Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

dokumen-dokumen yang mirip
POSITRON, Vol. VI, No. 2 (2016), Hal ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk sebagai salah satu wilayah yang berada di daerah

TUGAS AKHIR Disusun untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana di Program Studi Meteorologi. oleh : M. RIDHO SYAHPUTRA ( )

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA

2 BAB II TEORI DASAR

PENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1

3 BAB III DATA DAN METODOLOGI

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

dengan jarak penjalaran beberapa kilometer. Pelepasan arus listrik diawali dengan

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

PENENTUAN NILAI AMBANG BATAS AWAN KONVEKTIF PADA PRODUK SWWI MENGGUNAKAN DATA RADAR CUACA DI WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA

Frekuensi Sebaran Petir pada Kejadian Hujan Ekstrem di Stasiun Meteorologi Citeko... (Masruri dan Rahmadini)

KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN SATELIT TRMM, SATELIT MT-SAT DAN DATA REANALISIS (Studi Kasus Banjir di Tanjungpandan)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Miranti Indri Hastuti *), Annisa Nazmi Azzahra

I PENDAHULUAN II TINJAUAN PUSTAKA

KARAKTERISTIK PETIR DARI AWAN KE BUMI DAN HUBUNGANNYA DENGAN CURAH HUJAN

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

KAJIAN DAMPAK GELOMBANG PLANETER EKUATORIAL TERHADAP POLA KONVEKTIFITAS DAN CURAH HUJAN DI KALIMANTAN TENGAH.

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

IDENTIFIKASI POLA SAMBARAN PETIR CLOUD TO GROUND (CG) TAHUN 2014 DI WILAYAH PROVINSI ACEH

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015)

PENGGUNAAN DATA SATELIT MTSAT-IR DAN TRMM UNTUK MENENTUKAN SUHU THRESHOLD

DAFTAR PUSTAKA. American Geology Institute Glossary of Geology and Related Sciences, American Geological Institute, Washington, D.C., hal.

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017)

Analisis Hujan Lebat pada tanggal 7 Mei 2016 di Pekanbaru

Perubahan Iklim Wilayah DKI Jakarta: Studi Masa Lalu Untuk Proyeksi Mendatang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

Novvria Sagita 1), Ratih Prasetya 2) Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado ABSTRAK

ANALISIS PERTUMBUHAN, PERGERAKAN, DAN INTENSITAS SIKLON TROPIS MARCIA BERBASIS DATA SATELIT MTSAT

ANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi pada musim hujan disaat langit memunculkan kilatan cahaya sesaat

Keywords : tropical cyclone, rainfall distribution, atmospheric conditions. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Informasi Kanal Sadewa 3.0. Didi Satiadi Bidang Pemodelan Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer

VARIABILITAS MUSIMAN CLOUD GROUND LIGHTNING DAN KAITANNYA DENGAN POLA HUJAN DI WILAYAH JAWA (SUDI KASUS BANDUNG DAN SEMARANG)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PERUBAHAN KLIMATOLOGIS CURAH HU]AN DI DAERAH ACEH DAN SOLOK

PENGARUH TOPOGRAFI TERHADAP CURAH HUJAN MUSIMAN DAN TAHUNAN DI PROVINSI BALI BERDASARKAN DATA OBSERVASI RESOLUSI TINGGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Iskandar Muda Banda Aceh

Analisis Potensi Terjadinya Thunderstorm Menggunakan Metode SWEAT di Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda

Novvria Sagita dan Ratih Prasetya Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado Jl. AA Maramis Bandara Sam Ratulangi, Manado 59374

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015)

LIGHTNING. Gambar 1. Antena storm tracker (LD 250 antenna). Gambar2. Layout lightning/2000 v5.3.1

KAJIAN INDEKS STABILITAS ATMOSFER TERHADAP KEJADIAN HUJAN LEBAT DI WILAYAH MAKASSAR (STUDI KASUS BULAN DESEMBER )

ANALISA CUACA BANJIR DI ACEH UTARA TGL FEBRUARI 2016

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017)

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

ANALISIS VERTICAL WIND SHEAR DAN BUOYANCY TERHADAP PERTUMBUHAN AWAN CUMULONIMBUS DI STASIUN METEOROLOGI JUANDA SURABAYA

ANALISIS CURAH HUJAN DIURNAL INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT TRMM DIENI FITRIANI

SENSITIVITAS RADAR CUACA DOPPLER C-BAND (CDR) TERHADAP KEJADIAN ANGIN PUTING BELIUNG DI KECAMATAN SIBORONGBORONG TANGGAL 29 JANUARI 2013

STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG

ANALISIS PSEUDO-VEKTOR PADA AKTIVITAS KONVEKTIF BENUA MARITIM INDONESIA PSEUDO-VECTOR ANALYSIS ON INDONESIAN MARITIME CONTINENT CONVECTIVE ACTIVITY

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Distribusi Spasial dan Temporal Petir di Sumatera Barat

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016

KATA PENGANTAR. Buletin ini berisi data rekaman Lightning Detector, menggunakan sistem LD-250 dan software Lightning/2000 v untuk analisa.

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM DI KECAMATAN KRUI SELATAN KABUPATEN PESISIR BARAT LAMPUNG (Studi Kasus Tanggal 11 Oktober 2017)

PEMANFAATAN CITRA MTSAT UNTUK ANALISIS POLA PERSEBARAN CURAH HUJAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

ANALISIS DAN PEMETAAN SAMBARAN PETIR WILAYAH BALI DAN SEKITARNYA TAHUN 2012

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

ANALISIS KEJADIAN HUJAN SANGAT LEBAT DI CURUG (Studi Kasus Tanggal 9 Februari 2015)

ANALISIS KEJADIAN KABUPATEN SEKADAU, KALIMANTAN BARAT TANGGAL 19 FEBRUARI 2017

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM (BANJIR) DI KEC.NGARAS KABUPATEN PESISIR BARAT (study kasus tgl 09 Nopember 2017)

ANALISIS POLA DAN INTENSITAS CURAH HUJAN BERDASAKAN DATA OBSERVASI DAN SATELIT TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSIONS (TRMM) 3B42 V7 DI MAKASSAR

Analisis Kondisi Atmosfer Pada Saat Kejadian Banjir Bandang Tanggal 2 Mei 2015 Di Wilayah Kediri Nusa Tenggara Barat

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN HUJAN LEBAT DI AMBON TANGGAL 29 JULI 2016

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

KORELASI KEPADATAN SAMBARAN PETIR. AWAN KE TANAH DENGAN SUHU BASAH DAN CURAH HUJAN ( Studi Kasus : Pengamatan di Pulau Jawa )

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISA CUACA TERKAIT BANJIR DI KABUPATEN TANGGAMUS LAMPUNG (26 OKTOBER 2017)

PROFIL WIND SHEAR VERTIKAL PADA KEJADIAN SQUALL LINE DI SAMUDERA HINDIA PESISIR BARAT SUMATERA

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

IDENTIFIKASI CUACA TERKAIT KEJADIAN LONGSOR DI WILAYAH ACEH BESAR TANGGAL 9 SEPTEMBER

ANALISA PERGERAKAN SIKLON TROPIS STAN DAN SIKLON TROPIS YVETTE DAN DAMPAKNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI SUMBAWA BESAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

PENGARUH SEBARAN SUHU UDARA DARI AUSTRALIA TERHADAP SUHU UDARA DI BALI. Oleh, Erasmus Kayadu

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Transkripsi:

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir. 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung

Hubungan Antara Aktivitas Petir CG (Cloud-to-Ground) dan Awan Konvektif (Studi Kasus Wilayah Jawa Barat) RACHMY FITRIANI Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung ABSTRAK Aktivitas petir cloud-to-ground (CG) telah diketahui memiliki pengaruh signifikan terhadap kegiatan manusia. Di wilayah Jawa, kajian mengenai karakteristik petir secara umum telah diteliti dan didapat hubungan antara kejadian petir dengan pola diurnal. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui hubungan aktivitas awan konvektif dengan sambaran petir CG. Data awan konvektif diperoleh dari data temperatur puncak awan satelit MTSAT(Multi-Functional Transport Sattelite) dan data sambaran petir CG didapat dari stasiun pengamatan. Perbandingan kedua data dilakukan dengan timeseries dan spasial. Hubungan antara aktivitas awan konvektif terhadap sambaran petir CG di wilayah Jawa Barat pada penelitian ini menjelaskan bahwa intensitas jumlah sambaran petir CG memiliki hubungan erat dengan aktivitas pertumbuhan awan konvektif. Kata kunci: Petir, Cloud-to-Ground (CG), CG negatif, CG positif, Multi-Functional Transport Sattelite ( MTSAT), Awan Konvektif. 1. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan pertumbuhan awan konvektif yang aktif (Tjasyono, HK. 2004) dan awan ini merupakan tipe awan yang dapat tumbuh menjadi badai guruh yang menghasilkan petir (Jones, 1950). Salah satu jenis sambaran yang sering terjadi adalah sambaran cloud-to-ground (CG) yang dilaporkan sebagai penyebab umum atas kerusakan atau kecelakaan yang disebabkan oleh kejadian petir (Rust,1986). Penelitian ini membahas pengaruh aktivitas awan konvektif terhadap jumlah sambaran petir CG di wilayah kajian dilihat dari pola spasial dan temporal serta melihat karakteristik petir CG saat terjadi pertumbuhan aktivitas awan konvektif di darat dan laut. berdasarkan pendekatan penelitianpenelitian sebelumnya, aktivitas petir diamati melalui berbagai macam parameter seperti temperatur puncak awan (Lhermitte dan Krehbiel, 1979), tinggi vertikal dan radius dasar awan (Holle dan Maier, 1982) sampai pada laju pertumbuhan pembentukan awan (Workman dan Reynolds, 1949). Kajian mengenai petir di wilayah regional sendiri telah diteliti oleh Hamid (2000) mengenai aktivitas petir di Indonesia menggunakan satelit TRMM/LIS, selain itu Hidayat (1999) juga meneliti mengenai karakteristik petir di wilayah Jawa menggunakan Lighning Location Network dan juga terdapat penelitian mengenai perbandingan data satelit TRMM/LIS terhadap data pengamatan permukaan di wilayah Jawa (Hamid, 1999). Pembahasan penelitian ini mencakup tentang petir, awan konvektif dan hubungan antara kedua variabel dan karakteristik masing-masing variabel di wilayah kajian yang berasal dari penelitian sebelumnya dilanjutkan dengan menampilkan data yang mendukung penelitian kemudian dilakukan analisa potensi awan konvektif menggunakan data pengamatan awan dari satelit Multi-Functional Transport Sattelite (MTSAT) kanal IR1, selanjutnya dilakukan validasi data terhadap data observasi petir melalui dengan dua cara, yaitu timeseries dan pola spasial. Pada analisa timeseries diambil dua sampel yaitu darat dan laut dalam wilayah kajian, sedangkan pengamatan spasial dilakukan dengan membandingkan aktivitas awan konvektif terhadap lokasi dan intensitas kejadian petir CG. Terakhir dilakukan analisafase konvektif serta hubungannya dengan karakteristik CG yaitu dilakukan pengamatan aktivitas awan konvektif berkaitan dengan proses pembentukan dan pelenyapan awan konvektif pada wilayah kajian. 2. Metode Penelitian 2.1. Analisa Potensi Awan Konvektif Persebaran awan konvektif pada wilayah kajian dapat diketahui melalui perhitungan indeks konvektif, yaitu selisih temperatur puncak awan dengan threshold temperatur IR awan. Threshold temperatur IR awan dicari dengan menggunakan teknik yang diajukan oleh Arkin (1979) tentang hubungan linear antara curah hujan dan temperatur IR pada puncak awan, dimana temperatur IR puncak awan digunakan untuk mencari potensi awan konvektif dengan korelasi yang tertinggi berasal dari threshold temperatur IR puncak awan 235 K. Meski begitu, untuk temperatur 220-260 K korelasi CH dan temperatur IR puncak awan masih menunjukkan hubungan yang baik (0.80-0.88). Dengan alasan tersebut, maka pada penelitian ini threshold temperatur IR puncak awan dinaikkan 1

untuk mendapat potensi awan konvektif yang lebih luas. 2.2. Validasi data Validasi data pada penelitian ini dilakukan dengan membandingkan persebaran awan konvektif dengan jumlah kejadian sambaran petir CG. Validasi dilakukan melalui dua cara, melalui time series dan pola spasial. Gambar 2.1. Wilayah kajian pengamatan, warna biru adalah sampel penelitian di laut dan merah adalah sampel penelitian di darat. Pada analisa time series diambil dua sampel (darat dan laut) dalam wilayah kajian untuk variabel jumlah sambaran petir CG dan persebaran awan konvektif yang diwakili oleh indeks konvektif. Dari time series dapat dilihat hubungan kedua variabel tersebut dan karakteristiknya seiring waktu dibandingkan terhadap penelitian sebelumnya, selain itu juga dilakukan pengamatan statistik untuk mengetahui distribusi kejadian petir CG seiring aktivitas konvektif awan secara kuantitatif. Pola spasial dilakukan dengan mengamati posisi relatif kejadian sambaran petir terhadap persebaran awan konvektif. Meskipun akurasi posisi kejadian petir tidak diperhitungkan karena metode perhitungan akurasi lokasi tidak dapat diaplikasikan dalam penelitian ini. Pengamatan spasial dilakukan dengan membandingkan aktivitas awan konvektif terhadap lokasi dan intensitas kejadian petir CG. 2.3. Analisa Fase Konveksi serta Hubungan CG Negatif dan CG Positif Aktivitas awan konvektif berkaitan dengan proses pembentukan dan pelenyapan awan konvektif pada wilayah kajian. Analisa yang dilakukan pada penelitian ini berasal dari pengamatan spasial dengan mengamati hubungan dan karakteristik antara jumlah sambaran petir CG negatif dan positif terhadap pertumbuhan awan konvektif baik yang terjadi di darat atau laut. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Perbandingan Timeseries Petir CG dan Indeks Konvektif Pola timeseries indeks konvektif pada Gambar 3.1(b) pada hari pertama (3-5 Februari) memperihatkan adanya dominasi aktivitas konvektif di wilayah laut, dan pada waktu yang sama timeseries kejadian petir juga cenderung memperlihatkan aktivitas CG di laut yang lebih tinggi dibandingkan hari lainnya. Berbeda ketika indeks konvektif lebih aktif di darat (13-15 Februari), aktivitas petir CG di darat dan laut lebih rendah dibandingkan jumlah sambaran pada hari lainnya, meskipun ketika terlihat peningkatan aktivitas konvektif di laut (9-11 Februari), aktivitas petir CG di darat ikut mengalami kenaikan. Tetapi ketika terjadi pola diurnal yang kuat (20-25 Februari) aktivitas petir CG meningkat terutama di daratan. Gambar 3.1. Plot time series jumlah sambaran petir dan rataan indeks konvektif per jam pada wilayah sampel. Pola sambaran petir CG yang lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.2(a), disini dapat dilihat sambaran petir lebih dominan di darat pada harihari pertama (1-5 Februari) kemudian bergeser ke darat pada 8-10 Februari dan terus mengalami penurunan sampai tanggal 15 Februari, hingga setelahnya (16-28 Februari) mengalami kenaikan jumlah sambaran petir CG yang signifikan, terutama di wilayah darat. Pada Gambar 3.1 telah dijelaskan pada 13-15 Feb terjadi aktivitas konvektif darat yang lebih dominan tetapi kejadian sambaran petir lebih kecil dibandingkan hari lainnya, dan pada gambar 3.2(a) terlihat tingginya jumlah sambaran petir di darat pada tanggal (8-11 Februari), jika kejadian ini dibandingkan dengan plot indeks konvektif pada Gambar 3.1(b) diketahui aktivitas konvektif di dominasi oleh darat dengan aktivitas konvektif dilaut yang cukup signifikan dibandingkan dengan tanggal (13-15 Februari) dimana terdapat aktivitas 2

konvektif darat yang dominan tetapi aktivitas konvektif lautnya sangat rendah. Maka dapat disimpulkan bahwa pola jumlah sambaran petir CG mengikuti pola aktivitas konveksi di wilayah tersebut, meskipun terdapat kemungkinan adanya pengaruh aktivitas konveksi di laut terhadap intensitas jumlah sambaran petir CG di darat ketika indeks konvektif darat lebih kuat. (a) (b) Gambar 3.2 (a) Timeseries rataan perhari sambaran petir, (b)normalisasi selisih indeks konvektif darat dikurangi indeks konvektif laut, nilai positif adalah dominan darat dan negatif merupakan dominan laut. 3.2. Perbandingan Timeseries Petir CG dan Aktvitas Awan Konvektif Diurnal Berdasarkan grafik perbandingan antara aktivitas petir CG dengan indeks konvektif perhari menunjukkan adanya perbedaan fasa antara kedua variabel tersebut baik di darat atau laut. Di darat, CG negatif selalu memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan CG positif dan selalu berada dalam fase yang sama, berbeda dengan CG negatif dan CG positif di laut yang memiliki fase yang berlainan dan intensitas yang berbeda setiap waktunya. Perbedaan dominan aktivitas konvektif dapat mempengaruhi jumlah kejadian petir CG di darat, misalnya pada kondisi variasi diurnal kuat jumlah sambaran lebih tinggi dibandingkan pada ketiga kondisi lainnya, sedangkan pada kondisi indeks konvektif dominan darat jumlah kejadian petir CG cukup kuat, dan yang paling rendah pada saat kondisi indeks konvektif dominan laut. Pada Gambar 3.4(a,b,c). saat kondisi aktivitas konvektif menurun, sambaran petir masih terjadi dan bertambah pada pukul 19.00 WIB kemudian menurun satu jam setelahnya. Posisi sambaran petir cenderung berpusat pada tempat pengamatan dan tidak terlihat terpengaruh oleh posisi indeks konvektif. Sedangkan saat kondisi aktivitas awan konvektif mengalami peningkatan pada Gambar 3.4(d,e,f), terlihat posisi sambaran petir cenderung menyebar dan tidak selalu berada dalam awan konvektif. Posisi sambaran petir cenderung jauh terhadap lokasi potensi awan konvektif. (a) (b) (c) Gambar 3.3 Sampel perbandingan aktivitas petir CG dan Indeks konvektif (a)indeks konvektif dominan darat, (b) Indeks konvektif dominan laut, dan (c) Variasi diurnal kuat. 3

(a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 3.4. Plot overlay sambaran petir CG terhadap potensi awan konvektif pada (a) 8 Februari 2009, 18.00 WIB (b) 8 Februari 2009, 19.00 WIB (c) 8 Februari 2009, Pukul 20.00 WIB. (d) 28 Februari 2009, 13.00 WIB (e) 28 Februari 2009, 14.00 WIB (f) 28 Februari 2009, 15.00 WIB. Kontur menunjukkan temperatur puncak awan dalam Celcius ( o C), daerah berarsir merupakan potensi awan konvektif. 3.3. Perbandingan Aktivitas Awan Konvektif terhadap CG Positif dan CG Negatif Dengan asumsi terjadi lag waktu, dilakukan korelasi lag antara data sambaran petir CG dan potensi awan konvektif dengan nilai korelasi tertinggi pada lag waktu 9 jam. Selanjutnya analisa pengamatan antara data petir CG dan potensi awan konvektif dilakukan berdasarkan lag waktu ini. Gambar 3.5. Korelasi lag antara sambaran petir CG dan Indeks konvektif selama bulan Februari. 3.3.1. Aktivitas Konvektif di Darat Di darat aktivitas konvektif memiliki fasa yang sama terhadap sambaran CG negatif dan positif. Pada saat terjadi peningkatan aktivitas konvektif, didahului oleh peningkatan jumlah sambaran CG negatif, peningkatan jumlah sambaran CG positif terjadi setelah peningkatan aktivitas konvektif. Secara umum sambaran petir CG terjadi di sekitar inti awan konvektif, dan jenis sambaran yang mendominasi adalah sambaran CG negatif. Dalam penelitian ini, jumlah sambaran yang sering terjadi di darat adalah sambaran CG negatif dengan rasio jumlah sambaran CG positif berbanding CG negatif adalah 0.3 dengan standar deviasi 0.05. 3.3.2. Aktivitas Konvektif di Laut Peningkatan aktivitas konvektif di laut tidak selalu diiringi oleh aktivitas petir. Pada kondisi terdeteksi sambaran petir, saat proses pembentukan awan konvektif terdeteksi CG negatif di sekitar pusat awan konvektif dan CG negatif di tepi awan konvektif, kedua jenis sambaran tersebut mulai berada pada tutupan awan konvektif. Ketika terjadi puncak aktivitas awan konvektif sambaran CG negatif lebih banyak terjadi dibandingkan CG positif, semua aktivitas petir berada dekat inti awan. Dan pada saat penurunan aktivitas konvektif tidak terlihat adanya kejadian petir dekat inti awan, meskipun terlihat ada kejadian sambaran CG ketika awan yang telah mengalami penurunan aktivitas 4

konvektif tersebut mencapai daerah pantai. Meskipun terdapat beberapa kejadian dimana sambaran petir CG positif lebih dominan dibandingkan CG negatif, dan dilihat dari time series kedua jenis sambaran tidak memiliki fase yang sama seperti pada aktivitas konvektif di darat. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 3.6. Plot overlay sambaran petir CG terhadap potensi awan konvektif dengan lag 9 jam terhadap indeks konvektif. Aktivitas awan konvektif di darat (a)19 Februari 2009, 15.00 WIB (b)19 Februari 2009, 19.00 WIB (c)19 Februari 2009, 23.00 WIB; Aktivitas awan konvektif di laut (d)1 Maret 2009, 02.00 WIB (e) 1 Maret 2009, 03.00 WIB (f) 1 Maret 2009, 04.00 WIB.. Kontur menunjukkan temperatur puncak awan dalam Celcius ( o C), daerah berarsir merupakan potensi awan konvektif. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pada kondisi kajian wilayah Jawa Barat bulan Februari 2009 dapat disimpulkan bahwa; Jumlah sambaran petir CG berkaitan dengan intensitas aktivitas pertumbuhan awan konvektif, data aktivitas awan konvektif melalui perhitungan indeks konvektif dapat menggambarkan kejadian petir di wilayah kajian. Jumlah sambaran CG terdeteksi tertinggi pada saat intensitas diurnal kuat, diikuti oleh pada kondisi awan konvektif dominan darat, dan yang paling rendah pada kondisi awan konvektif dominan laut. Aktivitas awan konvektif di darat memiliki fase yang sama terhadap sambaran petir CG. Sambaran CG negatif mengalami peningkatan aktivitas mendahului aktivitas awan konvektif darat diikuti peningkatan aktivitas jumlah sambaran CG positif. Jumlah sambaran yang dominan pada aktivitas awan konvektif darat adalah CG negatif. Aktivitas awan konvektif di laut 5 tidak selalu diikuti oleh aktivitas petir. Semua kejadian sambaran petir CG terjadi di sekitar pusat awan konvektif. 5. Saran dan Diskusi Kajian mengenai petir CG di Indonesia masih terbatas jumlahnya dan dalam penelitian tugas akhir mengenai petir CG ini masih banyak pembahasan yang dapat dikembangkan. Penambahan jumlah stasiun dapat dilakukan untuk menentukan posisi kejadian petir yang lebih akurat, selain itu dapat diteliti mengenai karakteristik petir CG di wilayah Indonesia pada bulan kering, atau dapat menggunakan parameter lain untuk melihat hubungannya terhadap aktivitas petir CG. Selain itu perlu diperhatikan pengecekan waktu data pengamatan lightning detector dengan waktu acuan, karena data pengamatan lightning detector mengambil data waktu dari komputer lokal.

REFERENSI Arkin, P. A. (1979). The Relationship between Fractional Coverage of High Cloud and Rainfall Accumulation during GATE over the B-Scale Array. Monthly Weather Review vol.107, 1382-1387. Hidayat, S. a. (1998). Spatial and temporal distribution of lightning activity around Java. Journal Geophysics Research, 103(D12). Hidayat, S. K. (1999). Lightning Characteristics on Java Island Observed by Lightning Location Network. London: 11th International Symposium on High-Voltage Engineering. Jones, R. (1950). The Temperature at The Tops of Radar Echoes Associated with Various Cloud Systems. Quarterly Journal of The Royal Meteorology Society, 312-330. Krehbiel, P. R. (1986). The Electrical Structure of Thunderstorms. Dalam The Earth's Electrical Environment (hal. 90-113). Washington D.C.: National Academy Press. Krider, E. P. (1986). Physics of Lightning. Dalam The Earth's electrical environment (hal. 30). Washington, DC: National Academy Press. Lhermitte, R., dan Krehbiel, P. (1979). Doppler Radar and Radio Observations of Thunderstorms. IEEE Transactions on Geoscience Electronics, 162-171. Lhermitte, R., dan Williams, E. (1985). Thunderstorms electrification: A case study. Journal Geophysics Res., 6071-6078. Rust, W. D. (1986). Positive Cloud-to-Ground Lightning. Dalam The Earth's electrical environtment (hal. 41). Washington DC: National Academy Press. Syahputra, R. (2008). Kajian Korelasi Rain-rates dan Temperatur Puncak Awan dalam Estimasi Curah Hujan dengan Menggunakan Data Satelit Geostasioner dan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Bandung: Institut Teknologi Bandung. Tjasyono HK, B. (2004). Klimatologi. Bandung: Penerbit ITB. Tjasyono HK, B. (2008). Meteorologi Terapan. Bandung: Penerbit ITB. Workman, E., dan Reynolds, S. (1949). Electrical Activity as Related to Thunderstorm Cell Growth. America Meteorological Society, 142-144. 6