BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

FORMULASI DAN EVALUASI MIKROEMULSI KETOKONAZOL DENGAN BASIS MINYAK ZAITUN SKRIPSI

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Mikroorganisme Uji Propionibacterium acnes (koleksi Laboratorium Mikrobiologi FKUI Jakarta)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelarutan Ibuprofen dalam Minyak, Surfaktan, dan Kosurfaktan Formulasi Self-nanoemulsifying Drug Delivery System

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

FORMULASI DAN UJI STABILITAS FISIK KRIM SUSU KUDA SUMBAWA DENGAN EMULGATOR NONIONIK DAN ANIONIK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

Kode Bahan Nama Bahan Kegunaan Per wadah Per bets

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan dari formula Hair Tonic sari lidah buaya (Aloe vera L.) dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. Landasan Teori 1. Tetrahidrokurkumin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian ini dipilih karena tidak menyebabkan iritasi dan toksisitas (Rowe,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. turunan asam amino fenil alanin yaitu 2-acetyl-1-pyrroline (Faras et al., 2014).

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Alat-alat gelas, Neraca Analitik (Adam AFA-210 LC), Viskometer

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Formulasi Sediaan Mikroemulsi Ekstrak Beras Hitam (Oryza sativa L.) dan Evaluasi Efektivitasnya sebagai Antikerut

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Surat keterangan hasil identifikasi tumbuhan jahe merah

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT PISANG SEBAGAI SABUN HERBAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ultra Violet/UV (λ nm), sinar tampak (λ nm) dan sinar

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Hewan Percobaan 3 ekor Kelinci albino galur New Zealand dengan usia ± 3 bulan, bobot minimal 2,5 kg, dan jenis kelamin jantan.

FORMULASI LOTION EKSTRAK BUAH RASPBERRY(Rubus rosifolius) DENGAN VARIASI KONSENTRASI TRIETANOLAMIN SEBAGAI EMULGATOR SERTA UJI HEDONIK TERHADAP LOTION

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ketoprofen menjadi pilihan dalam terapi inflamasi sendi, seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Minyak canola (Brasicca napus L.) adalahminyak yang berasal dari biji

BAB I PENDAHULUAN. Buah kelapa merupakan salah satu bahan pangan yang banyak. digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan akan produk kelapa bagi

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.3 Alasan Penggunaan Bahan 1) Tween 80 dan Span 80 - Tween 80 dan span 80 digunakan sebagai emulgator nonionik dan digunakan untuk sediaan krim

LISA AYU LARASATI FORMULASI MIKROEMULSI DL-ALFA TOKOFEROL ASETAT DENGAN BASIS MINYAK KELAPA MURNI DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1. Formula sediaan salep dengan golongan basis salep hidrokarbon atau berlemak

GEL & AEROSOL Perbedaan gel dan jeli Formulasi dan evaluasi Jenis aerosol kosmetik Formulasi Aerosol Contoh-contoh formula

Pembuatan Basis Krim VCO (Virgin Coconut Oil) Menggunakan Microwave Oven

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Formulasi dan Evaluasi Mikroemulsi Minyak dalam Air Betametason 17-Valerat

BAB III METODE PENELITIAN. Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan dan Hasil Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pot III : Pot plastik tertutup tanpa diberi silika gel. Pot IV : Pot plastik tertutup dengan diberi silika gel

Determinasi tanaman pisang raja (Musa paradisiaca L.) dilakukan di. Universitas Sebelas Maret. Tujuan dari determinasi tanaman ini adalah untuk

FORMULASI SEDIAAN SEMISOLIDA

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA I

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Ponia Andriyanti 1, Dwi Indriati 2, Sri Wardatun 3 Program Studi Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan ABSTRAK

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASETIKA I

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Selama radiasi sinar UV terjadi pembentukan Reactive Oxygen Species

Gambar 4.1 Hasil Formulasi Nanopartikel Polimer PLGA Sebagai Pembawa Deksametason Natrium Fosfat.

I. PENDAHULUAN. pertahanan tubuh terhadap infeksi dan efek radikal bebas. Radikal bebas dapat. bebas dapat dicegah oleh antioksidan (Nova, 2012).

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 19 Juni 2012 pukul WITA

Lampiran 1. Hasil identifikasi bunga lawang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

HUBUNGAN PERBEDAAN KONSENTRASI EKSTRAK KUNYIT PUTIH (Curcuma mangga Val) TERHADAP SIFAT FISIK LOTION

SUSPENSI DAN EMULSI Mata Kuliah : Preskripsi (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B., S.Farm., M.Farm., Apt.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

4 Pembahasan Degumming

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis tumbuhan dari

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. L.) yang diperoleh dari Pasar Sederhana, Kelurahan. Cipaganti, Kecamatan Coblong dan Pasar Ciroyom, Kelurahan Ciroyom,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nama Sediaan Kosmetika Tujuan Pemakaian II. Karakteristik Sediaan

PEMBAHASAN. I. Definisi

MONOGRAFI. B. Bahan Tambahan PROPYLEN GLYCOL. : Metil etilen glikol Rumus kimia : C 3 H 8 O 2

Transkripsi:

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa pada sifatnya yang transparan, viskositas rendah, dan pada dasarnya stabil secara termodinamika (Swarbrick, 1995). Pada penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah Tween 80. Tween 80 merupakan surfaktan nonionik yang dikenal secara luas penggunaannya untuk sediaan topikal dan dikenal sebagai turunan polioksietilen yang tidak toksik dan tidak mengiritasi kulit. Gugus hidrofilik pada senyawa ini adalah polieter yang juga dikenal sebagai gugus polioksietilen yang merupakan polimer etilen oksida. Golongan surfaktan nonionik dapat meminimalisir terjadinya gangguan keseimbangan pada sistem mikroemulsi karena sifatnya yang tidak memiliki muatan dapat mencegah terjadinya fluktuasi muatan pada sistem mikroemulsi. Untuk membentuk sistem mikroemulsi minyak dalam air dibutuhkan surfaktan yang memiliki rentang HLB 9-20, dan Tween 80 cocok digunakan karena memiliki HLB 15 (Rowe, 2003). Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak zaitun. Minyak zaitun dikenal luas pemakaiannya untuk penggunaan topikal karena selain dapat melembutkan kulit (moisturizer), minyak ini juga mengandung polifenol. Polifenol merupakan kelas antioksidan yang mengandung flavonoid dan katekin. Antioksidan membantu memperlambat proses penuaan. Selain itu senyawa fenol juga memiliki aktivitas antijamur dan anti bakteri, sehingga cocok untuk penggunaan topikal 2. Hal inilah yang mendasari penggunaan minyak zaitun dalam formulasi mikroemulsi ini. Kosurfaktan yang sering digunakan dalam mikroemulsi adalah alkohol rantai pendek dan dalam penelitian ini digunakan etanol 95% sebagai kosurfaktan karena selain dapat membantu kelarutan ketokonazol dalam sediaan, etanol juga dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi obat (penetrant enhancer). Selain itu juga digunakan gliserin yang 2 http://www.oliveoilsource.com/oliveoildr-skin.htm 24

25 dapat juga berfungsi sebagai kosurfaktan yang membantu menstabilkan sistem mikroemulsi yang telah terbentuk (Subramanian, 2005). Karakterisasi bahan merupakan langkah yang penting dalam formulasi untuk menjamin bahwa zat yang digunakan memiliki karakteristik yang sesuai dengan persyaratan monografinya. Ketokonazol yang digunakan dalam penelitian ini telah dikarakterisasi dan hasil karakterisasi menghasilkan data yang sesuai dengan monografi pada Farmakope Indonesia IV yaitu bahwa ketokonazol merupakan serbuk putih atau hampir putih yang tidak larut dalam air, larut dalam metanol, dan agak sukar larut dalam etanol, dan dari uji titik lebur diperoleh bahwa titik lebur ketokonazol yang digunakan dalam penelitian ini berada pada rentang 148 o C 151 o C. Selain ketokonazol, dilakukan juga identifikasi terhadap minyak zaitun yang digunakan. Hasil identifikasi tersebut adalah bilangan penyabunan 2,85, bilangan asam 0,35, bilangan iodium 133, dan indeks bias adalah 1,4521. Optimasi setiap tahapan dalam formulasi perlu dilakukan untuk memperoleh formula yang paling baik. Pertama-tama dilakukan penentuan jumlah surfaktan-kosurfaktan yang diperlukan untuk dapat membentuk sistem mikroemulsi. Penentuan jumlah Tween 80 dan etanol 95% diawali dengan penentuan perbandingan keduanya dalam sediaan mikroemulsi. Dari percobaan yang telah dilakukan terlihat bahwa sediaan mikroemulsi yang jernih dengan penggunaan Tween 80 paling sedikit adalah dengan perbandingan Tween 80 dan etanol 95% 4 : 1 (dapat dilihat pada Tabel 4.1). Tabel 4.1 Penentuan Perbandingan Tween 80-etanol 95% Tween 80 : etanol 95% 1 : 1 2 : 1 3 : 1 4 : 1 5 : 1 6 : 1 Mikroemulsi yang dihasilkan Putih susu Putih susu Putih kekuningan Jernih Jernih Jernih Setelah dilakukan penentuan perbandingan Tween 80 dan etanol dalam sediaan, kemudian dilakukan penentuan jumlah keduanya dalam sediaan. Dari penentuan yang telah dilakukan tersebut terdapat 3 formula yang menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih yaitu

26 Formula II, Formula III, dan Formula IV, dapat dilihat pada Tabel 4.2. Namun, formula yang selanjutnya dipilih untuk dikembangkan adalah Formula II karena kandungan surfaktan yang terdapat dalam formula tersebut paling sedikit diantara 3 formula yang lain, yaitu Tween 80 sebanyak 40% dan etanol 95% sebanyak 10% (total 50%). Pemilihan kandungan surfaktan yang paling sedikit dilakukan untuk meminimalisir terjadinya iritasi pada kulit. Tabel 4.2 Penentuan Jumlah Tween 80 dan Etanol 95% dalam Formula Bahan baku Formula (F) (b/b) I II III IV V Minyak zaitun 6,00 % 6,00 % 6,00 % 6,00 % 6,00 % Tween 80 36,00 % 40,00 % 44,00 % 48,00 % 52,00 % Etanol 95% 9,00 % 10,00 % 11,00 % 12,00 % 13,00 % Gliserin 32,66 % 29,33 % 26,00 % 22,67 % 19,33 % Aquadest 16,33 % 14,67 % 13,00 % 11,33 % 9,67 % Hasil keruh jernih jernih jernih keruh Setelah ditemukan jumlah surfaktan-kosurfaktan yang tepat, kemudian dilakukan penentuan terhadap jumlah minyak yang akan digunakan dalam pembuatan mikroemulsi. Tabel 4.3 Penentuan Jumlah Minyak Zaitun dalam Formula Bahan baku Formula (F) (b/b) II VI VII Minyak zaitun 6,00 % 7,00 % 10,00 % Tween 80 40,00 % 40,00 % 40,00 % Etanol 95% 10,00 % 10,00 % 10,00 % Gliserin 29,33 % 28,67 % 26,67 % Aquadest 14,67 % 14,33 % 13,33 % Hasil jernih keruh keruh Dengan jumlah surfaktan dan kosurfaktan sebanyak 50% dalam formula terlihat bahwa jumlah minyak yang dapat diakomodasi adalah 6%, sedangkan bila menggunakan minyak 7% dan 10% dihasilkan mikroemulsi yang keruh. Kemudian dilakukan penentuan lanjutan

27 terhadap jumlah emulgator yang terdapat dalam formula yaitu dengan menurunkan jumlah Tween 80 dari 40% hingga batas minimalnya. Tabel 4.4 Penurunan Jumlah Emulgator dari Formula II Bahan baku Formula (F) (b/b) II II A II B II C Minyak zaitun 6,00 % 6,00 % 6,00 % 6,00 % Tween 80 40,00 % 39,00 % 38,00 % 37,00 % Etanol 95% 10,00 % 9,75 % 9,50 % 9,25 % Gliserin 29,33 % 30,17 % 31,00 % 31,83 % Aquadest 14,67 % 15,08 % 15,50 % 15,92 % Hasil jernih jernih jernih keruh Formula II yang diperoleh dari optimasi sebelumnya dikembangkan lagi menjadi Formula II A, Formula II B, dan Formula II C dengan jumlah surfaktan yang semakin menurun. Dari hasil optimasi terlihat ada dua formula yang menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih yaitu Formula II A dengan kandungan Tween 80 sebanyak 39% dan Formula II B dengan kandungan Tween 80 sebanyak 38%. Tween 80 yang digunakan adalah dalam jumlah yang cukup besar, namun penggunaan Tween 80 sebanyak 38% masih diperbolehkan (Subramanian, 2005). Pada formula yang diperoleh dari hasil optimasi kemudian akan ditambahkan ketokonazol sebagai zat aktif. Ketokonazol merupakan senyawa hidrofobik yang tidak larut dalam air sehingga pemilihan ketokonazol cocok untuk dijadikan model zat aktif dalam formulasi mikroemulsi topikal ini. Dalam pembuatan sediaan mikroemulsi, ketokonazol dilarutkan terlebih dahulu di dalam etanol untuk dapat memaksimalkan kelarutannya dalam sediaan. Sebelum metode ini dipilih, ketokonazol telah dicoba dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol, gliserin, minyak zaitun, dan Tween 80. Namun, ketokonazol hanya dapat larut pada etanol. Oleh karena itu dipilih cara untuk melarutkan ketokonazol terlebih dahulu di dalam etanol. Jumlah ketokonazol yang ditambahkan ke dalam formula basis mikroemulsi disesuaikan dengan data kelarutannya dalam sejumlah etanol yang digunakan.

28 Menurut literatur, data kelarutan ketokonazol dalam etanol adalah 1 gram ketokonazol larut dalam 30-100 ml etanol. Dari hasil percobaan uji kelarutan ketokonazol dalam etanol, diperoleh hasil 400 mg ketokonazol larut dalam 9,5 g etanol 95% (9,5 g etanol 95% setara dengan 11,87 ml etanol 95% BJ etanol = 0,8). Dapat disimpulkan bahwa kelarutan ketokonazol dalam etanol berdasarkan percobaan adalah 1 : 30,48. Pada sediaan yang beredar di pasaran, konsentrasi ketokonazol dalam sediaan umumnya adalah 1%. Dilihat dari kelarutan dalam etanol dan jumlah etanol yang digunakan dalam sediaan, jumlah ketokonazol yang dapat dilarutkan dalam sejumlah etanol yang digunakan adalah 0,4%. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan konsentrasi lazim ketokonazol yang beredar di pasaran (1%). Beberapa hal telah dilakukan dalam penelitian ini untuk meningkatkan jumlah ketokonazol dalam sediaan yaitu dengan cara menambahkan ketokonazol ke dalam sistem mikroemulsi yang telah terbentuk. Namun, hal ini tidak dapat meningkatkan kelarutan ketokonazol dalam sistem, karena ternyata setelah diaduk ketokonazol yang ditambahkan tidak larut sempurna dalam sistem yang telah dibuat. Dari hal ini disimpulkan bahwa ketokonazol memiliki kelarutan maksimal pada etanol 95%, sehingga dalam pembuatannya ketokonazol dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol 95%. Evaluasi sediaan yang dilakukan meliputi evaluasi ph, viskositas, evaluasi stabilita sediaan yaitu freeze-thaw, dan penentuan ukuran globul mikroemulsi. Formula yang dipilih untuk dievaluasi adalah Formula II dan Formula II B, dan masing-masing dibandingkan terhadap basisnya. Tabel 4.5 Formula yang dievaluasi Bahan baku Formula (F) (b/b) Basis II II Basis II B II B Ketokonazol - 0,40 % - 0,40 % Minyak zaitun 6,00 % 6,00 % 6,00 % 6,00 % Tween 80 40,00 % 40,00 % 38,00 % 38,00 % Etanol 95% 10,00 % 10,00 % 9,50 % 9,50 % Gliserin 29,33 % 29,33 % 31,00 % 31,00 % Aquadest 14,67 % 14,67 % 15,50 % 15,50 % Hasil pengukuran ph menunjukkan bahwa ph sediaan tetap stabil dari setiap pengukuran. ph yang diperoleh pada pengukuran berada pada rentang 6,9 7,2. Nilai yang diperoleh ini

29 dapat disebabkan karena ph Tween 80 itu sendiri yang berada pada rentang 6,0 8,0 (Rowe, 3003). Tabel 4.6 Data Pengukuran ph Formula II dan Formula II B Dibandingkan terhadap Basis Hari ph ke- F basis II F II F basis II B F II B 1 6,91 7,09 ± 0,05 7,10 7,17 ± 0,07 4 7,12 7,15 ± 0,05 6,98 7,10 ± 0,14 7 7,10 7,09 ± 0,04 7,10 7,13 ± 0,05 10 7,02 7,05 ± 0,06 7,05 7,11 ± 0,11 13 7,22 7,20 ± 0,09 7,14 7,08 ± 0,08 16 6,96 7,08 ± 0,12 7,08 7,03 ± 0,10 Keterangan : nilai ph pada F II dan F II B adalah hasil rata-rata dari 3 bets sediaan; nilai ph F basis II dan F basis II B adalah nilai dari 1 bets sediaan ph 8 7 6 5 4 3 2 1 0 3 6 9 12 15 18 Gambar 4.1 Grafik profil ph Formula II dibandingkan dengan basisnya. ( ) Formula II; ( ) Formula basis

30 ph 8 7 6 5 4 3 2 1 0 3 6 9 12 15 18 Gambar 4.2 Grafik profil ph Formula II B dibandingkan dengan basisnya. ( ) Formula II B ; ( ) Formula basis ph 8 7 6 5 4 3 2 1 0 5 10 15 20 Gambar 4.3 Grafik profil perbandingan ph Formula II dengan Formula II B. ( ) Formula II; ( ) Formula II B Dari hasil pengukuran viskositas, terlihat bahwa viskositas sediaan yang semakin meningkat dari tiap kali pengukuran. Meningkatnya viskositas dari sediaan mikroemulsi diduga disebabkan karena etanol 95% yang terkandung dalam sediaan lama kelamaan menguap pada proses penyimpanan sehingga sediaan menjadi semakin kental. Selain itu, wadah yang digunakan adalah pot plastik yang permeabel terhadap lembab.

31 Tabel 4.7 Data Pengukuran Viskositas F II dan F II B Dibandingkan Terhadap Basis Hari Viskositas (cp) ke- F basis II F II F basis II B F II B 1 347,50 356,30 ± 31,20 340,00 473,00 ± 23,30 4 570,00 552,00 ± 51,20 486,00 537,50 ± 56,60 7 765,00 645,60 ± 20,70 562,00 618,00 ± 16,60 10 895,00 822,00 ± 136,30 758,00 817,00 ± 19,60 13 1085,00 995,00 ± 16,10 801,00 880,00 ± 31,30 16 1262,00 1188,30 ± 43,10 1225,00 1146,00 ± 45,20 Keterangan : nilai viskositas pada F II dan F II B adalah hasil rata-rata dari 3 bets sediaan; nilai ph F basis II dan F basis II B adalah nilai dari 1 bets sediaan viskositas (cp) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Gambar 4.4 Grafik profil viskositas Formula II dibandingkan dengan basisnya. ( ) Formula II; ( ) Formula basis

32 viskositas (cp) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Gambar 4.5 Grafik profil viskositas Formula II B dibandingkan dengan basisnya. ( ) Formula II B ; ( ) Formula basis viskositas (cp) 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0 5 10 15 20 Gambar 4.6 Grafik profil perbandingan viskositas Formula II dengan Formula II B ( ) Formula II; ( ) Formula II B Untuk mengetahui kestabilan sediaan dalam penyimpanan pada suhu yang berbeda dan ekstrim, dilakukan evaluasi freeze-thaw. Pada evaluasi ini, sediaan disimpan dalam oven dan kulkas selama minimal 6 siklus. Satu siklus terdiri dari 48 jam pada kulkas 4 o C dan 48 jam kemudian pada oven 40 o C (Lieberman, 1988). Selama penyimpanan ini, sediaan harus stabil tanpa menimbulkan terjadinya pemisahan fasa yang dapat diamati secara visual.

33 Ketika sediaan disimpan pada suhu rendah (kulkas 4 o C), terlihat bahwa sediaan mengalami perubahan fisik yaitu sediaan menjadi berwarna putih susu dan menjadi lebih kental, bahkan menjadi memadat. Hal ini dapat disebabkan karena fase minyak cenderung membeku pada suhu rendah. Akibatnya partikel-partikel cenderung bergabung membentuk suatu ikatan antar partikel yang lebih rapat yang mengakibatkan sediaan menjadi berwarna putih susu karena strukturnya menjadi lebih rapat dan teratur. Selain itu, laju alir menjadi berkurang dan viskositas pun bertambah. Akan tetapi bila sediaan disimpan kembali pada suhu kamar, penampilan sediaan kembali seperti semula yaitu jernih dan transparan, dan viskositasnya kembali normal. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi yang terjadi adalah reversibel (Jufri, 2004). Tabel 4.8 Tabel Pengamatan Kestabilan Sediaan dengan metode freeze-thaw F basis F II(i) FII(ii) FII(iii) F basis F II B (i) F II B (ii) FII B (iii) II II B Siklus 1 s s s s s s s s Siklus 2 s s s s s s s s Siklus 3 s s s s s s s s Siklus 4 s s s s s s s s Siklus 5 s s s s s s s s Siklus 6 s s s s s s s s Keterangan : (i) = bets 1; (ii) = bets; (iii) = bets 3; s = stabil Evaluasi lain yang dilakukan adalah penentuan ukuran globul dengan menggunakan alat Zetasizer Nano. Prinsip alat ini adalah mengukur ukuran globul yang terdapat dalam sampel dengan menggunakan sebaran cahaya yang dilewatkan pada sampel (light scattering). Cahaya yang lewat pada sampel dibiaskan oleh globul minyak yang terdapat dalam sampel dan gerak Brown yang terjadi pada globul menyebabkan diameter globul tersebut dapat terukur. Dari pengukuran globul yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa ukuran globul minyak yang terdapat dalam sampel Formula II B berada pada rentang 6,50 21,04 nm, sedangkan ukuran globul terbanyak berada pada ukuran 10,1 nm. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa ukuran globul mikroemulsi berada pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Dari grafik distribusi ukuran partikel yang diperoleh, terlihat bahwa ukuran

34 globul yang diperoleh berada pada rentang normal sehingga diharapkan mikroemulsi tetap stabil dalam penyimpanan. Perincian lebih jelas mengenai ukuran globul yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.9. Tabel 4.9 Distribusi Ukuran Globul Mikroemulsi Ukuran globul (nm) 6,50 7,53 8,72 10,10 11,70 13,54 15,69 18,17 21,04 % Volume 2,67 11,56 22,12 25,48 20,28 11,75 4,80 1,21 0,13 30 25 volume (%) 20 15 10 5 0 6.5 7.53 8.72 10.1 11.7 13.54 15.69 18.17 21.04 ukuran globul (nm) Gambar 4.7 Grafik Distribusi Ukuran Globul Mikroemulsi