Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia pada Anak Balita di Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya

dokumen-dokumen yang mirip
The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in Tambakrejo Health Center in Surabaya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: Penta Hidayatussidiqah Ardin

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

Salah satu upaya pencegahan pneumonia yang berhubungan dengan lingkungan adalah dengan menciptakan lingkungan hidup yang baik.

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

Kata Kunci : Kelambu, Anti Nyamuk, Kebiasaan Keluar Malam, Malaria

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI. Nurlia Savitri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Campak merupakan penyakit pernafasan yang mudah menular yang

BAB I LATAR BELAKANG

Faktor-Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN

BAB V PEMBAHASAN. kepadatan hunian tidak menunjukkan ada hubungan yang nyata.

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa

HUBUNGAN PEMBERIAN IMUNISASI DPT DAN CAMPAK TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK USIA 10 BULAN - 5 TAHUN DI PUSKESMAS SANGURARA KOTA PALU TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB III METODE PENELITIAN

Basuki Kartono* EPIDEMIOLOGI Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian balita (AKB) merupakan salah satu indikator kesehatan yang paling

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan pendekatan case control yaitu membandingkan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA

Castanea Cintya Dewi. Universitas Diponegoro. Universitas Diponegoro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

BAB III METODE PENELITIAN

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

HUBUNGAN STATUS IMUNISASI DPT DAN TINGKAT PENGETAHUAN PENGASUH DENGAN DIFTERI DI KOTA MADIUN KARYA TULIS ILMIAH

KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (2005) kematian balita disebabkan oleh Infeksi Saluran

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Anak Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar 2013

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan bayi dan anak. Penyakit tersebut disebabkan oleh

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

Jurnal Respati, Kesehatan, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1 5 1

Kata Kunci: Kejadian ISPA, Tingkat Pendidikan Ibu, ASI Eksklusif, Status Imunisasi

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan. Terutama

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

FAKTOR RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TOBELO KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA

BAB I PENDAHULUAN. selama ini masih banyak permasalahan kesehatan, salah satunya seperti kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Keperawatan, Volume VIII, No. 1, April 2012 ISSN

KARAKTERISTIK FAKTOR RESIKO ISPA PADA ANAK USIA BALITA DI PUSKESMAS PEMBANTU KRAKITAN, BAYAT, KLATEN. Suyami, Sunyoto 1

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Jurnal Husada Mahakam Volume IV No.4, November 2017, hal

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKOHARJO

Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA

HUBUNGAN FAKTOR KONDISI FISIK RUMAH DAN PERILAKU DENGAN INSIDEN PNEUMONIA PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS YOSOMULYO KOTA METRO

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

NASKAH PUBLIKASI. Disusun Oleh: MEGA ANDREAS P. HIZKA

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak

PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN SIKUMANA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis dan paling sering menginfeksi bagian paru-paru.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan

PENGARUH FAKTOR PRILAKU PENDUDUK TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMBELANG KECAMATAN TOULUAAN SELATAN KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

Jurnal Darul Azhar Vol 5, No.1 Februari 2018 Juli 2018 : 17-22

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya wabah campak yang cukup besar. Pada tahun kematian

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT KONTAK, KELEMBABAN, PENCAHAYAAN, DAN KEPADATAN HUNIAN DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK DI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan empat sasaran pembangunan kesehatan, satu diantaranya menurunkan prevalensi

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

Transkripsi:

KESEHATAN LINGKUNGAN Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia pada Anak Balita di Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya Nur Widodo* Abstrak Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia termasuk di Kota Tasikmalaya. Diperkirakan proporsi penyakit pneumonia bayi adalah 16,4%, dan pada balita adalah 25%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian pneumonia pada balita dengan faktor lingkungan fisik kamar tidur dan karakteristik anak. Desain penelitian yang digunakan adalah case control. Sampel sebanyak 300 responden terdiri dari 150 orang kasus dan 150 orang kontrol. Dari hasil uji multivariat tanpa interaksi, faktor dominan yang mempengaruhi kejadian penyakit pneumonia pada anak balita adalah status gizi dengan nilai B 1,799 dan OR = 6,041 (CI 95%=1,607-22,713). Sedangkan hasil uji interaksi diperoleh hasil bahwa faktor dominan yang mempengaruhi kejadian pneumonia anak balita adalah interaksi antara asap obat nyamuk dengan status gizi dengan nilai B 1,040 dan OR=2,828 (CI 95%=1,667-4,7988). Pada perhitungan probabilitas didapatkan hasil bahwa balita yang menderita pneumonia memiliki probabilitas odds 15,6 kali punya riwayat status imunisasi tidak lengkap (DPT dan Campak), status gizi kurang dan ada asap obat nyamuk bakar di dalam kamar tidur dibanding balita yang tidak menderita pneumonia. Disarankan agar anak balita diimunisasi lengkap (DPT dan Campak), diberi asupan makanan dengan gizi seimbang, dan tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar di dalam kamar tidur, serta perlu disosialisasikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita. Kata kunci: Pneumonia, balita, kamar tidur Abstract Pneumonia is still an important public health problem in Indonesia, especially in Tasikmalaya city, West Java. It was predicted that pneumonia contributed to fetal death at about 16.4%, while the incidence of the pneumonia among under 5 years children is 25%. The objective of this study is to know the relationship between physical environment of baby sleeping room and pneumonia. Design of the study used is case control study. The sample size is 300 subjects consists of 150 cases and 150 controls. Based on multivariate analysis, the nutritional status of children relate closely with pneumonia (OR = 6.041; 95% CI =1.607-22.713). While from an interaction analysis it was found that there is an interaction effect of mosquito coil and nutritional status on pneumonia (OR=2.828 ;CI 95%=1.667-4.7988). Based on probability computation it was known that under 5 years old children who suffer from pneumonia has probability odds of 15.6 times has incomplete diphteria and measles immunization, poor nutritional status, and using mosquito coil compared to healthy children. Under five years children is recommended to get complete DPT and measles immunization, provided balance nutritional intake and not using mosquito coil in sleeping room. Keywords : Pneumonia, under 5 years children, sleeping room *Staf Perencanaan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Jl. Ir. H. Juanda, Kompleks Perkantoran Kota Tasikmalaya 46151 (e-mail: mas_nurwidodo@yahoo.co.id) 64

Widodo, Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia pada Anak Balita Berdasarkan SKRT 1995, proporsi kematian akibat pneumonia penyebab kematian pada bayi dan balita masing-masing adalah 16,4% dan 22,5%. Beberapa penyakit menular diidentifikasi sebagai penyebab kematian kasar, seperti TB 9,2%, diare 7,2%, pneumonia 6,9%, bronchitis, emfisema dan asma masing-masing (6,1%) serta demam thiphoid (5,2%). 1 Berdasarkan penelitian dan publikasi ilmiah di berbagai negara, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan risiko kesakitan dan kematian pneumonia adalah kondisi lingkungan rumah yang tidak sehat seperti polusi udara dan kepadatan penghuni. 2 Di Kota Tasikmalaya, kasus Pneumonia pada balita tahun 2004 berfluktuasi pada kisaran yang tinggi. Pada tahun 2005 (5.794 kasus, 14,17%), tahun 2006 (3.583 kasus, 8,43%) dan tahun 2007 (4.602 kasus, 8,76%). Di tingkat puskesmas, kasus pneumonia ditemukan paling banyak di Puskesmas Kawalu. Berdasarkan profil kesehatan Kota Tasikmalaya, data pneumonia yang tercatat di Puskesmas Kawalu tahun 2004, 2005, 2006 adalah 1.264 kasus (22%), 807 kasus (23%) dan 828 kasus (18%). 3 Pada periode tahun 2004-2006, proporsi rumah sehat di Kota Tasik Malaya juga tergolong rendah yaitu sekitar 39,37%. 3 Menurut Mulyana, 4 di wilayah Puskesmas Kawalu rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat (41,33%), rumah padat (52,67%) dan pemakaian obat nyamuk (66%). Lingkungan dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan ternyata berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan terhadap penghuninya. Gangguan kesehatan atau penyakit dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat berupa gangguan secara akut maupun kronis. Menurut Nelson, berbagai bentuk klinis pneumonia diklasifikasikan berdasarkan pembagian serta penyebaran anatominya (lobus, lobulus, interstisial, bronkopneumonia) atau berdasarkan organisme atau bahan-bahan penyebab pneumonia (virus, bakteri atau aspirasi). 4 Hasil penelitian dan berbagai publikasi ilmiah di berbagai negara dilaporkan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia antara lain adalah: umur, jenis kelamin, imunisasi, status gizi, ASI, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan), kepadatan hunian kamar tidur, asap obat nyamuk bakar. Metode Desain studi yang digunakan pada penelitian ini adalah kasus kontrol yang mengamati variabel dependen pneumonia dan variabel independen faktor lingkungan fisik kamar tidur yang meliputi ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan, kepadatan, asap obat nyamuk bakar. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya pada bulan Juli 2007. Populasi studi adalah anak balita yang tinggal di wilayah Puskesmas Kawalu yang tercatat dalam registrasi puskesmas. Kelompok kasus adalah penderita pneumonia berusia 12 sampai 59 bulan yang berobat ke Puskesmas Kawalu, mulai Januari 2006 sampai Desember 2006. Kelompok kontrol adalah bukan penderita pneumonia berusia 12 bulan sampai 59 bulan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kawalu yang diambil menggunakan teknik population based. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus sampel size determination oleh WHO dengan dasar rumus untuk uji hipotesis Odds Ratio (OR) dengan perbandingan kasus dan kontrol 1:1. Jumlah sampel adalah 300 yang terdiri dari 150 kasus dan 150 kontrol), apabila ternyata terdapat lebih dari satu balita maka untuk menentukan sampelnya adalah dengan cara dikocok atau diundi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan fisik adalah termometer ruang, hygrometer, luxmeter dan meteran. Untuk mengukur karakteristik anak balita dengan kuesioner yang validitas dan reliabilitas telah diuji coba. Sasaran pertanyaan ditujukan kepada orang tua balita yang mewakili yaitu ibu baik pada subyek kasus maupun kontrol. Hubungan varibel independen dan dependen dilakukan dengan metode analisis multivariat untuk melihat keeratan dan besar hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen utama setelah dikontrol oleh variabel independen lainnya, selain itu juga untuk melihat faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen dengan menggunakan analisis regresi logistik. Hasil Analisis Univariat Beberapa variabel independen yang diamati ditemukan tidak terdistribusi sama besar pada kelompok kasus dan kontrol, sehingga berpotensi menjadi variabel perancu. Variabel tersebut meliputi jenis kelamin pada kelompok kasus perempuan (42%) pada kontrol (24%). Imunisasinya tidak lengkap pada kasus (68%) lebih besar daripada kontrol (53%). Gizi kurang pada kasus (9%) lebih besar daripada kontrol (2%), mendapat ASI non eksklusif pada kasus (48%) lebih kecil daripada kontrol (61%). Kelembaban kamar tidur yang tidak memenuhi syarat pada kasus (61%) lebih rendah daripada kontrol (72%). Suhu kamar tidur yang tidak memenuhi syarat pada kasus (61%) lebih tinggi daripada kontrol (59%). Ventilasi yang tidak memenuhi syarat pada kasus (43%) lebih rendah daripada kontrol (61%). Pencahayaan kamar tidur yang tidak memenuhi syarat pada kasus (29%) lebih rendah daripada kasus (29%) lebih kecil daripada kontrol (42%). Tinggal dalam ka- 65

KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 2, Oktober 2007 Tabel 1. Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasar Variabel Independen Variabel Katagori Proporsi Kasus Kontrol Jenis Kelamin Perempuan 42 24 Imunisasi Tak Lengkap 68 53 Status Gizi Gizi Kurang 9 2 ASI Non Eksklusif 48 61 Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat 61 72 Suhu Tidak Memenuhi Syarat 61 59 Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat 43 61 Pencahayaan Tidak Memenuhi Syarat 29 42 Kepadat Kamar Tidur Tidak Memenuhi Syarat 61 76 Asap Obat Nyamuk Tidak Memenuhi Syarat 74 57 Tabel 2. Analisis Bivariat Variabel Independen dengan Kejadian Penyakit Pneumonia Variabel Katagori Nilai P Jenis Kelamin Perempuan 0,001 Immunisasi Tidak Lengkap 0,009 Status Gizi Kurang 0,013 ASI Tidak Eksklusif 0,027 Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat 0,051 Suhu Tidak Memenuhi Syarat 0,813 Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat 0,003 Pencahayaan Tidak Memenuhi Syarat 0,022 Kepadatan Tidak Memenuhi Syarat 0,009 Asap Obat Nyamuk Tidak Memenuhi Syarat 0,003 Status Gizi Masih banyaknya anak balita yang status gizi kurang disebabkan dampak dari krisis ekonomi terutama pada masyarakat tidak mampu. Hal yang paling dirasakan oleh masyarakat akibat krisis ekonomi adalah daya beli masyarakat terutama yang berkaitan dengan pangan yang pada akhirnya akan berdampak pada asupan makananmar tidur yang padat pada kasus (61%) lebih rendah daripada kontrol (76%). Tinggal diruang dengan asap obat nyamuk pada kasus (74%) lebih tinggi dari pada kontrol (57%). (Lihat Tabel 1) Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa dari sepuluh variabel independen yang memenuhi kriteria kandidat model multivariat kejadian penyakit pneumonia adalah: (1) jenis kelamin (nilai p= 0,001). Probabilitas odd balita penderita pneumonia berjenis kelamin perempuan 2,3 kali lebih besar daripada jenis kelamin laki-laki; (2) status imunisasi DPT dan Campak (nilai p=0,009); (3) status gizi (p=0,013;) (4) pemberian ASI ekslusif (nilai p= 0,028); (5) ventilasi kamar tidur (nilai p=0,003); (6) pencahayaan kamar tidur (nilai p=0,022;); (7), kepadatan kamar tidur (nilai p=0,009 (8), asap obat nyamuk (nilai p=0,004). (Lihat Tabel 2) Analisis Multivariat Dengan menggunakan uji regeresi logistik dilakukan analisis hubungan variabel independen dengan kejadian penyakit pneumonia secara bersama-sama. Dari analisis multivariat diperoleh hasil 4 variabel berhubungan ber- makna dengan kejadian pneumonia yaitu jenis kelamin (nilai P = 0,001; OR = 2,52); imunisasi nilai P = 0,001; OR = 2,52), status gizi (nilai P = 0,008; OR = 6,04); dan asap obat nyamuk bakar (nilai P = 0,001; OR = 2,31). Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 3. Pembahasan Jenis Kelamin Jenis kelamin perempuan berisiko lebih besar untuk menderita pneumonia daripada anak laki-laki. Hasil analisis menemukan hubungan yang bermakna, anak balita wanita berisiko 1,524 kali lebih besar untuk menderita pneumonia daripada anak balita laki-laki dengan nilai p=0,001. Mungkin hal tersebut terkait kedekatan antara balita perempuan dengan ibunya, sehingga kemungkinan lebih sering dibawa ke dapur yang berasap daripada anak laki-laki. Status imunisasi berhubungan secara bermakna dengan pneumonia pada balita (p=0,009), anak dengan imunisasi yang tidak lengkap berisiko 1,76 kali lebih besar untuk menderita pneumoni daripada yang lengkap. Balita dengan imunisasi lengkap berisiko lebih rendah untuk terkena campak yang merupakan faktor risiko penting pneumonia. Dari hasil observasi dan wawancara dengan orang tua kelompok kasus berpendapat bahwa anak yang diimunisasi DPT dan Campak akan sakit karena badannya akan panas, sehingga para orang tua enggan untuk membawa anaknya ke sarana pelayanan kesehatan untuk diimunisasi khususnya DPT dan Campak. 66

Widodo, Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia pada Anak Balita Tabel 3. Hasil Uji Multivariat Pembentukan Model Penentu Tanpa Interaksi Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita Variabel Katagori βb Nilai P OR 95% CI OR Jenis Kelamin Perempuan 0,926 0,001 1,524 1,495-4,261 Imunisasi Tak Lengkap 0,565 0,025 1,758 1,375-2,883 Status Gizi Kurang 1,799 0,008 6,041 1,067-22,713 Asap Obat Nyamuk Tidak Memenuhi Syarat 0,837 0,001 2,310 1,379-3,870 Constant -2,845 0,00 bergizi pada anak balita kurang. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan terjadinya penyakit pneumonia pada balita (p=0,013) Anak dengan status gizi kurang berisiko 6,04 kali lebih besar untuk mengalami pneumonia daripada anak dengan gizi baik/sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan anak, makin baik status gizi makin baik daya tahan, sehingga memperkecil risiko pneumonia. Asap Obat Nyamuk Bakar Hasil analisis statistik menunjukkan hubungan bermakna antara asap obat nyamuk dengan terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Hal tersebut disebabkan oleh keterpajanan anak balita pada waktu tidur oleh asap obat nyamuk berlangsung lama dan terjadi setiap malam. Anak balita yang tidur dikamar yang memakai obat nyamuk bakar berisiko 2,31 kali lebih besar untuk mengalami pnoumenia daripada yang tidak mengunakan obat nyamuk bakar. Asap obat nyamuk akan menyebabkan rangsangan pada saluran pernapasan balita, sehingga balita menjadi rentan terinfeksi oleh bakteri atau virus yang menyebabkan terjadinya pneumonia. Obat anti nyamuk bakar mengandung insektisida yang disebut d-aletrin 0,25%. Apabila dibakar akan mengeluarkan asap yang mengandung d-aletrin sebagai zat yang dapat mengusir nyamuk, tetapi jika ruangan tertutup tanpa ventilasi maka orang di dalamnya akan keracunan d-aletrin. Selain itu, yang dihasilkan dari pembakaran juga CO dan CO2 serta partikulat-partikulat yang bersifat iritan terhadap saluran pernafasan. Jadi penggunaan obat anti nyamuk bakar mempunyai efek yang merugikan kesehatan, termasuk dapat bersifat iritan terhadap saluran pernafasan, yang dapat menimbulkan dampak berlanjut yaitu mudah terjadi infeksi saluran pernafasan. Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa ada beberapa alasan mengapa pada kelompok kasus maupun non kasus masih banyak yang menggunakan obat nyamuk bakar, hal tersebut dikarenakan antara lain bahwa obat nyamuk semprot waktunya hanya sedikit atau sebentar jadi tidak bisa membunuh nyamuk, sementara obat nyamuk bakar waktunya lebih lama bahkan bisa sampai pagi, selain itu obat nyamuk bakar dirasakan harganya relatif murah, terjangkau oleh semua tingkat sosial ekonomi, praktis dalam penggunaannya, tersedia di kampung maupun di kota, tidak memerlukan listrik. Dengan segala kemudahan itulah maka banyak orang lebih suka menggunakan obat anti nyamuk bakar untuk mengusir nyamuk. Disarankan untuk tidak menggunakan obat nyamuk bakar di dalam kamar tidur sebagai pengusir nyamuk. Untuk itu perlu dilaksanakan sosialisasi tentang obat nyamuk bakar sebagai faktor risiko terjadinya penyakit pneumonia. Faktor Lingkungan Fisik yang Lain Beberapa faktor lingkungan fisik kamar tidur yang lain seperti kelembaban, suhu, ventilasi pencahayaan dan kepadatan ternyata secara multivariat tidak berpengaruh secara bermakna. Meskipun secara bivariat variabel tersebut berpengaruh secara bermakna. Hal tersebut kemungkinan terjadi akibat kesalahan pada pengukuran dan ukuran sampel yang kecil. Bias pengukuran terjadi antara lain pada penentuan ambang batas katagori variabel yang tidak sesuai dengan konsep penyebab penyakit. Bias seleksi terjadi akibat kasus-kasus yang berasal dari populasi tidak semuanya sampai ke fasilitas pelayanan. Sehingga kontrol yang digunakan tidak mewakili populasi tempat kasus berasal. Kesimpulan Berdasarkan hasil uji multivariat didapatkan: (1) Model akhir tanpa interaksi, bahwa faktor dominan yang mempengaruhi kejadian penyakit pneumonia pada anak balita adalah status gizi dimana balita yang menderita pneumonia memiliki probabilitas odds 6 kali mempunyai riwayat status gizi kurang dibanding dengan anak yang tidak menderita pneumonia. (2) Asap obat nyamuk bakar meningkatkan risiko pneumonia pada anak 2,8 kali lebih besar daripada balita yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan untuk 67

KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 2, Oktober 2007 memperbaiki status gizi balita dengan mengalakkan kembali Pos Yandu. Menganjurkan untuk tidak menggunakan asap nyamuk pada malam hari ketika anak tidur dikamar dan memperketat capaian imunisasi. Untuk berbagai variabel lingkungan fisik kamar tidur perlu dilakukan penelitian ulang dengan menggunakan ukuran sampel yang lebih besar dan desain studi kohort di populasi dengan metode pemantauan yang baik untuk mencegah drop out. Sehingga tidak terjadi bias seleksi. Daftar Pustaka 1. Depkes RI, 2002. Rencana Strategis Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2001-2004. Ditjen PPM dan PL. 2. Depkes RI, 2006.Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita. Ditjen PP dan PL. 3. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, 2006. Profil Kesehatan Kota Tasikmalaya tahun 2006, Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Tasikmalaya. 4. Mulyana, Y. 2003. Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia Pada Balita di Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat Tahun 2003. Skripsi S1 Program studi Ilmu kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. 68