KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani No. 70, Bogor 16161 Evaluasi Kinerja PDB KINERJA SEKTOR PERTANIAN Selama periode 1997 1998 sektor pertanian anjlok dalam kirisis. Tahun 1997 sektor pertanian mengalami kontraksi akibat anomali iklim El-Nino. Subsektor tanaman pangan bahan makanan mengalami kontraksi -2,85 persen. Subsektor tanaman perkebunan mengalami resesi dari rata-rata 4,65 persen/tahun selama perode 1994-1996 menjadi hanya 1,37 persen tahun 1997. Pada tahun 1998 kontraksi akibat El Nino dan krisis ekonomi berkepanjangan menyebabkan resesi subsektor perkebunan terus berlanjut menjadi hanya 0,71 persen, dan subsektor peternakan mengalami kontraksi yang cukup besar yaitu -4,52 persen. Kontraksi subsektor tanaman pangan menurun dari -2,85 tahun 1997 menjadi -0,41 persen pada tahun 1998. Secara keseluruhan sektor pertanian mengalami kontraksi 0,17 persen. Setelah Rebound dari kontraksi selama tahun 1997/1998, selama periode tahun 1999 2000 laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sangat rendah dan cenderung menurun, dari 2,16 persen pada tahun 1999 menjadi hanya 0,63 persen pada tahun 2001. Pada tahun 2001, subsektor tanaman bahan makanan malah kembali mengalami kontraksi, tumbuh negatif 1,11 persen. Kiranya dapat disimpulkan selama periode tahun 1999 2001 sektor pertanian telah terperosok ke dalam perangkap spiral pertumbuhan rendah dan yang terburuk keragaannya ialah subsektor tanaman bahan makanan. Keragaan sektor pertanian pada tahun 2002 sungguh mengejutkan atau bahkan dapat disebut fenomenal. Keragaan sektor pertanian pada tahun 2002 kembali membaik, walaupun masih belum pulih seperti kondisi sebelum krisis. Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mencapai 2,28 persen/tahun memang masih di bawah rata-rata sebelum krisis (1994-1996) yang mencapai 2,64 persen/tahun. Pertumbuhan sebesar 2,28 persen cukup memadai untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk yang hanya mencapai 1,2 persen. Secara keseluruhan subsektor pertanian mengalami pertumbuhan positif dan kiranya patut dikatakan bahwa sektor pertanian telah mampu melepaskan diri dari perangkap spiral pertumbuhan rendah. 210
Ketiga subsektor pertanian ( tanaman bahan makanan, perkebunan dan peternakan) tumbuh luar biasa pada tiga kuartal pertama tahun 2002. Subsektor tanaman bahan nakanan yang jarang tumbuh di atas tiga persen dan pada tahun 2001 mengalami kontraksi, pada tiga kuartal pertama 2002 melonjak dengan laju pertumbuhan 2,75 persen/tahun. Subsektor peternakan meraih nilai pertumbuhan 9,61 persen/tahun. Laju pertumbuhan subsektor Perkebunan juga melonjak menjadi 5,14 persen/tahun, di atas laju pertumbuhan rata-rata pada periode tahun 1994 1996 yang hanya 4,65 persen/tahun. Ketiga subsektor pertanian (tanaman bahan makanan, perkebunan dan peternakan) tumbuh positif pada tahun 2003. Subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan dan peternakan masing-masing tumbuh sebesar 1,90; 10,69 dan 1,30 persen. Indeks PDB sektor pertanian sejak tahun 2000 meningkat secara konsisten. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sektor pertanian tahun 2003 berada pada fase percepatan pertumbuhan. Berdasarkan data BPS, tidak dapat disangkal hanya sektor pertanian (tanaman dan peternakan) pada tahun 2002, tumbuh sungguh luar biasa, barangkali terlalu tinggi dan di luar perkiraan bagi sebagian pihak. Keragaan sektor pertanian pada tiga kuartal pertama tahun 2002 jauh lebih baik daripada selama periode sebelum 1994-1996. Kiranya sahih untuk menyimpulkan bahwa sektor pertanian telah terlepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah yang berlangsung selama periode tahun 1999 2001. Kesimpulan ini terlihat lebih gamblang dari grafik pertumbuhan pada Gambar 1 dan 2. Lonjakan pertumbuhan yang demikian tinggi dan melampaui pada kondisi normal sebelum krisis merupakan salah satu indikasi awal bahwa sejak kuartal II tahun 2002 sektor pertanian telah pulih dari ancaman krisis. Keragaan sektor pertanian pada tahun 2003 sampai kuartal II menunjukkan tanda-tanda berada fase percepatan pertumbuhan. Secara keseluruhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan tumbuh sebesar 2,92 persen di atas rata-rata laju pertumbuhan sebelum krisis yang mencapai 2,64 persen. Sektor pertanian sendiri tumbuh 3,31 persen juga di atas rata-rata laju pertumbuhan sebelum krisis yang mencapai 2,63 persen Selain lonjakan laju pertumbuhan, indikasi kedua perihal telah pulihnya sektor pertanian dari cekaman krisis ialah indek PDB riil sektor pertanian yang sejak tahun 1999 telah melampaui level basis pada awal krisis tahun 1997 (Gambar 3). Hal itu berbeda dengan PDB total yang hingga tahun 2002 masih tetap di bawah level awal krisis tahun 1997. Berbeda dengan sektor pertanian, perekonomian nasional masih belum sepenuhnya pulih dari cekaman krisis. Dapat disimpulkan, pada tahun 2002 sektor pertanian telah sepenuhnya pulih dari cekaman krisis dan terlepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah. Sektor pertanian telah melewati fase krisis (1997 1998) dan fase pertumbuhan rendah (1999 2001), kini (2002) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan ( accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Kinerja Pertumbuhan PDB Pertanian 2003 : Berada Pada Fase Percepatan Pertumbuhan Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang 211
10,00 5,00 0,00 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (I-II) -5,00-10,00-15,00 I. Pertanian IV. Pertanian, Kehutanan, Perikanan V. PDB Total Gambar 1a. Laju Pertumbuhan Ekonomi Nasional, 1996-2003 15,00 10,00 5,00 0,00 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 (I-II) -5,00-10,00-15,00-20,00 I. Pertanian a. Tan. Bhn Makanan b. Tan. Perkebunan c. Peternakan Gambar 1b. Laju Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian 212
15.00 10.00 Laju Pertumbuhan Pertumbuhan 5.00 0.00-5.00-10.00 1994-1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Pertanian Bahan Makanan Perkebunan Peternakan -15.00-20.00 Tahun Gambar 2. Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian 1994-2002 (%) 110.00 105.00 Indek 100.00 95.00 k 90.00 85.00 80.00 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun Pertanian Pertanian, Kehutanan, Perikanan PDB Total Tahun 2002 sampai Kuartal III Gambar 3. Perkembangan Indek PDB 1997-2002, 1997 = 500 KINERJA HARGA DAN PRODUKSI Perkembangan Harga Gabah Secara umum dapat dikatakan bahwa harga gabah rata-rata antara bulan Januari-Juli tahun 2002 lebih tinggi dari harga rata-rata bulan yang sama tahun 2001. Relatif tingginya harga gabah pada musim panen raya tahun 2002 dibandingkan dengan musim yang sama tahun 2001, selain disebabkan oleh Kinerja Pertumbuhan PDB Pertanian 2003 : Berada Pada Fase Percepatan Pertumbuhan Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang 213
efektivitas pelaksanaan kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) di lapangan, juga ditunjang oleh keadaan iklim yang relatif lebih baik pada musim panen raya tahun 2002. Efektivitas pelaksanaan kebijakan HDPP pada tahun 2002 juga ditunjukkan oleh semakin rendahnya persentase transaksi gabah di bawah harga referensi. Data menunjukkan bahwa rata-rata persentase transaksi gabah di bawah harga referensi pada Januari-Juli tahun 2002 sebesar 7,76 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2001 sebesar 40,04 persen. Rata-rata persentase transaksi di bawah kualitas pada periode Januari-Juli 2002 relatif kecil, yaitu 8,20 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2001 yang mencapai 13,31 persen, juga menunjukkan bahwa kondisi iklim pada musim panen tahun 2002 relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 2001. Kondisi ini memungkinkan bagi petani/pedagang/pengolah untuk melakukan pengolahan pascapanen padi secara lebih baik. Produksi Padi Setelah mengalami penurunan pada tahun 2001, produksi padi nasional pada tahun 2002 mengalami peningkatan sekitar 2,27 persen, yaitu dari sekitar 50,5 juta ton menjadi 51,6 juta ton. Peningkatan produksi padi tahun 2002, selain disebabkan oleh peningkatan luas panen dari 11,5 juta hektar pada tahun 2001 menjadi sekitar 11,6 juta hektar atau meningkat sekitar 1,23 persen, juga adanya peningkatan produktivitas sekitar 1,03 persen, yaitu dari 43,88 ku/ha menjadi 44,33 ku/ha. Peningkatan produksi padi tahun 2002 merupakan prestasi tersendiri dan di luar dugaan banyak pihak yang selama ini memprediksikan produksi padi tahun 2002 akan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2001 karena El-Nino kembali akan melanda Indonesia. Namun hingga di penghujung tahun 2002, El-Nino di Indonesia tidak terjadi, sehingga pertanaman padi yang ada relatif tidak terganggu. Pemerintah memang sempat dibuat khawatir oleh terjadinya banjir di awal tahun 2002 yang kemudian disusul oleh datangnya musim kemarau yang lebih awal, sehingga banyak media massa yang mengangkat berita kekeringan yang terjadi di beberapa daerah. Untuk merespon berita tersebut, pemerintah kemudian melakukan investigasi dan hasilnya menunjukkan bahwa daerah-daerah yang dilaporkan telah terjadi kekeringan memang merupakan daerah yang rawan kekeringan untuk musim tanam padi kedua atau MK I, karena keterbatasan ketersediaan air irigasi. Pada saat yang sama, areal persawahan beririgasi teknis masih dapat berproduksi secara normal. Mengingat padi (beras) merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia, maka pemerintah masih harus terus mengupayakan peningkatan produksi padi. Potensi peningkatan produksi padi di Indonesia masih terbuka, karena pencapaian produksi padi tahun 2002 masih lebih rendah dibandingkan dengan produksi tahun 2000 yang mencapai 51,9 juta ton. Salah satu kendala 214
terbesar dalam peningkatan produksi padi di Indonesia selain stagnasi dalam inovasi teknologi, khususnya dalam penciptaan bibit unggul, juga semakin memburuknya kualitas dan kuantitas jaringan irigasi. Harus diakui, pengaruh perubahan lingkungan yang semakin buruk telah mengakibatkan kualitas dan kuantitas air yang dapat ditampung dalam bendungan-bendungan semakin terbatas. Semakin sempitnya daerah resapan, mengakibatkan pada saat musim hujan akan rawan banjir dan pada saat musim kemarau air akan cepat menyusut karena air yang dapat ditangkap oleh tanah relatif sedikit. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu mengupayakan perbaikan lingkungan, khususnya mencegah terjadinya penggundulan dan perambahan hutan. Produksi Jagung Sama seperti halnya produksi padi, produksi jagung tahun 2002 juga mengalami peningkatan sebesar 5,02 persen dibandingkan dengan tahun 2001, yaitu dari 9,3 juta ton menjadi 9,8 juta ton. Peningkatan produksi jagung tahun 2002, juga disebabkan oleh peningkatan luas panen dan produktivitas, yang masing-masing mencapai 1,2 dan 3,7 persen. Jagung selain digunakan sebagai bahan pangan pokok bagi sebagian penduduk Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Timur, juga digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Jagung untuk keperluan konsumsi (pangan) cukup dipenuhi dari produksi dalam neg eri, namun untuk bahan baku pembuatan pakan ternak sebagian masih harus diimpor. Salah satu kendala utama pengembangan produksi jagung di Indonesia adalah masih sangat terbatasnya petani yang mengusahakan tanaman jagung sebagai tanaman utama. Jagung selama ini hanya ditanam sebagai salah satu alternatif tanaman palawija dalam pola tanam petani yang umumnya adalah padi-padi-palawija atau padi-palawija-bero. Ketidakkonsistenan petani untuk selalu menanam jagung dalam pola tanam yang dilakukannya, menjadi salah satu penyebab berfluktuasinya produksi jagung. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada saat air cukup tersedia, usahatani padi memang lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani jagung. Oleh karena itu, produksi jagung di musim hujan akan lebih rendah dibandingkan dengan musim kemarau. Produksi Kedelai Berbeda dengan padi dan jagung, produksi kedelai nasional pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 10,16 persen dibandingkan dengan tahun 2001, yaitu dari 827 ribu ton menjadi 743 ribu ton. Penurunan produksi kedelai disebabkan oleh penurunan luas panen dan produktivitas, masing-masing sebesar 8,8 persen dan 1,48 persen. Selama kurun waktu 1994-2002, luas panen kedelai secara konsisten terus mengalami penurunan sekitar 9,1 persen per tahun, sementara selama kurun waktu yang sama, produktivitas hanya tumbuh sangat kecil yaitu 0,98 persen per tahun. Akibatnya, selama kurun waktu 1994-2002, Kinerja Pertumbuhan PDB Pertanian 2003 : Berada Pada Fase Percepatan Pertumbuhan Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang 215
produksi kedelai secara konsisten juga mengalami penurunan sebesar 8,26 persen per tahun. Sama seperti halnya tanaman jagung, kedelai juga merupakan tanaman alternatif dalam pola tanam petani, sehingga produksi kedelai juga cenderung berfluktuatif. Selain itu, tanaman kedelai sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman, sehingga untuk pengusahaannya membutuhkan biaya yang cukup besar, khususnya untuk membeli obat-obatan pemberantas hama-penyakit tanaman. Sebagai tanaman alternatif, kecenderungan yang ada selama ini adalah minimalnya perawatan tanaman yang dilakukan petani, sehingga sulit untuk dapat mengharapkan tingkat produktivitas yang optimum. Produksi Hortikultura Produksi tanaman hortikultura, khususnya sayuran dan buah-buahan, pada tahun 2002 cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari volume ekspor yang semakin meningkat dan volume impor yang menurun. Peningkatan volume ekspor dan penurunan volume impor berarti menunjukkan adanya peningkatan produksi dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya. Berdasarkan data ekspor impor BPS, ekspor buah segar, sayuran olahan, buah-buahan olahan dan sari buah dan sayuran pada tahun 2002 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2001 masing-masing sebesar 34,63 persen, 21,13 persen, 65,30 persen dan 64,26 persen. Namun khusus untuk ekspor sayuran segar pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 48,9 persen. Penurunan ekspor sayuran segar ini, dapat dikarenakan memang produksinya turun atau produksinya relatif tetap atau bahkan meningkat, tapi sebagian besar digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri. Apabila menyimak keragaan peningkatan ekspor produk olahan sayuran dan terjadinya penurunan impor sayuran segar pada tahun 2002, sebesar 27,97 persen dibandingkan dengan tahun 2001, maka produksi sayuran tahun 2002 diperkirakan tidak lebih buruk dibandingkan dengan tahun 2001. Produksi Tanaman Perkebunan Berdasarkan data perkembangan ekspor impor komoditas perkebunan, dapat diperkirakan produksi tanaman perkebunan tahun 2002 mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2001. Data ekspor impor sampai dengan bulan Mei 2002 menunjukkan, dari sejumlah komoditi perkebunan utama, yang mengalami penurunan ekspor hanya minyak kelapa, tembakau dan tanaman obatobatan masing-masing sebesar 1,0 persen, 14,4 persen dan 21,6 persen. Sementara ekspor karet, minyak sawit, minyak inti sawit, kopi, kakao, nilam dan jahe untuk periode yang sama mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu masingmasing sebesar 4,9 persen, 31,9 persen, 28,6 persen, 51,0 persen, 29,8 persen, 52,5 persen dan 102,8 persen. 216
Perkiraan peningkatan produksi tanaman perkebunan pada tahun 2002 semakin kuat dengan menurunnya impor beberapa komoditas perkebunan selama periode Januari-Mei 2002 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2001. Selama periode tersebut, terjadi penurunan impor minyak sawit sebesar 70,1 persen, kakao 37,7 persen, cengkeh 98,5 persen, dan kapas 60,3 persen. Produksi Peternakan Berdasarkan data ekspor impor, produksi subsektor peternakan pada tahun 2002 juga diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan tahun 2001. Peningkatan produksi beberapa komoditas peternakan utama diindikasikan oleh peningkatan volume ekspor selama kurun waktu Januari-Juni. Selama kurun waktu tersebut, ekspor komoditas ternak, seperti DOC ayam bibit (FS) mengalami peningkatan sebesar 150,88 persen, sementara babi bibit, kuda dan sapi mengalami peningkatan masing-masing sebesar 100 persen. Selain itu, ekspor beberapa hasil ternak juga mengalami peningkatan yang cukup besar, seperti telur tetas meningkat sebesar 644 persen, telur konsumsi 6.365,71 persen, daging ayam 272,92 persen, dan daging babi 3.157,36 persen. Perkiraan peningkatan produksi subsektor peternakan pada tahun 2002 semakin kuat dengan menurunnya impor beberapa komoditas peternakan seperti sapi bakalan turun 46,76 persen, DOC ayam bibit (PS) 69,42 persen dan ternak unggas 60,42 persen. Selain itu, impor beberapa hasil ternak utama juga mengalami penurunan yang cukup besar, seperti daging sapi turun 59,41 persen, daging domba/kambing 18,09 persen, daging ayam 78,78 persen dan produk susu 44,27 persen. Perkembangan Ekspor Impor Dalam konteks ekonomi global, tidaklah lengkap apabila membicarakan perdagangan internasional pangan hanya dari satu sisi, yaitu impor atau ekspor saja. Potensi sumberdaya di suatu wilayah atau negara tidak sama, sehingga masing-masing wilayah atau negara memiliki keunggulan komparatif dalam produksi komoditas pangan yang berbeda. Perdagangan antarwilayah dan perdagangan internasional (ekspor dan impor) akan memberikan manfaat dalam pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin beragam. Oleh karena itu, analisis akan lengkap apabila yang dibahas adalah neraca perdagangan pangan, yaitu berapa banyak nilai ekspor dibandingkan dengan impor dari berbagai komoditas pangan. Selama kurun waktu 1996-2002, neraca perdagangan sektor pertanian secara total baik dalam arti luas, yang terdiri dari tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan maupun pertanian dalam arti sempit, yang terdiri dari tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan selalu mengalami surplus. Surplusnya neraca perdagangan sektor Kinerja Pertumbuhan PDB Pertanian 2003 : Berada Pada Fase Percepatan Pertumbuhan Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang 217
pertanian karena didukung oleh neraca perdagangan subsektor perkebunan, hortikultura, perikanan dan kehutanan yang selalu positif, sementara untuk neraca perdagangan subsektor tanaman pangan dan peternakan hingga saat ini masih selalu defisit. Defisit neraca perdagangan subsektor tanaman pangan selama periode tersebut, disebabkan karena masih relatif besarnya (walaupun untuk beras sudah cenderung turun) impor gandum, beras, jagung dan kedelai, sementara untuk subsektor peternakan impor yang masih cukup besar selama ini adalah ternak hidup dan susu. Namun apabila kita cermati lebih jauh, keragaan neraca perdagangan dari bulan Januari hingga Juli tahun 2002, relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 2001 untuk periode yang sama. Untuk subsektor tanaman pangan, kondisi neraca perdagangannya relatif sama, namun untuk subsektor hortikultura, peternakan dan perkebunan menunjukkan perkembangan yang cukup positif. Ekspor komoditas hortikultura pada tahun 2002 meningkat sebesar 27,82 persen dibandingkan dengan tahun 2001, sementara impornya turun sebesar 21,83 persen, sehingga neraca perdagangan subsektor hortikultura mengalami surplus sebesar US $ 43, 7 juta, sementara pada tahun 2001 mengalami defisit sebesar US $25,8 juta. Subsektor peternakan walaupun ekspornya pada tahun 2002 mengalami penurunan 33,87 persen dibanding tahun 2001, namun jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan dengan penurunan jumlah impor yang mencapai 46,78 persen, sehingga defisit neraca perdagangannya mengalami penurunan dari US $ 160 juta menjadi US $ 68, 2 juta. Keragaan ekspor-impor subsektor perkebunan pada tahun 2002 semakin menunjukkan bahwa subsektor tersebut masih menjadi andalan penghasil devisa yang sangat potensial. Ekspor subsektor perkebunan pada tahun 2002 meningkat sebesar 40,10 persen dibanding tahun 2001, sementara impornya turun sebesar 46,13 persen. Dengan demikian, neraca perdagangan subsektor perkebunan pada tahun 2002 mengalami surplus sebesar US $ 2,3 milyar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2001 yang mencapai US $ 889,1 juta. Keragaan ekspor-impor tahun 2002 yang cukup menggembirakan tersebut perlu dijaga dan lebih ditingkatkan pada masa yang akan datang. Namun seiring dengan semakin meningkatnya ancaman terorisme hampir di seluruh negara di dunia, Amerika Serikat yang merupakan salah satu negara utama tujuan ekspor pertanian Indonesia telah mengeluarkan peraturan bioterorism untuk mengawasi secara ketat produk impor pangan yang masuk ke Amerika Serikat. Dikhawatirkan, tindakan tersebut akan diikuti oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat, yang sebagian besar juga merupakan negara tujuan ekspor pertanian Indonesia, sehingga dapat mengancam kegiatan ekspor-impor Indonesia. Ketahanan Pangan Ketahanan pangan akan terwujud apabila seluruh penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan nutrisi yang dibutuhkan guna menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari. Ketahanan 218
pangan mengandung perspektif makro, yaitu penyediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk di tingkat nasional dan daerah, dan perspektif mikro, yaitu kemampuan setiap rumah tangga mengakses pangan yang cukup, aman dan bergizi, sesuai dengan kebutuhan individu anggotanya. Berdasarkan data Neraca Bahan Makanan, selama kurun waktu 1994-2001, secara makro ketersediaan energi, protein dan lemak selalu di atas angka anjuran (rekomendasi) yang masing -masing sebesar 2.500 kalori dan 55 gram. Total ketersediaan energi untuk dikonsumsi penduduk Indonesia pada tahun 2001 sebesar 2.928 kal/kap/hari atau 110,12 persen dari angka anjuran, sementara untuk protein yang tersedia mencapai 75,95 gram/kap/hari atau 138,09 persen dari angka anjuran. Ketersediaan lemak pada tahun 2001 tercatat sebesar 64,10 gram. Dibandingkan dengan tahun 2000, ketersediaan energi turun sebesar 175 kalori (5,64 %), ketersediaan protein turun sebesar 5,73 gram (7,02 %) dan lemak turun sebesar 0,30 gram (0,47 %). Kontribusi kelompok padi-padian (khususnya beras) terhadap ketersediaan energi dan protein bagi pola pangan penduduk Indonesia masih sangat dominan, sehingga penurunan produksi padi dan beberapa tanaman palawija serta relatif rendahnya impor beras pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun 2000, berdampak pada penurunan ketersediaan energi dan protein. Namun demikian pada tahun 2002, dengan terjadinya peningkatan produksi padi dan beberapa tanaman palawija, diperkirakan ketersediaan energi dan protein akan lebih besar dibandingkan dengan tahun 2001. Keragaan gambaran ketersediaan pangan secara makro yang relatif cukup baik akan lebih bermakna apabila diikuti oleh gambaran kondisi mikro. Diakui kondisi mikro, khususnya akses penduduk terhadap pangan masih belum merata. Fluktuasi harga komoditas pertanian menyebabkan sebagian penduduk pedesaan yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian hingga saat ini daya belinya masih relatif rendah. Di samping itu, pertumbuhan sektor industri dan jasa yang masih relatif rendah juga menyebabkan kelompok penduduk berpendapatan rendah di perkotaan juga masih mengalami keterbatasan terhadap akses pangan. Langkah Tindak Lanjut Melonjaknya pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2002, hendaklah dipandang sebagai kebangkitan awal yang sebaiknya dianggap sebagai peluang sekaligus tantangan berat untuk mengangkat sektor pertanian ke fase pertumbuhan berkelanjutan. Tidak tertutup kemungkinan kebangkitan tersebut bersifat jangka pendek karena terutama ditopang oleh kebijakan relatif seperti antisipasi anomali iklim El Nino dan penurunan harga. Dengan demikian agenda kebijakan yang perlu diprioritaskan pada tahun 2003, yang sudah dipersiapkan sejak beberapa bulan lalu, ialah mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi 2002. Kinerja Pertumbuhan PDB Pertanian 2003 : Berada Pada Fase Percepatan Pertumbuhan Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang 219
Beberapa langkah-langkah operasional yang akan dilanjutkan atau baru dilaksanakan 2003 ialah : a. Program aksi pengembangan agribisnis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. b. Program agropolitan dan revitalisasi penyuluhan. c. Kebijakan dukungan harga pupuk pertanian. d. Subsidi pupuk. e. Percepatan pelepasan varietas unggul baru oleh Badan Litbang Pertanian. 220