II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

2. Strongyloides stercoralis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

Sistem Pencernaan Pada Hewan

Taenia saginata dan Taenia solium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TREMATODA PENDAHULUAN

N E M A T H E L M I N T H E S

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PEMOTONGAN TERNAK (KAMBING)

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG. (Skripsi) Oleh HINDUN LARASATI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

Amfibi mempunyai ciri ciri sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

dan sapi-sapi setempat (sapi Jawa), sapi Ongole masuk ke Indonesia pada awal

Musca domestica ( Lalat rumah)

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Transkripsi:

4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. Rambut pada sapi berbeda-beda, pada sapi yang hidup di daerah panas memiliki rambut yang tipis dibandingkan sapi yang hidup di daerah dingin. Perbedaan lainnya sapi hidup di daerah dingin lebih gemuk dari pada sapi yang hidup di daerah panas. Warna sapi cenderung cerah dan bermacammacam. Sapi di daerah dingin lebih banyak bergerak karena untuk mempercepat metabolisme dan sapi di daerah panas cenderung berdiam untuk memperlambat metabolisme (Sastroamidjojo, 1983). Sapi Ongole merupakan hasil perkawinan sapi lokal dengan sapi ongole dari India. Sapi peranakan Ongole diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan) berkelasa dan bergelambir. Sapi peranakan ongole terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, kemampuan adaptasinya yang tinggi terhadap kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat, pemulihan badan sapi betina setelah melahirkan lebih cepat dari sapi lainnya dan kualitas semen pada sapi betina lebih baik (Akoso, 1996).

5 Menurut Siregar (2007), sapi Ongole memiliki ciri-ciri antara lain: lingkar mata gelap berwarna hitam, moncongnya warna hitam, tanduknya hitam melengkung ke arah belakang, telinga berdiri, agar lebar dan dapat bergerak bebas. Leher panjang bergelambir warna putih, tebal, dari depan membelah dua, berlipat-lipat kalau ditarik akan lurus dan tidak putus, tulang belikatnya besar, mempunyai punuk sejak lahir, pusar panjang berwarna putih, dan pusaran rambut tidak segaris lurus dengan pusar diperut (gambar 1) 2. 1. 1 Klasifikasi Kingdom Phylum Sub Phylum Class Ordo Rumpun Famili Genus : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Ungulata : Selonodonta : Bavodae : Bos Spesies : Bos Indicus (Sastroamidjojo, 1983). Gambar 1. Bos indicus (Siregar, 2007).

6 2. 1. 2 Sistem Pencernaan: Alat pencernaan terdiri atas beberapa macam organ mulai dari gigi sebagai alat pengunyah, lidah sebagai organ perasa, kerongkongan, lambung dan usus, lambung sapi terdiri dari 4 bagian yaitu rumen, reticulum, omasum, dan abomasum (Akoso, 1996). Sapi memiliki lambung sangat besar dan diperkirakan ¾ dari rongga perut. Di lambung terjadi penyimpanan makanan sementara dan terjadi proses pembusukan makanan. Saat proses pencernaan berlangsung, makanan dari kerongkongan masuk ke rumen, reticulum, omasum, abomasum dan usus halus hingga mencapai anus (Akoso, 1996). Sistem pencernaan pada sapi memerlukan proses pengunyahan sebanyak dua kali kemudian dicerna khusus oleh mikroorganisme di dalam rumen (Biologigonz, 2010). Gambar 2. Sistem Pencernaan pada sapi (Hafni, 2014). Lambung pada sapi mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara yang akan dikunyah kembali (kedua kali). Selain itu, pada lambung juga terjadi proses pembusukan dan peragian. Proses pencernaan ruminansia tergolong unik karena melibatkan bagian yang

7 tidak dimiliki hewan lain selain ruminansia yaitu rumen (gambar 2). Fungsi rumen adalah penampung sementara makanan setelah ditelan hewan. Setelah rumen cukup terisi makanan, sapi beristirahat (Happyfeet, 2011). Di dalam rumen terdapat populasi bakteri dan protozoa, setelah dalam rumen menuju ke retikulum. Di dalam retikulum makanan dibentuk menjadi bola - bola makanan, bola bola makanan ini nanati dimuntahkan ke mulut untuk dikunyah lagi. Setelah terjadi proses pengunyahan yang kedua, makanan akan masuk kembali ke retikulum untuk selanjutnya menuju omasum (Happyfeet, 2011). 2. 1. 3 Sistem Reproduksi Sapi pada umumnya hewan mamalia memiliki reproduksi yang hampir mirip dengan manusia. Sapi melakukan fertilisasi internal, perkembangan embrio terjadi di dalam uterus, dengan lama masa kandungan yang bervariasi tergantung pada jenis hewannya. Organ reproduksi pada sapi jantan adalah testis yang terbungkus oleh tunika albugenia dan pembuluh darah yang berkelok-kelok dan menghasilkan sperma, epidedimis, vasdeferens, penis. Pada sapi betina organ reproduksi gonad (ovarium) organ penghasil telur. Saluran reproduksi betina dibagi menjadi tuba fallopii/oviduct, uterus, serviks dan vagina. Alat kelamin luar klitoris dan vulva. Proses perkawinan sapi sama dengan manusia (Akoso, 1996).

8 2. 1. 4 Peran Sapi Bagi Masyarakat Sapi adalah hewan yang termasuk familia Bovodae dan subfamilia Bovodanae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Hasil sampingan yang dimiliki sapi dapat berupa kulit, jeroan, dan tanduk. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik gerobak atau bajak (Dodee, 2009). Dalam bidang pertanian sapi peran penting. Di daerah-daerah tertentu, sapi digunakan tenaga untuk membajakan sawah. Sepasang sapi dapat menyelesaikan pekerjaan membajak di sawah yang tidak berlumpur dalam 4 hari/ha (Sastroamidjojo, 1985). Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan ternak potong, terutama untuk keperluan di Jawa ialah sapi Bali, sapi Ongole dan sapi Madura. Sapi merupakan ternak potong yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada kerbau, karena kualitas daging sapi lebih baik, ini terlihat dari persentase pemotongan lebih tinggi mencapai 60% dibandingan dengan kerbau hanya 43% (Sostroamidjojo, 1985). 2. 1. 5 Penyakit Cacing Pada Sapi Ada berbagai jenis cacing yang hidup di dalam perut (abomasum) dan usus (Gastro enteritis). Cacing-cacing ini bisa menimbulkan ganguan penyakit, seperti anemia, radang, ganguan pencernaan, dan sebagainya. Ribuan cacing dari berbagai ukuran tinggal di dalam perut, sebagian

9 sulit diamati dengan mata karena terlalu kecil. Sasaran utama bagi cacing ini ialah pedet dan sapi-sapi muda. Penularan ataupun penyebaran cacing ini melalui pakan atau air minum yang telah dicemari oleh larva (Sugeng, 2003). Penyakit cacing tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar antara lain penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, dan jerohan, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia (Christensen dkk, 1983). 2. 2 CacingUsus Spesies cacing usus yang sering ditemukan pada sapi dari kelas nematoda adalah Mecistocirrus sp, Haemonchus contortus, Trichosrongylus sp, Nematodirus sp, Oesophagustomum sp dan Strongyloides sp dan dari kelas trematoda adalah Paramphistomum sp dan Fasciola sp. setiap spesies cacing usus mempunyai morfologi yang berbeda-beda (Akoso, 1996). 1. Mecistocirrus sp a) Klasifikasi Kingdom Phylum Class Ordo : Animalia : Nematoda : Secernentea : Strongylida

10 Family Genus : Trichostrongylidae : Mecistocirrus Spesies : Mecistocirrus sp (Noble and Noble, 1989). b) Morfologi Mecistocirrus sp Telur Mecistocirrus sp memiliki ciri ciri: berbentuk bulat, berukuran sekitar 68-101 x 60-86 mikron, bagian dalam telur berwarna keunguan dan kulit tipis berwarna kehijauan (gambar 3) (Junquera, 2014). Gambar 3. Telur Mecistocirrus sp telur berukuran 68-101 x 60-86 mikron (Janquera, 2014). Morfologi dewasa Mecistocirrus sp mirip dengan Haemonchus sp pada cacing betina dijumpai bentuk barber s pole yakni warna selang seling merah putih. Panjang cacing betina 29, 7 ± 1, 5 mm dan jarak vulva dari ujung posterior 0, 57 ± 0, 23 mm, sedangkan panjang cacing jantan 21, 2 ± 0, 9 mm. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatrik, dengan lobus lateralis simetris dan lobus dorsalis, dilengkapi spikula (Harvey, 2000). c) Daur Hidup Mecistocirrus sp adalah cacing yang menginfeksi abomasum sapi dan kerbau. Pada ruminansia kecil Mecistocirrus sp jarang ditemukan, tapi

11 yang lebih sering ditemukan adalah Haemonchus sp. Mecistocirrus sp dan Haemonchus sp mempu-nyai kemiripan dari segi habitat yang sama yakni abomasum, morfologi, patogenesis, serta gejala klinis, sehingga relatif sulit untuk diidentifikasi (Urquhart et al, 1996). Penyebaran Mecistocirrus sp pada umumnya melalui rumput atau pakan hijauan yang terkontaminasi oleh larva stadium infektil (L3). Di dalam lambung, stadium L3 akan mengalami ekdisis menjadi stadium L4, pada stadium L4 dimulai periode di dalam abomasum. Stadium L4 berlangsung dari hari ke-9 sampai hari ke 28 pasca infeksi (Kusumamihardja, 1993). Dilanjutkan periode prepaten yang berlangsung selama 60 80 hari (Soulsby, 1986); (Kusumamihardja, 1993). Infeksi cacing Mecistocirrus sp pada sapi dapat menyebabkan penurunan produksi daging, susu dan tenaga kerja serta kematian (Juniquera, 2014). 2. Haemonchus contortus a) Klasifikasi Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus :Animalia : Nematoda : Secernentea : Strongylida : Trichostrongylidae : Haemonchus Species : H. contortus (Noble and Noble, 1989).

12 b) Morfologi Haemonchus contortus Gambar 4. Telur Haemonchus contortus, telur berukuran 69-95 x 35-54 mikron (Purwanta dkk, 2009). Telur Haemonchus contortus berdinding tipis, berbentuk lonjong dan terdapat area bening di dalam telur (gambar 4) (Purwanta dkk, 2009). Telur berkembang menuju stadium morula (didalam telur mengandung 16-32 sel) (Rahayu, 2010). Cacing jantan panjangnya 10-20 mm diameter 400 mikron, berwarna merah terang serta memiliki spikula dan bursa. Cacing betina panjangnya yaitu 18-30 mm dengan diameter 500 mikron, nampak adanya anyaman-anyaman yang membentuk spiral antara organ genital (Ovarium) yang berwarna putih dengan usus yang berwarna merah karena penuh berisi darah, sehingga akan nampak berwarna merah putih secara berselang seling (Rahayu, 2010). c) Daur Hidup Daur hidup cacing H. contortus diawali dengan telur yang keluar bersama tinja. Jumlah telur yang dikeluarkan setiap harinya mencapai 5.000-10.000 butir telur. Setelah telur berubah menjadi larva dengan tahapan 4 stadium. Larva stadium 1 dan 2 tidak infektif dan sebagian besar mati karena cuaca yang tidak sesuai. Stadium 3 dicapai dalam waktu 5 hari

13 dengan kondisi yang baik dan akan termakan oleh hospes. Larva dapat tahan beberapa minggu di rerumputan dan beberapa bulan bila cuaca lembab. Setelah larva tersebut termakan hospes, maka akan berkembang memasuki stadium 4 dan menjadi dewasa (Akoso, 1996). Infeksi H. contortus antara lain anemia, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, dan menjadi lebih rentan terhadap agen-agen infeksi lain (Levin, 1994). 3. Trichostrongylus sp a) Klasifikasi Kingdom Phylum Kelas Ordo Family Genus :Animalia : Nematoda : Chromadorea : Rhabditida : Trichostrongyloidae : Trichostrongylus Spesies :Trichostrongylus sp (Noble and Noble, 1989). b) Morfologi Trichostrongylus sp Gambar 5. Telur Trichostrongylus sp (El-Shazly et al, 2006).

14 Telur ini memiliki ukuran 56 75 mm x 36 40 mm bentuknya lonjong dengan ujung bulat, berdinding tipis, luas ruang yang jelas antara embrio dan kulit telur (gambar 5) (El-Shazly et al, 2006). Cacing ini berukuran kecil sehingga sering terlepas dari pengamatan. Cacing jantan panjangnya kurang lebih 5 mm dan cacing betina panjangnya 6 mm. Cacing ini berwarna kemerahan atau coklat dan terdapat di abomasum atau usus kecil sapi (Akoso, 1996). c) Daur Hidup Daur hidup cacing ini sangat sederhana. Dimulai dari telur yang keluar bersama tinja. Setelah satu atau dua hari berada di tanah, telur menetas, dan berkembang menjadi larva infektif. Stadium telur infektif hidup bebas di rerumputan, larva membentuk kristal dan tahan terhadap kekeringan. Setelah itu larva tertelan saat sapi memakan rumput dan berkembang menjadi dewasa (Noble and Noble, 1989). Akibat terinfeksi cacing Trichostrongylus sp berupa penurunan nafsu makan, anemia, penurunan berat badan, anoreksia, diare, pembengkakan mukosa dan perdarahan (Levin, 1994). 4. Nematodirus sp a) Klasifikasi Kingdom Phylum Class : Animalia : Nematoda : Secernentea

15 Ordo Family Genus : Strongylida : Trichostrongylidae : Nematodirus Species :Nematodirus sp (Noble and Noble, 1989) b) Morfologi Nematodirus sp Gambar 6. Telur Nematodirus sp berukuran 79-117 x 47-70 mikron (Purwanta, dkk, 2009) Telur bulat telur dan berukuran 70-120 x130-230 mikrometer, yang terbesar di antara cacing gelang pada pencernaan ruminansia. Telur Nematodirus sp memiliki dinding tebal dan mengandung 4 sampai 8 sel (blastomer) (gambar 6), berbeda dengan sebagian besar cacing gelang gastrointestinal lain yang mengandung 16 atau lebih sel. Telur dari Nematodirus sp memiliki warna kecoklatan (Janquera, 2014). Morfologi cacing Nematodirus sp jantan adalah panjang 12 mm dan betina memiliki panjang 18-25 mm (Soulsby, 1982). c) Daur Hidup Nematodirus sp memiliki siklus hidup dimulai dengan telur keluar bersama tinja. Saat berada di tanah telur berubah menjadi stadium larva satu dan dua yang belum infektif. Selanjutnya berubah menjadi

16 stadium tiga yang infektif waktu 2-4 minggu atau beberapa bulan. Pada musim hujan tiba, telur infektif yang ada di rumput. Telur infektif yang masuk ke dalam tubuh hospes akan menetas. Apabila dalam jumlah banyak infeksi cacing ini dapat menjadi infeksi berat dalam waktu yang singkat. Telur Nematodirus sp yang tidak menemukan hospes akan bertahan selama satu musim dan dapat menginfeksi kembali pada musim berikutnya (Soulsby, 1986). Infeksi Nematodirus sp pada sapi dapat menyebabkan diare dan anoreksia (Urquhart et al, 1989). 5. Oesophagustomum sp a) Klasifikasi Kingdom Phylum Ordo Family Genus : Animalia : Nematoda : Strongylida : Strongyloidae : Oesophagostomum Spesies : Oesophagostomum sp (Noble and Noble, 1989). b) Morfologi Oesophagostomum sp Telur ini berbentuk elips, berdinding tipis (gambar 7) (Purwanta, dkk, 2009). Cacing ini berwarna ke putih-putihan. Cacing jantan berukuran panjang 12-16 mm dan cacing betina berukuran panjang 14-18 mm.

17 Larva terdapat di usus halus dan usus besar, tetapi cacing dewasa hanya terdapat di usus besar (Akoso, 1996). Gambar 7. Telur Oesophagostomum sp berukuran 70-76 x 36-40 mikron (Purwanta dkk, 2009). c) Daur Hidup Daur hidupnya langsung dari telur menjadi larva secara aktif merayap ke pucuk daun rumput yang kemudian akan termakan oleh hewan herbivora. Larva hidup di dinding usus dalam waktu 1 minggu tetapi pada hewan yang lebih tua bisa hidup sampai 5 bulan. Beberapa bulan larva menembus dinding lambung kanan (Akoso, 1996). Akibat terinfeksi cacing Oesophagostomum sp yang ditimbulkan meliputi diare dan penurunan berat badan (Noble and Noble, 1989). 6. Strongyloides sp d) Klasifikasi Kingdom Phylum Class Ordo : Animalia : Nematoda : Secernentea : Rhabditia

18 Family Genus : Strongyloididae : Strongyloides Species :Strongyloides sp (Noble and Noble, 1989). e) Morfologi Strongyloides sp Gambar 8. Strongyloides sp (Bowman et al, 2003). Telur Strongyloides sp berbentuk elips, berdinding tipis dan berembrio berukuran 40-64 X 20-42 mikron (gambar 8) dengan masa prepatan 7-9 hari. Cacing betina parthenogenetik parasitic panjangnya 3, 5 6, 0 mm dan berdiameter 50 65 mikron, cacing jantan hidup bebas panjangnya 700-825 mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernaculum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2, 5 mikron. Strongyloides sp terdapat di seluruh dunia di mukosa usus halus domba, kambing, sapi, berbagai ruminansia lain, dan berbagai hewan lain (Levine, 1994 ). f) Daur Hidup Larva infektif (filariform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke

19 dalam darah vena di bawah paru-paru. Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa (Levine, 1994). Cacing dewasa yaitu cacing betina yang berkembang biak dengan cara partenogenesis dan hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempatini cacing dewasa meletakkan telurnya. Telur kemudian menetas melepaskan larva noninfektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain (Levine, 1994 ). Akibat klinis yang disebabkan cacing Strongyloides sp yang sering terlihat adalah diare, anoreksia, kusam, penurunan berat. Pada waktu cacing menetap di intestinum, akan terjadi penebalan yang luas dari dinding usus (Urquhart et al, 1996). 7. Paramphistomum sp a. Klasifikasi Kingdom Phylum Class : Animalia : Platyhelminthes : Trematoda

20 Ordo Family Genus : Echinostomida : Paramphistomatidae : Paramphistomum Species : Paramphistomum sp (Noble and Noble, 1989). b. Morfologi Paramphistomum sp Gambar 9. Paramphistomum sp (Junquera, 2015) Telur Paramphistomum sp. panjangnya113-175 mikron dan lebar 73-100 mikron dan berwarna sedikit kuning muda transparan, seperti pada gambar 9 (Lukesova, 2009). Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, berbentuk pipih, seperti Fasciola sp. Cacing ini mempunyai batil isap di bagian perut (ventral sucker) yang disebut asetabulum, dan di bagian mulut ada batil isap mulut yang kecil (oral sucker). Paramphistomum sp. memiliki saluran pencernaan yang sederhana dan juga testis yang bergelambir, terletak sedikit di bagian anterior ovarium. Cacing dewasanya berukuran panjang sekitar 5-13 mm dan lebar 2-5 mm (Michel and Upton. 2013).

21 c. Daur hidup Dalam daur hidupnya cacing Paramphistomum sp memerlukan siput sebagai hospes perantara. Dua famili siput penting yang bertindak sebagai hospes perantara cacing ini adalah Planorbidae dan Lymnea. Infeksi pada hospes definitif terjadi pada saat ternak memakan rumput atau meminum air yang mengandung metaserkaria. Menurut Javed dalam Darmin (2014), metaserkaria mampu bertahan hidup di rerumputan sampai 12 minggu tergantung dari kondisi lingkungan. Metaserkaria masuk ke dalam saluran pencernaan, ekskistasi, dan keluar cacing muda. Cacing muda menembus mukosa usus, bermigrasi ke rumen dalam waktu 4-6 minggu setelah infeksi dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa bertelur di dalam rumen dan retikulum. Telur Paramphistomum sp. keluar bersama feses dan terjatuh di tempat yang basah dan lembab. Menurut Lioyd dalam Darmin (2014), telur memerlukan waktu minimal 4 minggu pada suhu 17ºC untuk berkembang menjadi mirasidium dan mencari siput yang cocok sebagai hospes. 8. Fasciola sp a. Klasifikasi Kingdom Filum Kelas : Animalia : Platyhelminthes : Trematoda

22 Ordo Famili Genus : Echinostomida : Fasciolidea : Fasciola Spesies : Fasciola sp (Noble and Noble, 1989). b. Morfologi Fasciola sp Gambar 10. Fasciola sp (Juniquera, 2015) Telur Fasciola sp dapat dikenali melalui mikroskop. Perbedaaan telur pada masing-masing species ini adalah ukurannya. Panjang telur Fasciola sp mencapai ukuran 130-150 mikron dan lebar 60-90 mikron, berbentuk oval dengan warna coklat kekuningan dan mempunyai sebuah operculum (gambar 10) (Levine, 1994). Fasciola sp mempunyai dua species yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantika. Bentuk kedua spesies ini tidak jauh berbeda, pada umumnya perbedaan hanya terdapat pada besar tubuh dan warnanya (Noble dan noble, 1989). Menurut Akhira dkk (2013). Fasciola sp mempunyai tubuh yang besar dan lebar serta pipih

23 menyerupai daun. Lebar tubuhnbya mencapai 0, 8-1, 5 cm dan panjang 2-5 cm. c. Daur Hidup Fasciola sp dewasa hidup dalam kantung empedu sapi, kerbau domba, kambing dan ruminansia lain (Levine, 1990). Menurut Brotowidjoyo, (1987) telur Fasciola sp akan menetas menjadi mirasidia dalam waktu 19 hari setelah mendapati air pada suhu 27ᵒ C. Mirasidia berenang aktif selama bebrapa jam dalam air sehingga menjumpai siput yang sesuai. Apabila mirasidia tidak mencapai siput, maka dalam waktu sekitar 8-40 jam larva ini akan mati. Mirasidia masuk ke dalam tubuh siput dengan jalan menembus tubuh siput melalui daerah mantel, kaki, kepala atau tentakel. Lalu melepaskan silianya masuk ke hepatopankreas, berubah menjadi sporosista dan berkembang mencapai 1-3 mm. Lama waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan dari mirasidia menjadi tahap serkaria pada tubuh siput adalah 41-70 hari. Sedangkan siklus hidup lengkap dari telur sampai serkaria dibutuhkan kira-kira 60 100 hari. Serkaria meninggalkan tubuh siput sekitar 3 7 minggu (tergantung dari suhu) setelah infeksi, dan langsung berenang aktif dalam air. Dalam dua jam mereka melepaskan ekornya dan menempel pada tumbuh-tumbuhan air untuk menjadi metaserkaria (Levine, 1990; Noble dan Noble, 1989).

24 Pada sapi infeksi cacing ini dapat menyebabkan anemia, berat badan menurun, gangguan pertumbuhan pada anak sapi, nafsu makan turun, lemah, kurus dan bulu kusam (Darma dan Putra. 1997).