1 BAB I PENDAHULUAN A. Perumusan Masalah 1. Latar belakang dan pertanyaan penelitian Berkembangnya arsitektur jaman kolonial Belanda seiring dengan dibangunnya pemukiman bagi orang-orang eropa yang tinggal di Indonesia pada saat penjajahan pemerintah kolonial Belanda yang kemudian menjadi penguasa, mempengaruhi gaya hidup, bentuk bangunan rumah traditional, serta fungsi ruangannnya. Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia merupakan fenomena yang unik, tidak terdapat ditempat lain, juga pada negara-negara bekas kolonial lain ( Soemalyo, 1993) Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam. Kebudayaan baru tersebut muncul dari sekelompok masyarakat khususnya keluarga keturunan Eropa ( Belanda ) dan pribumi, oleh karena itu arsitektur kolonial Belanda pada pelbagai tempat di Indonesia memiliki perbedaan dan ciri-ciri tersendiri. Tujuh unsur universal dari kebudayaan yaitu : bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan system ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi yang merupakan campuran unsur budaya Belanda dan budaya Pribumi inilah yang disebut kebudayaan campuran. Selain itu aspek penting lainnya dalam kebudayaan ini adalah gaya hidup dan bangunan rumah tinggal yang merupakan area kegiatan bagi keluarga sehari-hari. ( Soekiman, 2011 ) Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut peran penguasa kolonial Belanda sangat menentukan, sementara itu bangsa pribumi menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa jajahan atau kolonial. Hasil perpaduan menunjukan bahwa ciri-ciri barat ( Eropa ) tampak lebik menonjol dan dominan. Pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa untuk bergaya hidup dan membangun gedung serta perumahan tempat tinggalnya dengan menggunakan ciri-ciri
2 dan lambang yang berbeda dengan rakyat yang dijajahnya, sebagai upaya untuk menunjukan kekuasaan dan kebesarannya, mereka tinggal berkelompok di wilayah tertentu dalam kota yang dianggapnya terbaik dan tertutup bagi bangsa pribumi.(soekiman, 1997 ) Bentuk bangunan rumah tinggal para pejabat pemerintahan Hindia Belanda memiliki ciri-ciri perpaduan antara bentuk bangunan belanda dan bangunan traditional dan oleh Berlage disebut dengan istilah Indo-Europeesche Bouwkunst Van de Wall menyebutnya dengan istilah Indische Huizen dan Parmono Atmadi menyebutnya sebagai Arsitektur Indis penyebuttan itu merujuk pada ciri-ciri khusus bangunan pada suatu kurun waktu. ( Soekiman, 2011 ) Yogyakarta sebagai ibu kota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dalam perkembangannya tidak hanya berperan sebagai pusat kerajaan Jawa, tetapi juga sebagai tempat aktivitas pemerintah Belanda dalam menjalankan pemerintahannya. Hal ini terbukti dengan adanya bangunan-bangunan kolonial Belanda. Bangunan-bangunan itu di antaranya adalah rumah-rumah pejabat, sekolah-sekolah, gedung-gedung perkantoran dan benteng untuk pertahanan, yaitu Benteng Vredeburg. Kemudian terdapat pula bangunan fisik lain berupa jalan yang melintasi Kali Code yang menghubungkan Malioboro dengan Kota Baru. Pada tahun 1824 dibangun rumah dinas dan Kantor Resimen Belanda atau Loji Kebon di Yogyakarta yang terletak di sebelah Barat Benteng Vredeburg. Semakin banyaknya masyarakat Eropa yang bermukim di Yogyakarta ini, maka dibangunlah rumah-rumah masyarakat Eropa. Pemukiman ini terletak di sebelah timur Beneteng Vredeburg yang dikenal dengan sebutan Loji Kecil. Pemukiman orang-orang Belanda kemudian berkembang dengan penambahan di yang dikenal dengan sebutan Loji Kecil. Pemukiman orang-orang Belanda kemudian berkembang dengan penambahan di wilayah Bintaran yang terletak di sebelah timur Kali Code. Peluasan berikutnya menempati lokasi di daerah Kota Baru. Guna mendapatkan lahan untuk bermukim maka residen Yogyakarta pada tahun 1917 meminta kesediaan dari Sri Sultan Hamengku Buwana VII untuk menggunakan sebagian tanah pada bagian utara Yogyakarta untuk dibangun pemukiman khusus untuk
3 orang Eropa dan berbagai sarana sosial lainnya. Pemukiman ini merupakan pengembangan dari pemukiman sebelumnya yang terletak di timur alun-alun (Bintaran). Diharapkan dengan adanya pengkhususan akan memperluas perdagangan dan industri di masa mendatang dan diharapkan akan muncul lembaga-lembaga pendidikan. Pemukiman Kota Baru mulai dibangun pada akhir perang dunia I, sebagai suatu kompleks hunian modern yang diperuntukan bagi orang-orang kulit putih pada saat itu. Sesuai dengan tujuan itu maka orang kulit putih memperoleh prioritas sebagai penghuni kompleks Kota Baru. Pemukiman Kota Baru pada saat itu terdiri dari rumah-rumah tinggal yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas umum. Fasilitas umum yang ada di kawasan ini antara lain sarana olah raga, sekolah, keagamaan. Sarana oleh raga berupa Sport Terrein, sarana sekolah berupa AMS, MULO, dan seminari, sarana keagamaan berupa kapel-kapel seminari, sarana kesehatan berupa Petronella Hospital dan DAT Hospital, sarana keamanan berupa Asrama Polisi, sarana transportasi berupa jalan dan sarana drainase berupa selokan/riool.( Junawan, 1998 ) Para pemukim di Kotabaru pada masa awal, umumnya adalah para pegawai tinggi Belanda, seperti para administratur pabrik gula yang banyak terdapat di Yogyakarta. Pada masa awal kemerdekaan, wilayah ini juga bersejarah karena beberapa bagian kawasan atau bangunannya memiliki peran penting. (Sektiadi, 2002) Sehingga Yogyakarta merupakan kota yang tidak dapat terlepas dari sejarah keberadaan pemerintah kolonial Belanda karena banyak ditemukan peninggalanpeninggalan pemerintah kolonial Belanda seperti disebut diatas, khususnya pemukiman lama di kawasan Kota Baru. Pada saat ini kawasan Kota Baru yang kini berada diposisi strategis pusat kota Yogyakarta, yang cenderung berubah menjadi areal komersial. Perubahan tersebut berdampak khususnya pada perubahan penampilan tampak /façade arsitektur bangunan aslinya, yang dikhawatirkan akan menghilangkan nilai historis kultural kawasan bersejarah tersebut.
4 Pemahaman terhadap karya arsitektur masa lampau diperlukan sebagai refleksi budaya dan nilai-nilai yang inheren dalam masyarakat, dapat bermanfaat untuk pembanding analisis dari bentuk bangunan masa lampau dengan masa kini, untuk menggali nilai-nilai dasar dari generasi ke generasi dan merupakan transformasi yang harmonis dari traditional ke modern. ( Budiharjo, 1997 ) Pendapat tersebut menjadi dasar dilakukannya penelitian terhadap bangunan peninggalan kolonial Belanda khususnya di Kota Baru, sehingga nilai- nilai masa lampau dapat bermanfaat sebagai wacana bagi perencanaan arsitektur dimasa yang akan datang. Kajian arsitektural bangunan peninggalan masa kolonial Belanda di kawasan Kota Baru ini penting dilakukan untuk memperlihatkan karakteristik/ciri- ciri arsitektural sesuai dengan jamannya, sebagai upaya pelestarian serta pengembangan kawasan dimasa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang yg telah diuraikan sebelumnya maka dapat dikemukakan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Ciri- ciri arsitektural bangunan rumah lama manakah yang terdapat di kawasan peninggalan Kolonial Belanda di Kota Baru? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap ciri-ciri tersebut? 2. Keaslian penelitian Penelitian-penelitian mengenai bangunan bersejarah di Indonesia yang berkaitan dengan bangunan peninggalan kolonial Belanda telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian sejenis yang dilakukan di kota Yogyakarta masih sedikit, karena dibutuhkan penelusuran sejarah dan dokumentasi bangunan yang ada dikawasan pemukiman peninggalan Belanda, untuk itu perlu dilakukan penelitian di kawasan pemukiman indis Kota baru yang merupakan kawasan bersejarah peninggalan kolonial Belanda. Adapun penelitian sejenis yang dipergunakan sebagai acuan dalam penelitian ini antara lain :
5 a. Kota Yogyakarta ( 1880-1930 ) oleh Abdurrachman Suryomihardjo ( 1988) Penelitian ini menitik beratkan pada aspek pendekatan sosial masyarakat, yang dilakukan untuk mempelajari proses penyesuaian budaya beberapa kelompok penduduk dalam era kolonial dan tidak membahas wujud fisik arsitektural kolonial. b. Pola Pemukiman Masyarakat Belanda Di Yogyakarta Tahun 1899-1936 oleh Muhammad Junawan (1998) Merupakan kajian arkeologi peninggalan kolonial Belanda di kota Yogyakarta yang membahas sejarah awal mula kota Yogyakarta sampai dengan era pendudukan kolonial Belanda yang menyangkut aspek sosial, tata kota beserta berbagai fasilitasnya. c. Arahan Desain Setting Permukiman Kawasan Peristirahatan Kolonial Belanda Di Tlogo Nirmolo Kaliurang Kabupaten Sleman Yogyakarta, oleh Wahyu Prakosa (2004) Merupakan kajian morfologi bangunan villa peninggalan Belanda di kawasan peristirahatan Kaliurang berserta rekomendasi arahan disain pengembangannya dimasa mendatang. d. d. Kajian karakteristik Arsitektural Bangunan bangunan peninggalan masa kolonial Belanda di Bintaran, Yogyakarta, oleh Wiyatiningsih (2004 ) Berupa kajian arsitektural bangunan peninggalan Belanda di kawasan Bintaran Yogyakarta berserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakterisitik tersebut.
6 B. Manfaat Penelitian Diharapkan dari penelitian ciri-ciri bangunan rumah indis di Kota baru ini dapat memberi manfaat : 1. Manfaat secara akademis : dapat menambah wawasan pengetahuan akan perkembangan arsitektur di era kolonial Belanda khususnya elemen-elemen arsitektural pembentuk ciri khas bangunan lama di Kota Baru. 2. Manfaat secara praksis : hasil penelitian tentang elemen-elemen arsitektural pembentuk ciri khas arsitektural lama dapat digunakan sebagai sumber referensi disain lama dalam mengantipasi perkembangan/perubahan fungsi maupun penampilan bangunan rumah, sehingga dapat bermanfaat dalam penerapan konsep konservasi bangunan di kawasan cagar budaya Kota Baru Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan ciri-ciri bangunan indis peninggalan kolonial di Kota Baru Yogyakarta pada elemen-elemen arsitektural yang merupakan wujud fisik bangunan rumah lama melalui kajian bentuk/penampilan façade bangunan, pola/denah ruang, ragam hias dan lokasi bangunan rumah.