rata titer IgG pada usia balita (4-5 tahun) adalah 0,36 IU/ml, dengan adanya stimulans pada usia 6-7 tahun titer meningkat kembali mencapai 0,7 IU/ml dan akan menurun kembali tanpa adanya stimulan ulang Status imunisasi Menurut Quick et al., (1996) status imunisasi merupakan faktor risiko dominan terjadinya difteri. Pemberian 3 dosis toksoid difteri pada anak-anak akan menghasilkan titer antibodi rata-rata lebih dari 0,01 International Unit ml (nilai batas protektif 0,01 IU). Sedangkan pemberian imunisasi pada dosis pertama di nilai belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteri. Lama masa kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi toksoid difteri merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu, sehingga diperlukan imunisasi booster pada usia tertentu per 10 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kunarti (2004), dari 61 subyek yang mendapatkan DPT 3 kali rerata titer 0,487 IU/ml, 75 subyek yang telah diimunisasi DPT 3 kali + DT 1 kali rerata titer 0,697

19 IU/ml, 55 subyek telah diimunisasi DT 1 kali rerata titer 0,825 IU/ml, dan 30 subyek tidak mendapatkan DPT 3 kali dan DT rerata titer 0,230 IU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun titer yang terbentuk semuanya menunjukkan titer yang protektif namun dengan riwayat yang telah mendapatkan jenis imunisasi DT menunjukkan titer IgG yang terbentuk paling tinggi Status gizi Kekurangan gizi atau gizi buruk mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi. Kerentanan tersebut diakibatkan oleh zat antitoksin yang tidak terbentuk secara cukup di dalam tubuh (Notoatmodjo, 1997). Penilaian status gizi di masyarakat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2002). Survei konsumsi makanan dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) banyak digunakan secara luas terutama penelitian epidemiologi, untuk melihat pola makan individu yang menjadi subjek penelitian. Pertanyaan didesain untuk mengukur asupan secara umum dan asupan jangka panjang. FFQ terdiri dari dua bagian yaitu daftar makanan dan respon yang mengindikasikan seberapa sering makanan dikonsumsi

20 (dengan katagori sering, kadang-kadang dan tidak pernah) selama periode waktu tertentu (hari, minggu, bulan atau tahun) (Yunus, 2011). Tujuan dari metode frekuensi makanan ini adalah untuk memperoleh gambaran pola konsumsi makanan atau bahan makanan secara kualitatif. Selain itu, dapat menegakkan hipotesis bahwa jumlah konsumsi zat gizi pada masa lalu apabila dikaitkan dengan risiko penyakit jauh lebih penting dari apa yang dimakan saat sekarang. Namun dengan penggunaan metode ini, presisi pengukuran (penimbangan makanan) diabaikan. Hal ini untuk menggali informasi kebiasaan makan makanan tertentu pada waktu yang lebih lama (Gibson, 1990) Perilaku Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif maka akan bersifat langgeng (ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku tersebut bersifat sementara (Notoatmojo, 2003). Menurut Depkes (2003) perilaku atau kebiasaan hidup sehari-hari yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit difteri antara lain tidak menutup mulut bila batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit, membuang ludah tidak pada tempatnya dan memakai alat makan bergantian Tingkat sosial ekonomi

21 Status sosial ekonomi merupakan gabungan dari ukuran ekonomi dan sosiologis atau posisi keluarga berdasarkan pendapatan, pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan menjadi mata rantai yang sulit terputus karena kemampuan mereka dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang kurang memadai dan perilaku yang kurang sehat sehingga memudahkan dalam penularan dan penyebaran penyakit di masyarakat (Depkes, 2009) Lingkungan fisik 1. Kepadatan lingkungan dan kepadatan hunian Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah memunculkan slum area dengan segala problem kesehatan masyarakatnya. Sementara di tingkat rumah tangga, kepadatan hunian rumah berpotensi melebihi syarat yang ditentukan. Luas lantai bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni di dalam bangunan tersebut akan menyebabkan kepadatan yang berlebih. Hal ini tidak sesuai dengan standar kesehatan, karena menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dalam ruangan, disamping itu apabila ada anggota keluarga yang terinfeksi penyakit akan lebih mudah menularkan terhadap anggota keluarga lainnya (Notoatmodjo, 1997). Menurut Depkes RI (1999) menyebutkan tentang persyaratan perumahan sehat ditetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 meter 2 untuk 2 orang, dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang kecuali anak di bawah 5 tahun. penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kontak

22 langsung pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup dalam rumah berpenghuni padat. 2. Kelembaban Udara Penyakit difteri muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis (Chin, 2000) Sumber penularan Menurut Noor (2008) pada dasarnya tidak satu pun penyakit yang dapat timbul hanya disebabkan oleh salah satu faktor penyebab tunggal semata. Pada umumnya, kejadian penyakit disebabkan oleh berbagai unsur yang secara bersama-sama mendorong terjadinya penyakit. Unsur penyebab penyakit dibagi menjadi dua bagian utama yaitu penyebab kausal primer antara lain unsur biologis, nutria, kimiawi, fisika, psikis dan penyebab kausal sekunder. Sumber penularan difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun carrier (Chin, 2000). carrier adalah orang yang terinfeksi dengan Corynebacterium diphteriae yang tidak memiliki gejala-gejala penyakit dan merupakan sumber penularan potensial (Kementerian Kesehatan, 2013) Keeratan Kontak Menurut Kementrian Kesehatan (2013) yang termasuk kontak erat penderita difteri adalah orang yang tinggal serumah, teman bermain di lingkungan tempat tinggal, teman sekolah dalam satu kelas, teman ngaji dalam satu kelas, tenaga kesehatan yang merawat kasus atau mengambil spesimen, orang lain yang ada riwayat kontak dengan kasus dalam jarak

23 <1 meter terhitung 5 hari sejak muncul gejala klinis pada kasus. Kontak erat merupakan faktor risiko kejadian difteri karena seseorang yang dapat menyebarkan difteri bisa melalui droplet infection. Menurut Bres (1995), kontak dibedakan menjadi dua macam kontak yaitu kontak dekat dan kemungkinan kontak. Kontak dekat adalah seseorang yang pernah melakukan kontak berhadapan (face to face), yang telah memberikan perawatan tanpa upaya-upaya perlindungan, atau yang menyantap makanan yang sama maupun tinggal di kamar yang sama selama masa penularan, atau menangani barang-barang pasien (jika dimungkinkan penularan tidak langsung). Sedangkan kemungkinan kontak adalah seseorang yang kemungkinan terpapar karena berada pada jarak tertentu dari seorang kasus yang sangat menular pada masa penularan misalnya angkutan umum, bersebelahan tempat tidur di rumah sakit atau di tempat kerja yang sama Mobilitas Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari tempat satu ke tempat lain yang melewati batas administratif tertentu. Mobilitas dibagi menjadi dua yaitu mobilitas non permanen (sirkulasi dan komutasi) dan mobiltas permanen. Tujuan dari kepindahan penduduk dipengaruhi oleh kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi atau kebutuhan pekerjaan. Kasus difteri dilaporkan di London yaitu seorang wanita yang sebelumnya bepergian dari India terserang difteri faring dan difteri kulit (Hart, 1996). Di New Zealand kejadian difteri pertama kali selama kurun waktu 19 tahun terjadi pada anak yang berusia 32 Bulan. Hal ini kemungkinan tertular dari ayahnya yang memiliki lesi di kulit dan sebelumnya telah bepergian dari Bali (Gidding, 2000). Di Polandia pada

24 tahun dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri telah mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus (Galazka, 2000). Terjadinya epidemi pada suatu daerah yang sudah lama bebas dari penyakit difteri, dapat ditimbulkan karena adanya penyakit difteri atau kariernya yang datang dari luar, atau terjadi mutasi dari jenis non virulen menjadi virulen (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006) Dinamika Penularan Dinamika penularan penyakit merupakan suatu proses transmisi (perpindahan) penyakit dari sumber (resource) penular atau sering disebut dengan reservoar ke reservoar lainnya. Manusia sebagai reservoar adalah penyakit yang berasal dari manusia yang sedang mengalami infeksi dan dapat berupa hanya sebagai pembawa (carrier). Penularan penyakit didukung dengan keberadaan agen (penyebab penyakit) dan lingkungan (Mahardhika, 2012). Menurut Susanna (2005), dinamika penularan penyakit infeksi adalah menggunakan Kerangka Model SEIR (Susceptible, Exposed, Infection, Recovered) yang menggambarkan keadaan yang berbeda dalam perkembangan suatu penyakit dalam populasi: proporsi individu yang rentan terhadap infeksi (S), proporsi masyarakat yang terpapar agen infeksi tetapi belum menderita penyakit (E), proporsi yang benar-benar terinfeksi (I), dan mereka yang berpindah dari populasi (R) juga yang sembuh dari infeksi dan mereka yang imun atau mati. Kerangka model SEIR tersebut mencerminkan atau menggambarkan fakta atau bukti bahwa dinamika penyakit diakibatkan atau dipengaruhi oleh banyak faktor

25 yang unik dari populasi, termasuk jumlah penduduk dan kepadatan, demografi, tingkat imunitas. Infeksi pada manusia mungkin menyebabkan kematian, infeksi kronis atau sembuh karena adanya imunitas. Secara umum dinamika penularan penyakit dapat didekati dengan mengidentifikasi cara penularan penyakit (mode of transmission), penyakit dapat ditularkan kepada manusia yang rentan melalui beberapa cara, baik terjadi secara langsung maupun tidak lansung dari orang ke orang lain dan penyebarannya di masyarakat. Ditinjau dari aspek epidemiologi dapat bersifat lokal, regional maupun internasional. Penularan langsung dari orang ke orang lain adalah agen penyakit ditularkan langsung dari seorang infektious ke orang lain melalui hubungan intim (kontak seks), penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain GO, syphilis, HIV. Penularan penyakit tidak langsung yakni penyakit menular dari orang ke orang lain dengan perantaraan media. Menular melalui media udara, penyakit yang bisa ditimbulkan adalah seperti tuberculosis, rubella, difteri, influenza (Mahardhika, 2012). Dinamika penularan dari orang ke orang lain melalui media udara seperti penyakit difteri, sangat penting untuk dipelajari saat ini karena masih mempunyai angka kesakitan (morbidity) yang tinggi, angka kematian (mortality) yang cukup tinggi serta mempunyai kehilangan ekonomi (economic-loss) yang sangat tinggi terutama di Propinsi Jawa Timur. Dinamika penularan juga terkait langsung dengan jenis agen dan pola endemisitas penyakit tersebut (Amiruddin et al, 2011). Endemisitas penyakit dapat dipengaruhi oleh daerah risiko yang tinggi. Yang dimaksud dengan daerah risiko tinggi adalah daerah yang berpotensi

26 terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti daerah dengan cakupan imunisasi dasar rendah (<80%), lokasi yang padat dan kumuh, daerah rawan gizi, daerah sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan dan daerah dimana budaya masyarakatnya menolak imunisasi (Kementrian Kesehatan, 2013). Menurut Riskesdas (2007) kemudahan akses ke sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor penentu, antara lain jarak ke tempat tinggal dan waktu tempuh ke sarana kesehatan, serta status sosial-ekonomi dan budaya. Jarak tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan dibedakan dalam 3 kategori yaitu dekat, sedang dan jauh. Disebut dekat apabila antara tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan berjarak < 1 km, dinyatakan sedang apabila antara tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan berjarak 1-5 km, sedangkan dikatakan jauh apabila antara tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan berjarak > 5 km Pemetaan Kejadian Difteri Dalam hal pengolahan dan penyajian data dalam peralatan dan pemetaan, sistem informasi geografis (SIG) sudah menjadi peralatan yang standard untuk pemetaan (Putra, 2010). Menurut Sugandi (2009) sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi atau informasi tentang ruang muka bumi yang diperlukan untuk dapat menjawab atau menyelesaikan suatu masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang bersangkutan. Rangkaian tersebut meliputi pengumpulan, pemetaan, pengolahan, penganalisisan dan penyajian data-

27 data/fakta-fakta yang ada atau terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Data atau fakta yang ada atau terdapat dalam ruang muka bumi tersebut, sering juga disebut sebagai data/fakta geografis atau data/fakta spasial. Data geografis disajikan dalam bentuk sebuah peta yang dimodelkan dengan point (titik), line (garis) dan area (luasan) sebagai berikut: Titik adalah representasi grafis yang paling sederhana untuk suatu obyek, representasi ini tidak memiliki dimensi Garis adalah bentuk linier yang akan menghubungkan paling sedikit dua titik dan digunakan untuk mempresentasikan obyek-obyek satu dimensi, seperti jalan, sungai dan jaringan listrik Area adalah representasi dari obyek-obyek dua dimensi seperti batas propinsi, batas kota dan batas bidang tanah. Komponen dari SIG meliputi software, hardware dan data. Software merupakan perangkat lunak dalam komputer untuk mengolah data yang berasal dari perangkat keras (hardware), yang biasanya digunakan untuk penelitian sistem lingkungan adalah Map Info, Epi Info dan Arcview (Raharja, 2009). Epi Info merupakan software yang banyak digunakan oleh profesional di bidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat. Software ini banyak digunakan untuk melakukan investigasi wabah, sehingga bisa digunakan untuk investigasi kejadian difteri yang saat ini merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Propinsi Jawa Timur. Salah satu modul yang terdapat dari Epi Info adalah modul Epi Map, yang digunakan untuk membuat pemetaan (Syahrul et al, 2013).

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2013

PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 2013 Kabupaten Bangkalan Tahun 03 PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI KLB DIFTERI DI KECAMATAN TANJUNG BUMI KABUPATEN BANGKALAN TAHUN 03 Siska Damayanti Sari Dinas Kesehatan kabupaten bangkalan Difteri merupakan penyakit

Lebih terperinci

DIFTERIA 1. Identifikasi 2. Penyebab Penyakit 3. Distribusi Penyakit

DIFTERIA 1. Identifikasi 2. Penyebab Penyakit 3. Distribusi Penyakit DIFTERIA 1. Identifikasi Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian, karena racun yang dihasilkan oleh kuman BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, difteri merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Imunisasi 1. Definisi Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan

Lebih terperinci

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru 1.1 Pengertian Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis

Lebih terperinci

Laporan kasus. Dua hari berikutnya os batuk,dahak tidak banyak berwarna kekuningan dan suara parau

Laporan kasus. Dua hari berikutnya os batuk,dahak tidak banyak berwarna kekuningan dan suara parau DIFTERI KELOMPOK 7 Pendahuluan Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae Kuman ini termasuk gram positif yang berasal dari membran mukosa hidung dan nasofaring,

Lebih terperinci

cita-cita UUD Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit menular masih merupakan

cita-cita UUD Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit menular masih merupakan cita-cita UUD 1945. Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit menular masih merupakan masalah, sementara penyakit degeneratif juga muncul sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Corynebacterium Diphtheria bersifat toxin-mediated desease yang ditandai dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Corynebacterium Diphtheria bersifat toxin-mediated desease yang ditandai dengan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara berkembang yang memiliki angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi dalam

Lebih terperinci

Diagnosis dan tata laksana difteri

Diagnosis dan tata laksana difteri 1 Diagnosis dan tata laksana difteri Diagnosis Difteri Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut: Anamnesis Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga adanya stridor,

Lebih terperinci

IMUNISASI SWIM 2017 FK UII Sabtu, 14 Oktober 2017

IMUNISASI SWIM 2017 FK UII Sabtu, 14 Oktober 2017 IMUNISASI Dr. dr. Fx. Wikan Indrarto, SpA SWIM 2017 FK UII (Simposium & Workshop Imunisasi) Sabtu, 14 Oktober 2017 Di Hotel Eastparc Jl. Laksda Adisucipto Km. 6,5, Yogyakarta IMUNISASI Cara meningkatkan

Lebih terperinci

Informasi penyakit ISPA

Informasi penyakit ISPA Informasi penyakit ISPA ISPA ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang melibatkan salah satu atau lebih dari organ saluran pernapasan, hidung, sinus, faring dan laring. ISPA mencakup: tonsilitis (amandel),

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar

1 BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunisasi merupakan cara meningkatkan kekebalan tubuh secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga seseorang tidak akan sakit bila nantinya terpapar penyakit tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Imunitas merupakan daya tahan tubuh. Sistem imun adalah jaringan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Imunitas merupakan daya tahan tubuh. Sistem imun adalah jaringan dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imunisasi Imunitas merupakan daya tahan tubuh. Sistem imun adalah jaringan dalam tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari infeksi dan benda asing, juga berfungsi menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia salah satunya di lihat dari angka kematian dan kesakitan balita. Masa balita merupakan kelompok yang rawan akan

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT Menimbang WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 49 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pneumonia Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 1. Defenisi Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut diperkenalkan pada tahun 1984. Istilah ini merupakan

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP )

SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP ) SATUAN ACARA PENYULUHAN ( SAP ) Topik : Imunisasi Pentavalen Hari / Tanggal : Selasa/ 08 Desember 2014 Tempat : Posyandu Katelia Waktu Pelaksanaan : 08.00 sampai selesai Peserta / Sasaran : Ibu dan Anak

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai penyakit seperti TBC, difteri, pertusis, hepatitis B, poliomyelitis, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai penyakit seperti TBC, difteri, pertusis, hepatitis B, poliomyelitis, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Imunisasi merupakan bentuk intervensi kesehatan yang efektif dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita. Dengan imunisasi, berbagai penyakit seperti TBC,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. IMUNISASI 1. Pengertian Imunisasi Imunisasi adalah suatu tindakan memberikan perlindungan atau kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh. Tujuan pemberian imunisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan zaman saat ini yang terus maju, diperlukan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan zaman saat ini yang terus maju, diperlukan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan zaman saat ini yang terus maju, diperlukan suatu analisis yang dapat diterima secara ilmiah terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari pengindraan atau hasil tahu seseorang dan terjadi terhadap objek melalui indra yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat berbahaya, demikian juga dengan Tetanus walau bukan penyakit menular

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat berbahaya, demikian juga dengan Tetanus walau bukan penyakit menular BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Difteri, Pertusis dan Hepatitis B merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya, demikian juga dengan Tetanus walau bukan penyakit menular namun apabila

Lebih terperinci

Manfaat imunisasi untuk bayi dan anak

Manfaat imunisasi untuk bayi dan anak Manfaat imunisasi untuk bayi dan anak Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindung dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik, kakak dan teman-teman disekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan

BAB I PENDAHULUAN. melawan serangan penyakit berbahaya (Anonim, 2010). Imunisasi adalah alat yang terbukti untuk mengendalikan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunisasi merupakan program pemerintah yang senantiasa digalakkan dalam upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit dengan melakukan vaksinasi

Lebih terperinci

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH & SOLUSI MASALAH PERANCANGAN KAMPANYE PENGGUNAAN VAKSIN

BAB II. PEMBAHASAN MASALAH & SOLUSI MASALAH PERANCANGAN KAMPANYE PENGGUNAAN VAKSIN BAB II. PEMBAHASAN MASALAH & SOLUSI MASALAH PERANCANGAN KAMPANYE PENGGUNAAN VAKSIN II.1 Definisi Vaksinasi Vaksinasi merupakan sebuah aktivitas atau kegiatan pemberian vaksin kepada tubuh manusia atau

Lebih terperinci

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) 1. Pengertian ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spectrum

Lebih terperinci

Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin NurF

Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin NurF Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin NurF Maiyanti Wahidatunisa Nur Fatkhaturrohmah Nurul Syifa Nurul Fitria Aina Siti Chalimah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunisasi 2.1.1. Definisi Imunisasi Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak terpajan antigen

Lebih terperinci

Gejala Penyakit CAMPAK Hari 1-3 : Demam tinggi. Mata merah dan sakit bila kena cahaya. Anak batuk pilek Mungkin dengan muntah atau diare.

Gejala Penyakit CAMPAK Hari 1-3 : Demam tinggi. Mata merah dan sakit bila kena cahaya. Anak batuk pilek Mungkin dengan muntah atau diare. PENYAKIT CAMPAK Apakah setiap bintik-bintik merah yang muncul di seluruh tubuh pada anak balita merupakan campak? Banyak para orangtua salah mengira gejala campak. Salah perkiraan ini tak jarang menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Primer 1. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang biasa menyerang paru tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah kita ketahui bahwa Negara Indonesia memiliki beraneka ragam masalah kesehatan. Salah satu masalah kesehatan yang terjadi adalah adanya kasus campak yang sering

Lebih terperinci

ASPEK MEDIS DAN KEAMANAN VAKSIN KOMBINASI PENTABIO. Dominicus Husada

ASPEK MEDIS DAN KEAMANAN VAKSIN KOMBINASI PENTABIO. Dominicus Husada ASPEK MEDIS DAN KEAMANAN VAKSIN KOMBINASI PENTABIO Dominicus Husada ISI 1. Pendahuluan 2. Aspek Medis Vaksin Kombinasi Pentabio 3. Aspek Keamanan Vaksin Kombinasi Pentabio 4. Penutup 5. Bonus PENDAHULUAN

Lebih terperinci

A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal antaralain lain:

A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal antaralain lain: DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal antaralain lain: 1. Kontak dengan penderita TB sebelumnya

Lebih terperinci

DAN INFORMASI KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI MALANG 2011/2012

DAN INFORMASI KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI MALANG 2011/2012 MAKALAH IMUNISASI DASAR BAYI BARU LAHIR Dajukan sebagai peryaratan mengikuti ujian semester3 Pembimbing: Bpk.Ahmad Rifai Disusun Oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. D-III ADMINISTRASIPEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan terhadap beberapa penyakit yang terjadi di Kota Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi. Kondisi tersebut menjadikan Kota Yogyakarta semakin padat penduduknya, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tetanus maternal dan neonatal merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu dan neonatal akibat persalinan dan penanganan tali pusat yang tidak bersih. Tetanus Neonatorum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut 2.1.1 Pengertian ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4 PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS Edwin 102012096 C4 Skenario 1 Bapak M ( 45 tahun ) memiliki seorang istri ( 43 tahun ) dan 5 orang anak. Istri Bapak M mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

Wabah Polio. Bersama ini kami akan membagi informasi mengenai POLIO yang sangat berbahaya, yang kami harap dapat bermanfaat untuk kita semua.

Wabah Polio. Bersama ini kami akan membagi informasi mengenai POLIO yang sangat berbahaya, yang kami harap dapat bermanfaat untuk kita semua. Environment & Social Responsibility Division ESR Weekly Tips no. 14/V/2005 Sent: 10 Mei 2005 Wabah Polio Seiring dengan gencarnya kasus wabah Polio yang menimpa Indonesia terutama di beberapa daerah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan istilah Millenium Development

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan istilah Millenium Development BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cita-cita pembangunan manusia mencakup semua komponen pembangunan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga merupakan tujuan pembangunan Milenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tujuan dan upaya pemerintah dalam memberikan arah pembangunan ke depan bagi bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal karena penyakit yang sebenarnya masih dapat dicegah. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. meninggal karena penyakit yang sebenarnya masih dapat dicegah. Hal ini 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun diseluruh dunia, ratusan ibu, anak anak dan dewasa meninggal karena penyakit yang sebenarnya masih dapat dicegah. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Imunisasi 1. Pengertian Imunisasi Imunisasi adalah suatu tindakan memberikan perlindungan atau kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh. Tujuan pemberian imunisasi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penurunan angka kematian bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) adalah

BAB I PENDAHULUAN. penurunan angka kematian bayi dan balita (bayi dibawah lima tahun) adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia masih menghadapi banyak masalah kesehatan yang cukup serius terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Salah satu faktor penting dalam penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis bersifat tahan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Pengetahuan, KIPI

Kata Kunci: Pengetahuan, KIPI PENGETAHUAN IBU TENTANG KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI) DI DESA BULUMARGI KECAMATAN BABAT LAMONGAN Dian Nurafifah Dosen D3 Kebidanan STIKes Muhammadiyah Lamongan email: diannurafifah66@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah

Lebih terperinci

Jika ciprofloxacin tidak sesuai, Anda akan harus minum antibiotik lain untuk menghapuskan kuman meningokokus.

Jika ciprofloxacin tidak sesuai, Anda akan harus minum antibiotik lain untuk menghapuskan kuman meningokokus. CIPROFLOXACIN: suatu antibiotik bagi kontak dari penderita infeksi meningokokus Ciprofloxacin merupakan suatu antibiotik yang adakalanya diberikan kepada orang yang berada dalam kontak dekat dengan seseorang

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Epidemiologi Penyakit Campak di Indonesia Tahun 2004-2008 5.1.1 Gambaran Penyakit Campak Berdasarkan Variabel Umur Gambaran penyakit campak berdasarkan variabel umur

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.966, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Imunisasi. Penyelenggaraan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Anak Preschool dengan ISPA A. Definisi Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja (laki-laki,

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 8 Anak menderita HIV/Aids Catatan untuk fasilitator Ringkasan Kasus: Krishna adalah seorang bayi laki-laki berusia 8 bulan yang dibawa ke Rumah Sakit dari sebuah

Lebih terperinci

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (Tb) merupakan penyakit menular bahkan bisa menyebabkan kematian, penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap menjadi salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap menjadi salah satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit campak adalah salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan pada bayi dan anak di Indonesia dan merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan

Lebih terperinci

Konsep dan Aplikasi Imunisasi. dr. Riska Yulinta Viandini

Konsep dan Aplikasi Imunisasi. dr. Riska Yulinta Viandini Konsep dan Aplikasi Imunisasi dr. Riska Yulinta Viandini Pengertian Imunisasi Suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan bidang kesehatan menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN NOMOR RESPONDEN PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER Berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang utamanya menyerang saraf tepi, dan kulit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59 bulan (Kemenkes RI, 2015: 121). Pada usia ini, balita masih sangat rentan terhadap berbagai

Lebih terperinci

Volume 3 No. 1 Maret 2012 ISSN : SURVEI KELENGKAPAN IMUNISASI PADA BAYI UMUR 1-12 BULAN DI DESA PANCUR MAYONG JEPARA INTISARI

Volume 3 No. 1 Maret 2012 ISSN : SURVEI KELENGKAPAN IMUNISASI PADA BAYI UMUR 1-12 BULAN DI DESA PANCUR MAYONG JEPARA INTISARI SURVEI KELENGKAPAN IMUNISASI PADA BAYI UMUR 1-12 BULAN DI DESA PANCUR MAYONG JEPARA Devi Rosita 1, dan Yayuk Norazizah 2 INTISARI Pada saat ini imunisasi sendiri sudah berkembang cukup pesat, ini terbukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. ISPA dapat diklasifikasikan menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit campak merupakan salah satu penyebab kematian pada anak-anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Pada tahun 2005 terdapat 345.000 kematian di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI Tuberkulosis A.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini ditemukan pertama kali oleh Robert

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN 1 VIRUS HEPATITIS B Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage Oleh AROBIYANA G0C015009 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNUVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru. Penyebaran penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. efektif untuk bayi dari segi biaya (Wahab, 2000).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. efektif untuk bayi dari segi biaya (Wahab, 2000). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Imunisasi Dasar Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit serius yang paling efektif untuk bayi dari segi biaya (Wahab, 2000). Imunisasi dasar adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman penyebab penyakit Tuberkulosis yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun

Lebih terperinci

Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug :26

Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug :26 Tentang Penyakit SIPILIS dan IMPOTEN...!!! Posted by AaZ - 12 Aug 2009 19:26 1. SIFILIS Sifilis adalah penyakit kelamin yang bersifat kronis dan menahun walaupun frekuensi penyakit ini mulai menurun, tapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sebagian individu yang unik dan mempunyai. kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya. Kebutuhan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sebagian individu yang unik dan mempunyai. kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya. Kebutuhan tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan sebagian individu yang unik dan mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap perkembangannya. Kebutuhan tersebut dapat meliputi kebutuhan fisiologis seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan dibidang kesehatan (Depkes, 2007). masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya Sustainable Development

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan dibidang kesehatan (Depkes, 2007). masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya Sustainable Development BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan dibidang kesehatan adalah mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Pembangunan kesehatan menitik beratkan pada program-program yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan, sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium

Lebih terperinci

Tujuan 1. Melakukan diagnosis dan diagnosis banding difteria beserta komplikasinya

Tujuan 1. Melakukan diagnosis dan diagnosis banding difteria beserta komplikasinya 99 Difteria Waktu Pencapaian kompetensi Sesi di dalam kelas Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Sesi praktik dan pencapaian kompetensi : 2 X 50 menit (classroom session) : 3 X 50 menit (coaching session)

Lebih terperinci

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN PENDAHULUAN Seorang ibu akan membawa anaknya ke fasilitas kesehatan jika ada suatu masalah atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit saluran pernapasan akut yang mengenai saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang disebabkan oleh agen infeksius disebut infeksi saluran pernapasan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat. (1) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia Sehat 2015 telah dicanangkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mempunyai misi yang sangat ideal, yaitu masyarakat Indonesia penduduknya hidup dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan di negara berkembang dengan prevalensi 91% pada pasien anak (Pudjiadi et al., 2009). Demam tifoid merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencegah tubuh dari penularan penyakit infeksi. Penyakit infeksi. adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme

BAB I PENDAHULUAN. mencegah tubuh dari penularan penyakit infeksi. Penyakit infeksi. adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Imunisasi merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencegah tubuh dari penularan penyakit infeksi. Penyakit infeksi adalah suatu penyakit yang disebabkan

Lebih terperinci

Lalu, kekebalan seperti apa yang dimiliki bayi di bulan-bulan pertamanya?

Lalu, kekebalan seperti apa yang dimiliki bayi di bulan-bulan pertamanya? Apa sih manfaat imunisasi? Dan kapan harus diberikan? Agar ibu tidak salah kaprah, silahkan simak tanya jawab seputar imunisasi dibawah ini. Mengapa anak perlu imunisasi? Karena usia anak-anak merupakan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID

ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM TIFOID Definisi: Typhoid fever ( Demam Tifoid ) adalah suatu penyakit umum yang menimbulkan gejala gejala sistemik berupa kenaikan suhu dan kemungkinan penurunan kesadaran. Etiologi

Lebih terperinci

Tonsilofaringitis Akut

Tonsilofaringitis Akut Tonsilofaringitis Akut Faringitis merupaka salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan derajat beratnya penyakit. Tonsilofaringitis

Lebih terperinci