PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk Luas Wilayah km 2

dokumen-dokumen yang mirip
INDEKS TATAKELOLA PEMERINTAHAN PROVINSI RIAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA TEKNIS DAERAH KABUPATEN KARIMUN

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DEMAK TAHUN 2008 NOMOR : 7

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BANYUWANGI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA TEKNIS DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bangka Barat Tahun 2014 DAFTAR ISI

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

birokrasi, agar dapat ditetapkan langkah deregulasi dan/atau reregulasi sesuai kebutuhan regulasi yang menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 KATA PENGANTAR

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA TEKNIS DAERAH KABUPATEN BANYUMAS

BAB 1 PENDAHULUAN Hal ini berdasarkan dikeluarkannya Undang Undang No. 22 tahun 1999

Tinjauan Sosial Tata Kelola Pemerintahan Kalimantan Selatan. Oleh: Alfisyah

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH JEMBER TAHUN ANGGARAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA TEKNIS DAERAH KABUPATEN BANYUMAS

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret 2014 Bupati Bogor, RACHMAT YASIN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 04 TAHUN 2008 TENTANG

LAMPIRAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWAKARTA,

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. Bergulirnya reformasi membawa perubahan dalam segala bidang. kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya pengelolaan

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2012

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pengaruh yang cukup luas pada tata kehidupan masyarakat, baik secara nasional

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh mantan

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA KEDIRI

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

Partnership Governance Index

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI RIAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJALANAN DINAS PEDOMAN PERBUP KABUPATEN KEPULAUAN ARU NO. 4 TAHUN

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2009

BAB 10 PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 09 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011 NOMOR 7

BAB VII P E N U T U P

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sebuah Negara dibangun diatas dan dari desa, desa

PENINGKATAN KINERJA MELALUI ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKSI ANGGARAN DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BINTAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

APBD KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANGGARAN 2018

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

Kata Pengantar menuju Bintan yang maju, sejahtera dan berbudaya

PEMERINTAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI JAWA TENGAH

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

Transkripsi:

PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk 883.282 Luas Wilayah 1.233 km 2 Skor IGI I. 4,02 Anggaran pendidikan per siswa II. 408.885 rupiah per tahun III. Kota Yogyakarta KABUPATEN berada di peringkat SAMPANG Rangking IGI 30 1 dari 34 Kabupaten/ Kota yang diteliti. Total skor IGI sebesar Anggaran kesehatan per kapita IV. 9.00 Rangking Gender 34 46.736 rupiah per tahun V. Keunggulan: 7.00 Rangking Investasi VI. 31 4.95 4.67 Anggaran pengentasan kemiskinan VII. Kelemahan: 5.00 3.91 17.948 rupiah per tahun Rangking Lingkungan VIII. 23 2.73 3.00 IX. X. IPM 1.00 60,78 XI. Rekomendasi: Pejabat Birokrasi Masyarakat Poli]k Sipil XII. Pendapatan per XIII. kapita Grafik Hasil IGI per Arena, Kabupaten Sampang Rp. 3.703.797 XIV. XV. Pertumbuhan ekonomi 4.71 % Masyarakat Ekonomi Anggaran lingkungan hidup 5.675 rupiah per tahun Anggaran pemberdayaan perempuan 6.674 rupiah per tahun Penduduk miskin 29% Pengangguran 2% Rasio rata- rata lama sekolah Laki- laki : Perempuan 1.39 Rasio tenaga medis per 1000 penduduk 13.88 Gini rasio Rasio PAD terhadap PDRB 0,02 % Salah satu modal utama Kabupaten Sampang dalam melaksanakan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah adalah sumber daya manusia (SDM), khususnya perempuan. Data menunjukkan bahwa perempuan yang termasuk kategori usia produktif di daerah ini jauh lebih banyak daripada laki- laki. Sayangnya, modal ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini terlihat dari temuan IGI yang menunjukkan fakta bahwa komitmen pemerintah daerah masih lemah terhadap pemberdayaan perempuan. Salah satunya tercermin dari minimnya alokasi anggaran pemberdayaan perempuan. Rasio lama sekolah perempuan di Sampang juga sangat kecil, yaitu rata- rata hanya 3,5 tahun. Belum baiknya komitmen pemberdayaan perempuan di Sampang patut diduga berawal dari hulu, yakni DPRD. Selaku lembaga yang memiliki kewenangan dalam menyusun dan menentukan anggaran, DPRD cenderung tidak melibatkan perempuan dalam prosesnya. Bahkan tidak ada satupun wakil perempuan di Badan Anggaran DPRD. Rasio lahan kritis 2 Terpaan media - per 10.000 penduduk Partisipasi OMS -. Tingkat partisipasi politik dalam pilkada terakhir

I. HASIL INDEKS TATA KELOLA PEMERINTAH DI KABUPATEN SAMPANG Data statistik tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 62, 82 persen penduduk Kabupaten Sampang masuk usia produktif (15-64 tahun). Dari jumlah usia produktif, 50,86 persennya perempuan dan sisanya, 49,14 persen, laki- laki. Namun hasil penelitian IGI 2014 justru menunjukkan bahwa pemerintah Sampang sangat sedikit mengalokasikan anggaran pemberdayaan perempuan, di mana setiap perempuan hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp 556 per bulan. Ini diperparah dengan fakta bahwa pendidikan anak perempuan di Sampang jauh tertinggal dibandingkan dengan laki- laki, kendati data statistik menunjukkan bahwa keduanya tidak sampai lulus Sekolah Dasar (SD). Rasio lama sekolah anak perempuan 3,65 tahun berbanding 5,06 tahun pada laki- laki. Akibatnya, angka buta huruf di Sampang masih cukup tinggi. Berdasarkan data dalam angka Sampang tahun 2012, masih ada sekitar 32,30 persen masyarakat Sampang belum dapat membaca. Kecilnya anggaran pemberdayaan perempuan juga menjadi salah satu faktor Sampang menjadi daerah yang menduduki peringkat terendah dalam sub indeks gender IGI 2014. Seharusnya alokasi anggaran perempuan lebih banyak, agar mereka dapat mandiri, produktif, dan secara langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi angka kemiskinan yang jumlahnya sekitar 29 persen. Kabupaten Sampang yang memiliki luas wilayah 1.233 km 2 terpilih mewakili Provinsi Jawa Timur dalam penelitian IGI 2014. Kriteria pemilihan wilayah didasarkan pada peringkat Pembangunan Manusia atau HDI tinggi, sedang, dan rendah dengan mengambil sampling secara acak satu kota atau kabupaten di setiap provinsi. Hasil IGI secara keseluruhan menempatkan Kabupaten yang berpenduduk 883.282 jiwa (Statistik tahun 2012) ini berada di peringkat 30 dari 34 kabupaten/kota yang diukur. Temuan ini menguatkan hasil peringkat HDI yang juga menempatkan Sampang sebagai kabupaten dengan peringkat rendah. Di antara empat arena yang diukur, Arena Birokrasi memperoleh skor tertinggi dibanding tiga arena lainnya dengan perolehan skor 4,95. Sementara berturut- turut di belakangnya adalah arena Masyarakat Sipil dengan 4,67, Masyarakat Ekonomi 3,91, dan Pejabat Politik 2,73. Melihat skor per arena, maka diperlukan upaya yang sangat keras bagi semua pihak untuk memperbaiki nilai tata kelola pemerintahan daerah demi terwujudnya kesejahteraan rakyat Sampang. Dari enam prinsip yang diukur di arena Birokrasi tidak ada yang memiliki nilai baik. Pada prinsip Efektivitas, kendati mendapatkan nilai tertinggi, skornya hanya 4,99. Selanjutnya Efisiensi 4,49, Akuntabilitas 3,74, Keadilan 3,22, Transparansi 2,49, dan Partisipasi 1,76. Demikian juga dengan Arena Masyarakat Sipil, yang rendah. Tiga dari enam prinsip, yakni Transparansi (8,54), Efisiensi (5,61), dan Efektivitas (5,53) mendapat nilai di atas 5. Adapun

Keadilan (1,00), Akuntabilitas (3,73), dan Partisipasi (4,27) masih mendapatkan skor yang rendah. Skor Masyarakat Ekonomi disumbang oleh prinsip Keadilan (5,39), Akuntabilitas (4,96), Partisipasi (4,17), Efektivitas (3,88), Efisiensi (3,26). Prinsip Transparansi memperoleh skor terendah (1,00). Sementara itu hanya prinsip Efisiensi (6,21) yang memperoleh nilai di atas 5. Nilai tersebut tidak dapat mendongkrak nilai Arena Pejabat Politik karena prinsip- prinsip lainnya mendapatkan skor sangat rendah, di antaranya Transparansi (2,80), Akuntabilitas (2,22), Efektivitas (1,90), Partisipasi (1,41), Keadilan (1,14). Berikut merupakan tabel rapor kinerja tata kelola Kabupaten Sampang beserta perbandingannya dengan rata- rata skor perolehan per arena di 34 kabupaten/kota. IGI Kabupaten Sampang: 4,02 Nasional Sampang Partisipasi Transparansi Keadilan Akuntabilitas Efektivitas Arena Efisiensi Pejabat Politik 3,70 2,73 1,41 2,80 1,14 2,22 6,21 1,90 Birokrasi 6,38 4,95 1,76 2,49 3,22 3,74 4,49 4,99 Masyarakat Sipil 5,17 4,67 4,27 8,54 1,00 3,73 5,61 5,53 Masyarakat Ekonomi 4,23 3,91 4,17 1,00 5,39 4,96 3,26 3,88 I.1 Arena Pejabat Politik Arena Pejabat Politik, terdiri dari Kepala Daerah dan anggota DPRD, yang merupakan wakil rakyat. Keberadaan mereka dipilih secara langsung oleh masyarakat. Maka, sudah sepatutnya mereka memperjuangkan kepentingan sekaligus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Untuk itu, dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan, mereka harus mengedepankan prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan atau keadilan bagi masyarakat. Berdasarkan hasil IGI 2014, Arena Pejabat Politik di Sampang justru melakukan hal sebaliknya. Skor kinerja pejabat politik, terutama berkenaan dengan fungsi utama seperti pembuat kerangka kebijakan, perumusan anggaran, pengawasan dan kepemimpinan justru jauh dari harapan. Nilainya buruk dan jauh dari kata partisipatif, transparan, dan adil kepada para pemilihnya. Untuk lebih jelasnya, mari kita jabarkan satu per satu. Sebagai wakil rakyat yang mempunya tiga tugas utama (Kerangka Kebijakan, Penganggaran, dan Pengawasan), para anggota DPRD belum memaksimalkan kewenangannya. Memang hanya fungsi pengawasan yang menjadi tanggung jawab penuh DPRD. penganggaran dan perumusan kebijakan merupakan fungsi yang bersinggungan dengan Bupati/Wakil Bupati, sehingga kinerjanya menjadi tanggung renteng kedua lembaga tersebut.

Dalam fungsi Pengawasan, di DPRD Sampang berkinerja buruk sehingga mendapatkan skor sangat rendah, yaitu 1,80. Skor itu paling rendah di antara fungsi lainnya. kepemimpinan Bupati mendapatkan nilai tertinggi di antara fungsi lainnya, yakni 3,50. Partisipasi, Keadilan, Akuntabilitas, dan Efektivitas merupakan prinsip yang mendapatkan nilai terendah, yakni 1,00. Sedangkan Transparansi memperoleh skor 2,80 dan Efisiensi 5,76. Penyebab utama rendahnya skor partisipasi adalah belum aktifnya anggota dewan dalam berinteraksi dengan warga dalam hal pengawasan pemerintahan. Hal ini terlihat dari belum adanya pelembagaan pengaduan masyarakat baik melalui SMS, hotline, maupun website. Faktor berikutnya adalah masih rendahnya persentase anggota DPRD yang memiliki kanal partisipasi warga, baik melalui media sosial, blog, maupun rumah aspirasi. IGI 2014 juga menemukan bahwa besarnya biaya gaji dan tunjangan DPRD tidak berbanding lurus dengan kinerja anggotanya. Dengan alokasi anggaran masuk dalam 13 daerah dengan biaya anggota Dewan terbesar di antara 34 Kabupaten/Kota, kinerjanya justru terpuruk di peringkat kedua terburuk. Total biaya DPRD tahun 2012 kurang lebih Rp 18,5 miliar, dengan kata lain masing- masing 43 anggota mendapatkan uang Rp 432.186.547. Bandingkan dengan anggaran pelayanan dasar yang disediakan pemerintah Sampang kepada setiap warganya. Setiap anak usia wajib belajar hanya mendapatkan anggaran Rp 408.885 per tahun. Sementara tiap warga miskin hanya mendapatkan bantuan sebesar Rp 17.948 per tahun. Setiap warga hanya mendapatkan jatah pelayanan kesehatan Rp 46.736 per tahun. Rendahnya komitmen anggaran daerah terhadap pelayanan dasar publik juga menjadi tanggungjawab Bupati/Wakil Bupati selaku pejabat yang juga memiliki kewenangan menyusun anggaran. Ini juga yang menyebabkan skor prinsip Keadilan pada Penganggaran pejabat politik sangat rendah, 1,62. Tidak hanya itu, Prinsip Partisipasi juga mendapat skor rendah, 1,00. Penyebabnya adalah belum banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam rapat konsultasi publik proses penyusunan peraturan daerah APBD di eksekutif. lain yang menjadi tanggung jawab bersama adalah Kerangka Kebijakan, ironisnya justru mendapatkan skor yang juga rendah yaitu 1,92. Prinsip Keadilan mempeproleh skor 1,16. Akuntabilitas dan Efektivitas mendapatkan nilai sama yakni 1,00, menjadi prinsip yang mendapatkan skor paling rendah di antara skor lainnya. Penyebabnya adalah masih terbatasnya jumlah Perda dan produk hukum yang dihasilkan terkait perlindungan kelompok terpinggirkan (perempuan, anak, penderita HIV Aids, penyandang cacat dan lain- lain) di prinsip Keadilan. Sementara untuk Akuntabilitas adalah rendahnya persentase jumlah Perda yang disahkan dari Program Legislasi Daerah 2012 dan rata- rata tingkat kehadiran anggota DPRD dalam pembahaan Perda di Rapat Paripurna yang masih rendah. Pengesahan Perda tidak dibarengi dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati tentang implementasi Perda, sehingga seringkali Perda yang telah disahkan belum dapat langsung diimplementasikan. Selain itu, jumlah Perda inisiatif yang dihasilkan dalam setahun juga masih sangat terbatas. Berdasarkan data ini, efektivitas pejabat politik dalam menjalankan fungsi pembuatan kerangka kebijakan masih sangat rendah

Kendati mendapatkan skor yang lebih besar di antara tiga fungsi lain, fungsi Kepemimpinan (3,50) belum dapat dikatakan lebih baik. Partisipasi dan Keadilan menjadi kelemahan utama yang harus dibenahi sebab sama- sama mendapatkan skor minimal, yakni (1,00). Minimnya persentase kehadiran Bupati di rapat Paripurna, serta belum adanya pelembagaan yang mengatur promosi dan rekruitmen pejabat pemerintah daerah menjadi alasan di balik rendahnya kedua prinsip tersebut. Di indikator lain, skor Efisiensi (7,64) dan Efektivitas (8,68) relatif tinggi. Persentase Anggaran Operasional Bupati/Walikota terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup berimbang, nilai Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) milik Kementerian Dalam Negeri, serta kecilnya rasio luas lahan kritis terhadap luas wilayah di Sampang menjadi faktor yang sangat menentukan dan membuat dua prinsip tersebut mendapatkan nilai tinggi. Skor fungsi utama dan prinsip Pejabat Politik dapat dilihat pada tabel berikut ini. per fungsi Partisipasi Transparansi Keadilan Akuntabilitas Efisiensi Efektivitas 1. Kerangka Kebijakan 1,92 2,72 2,80 1,16 1,00 3,68 1,00 2. Penganggaran 3,33 1,00 2,80 1,67 4,67 7,08 4,90 3. Pengawasan 1,84 1,00 2,80 1,00 1,00 5,76 1,00 4. Kepemimpinan 3,50 1,00 2,80 1,00 2,80 7,64 8,68 Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa selain belum membuka diri untuk pelibatan masyarakat, dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya pejabat politik di Kabupaten Sampang juga jauh dari rasa adil. Maka pembenahan yang harus segera dilakukan adalah membuka kran partisipasi sebesar- besarnya dalam melaksanakan fungsi utamanya. Dari situlah proses penerapan prinsip- prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Sampang dapat diterapkan. II.2 Arena Birokrasi Sama halnya dengan Pejabat Politik, persoalan utama Arena Birokrasi adalah buruknya tingkat partisipasi di hampir semua fungsi utamanya, kecuali Pelayanan Publik (2,52). Pengumpul Pendapatan, Pengaturan Ekonomi, dan Penegakan Peraturan Daerah sama- sama mendapat nilai (1,00). Indikator utamanya: belum adanya dewan kesehatan dan pendidikan, unit pelayanan pengaduan masyarakat di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), forum reguler antara pemerintah kabupaten kota dan masyarakat untuk memperkuat iklim investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pelayanan pengaduan masyarakat di Kantor Satpol PP/Dinas Tramtib. Selain itu, Prinsip Transparansi juga bermasalah dengan hanya mendapatkan nilai tertinggi adalah (2,80) di tiga fungsi utama. Sedangkan transparansi di fungsi penegakan peraturan daerah mendapat nilai terendah, yakni (1,00). Temuan ini menunjukkan bahwa birokrasi di

Sampang masih setengah hati untuk terbuka kepada publik, kendati sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik yang wajib dipatuhi oleh daerah. Indikator- indikator yang ada pada prinsip transparansi menggunakan uji akses terhadap dokumen- dokumen publik yang ada di birokrasi, seperti akses terhadap dokumen keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), akses terhadap informasi seputar biaya dan prosedur seputar pelayanan publik, pengurusan izin usaha, kemudahan akses terhadap potensi penerimaan daerah yang ada di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Asset Daerah (DPKAD) dan lain- lain. Tidak hanya itu, secara keseluruhan fungsi penegakan peraturan daerah menjadi yang terendah dengan rata- rata (1,03), dimana angka tertinggi ada di prinsip efisiensi (1,33). Lima prinsip lainnya masing- masing mendapat 1,00. Secara eksplisit, temuan ini menunjukkan bahwa kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sampang belum maksimal. Perbandingan antara jumlah anggota Satpol PP dan penduduk belum ideal. Selain itu, mekanisme pengaduan masyarakat belum ada serta tertutupnya akses terhadap laporan operasi penertiban atas pelanggaran Perda. Pada akhirnya kondisi ini menjadikan kinerja mereka secara keseluruhan tidak efektif dan efisien. Per Partisipasi Transparansi Keadilan Akuntabilitas Efisiensi Efektivitas 1. Pelayanan Publik 2. Pengumpul Pendapatan Daerah 3. Pengaturan Ekonomi 4. Penegakan Peraturan Daerah 4,05 2,52 2,80 4,25 4,66 5,97 4,38 4,98 1,00 2,80 3,26 6,85 8,38 8,69 1,88 1,00 2,80 1,03 1,00 1,00 4,89 1,03 1,00 1,00 1,00 1,00 1,33 1,00 Kinerja di atas tidak sebanding dengan besarnya anggaran operasional yang dikeluarkan untuk membiayai birokrasi. Untuk belanja pegawai saja, Pemerintah Sampang harus mengeluarkan uang sebesar Rp 527.146.211.480,58 per tahun, terbesar kedua setelah Kabupaten Banjar dan Provinsi Kalimantan Selatan. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan anggaran belanja pegawai peringkat pertama IGI 2014, yakni Kota Yogyakarta yang hanya mengeluarkan uang Rp 102.387.009.400 per tahun. Sudah saatnya birokrasi Kabupaten Sampang berbenah diri di semua fungsi. Hal itu bisa dilakukan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik, perbaikan proses pengaturan ekonomi dan pengumpul pendapatan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta menegakkan peraturan daerah untuk sebesar- besarnya menyejahterakan rakyat Sampang. II.3 Arena Masyarakat Sipil Persoalan utama arena masyarakat sipil di Sampang adalah rendahnya skor Keadilan (1,00), bahkan sama- sama rendah di dua fungsi utama, yakni pemberdayaan masyarakat dan

monitoring serta advokasi. Ini disebabkan oleh karena distribusi isu- isu yang diperjuangkan masyarakat sipil di Sampang, dan sebaran variasi isu publik yang diadvokasikan oleh Organisasi Masyarakat Sipil belum merata. Jika dilihat lebih dalam seputar skor arena masyarakat sipil pada fungsi pemberdayaan masyarakat, akan diperoleh angka yang sangat bervariasi. Dari Keadilan (1,00), Partisipasi (4,79), Akuntabilitas (3,87), Efisiensi (5,61), Efektivas (4,36), hingga angka sempurna yang didapat oleh Transparansi (10,00). Nilai sangat baik yang diperoleh transparansi di dasarkan pada mudahnya peneliti dalam mengakses informasi seputar lokasi atau komunitas binaan program pemberdayaan masyarakat. Frekuensi update website juga cukup sering sehingga publik dapat melihat program yang sedang dilaksanakan dan mendapatkan data seputar laporan aktivitas, bahkan tidak jarang laporan keuangan lembaga. Per Partisipasi Transparansi Keadilan Akuntabilitas Efisiensi Efektivitas 1. Pemberdayaan Masyarakat 4,96 4,79 10,00 1,00 3,87 5,61 4,36 2. Monitoring dan Advokasi 4,28 3,57 6,61 1,00 3,54 5,61 7,16 Pada fungsi monitoring dan advokasi, skor transparansi juga cukup tinggi, meskipun tidak menjadi yang tertinggi di antara prinsip- prinsip lainnya, yakni (6,61). Kemudahan peneliti IGI dalam mengakses informasi seputar kelembagaan, program, maupun keuangan menjadi indikator pengungkit sehingga skornya tinggi. Kondisi ini dapat menjadi contoh bagi arena Pejabat Politik maupun Birokrasi di Sampang yang sejauh ini belum mau transparan kepada publik. Masyarakat sipil di Sampang juga bisa dengan lantang menuntut pemerintah lebih transparan, karena mereka telah terlebih dulu melaksanakannya. Sementara itu, skor tertinggi untuk fungsi monitoring dan advokasi adalah Efektivitas (7,16), di mana kontribusi masyarakat sipil dalam berbagai sektor di Sampang cukup signifikan. Tingkat partisipasi politik di pilkada terakhir, berdasarkan data KPUD Sampang, juga cukup besar dibandingkan dengan wilayah penelitian lain, yakni sebesar 75 persen. Namun demikian, secara keseluruhan mereka perlu berbenah, terutama pada prinsip Akuntabilitas di kedua fungsi yang mendapatkan skor terendah kedua setelah Keadilan. Belum baiknya kualitas laporan program dan keuangan lembaga, prosedur monitoring dan evaluasi yang belum baku, serta belum patuhnya organisasi terhadap kepatuhan dan ketentuan dalam membayar pajak (SPT/NPWP) menjadi beberapa indikator yang menyebabkan skor akuntabilitas masyarakat sipil cukup rendah. Meningkatkan kualitas keadilan, akuntabilitas, dan partisipasi menjadi langkah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki skor kinerja masyarakat sipil di Sampang. Di sisi lain, modal utama mereka, yakni semangat keterbukaan perlu dijaga dan ditingkatkan agar kepercayaan publik semakin besar.

II.4 Arena Masyarakat Ekonomi Secara keseluruhan, nilai Arena Masyarakat Sipil di Sampang mendapatkan skor 3,91, dan menjadi yang terendah kedua setelah pejabat politik. Dari dua fungsi utama, Pemberdayaan Ekonomi Lokal (4,19) mendapat skor relatif lebih tinggi dibanding fungsi Perlindungan Kepentingan Bisnis (3,09). Persoalan utama di masyarakat sipil juga sama dengan arena lain, yakni Transparansi yang mendapatkan skor (1,00) di dua fungsi. Sulitnya mengakses informasi kegiatan dan keuangan asosiasi- asosiasi bisnis besar (HIPMI, Gapensi dan Kadin), dan belum tersedianya akses informasi terhadap program pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Asosiasi Bisnis Besar (HIPMI, Gapensi dan Kadin) menjadi faktor rendahnya skor transparansi. Sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan, sudah sewajarnya masyarakat ekonomi lebih terbuka terhadap publik, hal ini untuk menciptakan kepercayaan publik kepada para pengusaha. Rata- rata Partisipasi Transparansi Keadilan Akuntabilitas Efisiensi Efektivita s 1. Perlindungan Kepentingan Bisnis 2. Pemberdayaan Ekonomi Lokal 3,09 1,00 1,00 4,50 5,71 4,50 1,00 4,19 5,07 1,00 5,64 4,64 2,72 4,93 Secara keseluruhan, perolehan skor enam prinsip di dua fungsi utama masyarakat sipil mendapatkan nilai yang relatif rendah yaitu dalam rentang 1-5. Untuk itu, diperlukan upaya sungguh- sungguh agar skor masyarakat sipil lebih baik.