KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI

dokumen-dokumen yang mirip
PENDIDIKAN INKLUSI *) Oleh. Edi Purwanta *) Pendekatan pendidikan luar biasa dari waktu ke waktu mengalami

REVITALISASI PROGRAM STUDI PLB DALAM MENGHADAPI PROGRAM INKLUSI *) Oleh Edi Purwanta **)

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

2015 PROGRAM PENINGKATAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN HASIL ANALISIS KINERJA PROFESIONAL

MODEL BIMBINGAN PERKEMBANGAN: Alternatif Pelaksanaan Bimbingan di SD *) Oleh Edi Purwanta **)

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

PENDIDIKAN INKLUSI SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI MENGATASI PERMASALAHAN SOSIAL ANAK PENYANDANG DISABILITAS

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Marliani, 2013

SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR PENDIDIKAN GURU

BAB I PENDAHULUAN. individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu anak mempunyai hak

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PENINGKATAN KOMPETENSI GURU D ALAM MENYUSUN PROGRAM PEMBELAJARAN IND IVIDUAL DI SLB AD ITYA GRAHITA KOTA BAND UNG

A. Perspektif Historis

Kemandirian sebagai tujuan Bimbingan dan Konseling Kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah k

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat. Dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Ikatan Akuntan. integritas dan obyektivitas dalam melaksanakan tugasnya.

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

Oleh : Agus Basuki, M.Pd Dosen : BK/PPB/FIP UNY

Assessment Kemampuan Merawat Diri

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

ETIKA PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING

KONSEPSI PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Sigit Sanyata

STANDARISASI PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA SUNARYO KARTADINATA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Guru adalah orang yang memiliki kemampuan merencanakan program

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

PENDIDlKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI ALTERNATIF PELAYANAN PENDIDlKAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR

Kemandirian sebagai Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling Kompetensi SISWA yang dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling adalah kompetens

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

KURIKULUM PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN JENJANG MAGISTER (S2) SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

tingkat Lanjutan Pertama. Asumsi pengembangan program bimbingan yang

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

KONTEKS TUGAS DAN EKSPEKTASI KINERJA KONSELOR

KEPUTUSAN PENGURUS BESAR ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA (PB ABKIN) Nomor: 010 Tahun 2006 Tentang

KISI KISI UKG 2015 GURU BK/KONSELOR

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pengertian Bimbingan dan Konseling? Bimbingan dan Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh guru pembimbing kepada semua siswa baik secara perorang

MENINGKATKAN PENGEMBANGAN ASPEK EMOSI DALAM PROSES PEMBELAJARAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

PERTEMUAN 13 PENYELENGGARAAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA JALUR PENDIDIKAN

IMPLEMENTASI PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SMP NEGERI 32 SURABAYA

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

PROFESI. Pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BIMBINGAN DAN KONSELING KOMPREHENSIF

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Lokasi SMKN Wonorejo di lingkungan pesantren yang merupakan. lembaga sekolah kejuruan yang bernuansa pesantren, siswa SMKN Wonorejo

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

PENDEKATAN PERKEMBANGAN DALAM BIMBINGAN DI TAMAN KANAK-KANAK

SIKAP TOLERANSI TERHADAP SISWA PENYANDANG DISABILITAS DALAM SEKOLAH INKLUSI (Studi Kasus Pada Siswa SMA Muhammadiyah 5 Karanganyar) NASKAH PUBLIKASI

KOMPETENSI GURU PENDAMPING SISWA ABK DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Konsep dasar pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodasi

PERANAN ORANGTUA DAN PENDIDIK DALAM MENGOPTIMALKAN POTENSI ANAK BERBAKAT AKADEMIK (ABA)

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

EKSISTENSI PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING DI BALIK UU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Landasan Pendidikan Inklusif

No.2 Tahun 1989 yang kemudian disusul oleh beberapa Peraturan

Penelitian 6 BK Model-model Effective problem-solving model Dalam Bimbingan Karir Mahasiswa PLB Oleh Drs. Dudi Gunawan, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology big bang), tuntutan

MEMBIMBING MAHASISWA. Agus Taufiq Jurusan PPB FIP UPI 2010

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Memasuki Abad 21, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I P E N D A H U L U A N (AKHIR) Bimbingan dan konseling memiliki peran yang sangat strategis dalam

V1. SIMPULAN DAN SARAN

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGOPTIMALKAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan yang terjadi ternyata menampakkan andalan pada. kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas, melebihi potensi

PERAN PENGAWAS BK UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALITAS GURU BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

Bimbingan Karir untuk Mempersiapkan Anak Tunagrahita Memasuki Dunia Kerja

POLA SUPERVISI IDEAL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN AGAMA JOMBANG. Qurrota A yuni

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang dikelola oleh manajemen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Giya Afdila, 2016

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

Transkripsi:

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional XIV dan Kongres X Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia di Semarang Tanggal 13 16 April 2005 Oleh Edi Purwanta, M.Pd. FIP Universitas Negeri Yogyakarta ASOSIASI BIMBINGAN DAN KONSELING INDONESIA bekerja sama dengan UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2005

KOMPETENSI KONSELOR DALAM MENGHADAPI PENDIDIKAN INKLUSI*) oleh Edi Purwanta **) Deklarasi dunia tentang Pendidikan Inklusi menuntut tanggap kerja semua komponen lembaga pendidikan untuk melaksanakan tugas dalam melayani anak, khususnya anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa. Demikian halnya, konselor. Konselor sekolah anak berkebutuhan khusus yang dipersiapan untuk sekolah inklusi, tugas mereka akan bertambah, sehingga menuntut kompetensi yang lebih juga. Konselor sebagai salah satu pelaksana pendidikan dalam membantu anak seyogyanya juga memahami konsep inklusi dalam keseluruhan kerangka kerja konselor dalam melayani anak berkebutuhan khusus dan proses pendidikan bersama-sama dengan anak normal pada umumnya. Makalah ini berusaha memberikan gambaran tentang pendidikan inklusi dan kompetensi konselor dalam garis besar. A. Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi merupakan perwujudan dari pendekatan inklusi yang diupayakan untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak luar biasa secara integral dan manusiawi. Menurut Staub dan Peck (1994/1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang, dan *) Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional XIV dan Konggres X ABKIN di Semarang tanggal 13 16 April 2005-04-15 **) Dosen pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

dan berat secara penuh di kelas biasa. Definisi ini secara jelas menganggap bahwa kelas biasa merupakan penempatan yang relevan bagi semua anak luar biasa, bagaimanapun tingkatannya. Dalam pendidikan inklusi, layanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan khusus anak secara individual dalam konteks pembersamaan secara klasikal. Dalam pendidikan ini tidak dilihat dari sudut ketidakmampuannya, kecacatannya, dan tidak pula dari segi penyebab kecacatannya, tetapi lebih pada kebutuhan kebutuhan khusus mereka. Kebutuhan mereka jelas berbeda dari satu dengan yang lain. Ada beberapa alasan pentingnya pendidikan inklusi dikembangkan dalam layanan pendidikan bagi anak luar biasa. Alasan tersebut antara lain: 1. Semua anak, baik cacat maupun tidak mempunyai hak yang untuk belajar bersama-sama dengan anak yang lain. 2. Seyogyanya anak tidak diberi label atau dibeda-bedakan secara rigid, tetapi perlu dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan dalam belajar. 3. Tidak ada alasan yang mendasar untuk memisah-misahkan anak dalam pendidikan. Anak memilki kebersamaan yang saling diharapkan di antara mereka. Ia tidak pernah ada upaya untuk melindungi dirinya dengan yang lain.

4. Penelitian menunjukkan bahwa anak cenderung menunjukkan hasil yang baik secara akademik dan sosial bila mereka berada pada setting kebersamaan. 5. Tidak ada layanan pendidikan di SLB yang mampu mengambil bagian dalam menangani anak di sekolah pada umumnya. 6. Semua anak membutuhkan pendidikan yang dapat mengembangkan hubungan antar mereka dan mempersiapkan untuk hidp dalam masyarakatnya. 7. Hanya pendidikan inklusi yang potensial untuk menekan rasa takut dalam membangun kebertemanan, tanggung jawab, dan pemahaman diri. Dengan memperhatikan beberapa alasan tersebut, jelas dalam pendidikan inklusi kebutuhan anak akan terpenuhi sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Kebutuhan anak dapat berupa kebutuhan yang bersifat sementara, permanen, dan kultural. Kebutahan sementara merupakan kebutuhan yang terjadi pada saat tertentu yang dialam oleh seorang anak. Pada saat anak mendapat musibah, misalnya di sekolah ia tampak sedih dan membutuhan perhatian khusus. Anak membutuhkan orang lain untuk mencurahkan perasaan sedihnya. Kebutuhan permanen anak luar biasa berupa kebutuhan untuk hidup mandiri dan wajar selayaknya orang lain dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seseorang anak luar biasa dikatakan hidup normal apabila ia hidup bersama keluarga, dan belajar bersama-sama dengan anak-anak lain yang sebaya. Apabila ia hidup di asrama,

belajar di sekolah khusus terpisah dengan anak lain di sekolah reguler, maka kehidupan anak tersebut tidak wajar. Kebutuhan kultural berkaitan dengan penerimaan kelompok terhadap anak di mana anak berada. Seoang anak perlu memperoleh kemudahan untuk diterima sebagai anggota dalam lingkungan kelompoknya. Seorang anak luar biasa mengalami banyak hambatan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Hal ini disebabkan keberadaan dirinya yang mempunyai keterbatasan beradaptasi dengan anggota-anggota lain di lingkungannya. Di samping itu, masyarakat sendiri belum sepenuhnya memahami kebutuhan anak luar biasa sehingga mereka kadangkadang bersikap kurang menerima kehadiran anak luar biasa. Keterbatasan fasilitas dan tidak fleksibelnya sistem pendidikan yang ada sekarang dan suasana lingkungan di sekolah tidak menjamin rasa aman bagi anal luar biasa dalam berintegrasi dengan lingkungannya. Pemenuhan kebutuhan anak luar biasa memerlukan perubahanperubahan baik dalam sistem pendidikan, metode, maupun lingkungan, sehingga anak dapat menyesusaikan diri. Dalam pendidikan inklusi, pemenuhan kebutuhan anak luar biasa tidak dimulai dari penyesuaian-penyesuaian anak terhadap sistem pendidikan, metode, maupun lingkungannya, melainkan seharusnya yang terjadi sebaliknya. Dalam suasana kelas, bukan anak yang

menyesuaikan kurikulum, tetap[ kurikulumlah yang harus disesuaikan dnegan kebutuhan anak. Mendukung alasan perlunya pendidikan inklusi, beberapa argumen para pendukung pendidikan inklusi adalah sebagai berikut (Sunardi, 1995); 1. Belum ada banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas biasa menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak. 2. Biaya pendidikan luar biasa yang relatif lebih mahal dari pada pendidikan umum. 3. Pendidikan di luar kelas biasa mengharuskan penggunaan label luar biasa yang dapat berakibat negatif bagi anak. 4. Banyak anak luar biasa yang tidak mampu memperoleh layanan pendidikan karena tidak tersedia di sekolah terdekat. 5. Anak luar biasa harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama warga masyarakat lainnya. B. Karakteristik Pendidikan Inklusi Ada beberapa karakteristik pendidikan inklusi yang dapat dijadikan dasar layanan pendidikan bagi anak luar biasa. Karakteristik tersebut antara lain: 1. Pendidikan inklusi berusaha menempatkan anak dalam keterbatasan lingkungan seminimal mungkin, sehingga ia mampu

berinteraksi langsung dengan lingkungan sebayanya atau bahkan masyarakat di sekitarnya. 2. Pendidikan inklusi memandang anak bukan karena kecacatannya, tetapi menganggap mereka sebagai anak yang memiliki kebutuhan khusus (children with special needs) untuk memperoleh perlakuan yang optimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak. 3. Pendidikan inklusi lebih mementingkan pembauran bersama-sama anak lain seusianya dalam sekolah reguler. 4. Pendidikan inklusi menuntut pembelajaran secara individual, walaupun pembelajaranya dilaksanakan secara klasikal. Proses belajar lebih bersifat kebersamaan dari pada persaingan. C. Dampak Pendidikan Inklusi Minimal ada lima kelebihan yang berhasil diidentifikasi dalam penerapan pendidikan inklusi (Staub dan Peck, 1994/1995; Sunardi, 1995), yaitu: 1. Berkurangnya rasa takut akan perbedaan individual dan semakin besarnya rasa percaya dan peduli pada anak luar biasa. 2. Peningkatan konsep diri (self concept) baik pada anak luar biasa maupun pada anak normal. Hal ini akibat dari pergaulan yang terjadi sehingga mnejadikan mkeduanya saling toleran.

3. Pertumbuhan kognisi sosial makin berkembang pada keduanya. Mereka dapat saling membantu satu dengan yang lain, sehingga mendorong pertumbuhan ssikap sosial, yang pada gilirannya akan menumbuhkan kognisi sosial. 4. Pertumbuhan prinsip-prinsip pribadi menjadi lebih baik, terutama dalam komitmen moral pribadi dan etika. Mereka saling tidak curiga dan merasa saling membutuhkan. 5. Persahabatan yang erat dan saling membutuhkan. Mereka merasa saling membutuhkan untuk sharing dalam berbagai hal. D. Kompetensi Konselor Dalam membantu anak luar biasa, konselor diharapkan lebih profesional dalam melaksanakan bantuan tersebut. Tuntutan kemampuan tersebut tersirat dalam kompetensi konselor yang tersurat dalam karakteristik profesionalitasnya. Kompetensi tersebut minimal dalam 3 sudut kajian, yaitu kompetensi pribadi (personal competencies), kompetensi inti ( core competencies), dan kompetensi pendukung (supporting competencies) (Furqon, 2001 dalam Abdul Murad, 2003). Kompetensi pribadi merujuk pada kualitas pribadi konselor yang berkenaan dengan kemampuan untuk membangun hubungan baik secara sehat, etos kerja, komitmen profesional, landasan etik dan moral dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk

mengembangkan diri, serta kemampuan untuk melakukan problem solving. Kompetensi inti merupakan kemampuan langsung untuk mengelola dan menyelenggarakan pelayanan bimbingan mulai dengan penguasaan landasan konsep dan teori bimbingan dan konseling, menyelenggarakan berbagai macam layanan bimbingan dalam berbagai setting dan kemampuan manajerial. Kompetensi pendukung merupakan kemampuan tambahan yang diharapkan dapat memperkuat atau memperkokoh daya adaptasi konselor. Berdasarkan tiga kompetensi tersebut, minimal dapat dikembangkan dalam 9 aspek kinerja profesional konselor, yaitu: (1) hubungan antar pribadi; (2) etos kerja dan komitmen profesional; (3) etika dan moral dalam berperilaku; (4) dorongan dan upaya pengembangan diri; (5) kemampuan pemecahan masalah dan penyesuaian diri; (6) upaya pemberian bantuan kepada siswa; (7) manajemen bimbingan dan konseling di sekolah; (8) instrumentasi bimbingan; dan (9) penyelenggaraan layanan bimbingan. Pada bagian lain, dalam workshop perumusan standart kompetensi konselor yang diprakarsai oleh jurusan PPB UNY dan pembahasan berikutnya telah dirumuskan draf 7 kompetensi minimal yang harus dikuasai konselor, ketujuh kompetensi tersebut adalah: 1 Menguasai konsep dan praksis pendidikan; 2. Memiliki kesadaran dan komitmen etika professional; 3. Menguasai konsep perilaku dan perkembangan individu; 4. Menguasai konsep dan

praksis assessment; 5. Menguasai konsep dan praksis bimbingan dan konseling; 6. Memiliki kemampuan mengelola program bimbingan dan konseling; dan 7. Menguasai konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling Dalam rangka menyongsong implementasi pendidikan inklusi, standart kompetensi tersebut di atas seyogyanya lebih dikuasai. selain itu tambahan kompetensi yang berkaitan dengan pemahaman perilaku individu dalam konteks kebersamaan antara anak luar biasa dengan anak normal merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindarkan. Rujukan: Abduk Murad, 2003. Profil Konselor Standart (makalah) Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling tanggal 8 10 Desember 2003 di Bandung Engels, DW and Ass. 2004. The Professional Counselor: Portfolio, Competencies, Performance Guidliness and Assessment. 3-th ed. Texas: ACA Gunarhadi. 2001. Mengenal Pendekatan Inklusi dalam Pendidikan Luar Biasa JRR. Tahun 11, No. 2. Desember 2001. Surakarta: PPRR. Lemlit UNS http://inclusion.uwe.ac.uk: Ten Reasons for Inclusion.

Staub, D. & Peck, C.A. 1994/1995. What are the Outcomes for Nondisabled Student?. Educational Leadership. 52. 4 Sunardi. 1992. Mainstreaming: Satu Alternatif bagi Penanganan Pendidikan bagi Semua Anak Cacat. Jurnal Rehabilitasi dan Remidiasi. No. 1 Tahun I -------,. 1995. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Dirjendikti Depdikbud