ISSN 1410-1939 PERKEMBANGAN PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DARI EKSPLAN ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA [THE DEVELOPMENT OF BANANA (Musa sp.) CV. RAJA NANGKA VIA TISSUE CULTURE USING SUCKER AND FLORAL MERISTEM EXPLANTS] Rainiyati, Dede Martino, Gusniwati dan Jasminarni Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 Abstract An investigation to study the in vitro growth and development of banana cv. Raja Nangka from sucker and floral meristem explants had been conducted at the Plant Biotechnology Laboratory, Agricultural Faculty the University of Jambi from April through to July 2005. This study used completely randomised design, and consisted of two trials: shoot multiplication using BAP (3, 4, and 5 mg L -1 ) in combination with IAA (0, 0.1 and 0.2 mg L -1 ), and root induction using BAP (0, 0.1 and 0.2 mg L -1 ) in combination with IBA (2, 2.5 and 3 mg L - 1 ). Each combination consisted of 10 replicates, and each experimental unit consisted of one explant per culture flask. The results indicated that explant from sucker regenerated shoots within 2 weeks after culture initiation, while explant from floral meristem took longer time to regenerate shoots, i.e. Two months after culture initiation. Key words: in vitro culture, plant biotechnology, plant growth regulator, auxin, cytokinin. PENDAHULUAN Tanaman pisang komersil yang dibudidayakan hingga saat ini adalah triploid (3n) dan tidak mampu menghasilkan biji atau partenokarpi, walaupun ada juga yang diploid dan tidak berbiji seperti pisang mas. Oleh karena itu pengembangbiakan pisang hanya dilakukan secara vegetatif (tanpa perkawinan) dengan anakan dan kultur jaringan (Sunarjono, 2002). Kultur jaringan merupakan cara pembiakan vegetatif yang cepat dan secara genetik sifat-sifat tanaman anak yan gdihasilkan akan sama atau identik dengan induknya. Dalam teknik kultur jaringan yang perlu mendapat perhatian adalah komposisi media kultur dan zat pengatur tumbuh yang tepat serta sumber eksplan yang digunakan untuk menghasilkan plantlet di samping faktor lainnya yaitu cahaya, suhu dan kelembaban. Zat pengatur tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan eksplan di dalam kultur. Pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur in vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh pada media dengan hormon endogen yang terdapat dalam eksplan (George dan Sherrington, 1984). Menurut Gunawan (1987) penambahan zat pengatur tumbuh eksogen akan mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Perimbangan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang sesuai akan sangat besar pengaruhnya untuk menghasilkan plantlet. Auksin umumnya berpengaruh terhadap pemanjangan sel, pembentukan kalus dan akar adventif serta menghambat pembentukan tunas aksilar. Dalam konsentrasi rendah auksin akan memacu pembentukan akar adventif, sedangkan dalam konsentrasi tinggi mendorong pembentukan kalus (Pierik, 1997). Auksin yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah IAA (Indoleacetic Acid), 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid), IBA (Indolebutyric Acid) dan NAA (Naphtaleneacetic Acid) (George dan Sherrington, 1984). Sitokinin berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik, 1997). Sitokinin juga menghambat perombakan protein dan klorofil dan menghambat penuaan (senescence) (Wattimena, 1987). Sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah BAP (Benzylamino Purine) dan kinetin (George dan Sherrington, 1984). Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin pada tanaman pisang telah banyak dilakukan. Damasco dan Barba (1984) melakukan penelitian terhadap pisang Saba dengan eksplan anakan diperoleh sekitar 200.000 bibit dalam waktu 10 bulan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah 10 mg L -1 35
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari Juni 2007 BAP dan 10 mg L -1 kinetin. Selanjutnya Hwang (1984) memperoleh 5-10 tunas pisang Cavendish dalam waktu 6-8 minggu pada media dengan 2 mg L -1 IAA + 2 mg L -1 kinetin dan 160 mg L -1 adenin sulfat. Respon dari beberapa jenis pisang pada media yang sama memberikan hasil yang berbeda-beda (Damasco dan Barba, 1984; Banerjee dan de Langhe, 1985). Vuylsteke dan de Langhe (1984) menyatakan tipe genom pisang mempengaruhi laju perbanyakan. Dari empat genom yang ditanam pada media MS yang mengandung 10 mg L -1 BAP, daya multiplikasi tertinggi terjadi pada genom ABB kemudian diikuti AAB, AAA dan AA. Hasil penelitian Sukma (1994) menunjukkan daya multiplikasi pisang tertinggi diperoleh pada pisang Ambon (AAA), diikuti oleh pisang barangan (AAA), pisang raja bulu (AAB dan pisang mas (AA) pada media yang mengandung 10,5 mg L -1 BAP + 3 mg L -1 IAA. Penelitian yang dilakukan Rubbyanto (1992) pada pisang mas menunjukkan bahwa perangsangan multiplikasi lebih baik pada perlakuan BAP 5mg L -1 + IBA 1 mg L -1 dengan menghasilkan 5,2 tunas dalam waktu 5 minggu. Wijayanti (1995) mendapatkan 4,4 tunas pisang Ambon dalam waktu 8 minggu pada perlakukan 10 mg L -1 BAP dan perlakuan 5 mg L -1 BAP + 5 mg L -1 2-IP, di mana masing-masing perlakuan ditambahkan 0 mg L -1 NAA. Kebutuhan zat pengatur tumbuh bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman pisang sangat tergantung dari sifat genetik dan tingkat konsentrasi auksin dan sitokinin yang diberikan. Jenis pisang yang berbeda akan memberikan respon pertumbuhan yang berbeda tanggapannya terhadap keseimbangan auksin dan sitokinin yang diberikan pada media. Untuk itu perlu dicari metoda perbanyakan pisang raja nangka yang efektif dengan cara mencoba kombinasi beberapa konsentrasi auksin dan sitokinin berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada. Hasil yang diharapkan dari percobaan ini adalah didapatkan metoda perbanyakan pisang raja nangka yang efektif dengan ditemukannya kombinasi auksin dan sitokinin yang terbaik untuk menghasilkan plantlet pisang raja nangka yang berasal dari dua sumber eksplan anakan dan meristem bunga. BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jambi selama 7 bulan, mulai bulan April sampai dengan bulan Oktober 2005. Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan adalah tunas in vitro pisang Raja Nangka yang diinisiasi dari anakan muda yang sehat dan segar dengan tinggi 5-20 cm dan meristem bunga pisang. Tunas ditanam berukuran lebih-kurang 1,5 cm. Setiap botol kultur berisi 1 eksplan. Bahan kimia yang digunakan adalah bahan dasar media MS yang dimodifikasi dan bahan-bahan tambahan. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah BAP, kinetin, NAA dan IAA yang konsentrasinya sesuai dengan perlakuan. Sebagai bahan pemadat digunakan agar 7 g L -1, sedangkan untuk sterilisasi alat digunakan alkohol 95%. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan untuk pembuatan media, yaitu timbangan analitik, pipet, labu takar, pengaduk gelas (sudip), ph meter dan otoklaf. Untuk tempat media digunakan botol biakan berukuran 100-mL dengan penutup aluminium foil. Peralatan yang digunakan pada saat penanaman adalah kotak pindah (laminar air flow cabinet), petridish, alat diseksi (pinset, skalpel dan gunting) hand sprayer, lampu spiritus, rak kultur dan lampu neon. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk multiplikasi tunas, sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk perakaran. Percobaan pertama adalah percobaan faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari tiga faktor. Faktor pertama adalah sumber eksplan: anakan 1 dan anakan 2, faktor ke-dua adalah beberapa konsentrasi BAP (3, 4 dan 5 mg L -1 ) dan faktor ketiga adalah beberapa konsentrasi IAA (0, 0,1 dan 0,2 mg L -1 ). Percobaan tahap ke-dua adalah lanjutan tahap pertama juga percobaan faktorial yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari tiga faktor. Faktor pertama adalah sumber eksplan: anakan 1 dan anakan 2, faktor ke-dua adalah beberapa konsentrasi BAP (0, 0,1, 0.2 mg L -1 ) dan faktor ketiga adalah beberapa konsentrasi IBA (2, 2,5 dan 3 mg L -1 ). Masing-masing set percobaan terdiri dari 24 kombinasi perlakuan dengan masing-masing unit percobaan ini terdiri dari 1 eksplan per botol di mana setiap unit percobaan dilakukan 10 ulangan. Peubah yang diamati dalam 2 tahap percobaan ini adalah persentase tunas yang terbentuk, persentase tunas yang berakar, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah tunas, daun dan akar yang terbentuk setiap minggu. Data yang dikumpulkan selama penelitian berlangsung dianalisis menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan (DNMRT) pada taraf α = 5%. 36
Rainiyati et al.: Kultur Jaringan Pisang Raja Nangka. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan menghasilkan tunas dua minggu setelah ditanam pada media perlakuan. Tunas yang terbentuk akan terus bertambah baik ukuran maupun jumlahnya. Menurut Taji et al. (2002) bilamana pertumbuhan diukur secara terus-menerus berdasarkan waktu, maka akan diperoleh kurva berbentuk huruf S. Bentuk kurva pertumbuhan demikian dapat diperoleh dari pertumbuhan sel-sel tunggal, organ tanaman atau keseluruhan tanaman. Pada penelitian ini pembentukan tunas pada masing-masing eksplan berbeda-beda, baik dilihat dari waktu terbentuknya dan jumlah tunas yang terbentuk. Adanya perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi dari masing-masing kombinasi zat pengatur tumbuh yang diberikan. Untuk lebih jelas entuk kurva dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat pertambahan jumlah tunas setiap dua minggu pada perlakuan tanpa IAA dan pemberian BAP 4 mg L -1 menghasilkan jumlah tunas rata-rata setiap minggunya semakin meningkat sampai pada minggu ke-12 adalah 9,7 berbeda dengan perlakuan lainnya. Tetapi jumlah akar yang terbentuk sampai akhir penelitian hanya 1,3 (Tabel 1). Pemberian sitokinin (BAP) dari luar diduga hanya mampu meningkatkan jumlah tunas tetapi tidak mampu untuk mengaktifkan auksin endogen dari eksplan sehingga akar yang terbentuk hanya sedikit. Sementara perlakuan pemberian IAA 0,1 mg L -1 dan pemberian BAP 4,0 mg L -1 menghasilkan jumlah tunas 7,0 dan jumlah akar 11,3. Adanya penambahan auksin sebesar 0,1 mg L -1 maka ausin total meningkat demikian juga auksin endogen pada eksplan, sehingga mampu mengatasi pengaruh BAP yang tinggi. Menurut Wattimena (1987) auksin disintesis pada bagian meristem apikal, sehingga peningkatan jumlah tunas meningkatkan sintesis auksin endogen. Sedangkan pada perlakuan pemberian IAA 0,2 mg L -1 dan BAP 5 mg L -1 menghasilkan jumlah tunas dan akar hanya 1 sampai akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian auksin dan sitokinin konsentrasi tinggi akan menekan laju pembentukan tunas atau akar pada eksplan. Pertambahan jumlah tunas 12 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 Pengukuran ke- I1B1 I2B1 I3B1 I1B2 I2B2 I3B2 I1B3 I2B3 I3B3 Gambar 1. Rata-rata pertambahan jumlah tunas pada eksplan pisang yang ditanam pada media dengan berbagai konsentrasi IAA dan BAP. Tabel 1. Rata-rata jumlah tunas dan jumlah akar pada eksplan pisang yang di tanam pada media perlakuan setelah berumur 3 bulan. Kombinasi perlakuan Jumlah tunas Kombinasi perlakuan Jumlah akar IAA 0,2 mg L -1 + BAP 5,0 mg L -1 1,0 a IAA 0,0 mg L -1 + BAP 4,0 mg L -1 1,3 a IAA 0,1 mg L -1 + BAP 5,0 mg L -1 1,3 a IAA 0,1 mg L -1 + BAP 5,0 mg L -1 3,3 a IAA 0,0 mg L -1 + BAP 3,0 mg L -1 2,0 a IAA 0,0 mg L -1 + BAP 3,0 mg L -1 3,7 a IAA 0,0 mg L -1 + BAP 5,0 mg L -1 2,3 a IAA 0,2 mg L -1 + BAP 5,0 mg L -1 3,7 a IAA 0,1 mg L -1 + BAP 3,0 mg L -1 3,3 a IAA 0,0 mg L -1 + BAP 5,0 mg L -1 4,0 a IAA 0,2 mg L -1 + BAP 3,0 mg L -1 3,7 ab IAA 0,2 mg L -1 + BAP 4,0 mg L -1 5,7 ab IAA 0,2 mg L -1 + BAP 4,0 mg L -1 6,3 b IAA 0,1 mg L -1 + BAP 3,0 mg L -1 7,3 b IAA 0,1 mg L -1 + BAP 4,0 mg L -1 7,0 bc IAA 0,2 mg L -1 + BAP 3,0 mg L -1 11,0 c IAA 0,0 mg L -1 + BAP 4,0 mg L -1 9,7 c IAA 0,1 mg L -1 + BAP 4,0 mg L -1 11,3 c Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf α = 5%. 37
Jurnal Agronomi 11(1): Rata-rata jumlah tunas yang terbentuk pada kombinasi perlakuan tanpa IAA dan pemberian BAP 4 mg L -1 dua minggu setelah tanam adalah 3 tunas sedangkan pada perlakuan lainnya 1-1,3 tunas. Pertambahan jumlah tunas semakin meningkat setiap minggunya sehingga terbentuk multiplikasi tunas setelah minggu ke-12. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin dengan konsentrasi 4 mg L -1 pada media sudah cukup untuk pembentukan multiplikasi tunas namun akar tidak terbentuk. Sitokinin biasanya tidak digunakan pada tahap perakaran karena aktifitasnya dapat menghambat pembentukan akar dan menghalangi pertumbuhan akar, serta menghambat pengaruh auksin terhadap inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies tertentu (George dan Sherrington, 1984). Menurut Bhojwani dan Rhazdan (1983), sitokinin (BAP) sangat efektif dalam merangsang pembentukan tunas. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin, jumlah tunas yang terbentuk semakin bertambah tetapi pembentukan masing-masing tunas terhambat. Pada penelitian ini peningkatan jumlah sitokinin menjadi 5 mg L -1 setelah minggu ke-12 tidak terjadi penambahan jumlah tunas. Perkembangan jumlah tunas pada perlakuan tanpa IAA dan BAP 4 mg L -1 dari umur 1 minggu setelah tanam sampai terbentuk multiplikasi tunas seperti yang terlihat pada Gambar 2. Multiplikasi tunas mulai terbentuk setelah dua minggu tanaman dipindahkan ke media pertunasan. Multiplikasi tunas terbentuk karena beberapa faktor yang mendukung yaitu eksplan dan lingkungan tumbuh (suhu, cahaya dan zat pengatur tumbuh). Sedangkan nodul yang terbentuk dari eksplan bunga akan memperlihatkan terjadinya multiplikasi nodul setelah 4 bulan pada medium pertunasan. Tunas yang telah terbentuk dari eksplan anakan setelah berumur 2 bulan dipindahkan ke media perakaran untuk membentuk plantlet. Perakaran terbentuk setelah 2 minggu tunas dipindahkan ke media perakaran dan dipelihara sampai plantlet siap untuk diaklimatisasi. Pembentukan akar ini dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh auksin dengan konsentrasi tinggi yaitu IBA 2 mg L -1 dan sitokinin dengan konsentrasi rendah yaitu 0,5 mg L -1 BAP. Adanya perimbangan zat pengatur tumbuh ini pada media menghasilkan sistem perakaran yang baik pada kultur yang berasal dari anakan Untuk melihat lebih jauh pengaruh kombinasi perlakuan terhadap jumlah tunas dan akar dapat terlihat pada Tabel 1. Di sini jelas terlihat bahwa perimbangan pemberian auksin dan sitokinin pada eksplan pisang sangatlah menentukan. Kecenderungan pemberian auksin yang tinggi (IAA 0,2 mg L-1 ) dan sitokinin yang rendah (BAP 3 mg L-1 ) eksplan akan menghasilkan tunas sedikit dan akar yang banyak, namun peningkatan sitokinin yang tinggi 5 mg L -1 bahkan menekan pembentukan tunas. Pada penelitian ini kombinasi perlakuan yang terbaik untuk menghasilkan plantlet pisang adalah pemberian IAA 0,1 mg L -1 + BAP 4 mg L -1 yang menghasilkan jumlah tunas 7 dan jumlah akar 11,3. Pemberian BA dengan konsentrasi tinggi (5 mg L-1 ) pada media memacu sitokinin endogen dari eksplan dalam merangsang pembentukan tunas dan memacu pembentukan multiplikasi tunas. Menurut Bhojwani dan Rhazdan (1983), sitokinin (BAP) sangat efektif dalam merangsang pembentukan tunas, semakin tinggi konsentrasi sitokinin jumlah tunas yang terbentuk semakin bertambah tetapi pembentukan masing-masing tunas terhambat. Pemberian konsentrasi BAP tinggi ini menghambat terbentuknya akar. Terbentuknya akar maka pada media perakaran diberikan auksin (IBA) dengan konsentrasi tinggi 2,5 mg L -1, sehingga jumlah auksin total eksplan meningkat dengan penambahan tersebut. Auksin endogen hasil sintesis tunas juga meningkat sehingga mampu mengatasi pengaruh BAP. Wattimena (1987) menyatakan auksin disintesis pada bagian meristem apikal, sehingga peningkatan jumlah tunas meningkatkan sintesis auksin endogen. Pengaruh kombinasi perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2. Tunas yang terbentuk dari anakan umur 1 minggu (A), 2 minggu (B) dan 3 bulan (C) setelah dipindahkan ke media perlakuan. Eksplan yang berasal dari bunga pisang pada awalnya membentuk nodul-nodul yang embriogenik, setelah 6 bulan pada media perakaran terjadi multiplikasi nodul, pembentukan tunas yang kemudian diikuti pembentukan akar (Gambar 4). Menurut Wattimena et al. (1992). Nodul merupakan sekelompok sel pada tempat tertentu dalam kalus yang menyerupai kambium, yang sering juga disebut meristemoid. Hal ini menungkinkan sel aktif membelah. Multiplikasi diduga berasal dari sel peri-peri yang membelah membentuk nodul baru, namun secara pasti belum dipelajari lebih jauh asal multiplikasi. 38
Rainiyati et al.: Kultur Jaringan Pisang Raja Nangka. Tunas tersebut muncul dari nodul-nodul yang embriogenik. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membentuk tunas pada nodul tersebut diduga karena perimbangan zat pengatur tumbuh yang ada pada media belum tepat sehingga belum mampu untuk memacu pertumbuhan tunas dengan cepat. Gambar 3. Tunas yang terbentuk dari anakan 2 bulan setelah dipindahkan ke media perlakuan. Gambar 4. Tunas yang terbentuk pada eksplan bunga pisang setelah 4 bulan pada medium pertunasan (A) dan 6 bulan (B) pada medium pengakaran. KESIMPULAN 1. Eksplan yang berasal dari anakan membentuk tunas setelah 2 minggu dipindahkan ke media MS, sedangkan eksplan yang berasal dari meristem bunga pisang tidak langsung menghasilkan tunas tetapi membentuk nodul-nodul yang embriogenik 2. Multiplikasi tunas pada eksplan yang berasal dari anakan akan terjadi setelah tanaman 2 bulan dipindahkan ke media pertunasan. Multiplikasi nodul pada eksplan yang berasal dari bunga terjadi 4 bulan setelah dipindahkan ke media pertunasan, sedangkan tunas baru muncul setelah tanaman berumur 6 bulan. DAFTAR PUSTAKA Banerjee, N. dan E. de Langhe. 1985. A tissue culture technique for rapid clonal propagation and storage under minimal growth condition of Musa (banana and plantain). Plant Cell Reports 4: 351-354. Bhojwani, S. S. dan M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice. Development in Crop Science 5. Elsevier Press, Amsterdam. Damasco, O. P. dan R. C. Barba. 1984. In vitro culture of Saba Banana (Musa sp. cv. Saba (BBB)). Philosophy of Agriculture 67: 351-358. George, E. F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Limited, England. Gunawan, L. W. 1987. Teknik kultur jaringan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hwang, S. C. 1984. Cultivation of banana using plantlet from meristem culture. Horticultural Science 19: 231-233. Pierik, R. L. M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plants. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands. Rubbyanto. 1992. Pengaruh Beberapa Macam Sitokinin terhadap Pertumbuhan Pucuk Pisang Mas dalam Kultur In Vitro. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukma, D. 1994. Pengaruh IAA dan BAP terhadap Perbanyakan Tunas Mikro Pisang Mas (Musa accuminata L. AA Group), Ambon dan Barangan (Musa accuminata L. AAA Group), dan Raja Bulu (Musa accuminata L. AAB Group) secara in vitro. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta. Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan. 2002. In Vitro Plant Breeding. Haworth Press, Inc., New York. Vuylsteke, D. dan E. de Langhe. 1984. Feasibility of in vitro propagation of bananas and plantains. Tropical Agriculture 62: 323-328. Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, N. A. Mattjik, E. Sjamsudin, N. M. A. Wiendi dan Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wijayanti, N. 1995. Pengaruh Kombinasi BAP dan 2-iP terhadap Multiplikasi Tunas Pisang Ambon Kuning [Musa acuminata (AAA grup)] melalui Kultur In Vitro. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. 39
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari Juni 2007 40