BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Babi Babi merupakan hewan monogastrik yang memiliki kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang memadai. Ditinjau dari pola makanannya, babi termasuk hewan omnivora, yaitu hewan pemakan segala jenis pakan, baik yang berasal dari binatang atau tumbuh tumbuhan. Karena pola makannya yang dapat memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan tersebut, babi dapat dipelihara secara ekstensif dan diberbagai tempat, dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber pakan setempat. Bahkan karena kemampuannya dalam mencerna berbagai jenis pakan, tidak jarang babi diberi makan sisa sisa makanan manusia atau berbagai jenis limbah. Dengan demikian dikatakan bahwa pemeliharaan ternak babi relatif lebih mudah dilakukan bila ditinjau dari segi penyediaan pakannya. Selain itu, babi mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam (Ardana dan Putra, 2008). Babi berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan menjadi : sus vitatus, sus scrofa yang tersebar di seluruh kawan hutan di Indonesia dan sus barbatus (babi berjenggot) hanya terdapat di beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua (Regan, 2009). Sedangkan babi yang dipelihara saat ini berasal dari babi hutan. Ditinjau dari segi produktifitas, babi merupakan hewan yang prolifik, yaitu mampu menghasilkan banyak anakan dalam setahun. Kondisi pemeliharaan

2 8 ternak pada umumnya dan babi pada khususnya, untuk di Indonesia, tampaknya belum memadai untuk tercapainya produktifitas yang optimum, walaupun ternak babi yang dipelihara dewasa ini sudah dapat dikategorikan sebagai babi ungul yang didatangkan (diimpor) dari luar negeri, seperti babi Landrace, Saddleback, Yorkshire, Duroc dan lain sebagainya (Kanisius, 1985). Beberapa jenis penyakit pada babi khususnya penyakit parasiter oleh cacing masih banyak ditemukan di lapangan, antara lain Nematodiosis. Penyakit ini disebabkan oleh cacing dari klas nematoda atau cacing gilig. Infeksi cacing ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, karena menyebabkan pertumbuhan ternak menjadi tidak optimal (Silalahi dan Sinaga, 2010). Program pencegahan penyakit sangat diperlukan agar babi bebas dari infeksi khususnya parasit. Seunggul apapun ternak yang dipelihara serta sebaik apapun manajemen pemeliharaannya, semuanya itu akan kurang bila aspek kesehatan hewan kurang diperhatikan, dalam artian manajemen pencegahan penyakit tidak dilaksanakan sepatutnya oleh peternak (Ardana dan Putra, 2008). 2.2 Sistem Pemeliharaan Ternak Babi di Bali Sistem pemeliharaan ternak babi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sistem pemeliharaan tradisional, semi intensif dan intensif (Kanisius, 1981). Sistem pemeliharaan tradisional dan semi intensif adalah sistem pemeliharaan yang paling umum dilakukan oleh masyarakat di Bali (Yasa, et al., 2005).

3 9 Sistem pemeliharaan tradisional adalah sistem pemeliharaan yang dilakukan secara sederhana. Pemberian pakan babi pada sistem pemeliharaan tradisional ini pada umumnya berasal dari limbah pertanian dan industri turunan dari pertanian itu sendiri, serta limbah rumah tangga. Babi yang dipelihara secara tradisional biasanya di ikat di areal belakang pekarangan rumah. Pemberian pakan tidak teratur dan biasanya ditempatkan pada palung atau tempat pakan yang mudah dipindah-pindahkan serta kurang terjaga kebersihannya. Dalam sistem pemeliharaan semi intensif ternak dikandangkan pada kandang permanen dengan lantai dan dinding kandang yang terbuat dari semen dan atapnya dari seng atau asbes. Cara pemeliharaan dan ransum pakan yang diberikan belum tersusun dengan baik dalam pemenuhan gizi serta tidak adanya pemberian obat cacing dan vaksin. Sedangkan pada peternakan dengan sistem pemeliharaan intensif, manajemen yang diterapkan lebih baik dari sistem pemeliharaan semi intensif (Kanisius, 1981). 2.3 Karakteristik Nematoda Saluran Pencernaan Babi Ascaris suum Ascaris suum termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Subclass Secernentea, Ordo Ascaridida dan Family Ascarididae. Cacing ini merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada ternak babi, terutama babi muda diseluruh dunia (Soulsby, 1982). Kejadian ascariasis sangat tinggi pada babi-babi di daerah tropis dan sub tropis (Chan, 1997

4 10 dalam Tsuji, et al., 2003). Cacing ini berparasit pada usus halus (Soulsby, 1982). Ascaris suum memiliki tiga bibir tipis di ujung anterior. Terdapat peninggian bergerigi yang dibentuk oleh deretan gigi yang bentuknya mirip dengan segitiga bertepi lurus sama sisi pada permukaan dalam masingmasing bibir. Cacing jantan panjangnya cm dan berdiameter 3-4 mm, dengan spikulum sama besar dan kuat dengan panjang sekitar 2 mm dan mempunyai papila kaudal. Betinanya cm dengan diameter 5-6 mm, dengan vulva terletak di sekitar 1/3 panjang tubuh dari ujung anterior (Levine, 1990). Telur cacing berukuran x µm, mempunyai dinding yang tebal serta mempunyai ciri khas yaitu bagian luarnya dilapisi oleh albumin yang tidak rata sehingga membentuk tonjolan yang bergerigi (Bornay, 2006). Ascaris suum memiliki siklus hidup langsung. Cacing betina mengeluarkan telur 1-1,6 juta setiap hari di dalam usus dan keluar bersama tinja. Telurnya tidak bersegmen ketika sampai di tanah, dan membutuhkan hari untuk menjadi infektif di bawah kondisi optimal, atau hari pada C. Stadium infektif Ascaris suum yaitu larva stadium ke dua yang masih di dalam kulit telur. Babi terinfeksi dengan menelan telur-telur infektif dan kemudian menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan migrasi menuju hati melalui sistem porta hepatik. Larva stadium dua tersebut kemudian bermigrasi dan berkembang di dalam hati, menyilih menjadi stadium ke tiga dalam 4-5 hari. Kemudian menuju jantung dan

5 11 paru-paru melalui aliran darah. Larva tersebut berkembang lebih lanjut pada paru-paru, menyilih menjadi stadium ke empat setelah 5-6 hari, dan kemudian bergerak perlahan dari alveoli ke bronkiola, bronki, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi. Larva dibatukkan, tertelan, dan mencapai usus kecil dan kemudian menjadi dewasa. Banyak larva stadium ke empat ditemukan dalam usus halus 2-3 minggu sesudah infeksi. Masa prepaten 7-9 minggu, dan sedikit sekali cacing dewasa yang hidup lebih dari satu tahun (Levine, 1990). Pada stadium larva, ascaris suum dapat mengakibatkan terbentuknya jejas berwarna putih di bawah kapsul hati (milk spot), bronchitis, dan pneumonia. Sedangkan cacing dewasa dalam usus halus dengan jumlah yang banyak sering menyebabkan penyumbatan pada usus, sehingga terjadi kolik dan iritasi hingga enteritis sehingga timbul gejala diare, demam dan anemia. Selain itu teramati kelemahan umum seperti dehidrasi, penurunan berat badan dan kekurusan (Urquhart, et al., 1985) Trichuris sp Trichuris suis merupakan cacing dari Phylum Nemathelminthes, Class Adenophorea, Ordo Trichurida, dan Family Trichuridae (Soulsby, 1982). Trichuris suis adalah cacing cambuk pada babi. Ia dijumpai di dalam sekum dan kolon babi di seluruh dunia. Ia mirip dengan Trichuris trchiura pada manusia. Bagian anterior yang ramping sekitar dua pertiga panjang tubuh pada kedua jenis kelamin. Panjang cacing jantan mm, dengan

6 12 spikulum 2,0-3,35 mm dan selubung spikulum dipersenjatai dengan sebuah spina. Cacing betina mm, dengan telur berukuran x mikron (Levine, 1990). Siklus hidup Trichuris suis langsung, dimana tidak ada induk semang antara, dan infeksinya dengan cara termakannya telur yang berisi larva stadium kedua. Telur infektif yang sudah berembrio sangat resisten dan dapat tetap hidup untuk beberapa bulan atau tahun. Perkembangan di dalam induk semang definitif tampaknya berlangsung di dalam lumen usus, dan masa prepaten cacing ini yaitu sekitar 2-3 bulan. Cacing dijumpai terutama di dalam sekum, melekat pada mukosa dengan ujung depannya seperti sebuah jarum (Levine, 1990). Gangguan oleh parasit ini biasanya terbatas pada organ sekum (usus buntu) dan kolon saja dan dapat terjadi diare 19 hari setelah infeksi. Tandatanda penurunan berat badan dimulai dari hari ke-29 infeksi, dan terus berlanjut sampai hewan tersebut mati. Pada infeksi ringan akan terjadi penurunan kondisi akibat diare yang kronis, penurunan bobot badan, anemia serta gejala ikutan lainnya (Soulsby, 1982) Strongyloides ransomi Cacing Strongyloides ransomi merupakan cacing yang berasal dari Ordo Rhabditida dan Family Strongyloididae (Soulsby, 1982). Stongyloides ransomi terdapat diseluruh dunia pada mukosa usus halus babi. Cacing betina partenogenetik parasitik panjangnya 3,3-4,5 mikron dan berdiameter mikron, dan menghasilkan telur berembrio

7 13 berbentuk elips, berkulit tipis, berukuran x mikron. Cacing jantan hidup bebas mempunyai panjang mikron dengan spikulum melengkung yang panjangnya mikron dan gubernakulum dengan panjang mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 1,0-1,1 mm. Dengan masa prepaten yaitu 3-7 hari (Levine, 1990). Transmisi larva melalui kolostrum merupakan rute infeksi yang paling umum pada anak babi yang sedang menyusui. Cacing dewasa khususnya cacing betina bersembunyi di dalam usus dan menyebabkan iritasi hingga peradangan. Infeksi host dapat terjadi baik dengan penetrasi kulit dan menelan larva infektif. Periode prepatennya yaitu 6 9 hari. Pada saat kebuntingan dan melahirkan akan merangsang munculnya kembali dari larva yang kemudian dapat menginfeksi anak babi melalui kolostrum. Dalam jangka satu minggu setelah kelahiran anak babi, telur cacing bisa ada di dalam kolostrum mereka yang dapat berkembang dalam waktu 24 jam untuk menjadi larva infektif. Dalam infeksi yang ringan, hewan tidak menunjukkan tanda tanda. Pada infeksi yang berat gejala yang muncul berupa diare berdarah, anemia, kekurusan dan kematian mendadak pada anak babi mungkin akan terjadi. Selama fase migrasi infeksi gejala berupa batuk, nyeri otot, sakit perut dan muntah dapat diamati (Kaufmann, 1996) Hyostrongylus rubidus Hyostrongylus rubidus adalah salah satu spesies cacing dari ordo strongylida yang penting dalam peternakan babi. Cacing ini dikenal juga dengan nama Red Stomach Worm atau cacing lambung merah

8 14 (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Hyostrongylus rubidus ditemukan hampir diseluruh daerah peternakan babi diseluruh dunia dan menginfeksi semua umur babi (Lintock. 1966). Secara umum cacing ini memiliki panjang rata-rata 5-10 mm dan tubuhnya langsing (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Cacing jantan panjangnya 4-7 mm dan mempunyai spikulum dengan panjang mikron dan gubernakulum mikron. Cacing betina panjangnya 5-9 mm dan mempunyai telur berukuran x mikron. Vulva pada cacing betina berada 1/6 bagian posterior tubuh (Levine. 1990). Hyostrongylus rubidus disebut cacing lambung merah karena memiliki warna merah yang didapat dari makanannya berupa darah, cacing ini menghisap darah pada permukaan lambung babi (Johnstone. 1997, dalam Agustina. 2013). Tempat predileksi cacing Hyostrongylus rubidus adalah di dalam lambung babi. Babi akan terinfeksi jika larva cacing stadium III mencemari pakan dan termakan oleh babi. Larva infektif stadium III yang termakan, masuk ke dalam lambung dan menembus ke dalam kelenjar lambung. Disana dia tumbuh dan berkembang hingga menjadi larva stadium IV dan akan muncul sebagai cacing muda dalam 17 hari setelah terjadi infeksi, untuk menjadi dewasa dan siap berkembang biak dipermukaan mukosa lambung. Periode prepaten cacing Hyostrongylus rubidus selama kira-kira 3 minggu. Siklus hidup diluar inang terjadi mulai telur cacing dikeluarkan saat babi defekasi. Telur cacing akan berkembang menjadi larva stadium I,

9 15 stadium II dan stadium III. Pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan dari telur hingga mencapai stadium III yang infektif membutuhkan waktu selama 7-14 hari (Johnstone. 2000, dalam Agustina. 2013). Temperatur optimal dalam penetasan telur adalah ºC. Larva cacing sangat aktif bergerak dan tidak berada pada satu tempat dalam feses saja tetapi juga bisa tersebar pada areal peternakan dan padang rumput (Roepstorff dan Nansen, 1998). Babi yang digembalakan atau diberi makan dedaunan akan mudah tertular cacing ini (Kendall and Small, 1974). Babi yang terinfeksi oleh cacing Hyostrongylus rubidus akan menunjukkan gejala klinis berupa menurunnya kondisi tubuh, kelemahan, tidak ada koordinasi, kekurusan, kepucatan selaput lendir akibat anemia, tapi biasanya babi jarang mengalami diare (Roepstorff dan Nansen, 1998). Babi yang mengalami infeksi cacing dalam jumlah yang banyak dapat mengalami kematian (Levine, 1990). Untuk mendiagnose penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan feses dengan menemukan telur tipe strongyl atau menemukan parasitnya ketika melakukan bedah bangkai. Tapi bentuk telur cacing Hyostrongylus rubidus sama dengan bentuk telur cacing nodul (Oesophagostomum dentatum) (Pighealth, 2006) Oesophagustomum Spp Terdapat beberapa spesies cacing Oesophagostomum yang menyerang babi antara lain Oesophagostomum dentatum, Oesophagostomum brevicaudum, Oesophagostomum georgianum, dan Oesophagostomum

10 16 quadrispinulatum (Levine, 1990). Spesies yang paling umum dijumpai pada babi adalah Oesophagostomum dentatum, cacing ini tersebar diseluruh dunia (Merck, 2003). Keempat jenis cacing ini sangat mirip, sehingga tidak ada gunanya memandang mereka terpisah. Kemungkinan Oesophagostomum dentatum merupakan cacing yang paling umum, tetapi infeksi campuran merupakan hal yang biasa dijumpai (Levine, 1990). Oesophagostomum dentatum juga dikenal dengan nama cacing nodul. Nama cacing nodul berasal dari nodul yang dibentuk oleh stadium larva dari Oesophagostomum. Nodul ini terbentuk dari jaringan fibrosis yang dirangsang oleh reaksi sistem immunologis induk semang pada lapisan mukosa dari dinding usus besar yaitu caecum dan colon dalam usaha membatasi larva cacing (Corwin and Tubbs, 1993). Cacing jantan panjangnya 6-10 mm dan berdiameter mikron. Mereka mempunyai spikulum dengan panjang berturut-turut 1,15-1,3 mm; 1,0-1,2 mm; 1,0-1,1 mm dan 0,9-1,0 mm. Panjang cacing betina 6-14 mm, dengan telur berukuran x mikron (Levine, 1990). Vesicle chepalic sangat menonjol, tapi alae cervical pada kenyataannya tidak ada. Papila cervical mengarah ke bagian posterior dari oesophagus. Submedian dari rancangan kepala sangat jelas didepan, seperti halnya sembilan elemen dari mahkota luarnya. Mahkota bagian dalam terdiri dari delapan belas elemen (Soulsby, 1982). Cacing Oesophagostomum dentatum berpredileksi dalam lumen usus besar babi yaitu caecum dan colon (Levine, 1990). Infeksi cacing

11 17 Oesophagostomum dentatum berlangsung pada saat babi memakan tumbuh-tumbuhan atau pakan yang mengandung larva infektif (Kusumamihardja, 1992). Larva infektif yang tercerna akan mengalami pergantian kulit dalam usus halus dan sehari setelah infeksi larva menembus dinding usus yakni pylorus sampai ke rectum. Disini ekdisis ketiga mengambil tempat dan larva tumbuh hingga mencapai panjang antara 1,5-2,5 mm, sekarang mereka telah memiliki capsul bucalis sub-globular dengan gigi dorsal dibagian dasar, dan alur cervical sangat jelas. Umumnya larva kembali ke lumen usus setelah 5-7 hari dan bermigrasi menuju colon, dimana mereka akan tumbuh menjadi dewasa setelah mengalami ekdisis keempat. Telur ditemukan pertama kali keluar bersama feses penderita setelah 41 hari terjadi infeksi (Soulsby, 1982). Diluar tubuh induk telur mengalami awal segmentasi. Dinding telur yang tipis, terdiri dari lapisan dinding sebelah luar yang tersusun dari bahan kitin dan membran vitellinus di dalamnya (Soulsby, 1982). Telur Oesophagostomum dentatum yang keluar bersama tinja akan menetas dalam waktu jam dalam tanah yang lembab dengan suhu sekitar 26ºC (Kusumamihardja, 1992). Setelah menetas, larva berada pada stadium I, yaitu bentuk rhabditiform. Makanan larva adalah bakteri dari lingkungan sekitarnya, kemudian terus tumbuh dan menyilih menjadi larva stadium II. Bentuk rhabditiform esophagus berangsur berkurang, kemudian tumbuh menjadi larva yang kutikulanya masih tetap berasal dari stadium

12 18 sebelumnya dan bersifat infeksius (stadium III). Larva infektif stadium III tidak makan bakteri dari alam sekitarnya, tetapi memperoleh makanannya dari granula makanan yang tersimpan di dalam sel-sel intestinum. Stadium infektif dicapai pada kondisi optimum selama 6-7 hari dan stadium prainfektif sama sekali tidak tahan dengan kekeringan (Soulsby, 1982). Kemampuan hidup larva pada padang rumput tergantung pada faktor lingkungan. Penyebaran yang signifikan akan terjadi pada kondisi lingkungan yang sesuai yaitu musim panas dikombinasi dengan tumbuhtumbuhan sebagai pelindungnya. Penyebaran sangat menurun pada saat temperatur rendah dan sepanjang musim kemarau, dimana terdapat sedikit tumbuh-tumbuhan (Roepstorff and Murrell, 1996). Babi yang terinfeksi oleh cacing Oesophagostomum spp akan menunjukkan gejala klinis berupa hambatan pertumbuhan, kelemahan, kekurusan, menurunnya produksi susu, anemia, enteritis, dan diare (Roepstorff dan Nansen. 1998). Cacing ini juga dapat menimbulkan kematian pada babi (Soulsby, 1982) Globocephalus urosubulatus Globocephalus urosubulatus termasuk ke dalam Phylum Nemathelminthes, Ordo Strongylida, dan Family Globocephalidae (Levine, 1994). Cacing jantan dewasa memiliki panjang 3,5 5 mm dan cacing betina 4,5 8 mm (Nanev, 2007). Memiliki ciri khas bucal kapsul yang dipakai untuk menempel pada dinding mukosa usus (Talbot, 1972). Telur

13 19 berdinding tipis dan mengandung larva dengan ukuran panjang µm dan lebar µm (Flynn and Barker, 2007). Telur dapat berada dalam kotoran dan untuk berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga membutuhkan waktu sekitar hari. Infeksi terjadi dengan menelan larva tahap ketiga atau dengan penetrasi transcutan. Migrasi larva melalui jantung, paru paru, tenggorokan, kerongkongan, usus (Kaufmann, 1996). Gejala klinis yang muncul bisa berupa anemia, hypoproteinemia, penurunan berat badan progresif dan kekurusan dapat terjadi pada infeksi berat (Kaufmann, 1996). Untuk mendiagnosa dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis yang nampak dan untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan feses secara mikroskopis untuk menentukan adanya telur cacing dari Globocephalus yang berdinding tipis dan mengandung larva (Talbot, 1972) Gnathostoma hispidum Gnasthostoma hispidum merupakan cacing dari Subclass Secernentea, Ordo Spirurida, Superfamily Physalopteroidea dan Family Gnathostomidae (Soulsby, 1982). Cacing ini berbentuk bulat berwarna kemerahan dan transparan. Berpredileksi di dalam lambung babi di Eropa, Asia (Soulsby, 1982) Afrika dan Amerika Serikat (Daengsvang et al, 1964), selain itu juga bisa menginfeksi babi hutan, manusia (Robert dan Janovy, 2000) dan ular (Choi et al., 2007). Cacing jantan berukuran 26 x 1,8 mm sedangkan betinanya berukuran 35 x 2,3 mm. Ciri khas (karakteristik) cacing ini adalah ditemukan bagian yang mengalami

14 20 konstriksi (penyempitan) diantara kepala dan tubuhnya, sehingga cacing ini seolah olah memiliki leher dan kepala yang berlobus besar. Pada daerah kepala terdapat bibir yang tebal dan empat buah kelenjar cervical. Ciri khas lainnya adalah terdapatnya duri duri dengan ujung bercabang yang menutupi seluruh tubuhnya (Sandjaja, 2006). Siklus hidup, telur akan keluar dari tinja babi yang terinfeksi, telur akan menetas di dalam air dan larva satu yang terbebas akan mencari hospes antara yaitu sejenis udang (Cyclop) dan berkembang menjadi larva dua. Cyclop kemudian dimakan oleh hospes transport seperti ikan, katak, atau ular dan berkembang menjadi larva 3 yang bersifat infektif. Apabila hospes transport dimakan oleh hospes definitif yaitu babi, maka larva 3 akan berkembang menjadi larva 4 (cacing muda) dan akhirnya menjadi dewasa di dalam lambung babi (Sandjaja, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak babi merupakan salah satu bagian penting dalam menunjang perekonomian banyak negara. Populasi babi terus meningkat dari tahun ke tahun terkait meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali

Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali Identifikasi dan Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Anak Babi di Bali (IDETIFICATION AND PREVALENCE OF GASTROINTESTINAL NEMATHODES PIGLETS IN BALI) Ady Fendriyanto 1, I Made Dwinata 2,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali 2.1.1 Asal-usul dan Penyebaran Sapi Bali Sapi bali ( Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar ( Bibos banteng) (Batan,

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Ayam Ayam kampung atau sering disebut ayam buras merupakan jenis ayam hutan liar yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama ratusan tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anjing Anjing termasuk keluarga Canidae, bersaudara dengan serigala, rubah, dan anjing rakun. Diantara semua anggota Canidae, anjing mempunyai hubungan yang paling dekat dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta : Magnolipsida :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Buras atau ayam lokal 2.1.1 Asal usul ayam lokal di Indonesia Ayam lokal Indonesia merupakan ayam yang berkembang dimulai sejak proses domestikasi dimulai, sehingga ayam

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica 14 TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN BABI DI MAKASSAR

IDENTIFIKASI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN BABI DI MAKASSAR i IDENTIFIKASI CACING NEMATODA PADA SALURAN PENCERNAAN BABI DI MAKASSAR SKRIPSI NOVELING INRIANI O 111 11 287 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 ii

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. Rambut pada sapi berbeda-beda, pada sapi yang hidup di daerah panas memiliki rambut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) 2.1.1 Klasifikasi tanaman Kingdom Divisio : Plantae : Magnoliophyta Sub division: Spermatophyta Kelas Ordo Famili Genus Species

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Yang Siklus Hidupnya Melalui Tanah 1. klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes dan mempunyai kelas Nematoda, sedangkan superfamili

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

AKURASI METODE RITCHIE DALAM MENDETEKSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BABI

AKURASI METODE RITCHIE DALAM MENDETEKSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BABI AKURASI METODE RITCHIE DALAM MENDETEKSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BABI Kadek Ayu Dwi Suryastini 1, I Made Dwinata 2, I Made Damriyasa 1 1 Lab Patologi Klinik Veteriner, 2 Lab Parasitologi

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun 20 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminthiasis Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Saanen Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial dan perlu dikembangkan sebagai penyedia protein hewani yang dapat menghasilkan susu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Soil Transmitted Helminths STH (Soil Transmitted Helminths) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminth 1. Klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Pada tahun 2007, infeksi cacing di seluruh dunia mencapai 650 juta sampai 1 milyar orang, dengan prevalensi paling tinggi di daerah tropis. Populasi di daerah pedesaan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Wilayah Pringsewu Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 dibentuk Kabupaten Pringsewu dan diresmikan pada tanggal 3 April 2009 oleh Menteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya,

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuda (Equus caballus) Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum dan klasifikasi Anjing Anjing adalah hewan yang sangat dekat dengan manusia. Anjing merupakan hewan kesayangan dengan jumlah ras terbanyak dan memiliki perbedaan

Lebih terperinci

Gambar 1. Perluasan lesi pada telapak kaki. 9

Gambar 1. Perluasan lesi pada telapak kaki. 9 BAB 3 DISKUSI Larva migrans adalah larva cacing nematoda hewan yang mengadakan migrasi di dalam tubuh manusia tetapi tidak berkembang menjadi bentuk dewasa. Terdapat dua jenis larva migrans, yaitu cutaneous

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan meningkatnya kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Salah satu produk hasil peternakan yang paling disukai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN Oleh : Kelompok 7 Program Profesi PSIK Reguler A Prilly Priskylia 115070200111004 Youshian Elmy 115070200111032 Defi Destyaweny 115070200111042 Fenti Diah

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh BAB II TUJUAN PUSTAKA A. ES JUS Es Jus merupakan salah satu bentuk minuman ringan yang dapat langsung diminum sebagai pelepas dahaga. Es Jus terbuat dari beberapa bahan antara lain es batu,buah,,sirup,

Lebih terperinci

Buletin Veteriner Udayana Vol. 5 No. 2 ISSN : August Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali

Buletin Veteriner Udayana Vol. 5 No. 2 ISSN : August Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali ISSN : 2085-2495 August 2013 Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali (IDENTIFICATION AND PREVALENCE OF STRONGYLE TYPE WORM ON PIGS IN BALI) Kadek Karang Agustina Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.)) de Wit. 2.1.1 Klasifikasi Lamtoro Kingdom Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Suku Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan maupun daerah perkotaan

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Soil Transmitted Helminths (STH) Keberadan dan penyebaran suatu parasit di suatu daerah tergantung pada berbagai hal, yaitu adanya hospes yang peka, dan terdapatnya

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

APA ITU TB(TUBERCULOSIS) APA ITU TB(TUBERCULOSIS) TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. Penyakit Tuberkolusis bukanlah hal baru, secara umum kita sudah mengenal penyakit ini. TB bukanlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi Cacing Kremi Penyakit infeksi cacing kremi atau enterobiasis adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA Salah satu ciri mahluk hidup adalah membutuhkan makan (nutrisi). Tahukah kamu, apa yang

Lebih terperinci