STUDI CRANIOMETRICS DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI NURLAELA JUNITIA FITRIA ASOEN

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

BAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin

BANGSA-BANGSA KERBAU PERAH

TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi selama periode kehidupan lembah Indus, kira-kira 4500 tahun yang

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus)

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

KARAKTERISASI MORFOMETRIK DAN ANALISIS FILOGENI PADA ENAM SUB POPULASI KAMBING LOKAL INDONESIA

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

KERAGAMAN FENOTIPIK MORFOMETRIK TUBUH DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU RAWA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA

ESTIMASI JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA MELALUI PENDEKATAN ANALISIS CRANIOMETRICS

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kambing merupakan hewan-hewan pertama yang didomestikasi. oleh manusia. Diperkirakan pada mulanya pemburu-pemburu membawa

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN ESTIMASI JARAK GENETIK KERBAU RAWA, SUNGAI (MURRAH) DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA

MATERI DAN METODE. Prosedur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Abstrak

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

KARAKTERISASI MORFOLOGI DOMBA ADU

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

Karakteristik Sifat Kualitatif Domba Di Ex Upt Pir Nak Barumun Kecamatan Aek Nabara Barumun Kabupaten Padanglawas. Aisyah Nurmi

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

PENGELOMPOKAN KABUPATEN/ KOTA DI SUMATERA UTARA BERDASARKAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA MISKIN DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS CLUSTER SKRIPSI WIDYA REZA

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR. SKRIPSI Ardhana Surya Saputra

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman pada Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Tipis pada Kelompok Umur I 0.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penetapan Lokasi Penentuan Umur Domba

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 359/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PENETAPAN RUMPUN KAMBING SABURAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA UTARA

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau lokal betina

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian memiliki beberapa sektor seperti peternakan, perikanan, perkebunan,

PENDAHULUAN. sektor perekonomian yang sangat berkembang di propinsi Sumatera Utara.

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tabel.1 Data Populasi Kerbau Nasional dan Provinsi Jawa Barat Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2008

TINJAUAN PUSTAKA Kuda

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Kerbau berasal dari india, namun telah tersebar di banyak negara termasuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BANGSA-BANGSA KAMBING PERAH

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

MATERI DAN METODE. Tabel 2. Jumlah Kuda yang Diamati Berdasarkan Lokasi dan Jenis Kelamin

KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK ANTARA SUBPOPULASI KERBAU RAWA LOKAL DI KABUPATEN DOMPU, NUSA TENGGARA BARAT

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

Somatometri Kerbau Lumpur di Kabupaten Jembrana Bali

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc.

KARAKTERISTIK MORFOLOGI UKURAN TUBUH KERBAU MURRAH DAN KERBAU RAWA DI BPTU BABI DAN KERBAU SIBORONGBORONG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

II. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai simbol status sosial pada kebudayaan tertentu. Seiring

KEMISKINAN ASAHAN TAHUN 2015

Bibit sapi potong Bagian 1: Brahman Indonesia

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan sapi perah FH laktasi dengan total 100 ekor yaitu

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. Termasuk yang menguntungkan kan adalah jamur konsumsi. konsumsi atau sering dikenal dengan istilah mushroom merupakan bahan

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

KARAKTERISASI FENOTIPIK DOMBA KISAR

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

Transkripsi:

STUDI CANIOMETICS DAN PENDUGAAN JAAK GENETIK KEBAU SUNGAI, AWA DAN SILANGANNYA DI SUMATEA UTAA SKIPSI NULAELA JUNITIA FITIA ASOEN DEPATEMEN ILMU PODUKSI DAN TEKNOLOGI PETENAKAN FAKULTAS PETENAKAN INSTITUT PETANIAN BOGO 2008

STUDI CANIOMETICS DAN PENDUGAAN JAAK GENETIK KEBAU SUNGAI, AWA DAN SILANGANNYA DI SUMATEA UTAA NULAELA JUNITIA FITIA ASOEN D14104042 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor POGAM STUDI TEKNOLOGI PODUKSI TENAK FAKULTAS PETENAKAN INSTITUT PETANIAN BOGO 2008

STUDI CANIOMETICS DAN PENDUGAAN JAAK GENETIK KEBAU SUNGAI, AWA DAN SILANGANNYA DI SUMATEA UTAA Oleh NULAELA JUNITIA FITIA ASOEN D14104042 Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 19 Maret 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 131 624 187 Ir.Anneke Anggraeni, M.Si.PhD. NIP. 080 124 356 Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. NIP. 131 955 531

IWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1986 di Sumedang. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Julian Cahaya Asoen dan Ibu Alm. Yank Budhiana Asoen. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN Sukaraja I Sumedang, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN 2 Sumedang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Cimalaka, Sumedang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar pada Jurusan Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004. Selama mengikuti pendidikan, penulis sempat aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter) sebagai sekretaris Departemen Informasi, Komunikasi dan Teknologi (Infokomtek) pada tahun 2005-2006 dan Warga Pelajar Masyarakat Sumedang Larang (WAPEMALA) sebagai anggota.

KATA PENGANTA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena telah memberikan limpahan petunjuk, rahmat, taufik, hidayah dan curahan nikmat yang tak terhingga serta shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah dan terlimpah kepada junjungan Nabi besar yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Studi Craniometrics dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, awa dan Silangannya di Sumatera Utara di bawah bimbingan Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc. serta Ir. Anneke Anggraeni M.Si., PhD. Penelitian ini disusun berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2007. Informasi dasar mengenai karakteristik fenotipe kerbau lokal yang ada di Indonesia khususnya Sumatera Utara saat ini masih belum lengkap. Oleh karena itu, melalui skripsi ini penulis ingin mencoba menambahkan kelengkapan informasi dasar mengenai karakteristik fenotipe tersebut sekaligus mempelajari dan melakukan pendugaan jarak genetik dengan melihat perbedaan karakteristik fenotipe antara bangsa kerbau yang ada di Indonesia untuk mengetahui hubungan kekerabatannya. Penulis sangat menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan banyak manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya, serta untuk kemajuan pembangunan peternakan di Indonesia. Bogor, Maret 2008 Penulis

DAFTA ISI INGKASAN... ABSTACT... IWAYAT HIDUP... KATA PENGANTA... DAFTA ISI... Halaman DAHTA TABEL... vii DAFTA GAMBA... viii DAFTA LAMPIAN... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Hipotesis... 2 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Populasi Kerbau di Indonesia... 3 Penyebaran Kerbau di Sumatera Utara... 4 Klasifikasi Kerbau... 5 Kerbau Sungai (iver Buffalo)... 6 Kerbau Murrah... 6 Kerabu awa (Swamp Buffalo)... 7 Kerbau Silangan... 8 Potensi Ternak Kerbau... 9 Cross Breeding... 9 Keragaman Morfologi... 10 Jarak Genetik... 11 Analisis Kanonikal... 11 METODE... 12 Lokasi dan Waktu... 12 Materi... 12 Ternak... 12 Alat... 12 Metode... 14 Pengukuran Bagian Kepala... 14 Pengamatan Sifat Kualitatif... 15 Analisis Data Sifat Kuantitatif... 16 Efek Heterosis... 17 Analisis Data Sifat Kualitatif... 17 Analisis Data Keragaman Morfometrik... 17 i ii iii iv v ix v

HASIL DAN PEMBAHASAN... 19 Sifat Kuantitatif... 19 Karakteristik Craniometrics Kerbau awa, Murrah dan Silangan... 19 Sifat Kualitatif... 28 Bentuk Tanduk... 28 Pendugaan Jarak Genetik... 31 Peta Penyebaran Kerbau... 31 Nilai Campuran Fenotipik antar Bangsa... 33 Peubah Pembeda Bangsa Kerbau... 34 Penentuan Jarak Genetik dan Pohon Dendogram... 34 KESIMPULAN DAN SAAN... 37 Kesimpulan... 37 Saran... 37 UCAPAN TEIMAKASIH... 38 DAFTA PUSTAKA... 39 LAMPIAN... 42 vi

Nomor DAFTA TABEL Halaman 1. Populasi Ternak Kerbau per Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara... 4 2. ataan Kualitas Susu Sapi dan Susu Kerbau di Sumatera Utara... 9 3. ataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Efek Heterosis dari Craniometrics X 1, X 2, X 3, X 4, X 5 dan X 6 Kerbau yang Telah Dikoreksi Terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten) dan Umur (3 4 Tahun)... 19 4. ataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Efek Heterosis dari Craniometrics X 7, X 8, X 9, X 10, X 11 dan X 12 Kerbau yang Telah Dikoreksi Terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten) dan Umur (3 4 Tahun)... 22 5. ataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Efek Heterosis dari Craniometrics Kerbau yang Telah Dikoreksi pada Jenis Kelamin Betina... 26 6. Bentuk Tanduk Kerbau awa, Murrah dan Silangannya... 29 7. Persentase Nilai Kesamaan dan Campuran di dalam dan di antara Kelompok Kerbau (%)... 33 8. Total Struktur Kerbau Dewasa... 34 9. Matriks Jarak Genetik antara Bangsa Kerbau... 35 vii

Nomor DAFTA GAMBA Halaman 1. Kerbau awa, Sungai (Murrah) dan Silangan (F 1 )... 12 2. Lokasi Pengambilan Sampel di Sumatera Utara... 13 3. Pengukuran Kepala Kerbau... 15 4. Bentuk Tanduk Kerbau awa... 30 5. Bentuk Tanduk Kerbau Sungai (Murrah)... 30 6. Bentuk Tanduk Kerbau Silangan... 30 7. Persentase elatif Bentuk Tanduk Kerbau awa... 31 8. Persentase elatif Bentuk Tanduk Kerbau Sungai (Murrah)... 31 9. Persentase elatif Bentuk Tanduk Kerbau Silangan... 31 10. Penyebaran Bangsa Kerbau Dewasa Berdasarkan Ukuran Fenotipik Kepala... 32 11. Pohon Dendogram dari Matriks Jarak Genetik Kerbau awa, Sungai dan Silangannya di Sumatera Utara... 35 viii

Nomor DAFTA LAMPIAN Halaman 1. Diagram Hasil Uji-t Ukuran ukuran Kepala (Craniometric) pada Kerbau awa, Sungai dan Silangan Jantan... 43 2. Diagram Hasil Uji-t Ukuran ukuran Kepala (Craniometric) pada Kerbau awa, Sungai dan Silangan Betina... 44 3. Diagram Hasil Uji-t Ukuran ukuran Kepala (Craniometric) pada Kerbau awa, Sungai dan Silangan Setelah Dikoreksi terhadap Jenis Kelamin Betina... 45 ix

PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang memiliki keunggulan dapat bertahan hidup dengan pakan berkualitas rendah, toleran terhadap parasit serta keberadaannya telah menyatu dengan kehidupan sosial dan budaya petani Indonesia. Kerbau lokal merupakan sumber plasma nutfah yang dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan ketersediaan pangan, memperbaiki kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan devisa negara. Data statistik peternakan menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia adalah sekitar 3,41% dengan jumlah total populasi 2,201 juta ekor. Sumatera Utara sendiri merupakan sentra produksi kerbau nomor dua di Indonesia, dengan jumlah kerbau sebanyak 261.308 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Ternak kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan bangsa kerbau lumpur atau rawa (swamp buffalo) sebanyak 95 % dengan keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Sisanya sebanyak 5 % merupakan bangsa kerbau sungai (river buffalo) yang banyak dipelihara di Sumatera Utara. Kerbau rawa umumnya dipakai sebagai ternak kerja dan penghasil daging dengan jumlah kromosom sebanyak 48 buah, sedangkan kerbau sungai lebih dikenal sebagai penghasil susu dan memiliki kromosom sebanyak 50 buah. Kerbau sungai dan rawa yang secara fenotipik dan genotifik berbeda ini mulai banyak disilangkan. Kerbau silangan (F 1 ) memiliki kromosom sebanyak 49 buah (Hasinah dan Hadiwirawan, 2006). Di Thailand ternak silangan digunakan sebagai tipe perah yang memproduksi susu cukup tinggi. Masih sedikit informasi yang bisa kita dapatkan mengenai ternak kerbau, terutama kerbau lokal Indonesia. Informasi ini sangat penting bagi pengembangkan ternak kerbau ke depannya. Oleh karena itu diperlukan penelitian dasar mengenai karakteristik fenotipe baik sifat kualitatif maupun kuantitatif dari setiap tipe kerbau pada daerah spesifik Sumatera Utara. Karakteristik craniometrics adalah salah satu cara untuk mengetahui karakteristik fenotipe dan genotipe ternak. Kepala dipilih

karena memiliki pertumbuhan yang paling tidak signifikan, dan sangat sedikit dipengaruhi oleh lingkungan. Hipotesis Kerbau rawa memiliki karakteristik craniometrics dan jarak genetik yang jauh dari kerbau sungai, sedangkan keturunan silangannya (F 1 ) akan lebih dekat dengan kerbau sungai yang memiliki ukuran kepala lebih besar dari kerbau rawa. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jarak genetik melelui ukuranukuran kepala (craniometrics) kerbau sungai, rawa dan silangannya di Sumatera Utara. 2

TINJAUAN PUSTAKA Populasi Kerbau di Indonesia Ternak kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau rawa (swamp buffalo) sebanyak 95% dengan keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Sisanya sebanyak 5% termasuk kerbau sungai (river buffalo) yang banyak dipelihara di Sumatera Utara. Puslitbang Peternakan (2006) menyatakan bahwa jenis kerbau yang ada di Indonesia sebagian besar adalah jenis kerbau rawa dengan keragaman warna, ukuran dan tingkah laku yang cukup besar. Di samping itu terdapat jenis kerbau sungai yang hidup di Sumatera Utara, yang dikenal sebagai kerbau Murrah. Namun ada kecenderungan bahwa populasi dan mutu genetik kerbau nasional menurun dari tahun ke tahun, karena sistem perkawinannya tidak menentu. Data populasi kerbau di Indonesia yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia adalah sekitar 3,41% per tahun. Jumlah populasi kerbau di Indonesia adalah sebanyak 2,201 juta ekor yang menyebar hampir di seluruh propinsi tetapi tidak merata jumlahnya. Populasi terpadat di 10 propinsi terdapat pada propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan yang masing-masing berjumlah 340.031, 261.308, 211.008, 156.570, 156.568, 145.439, 141.236, 128.502, 123.826 dan 103.577 ekor. Perkembangan ternak kerbau di Indonesia selama 5 tahun terakhir menunjukkan terjadinya penurunan populasi pada tahun 2004 dan 2005 masingmasing sebesar -2,28% dan -11,43% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara pada tahun 2003 dan 2006 terjadi peningkatan masing-masing sebesar 2,35% dan 3,41% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Kerbau dapat berkembang dengan baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi yang sangat basah sampai dengan kondisi yang kering. Hasinah dan Hadiwirawan (2006) mengemukakan bahwa di antara kerbau awa di Indonesia, sebagai akibat pengaruh lingkungan nampaknya telah terjadi semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup kerbau, seperti: (i) timbulnya kerbau-kerbau yang berbadan besar dan berbadan kecil, (ii) perbedaan daya tahan terhadap panas dan (iii) kegemaran hidup di dalam air atau berkubangan. 3

Melihat adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan dibanyak daerah di Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasi. Penyebaran Kerbau di Sumatera Utara Total populasi kerbau di Sumatera Utara adalah 259.672 ekor pada tahun 2005, sedangkan pada tahun 2006 menjadi 261.308 ekor, sekitar 11,87% dari populasi kerbau nasional. Di Sumatera Utara kerbau menyebar pada hampir semua kabupaten/kota dengan distribusi terpadat pada Kabupaten Tapanuli Selatan (60.948), Simalungun (39.833), Karo (24.718), Toba Samosir (20.882), Tapanuli Utara (19.777 ) dan Deli Serdang (15.312). Tabel 1. Populasi Ternak Kerbau per Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara Populasi Persentase Pertumbuhan No. Kabupaten/Kota 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Nias Mandailing Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Humbahas Toba Samosir Samosir Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Pakpak Bharat Karo Deli Sedang Serdang Berdagai Langkat Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjei Padang Sidempuan Jumlah (2005) 1.444 4.049 60.948 12.617 19.777 11.313 20.882 10.143 1.510 4.713 39.833 11.362 2.887 24.718 15.312 7.438 8.362 0 48 175 279 293 98 1.011 259.672 Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara (2006) (2001-2005) 1,35 2,56 3,15-3,21-8,38 - -10,28 - -8,80-15,71-0,91 10,82-9,44-12,04-3,36 - - 2,87-0,95 2,33-5,56-0,05 4

Laju pertumbuhan kerbau di Sumatera Utara mengalami peningkatan pada tahun 2003, 2004 dan 2006 dibandingkan tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 0,65%, 0,65% dan 0,63%. Pada tahun 2005 populasi kerbau di Sumatera Utara mengalami penurunan sebesar -1,44% dibandingkan pada tahun 2004 (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Utara (2006) menyatakan bahwa kerbau di Sumatera Utara selama tahun 2001-2005 mengalami peningkatan populasi pada Kabupaten Dairi (10,84%), Karo (9,44%), Langkat (3,36%), Tapanuli Selatan (3,15%), Pematang Siantar (2,87%), Mandailing Natal (2,56%) dan Medan (2,33%), sementara itu penurunan populasi terjadi pada beberapa kabupaten atau kota, penurunan terbesar terjadi pada kabupaten Asahan (-15,71%), Deli Serdang (- 12,04%), Toba Samosir (-10,28%), Tapanuli Utara, dan Binjai (-5,56%). Klasifikasi Kerbau Fahimudin (1975) menyatakan terdapat dua spesies kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus) dan kerbau hasil domestikasi yaitu Asian Buffalo (Bubalus). Kerbau Asia terdiri dari dua subspecies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik (Bubalus bubalis). Kerbau domestik terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau rawa merupakan kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai adalah kerbau tipe perah. Kerbau rawa (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina, Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau rawa berwarna mulai dari putih atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu gelap. Warna kulit kerbau rawa umumnya adalah keabu-abuan. Tanduk, kuku dan rambut biasanya memiliki warna yang sama seperti kulit tetapi cenderung gelap, atau biasa dideskripsikan sebagai abu-abu gelap (Cockrill, 1974). Ciri lain kerbau rawa adalah pendek, gemuk dan bertanduk panjang mengarah ke belakang (Fahimuddin, 1975). Kerbau rawa biasa digunakan sebagai penghasil daging dan ternak kerja. Fahimuddin (1975) menyatakan kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa berkubang pada sungai yang berair jernih. Populasinya menyebar dari India sampai ke Mesir dan Eropa. Cockrill (1974) menjelaskan bahwa kerbau sungai umumnya berwarna hitam, memiliki tanduk yang keriting atau melengkung 5

membentuk spiral dan merupakan ternak tipe perah. Kerbau sungai berasal dari India dan Pakistan, tetapi juga ditemukan di barat daya Asia dan tenggara Eropa. Kerbau Sungai (iver Buffalo) Kerbau Sungai (river buffalo) didapatkan terutama di India. Thomas (2004) menyatakan bahwa terdapat 18 bangsa kerbau sungai di India, namun yang utama adalah Murrah, Nili-avi, Surti, Mehsana, Nagpuri, dan Jafarabadi. Fahimuddin (1975) menjelaskan bahwa kerbau sungai mempunyai jumlah kromosom 50. Kerbau mediterranea yang terdapat di Yunani dan Italia termasuk tipe sungai dengan bentuk tubuh gemuk, pendek dan dapat berproduksi susu tinggi. Warna kulit umumnya hitam atau kelabu kehitam-hitaman, tanduk sedikit melingkar atau tergantung lurus. Kerbau sungai disebut juga kerbau tipe perah, karena berproduksi susu tinggi bila dibandingkan dengan tipe rawa. Kerbau Murrah Kerbau Murrah merupakan kerbau sungai yang paling penting di India dan beberapa negara lainnya. Kerbau Murrah terdapat juga di Indonesia yang dipelihara di Sumatera Utara oleh orang-orang keturunan Sikh, India. Bangsa kerbau Murrah berasal dari India di Negara Bagian Uttar, Pradesh, Haryana, Punyab dan Delhi (Fahimuddin, 1975). Kerbau Murrah termasuk kerbau yang paling efisien dalam menghasilkan susu. Produksi susunya diperoleh sebanyak 1800 kg per laktasi dengan kadar lemak 7-8%, sedangkan lama laktasi 9-10 bulan (International elations National esearch Council, 1981) Kerbau Murrah memiliki kulit yang umumnya berwarna hitam. Memiliki tanda putih pada kepala dan kaki. Warna lainnya yang ditemukan adalah coklat (Crockill, 1974). Tanduk kerbau Murrah pendek dan berbentuk keriting atau spiral. Sebagian kerbau Murrah memiliki tanduk yang berbentuk lurus (Crockill, 1974; anjhan dan Pathak, 1979). anjhan dan Pathak, (1979) mendeskripsikan kerbau Murrah memiliki kepala relatif kecil jika dibandingkan dengan badannya yang besar. Kepala dari kerbau Murrah betina memiliki ukuran yang kecil, jelas, rapi dan mengkilap; sebaliknya kepala dari kerbau jantan besar, lebar dengan bantalan pendek dan berambut tebal. Muka jelas tanpa tanda putih seperti pada kebanyakan hewan. Lubang hidung luas dan terpisah. Mata aktif dan bersinar, terutama pada betina dan sedikit menyusut 6

pada jantan. Mason (1974a) menyebutkan bobot badan kerbau jantan dewasa adalah 450-800 kg dan betina adalah 350-700 kg. Fahimuddin (1975) menyatakan tinggi pundak kerbau Murrah jantan dewasa 142 cm dan betina dewasa 132 cm. Telinga kecil, tipis dan tergantung. Tanduk pendek melingkar keatas dan belakang. Kerbau jantan lehernya panjang dan masif, sedangkan pada kerbau betina lehernya ramping. Dada lebar, kaki pendek, lurus dan kuat dengan kuku besar dan berwarna hitam. Bentuk badan kerbau Murrah betina seperti baji seperti pada sapi perah betina. Ambing kerbau betina besar, bentuknya baik serta memiliki pembuluh balik (vena) yang menonjol. Puting ambing bentuknya simetris dan panjang serta jaraknya baik. Ekor panjang dan ramping sampai mencapai persendian tarsus (pergelangan kaki) dan biasanya ujung rambut berwarna putih. Kulit umumnya berwarna hitam, tipis, lunak dan mudah dilipat dengan rambut sedikit pada kerbau yang telah dewasa Mason (1974a) Hasil penelitian Puslitbang Peternakan (2006) pada pengamatan 170 ekor kerbau Murrah di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa bentuk tanduk 82% melingkar ke atas, 6% mengarah ke bawah dan 11% kombinasi antara kerbau Murrah dan kerbau rawa. Bobot badan umur 2,5-4 tahun kerbau betina mencapai 407 kg dan jantan mencapai 507 kg. Umur pertama beranak sekitar 3,5 tahun dan selang beranak sekitar 1,5 tahun. Kerbau persilangan (F 1 ) yang diamati pada umumnya berwarna hitam dan berbulu panjang. Bobot badan kerbau silangan (F 1 ) lebih tinggi daripada kerbau awa dan hampir sama dengan kerbau Murrah. Kerbau Murrah jantan memiliki ukuran panjang badan 151 cm, tinggi pundak 142 cm, lingkar perut 223 cm, panjang muka 53 cm, lebar muka 27 cm dan panjang telinga 28 cm. Sedangkan pada betina panjang badan 149 cm, tinggi pundak 133 cm, lingkar perut 220 cm, panjang muka 51 cm, lebar muka 21 cm dan panjang telinga 28 cm (Cockrill, 1974). Kerbau awa (Swamp Buffalo) Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa (swamp buffalo) terdapat di daerah yang berawa-rawa atau di daerah yang banyak terdapat rawa-rawa seperti di Muangthai, Malaysia, Indonesia dan Filipina. Cockrill (1974) menjelaskan bahwa kerbau rawa (swamp buffalo) banyak terdapat di Cina, Thailand, Malaysia, Indonesi dan Filipina. Kerbau rawa memiliki ciri-ciri dahi rata, muka pendek dengan muzzel 7

yang lebar. Lehernya panjang dan memiliki badan yang padat. Kaki pendek dan langsing. Tinggi pundak kerbau rawa betina berkisar 120-127 sedangkan jantan 129-133 cm. Kerbau rawa memiliki warna mulai dari putih atau albinoid, belang, abu-abu terang sampai abu-abu gelap. Warna kulit kerbau rawa umumnya adalah keabuabuan. Tanduk, kuku dan rambut biasanya memiliki warna yang sama seperti kulit tetapi cenderung gelap, atau biasa dideskripsikan sebagai abu-abu gelap (Cockrill, 1974). Tanduk kerbau rawa panjang, di Sumba kerbau rawa bertanduk besar dan sangat panjang yang bisa mencapai 2 meter. Kerbau ini memiliki variasi warna belang yang terdiri dari belang hitam besar, belang merah, belang hitam merah di punggung dan belang-belang kecil (Dwiyanto dan Subandrio, 1995). Di Sulawesi Tenggara terdapat kerbau rawa yang berwarna totol-totol/belang hitam putih, sehingga dikenal sebagai kerbau belang (Amano, et al., 1981) Kerbau Silangan Jalaludin (1984) menyebutkan terdapat dua jalan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan potensi genetik kerbau rawa, yaitu: (a) menyeleksi berdasarkan strainnya dan (b) menyilangkan kerbau rawa dengan kerbau sungai. Pada kebanyakan negara Asia, kerbau rawa ditingkatkan potensi genetiknya dengan cara disilangan dengan kerbau sungai (Murrah) untuk mendapatkan keuntungan dari efek heterosis. Keturunan silangan (F 1 ) Murrah dengan kerbau rawa, memiliki rataan pertumbuhan dan kapasitas produksi susu yang sangat bagus dibandingkan terhadap kerbau lokal rawa (Jalaludin, 1984). Kerbau rawa mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai mempunyai 25 pasang (50 kromosom) (Hasinah dan Hadiwirawan, 2006). Selain adanya perbedaan dalam hal pasangan jumlah kromosom, ada pula perbedaan pada besarnya seks kromosom diantara dua sub grup tersebut. Pada kerbau rawa besar kromosom Y tidak melebihi dari 1/3 besarnya kromosom X, sedangkan pada kerbau sungai besar kromosom Y mencapai sekitar ½ dari kromosom X (Chavanikul, 1994). Songsri dan amirez (1992) menjelaskan terdapat perbedaan lain pada bentuk kromosom ke-1 autosom, yang mana pada kerbau rawa bentuknya metasentrik sedangkan kerbau sungai sub metasentrik. Hasinah dan Handiwirawan (2006) 8

menjelaskan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut akan menyebabkan terjadinya polymorphism (bentuk yang bermacam-macam yang tidak dapat diramal terlebih dahulu) jika dilakukan persilangan di antara keduanya. Potensi Ternak Kerbau Kerbau rawa biasa digunakan sebagai tenaga kerja dalam usaha tani karena beberapa sifat yang dimiliki, antara lain senang berkubang serta telapak kaki yang lebih lebar dibandingkan sapi atau kuda sehingga mampu bekerja lebih berat (Dwiyanto dan Handiwirawan, 2006). Kerbau sungai disebut juga kerbau tipe perah, karena berproduksi susu tinggi bila dibandingkan dengan tipe rawa. Susu kerbau sungai memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan susu sapi. Penelitian Sirait (1991) menunjukkan bahwa susu kerbau di Kotamadya Medan Sumatera Utara memiliki kadar lemak dan protein yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi. Tabel 2. ataan Kualitas Susu Sapi dan Susu Kerbau di Sumatera Utara Kriteria Kadar air Kadar protein Kadar lemak ph Sumber : Sirait (1991) Susu Sapi Susu Kerbau Percobaan Lapangan -----------------------------(%)-------------------------- 87,96 82,42 3,27 5,25 6,21 3,45 8,79 9,21 6,73 6,68 Produk susu kerbau yang terdapat di Indonesia adalah dadih, dali, dangke dan cologanti (Sirait, 1991). Dadih merupakan produk olahan susu kerbau tradisional dari daerah Sumatera Selatan, dali merupakan produk olahan susu kerbau di Sumatera Utara khususnya kabupaten Tapanuli Utara, dangke adalah produk olahan susu kerbau dari daerah Sulawesi Selatan dan cologanti merupakan susu kerbau yang diolah dengan ekstrak getah rembega di Nusatenggara Barat. Cross Breeding Cross breeding atau kawin silang biasanya dilakukan dengan tujuan meningkatkan (memanfaatkan) heterozigositas dan mengkombinasikan sifat-sifat baik antara bangsa yang berbeda (Martojo, 1985). Tergolong kawin silang, yaitu persilangan antar galur (linecrossing), persilangan antar bangsa (breed) dan 9

persilangan antar spesies. Persilangan antar spesies merupakan persilangan yang paling jarang dilakukan, karena ternak dari spesies berbeda sering gagal untuk disilangkan (Noor, 2004). Cross breeding berpengaruh dalam meningkatkan proporsi gen-gen yang heterozigot dan menurunkan proporsi gen yang homozigot. Derajat heterozigositas tergantung dari hubungan kekerabatan ternak yang disilangkan. Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik dari rataan performa tetuanya. Fenomena ini disebut dengan hybrid vigor yang dapat diukur secara kuantitatif, disebut dengan heterosis. Heterosis dikatakan ada jika rataan performa hasil persilangan melebihi rataan tetua yang purebred (Noor, 2004). Martojo (1985) menyatakan heterosis timbul sebagai akibat adanya heterozigositas pada keturunan silangan yang tampak antara lain dari meningkatnya sifat produksi bila dibandingkan terhadap rataan produksi kedua bangsa tetua yang disilangkan. Keragaman Morfologi Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman pada kerbau dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk dan sebagainya. Keragaman terjadi tidak hanya antar maupun di dalam populasi antara bangsa, serta strain. Falconer dan Mackey (1996) menyatakan bahwa keragaman sifat morfologi dapat terjadi karena adanya proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang atau hanyutnya gen tertentu. Thompson dan Thoday (1979) menambahkan, mutasi mempunyai peran penting untuk kemajuan seleksi, tergantung dari jumlah gen, ukuran populasi, dan banyaknya generasi. Peningkatan genetik dalam populasi yang kecil lebih rendah daripada dalam populasi yang besar. Populasi dalam jumlah kecil dan memiliki hubungan dekat akan lebih kuat menghambat kemajuan seleksi, selain itu hubungan dekat tersebut juga dapat memperlambat fiksasi gen. 10

Jarak Genetik Jarak genetik merupakan tingkat perbedaan gen antar populasi atau spesies yang diukur menggunakan beberapa kuantitas numerik. Pengukuran jarak genetik dapat dilakukan dengan cara memperkirakan jumlah subtansi gen atau kodon per lokus antar dua populasi, sehingga dapat dicoba untuk menghubungkan dinamika populasi dan frekuensi gen terhadap subsitusi kodon per kodon (Nei, 1987). Penelitian pendugaan jarak genetik dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang lebihmurah dan sederhana, yaitu melalui penentuan pola perbedaan sifat fenotipik yang dapat ditemui dalam setiap individu ternak (Hartl, 1988). Nei (1987) menjeleskan statistik Mahalonobis (D 2 ) merupakan pengukuran jarak untuk karakter kuantitatif yang paling sering digunakan. Pengukuran jarak genetik didasarkan pada jarak suatu organisme atau gen yang berhubungan sehingga efek polimorfisme dalam populas diabaikan. Pengukuran paling sederhana dari jarak genetik diberi nama Jarak Genetik Minimum (D m ) dan dimaksudkan untuk mengukur jumlah minimum dari perbedaan kodon per lokus. Analisis Kanonikal Wiley (1981) menyatakan analisis variat kanonikal digunakan untuk mendapatkan kombinasi karakter yang membedakan secara keseluruhan. selain itu, karakteristik fenotipe antar dua atau lebih populasi dapat digunakan untuk menggambar plot skor guna membandingkan variabilitas/keragaman di dalam dan di antara populasi pada dimensi yang kecil. Istilah lain dari analisis variat kononikal antara lain analisis kanonikal, analisis diskriminan berganda atau analisis fungsi diskriminan. Analisis kanonikal merupakan suatu metode perancangan reduksi data untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih karakter serta membagi ragam total dari semua karakter menjadi variabel baru dalam jumlah terbatas yang tidak berkorelasi. Gazpersz (1995) menjelaskan analisis kanonikal dalam metodologi permukaan respon pada dasarnya adalah mentransformasikan permukaan respon ke dalam bentuk kanonikal. Untuk menjelaskan tentang analisis kanonikal, maka perlu dikemukakan beberapa konsep teoritik yang berkaitan dengan analisis model ordo kedua (model kuadratik). 11

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2007 di 5 lokasi yaitu Kota Madya Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Langkat di Provinsi Sumatera Utara. Materi Ternak Ternak kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 121 ekor meliputi: 53 ekor rawa yang terdiri dari 11 ekor jantan dan 42 ekor betina; 48 ekor Murrah yang terdiri dari 16 ekor jantan dan 32 ekor betina; serta 20 ekor keturunan silangan (F 1 ) yang terdiri dari 2 ekor jantan dan 18 ekor betina. Ternak kerbau yang diukur sejumlah ukuran craniometrics-nya memiliki kisaran umur 2-15 tahun. (Kerbau awa) Kerbau Murrah Kerbau Silangan Gambar 1. Kerbau awa, Sungai (Murrah) dan Silangan (F 1 ) Alat Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong dan kaliper. Lembar data digunakan untuk mencatat data hasil pengamatan. 12

Langkat Medan Deli Serdangt Serdang Bedagait Tapanuli Utara Keterangan : adalah lokasi penelitian Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel di Sumatera Utara Metode 13

Pengukuran Bagian Kepala Bagian-bagian kepala kerbau yang diukur adalah Akrokranion Prosthion (X 1 ), Akrokranion Nasion (X 2 ), Nasion hinion (X 3 ), Basion Prosthion (X 4 ), Fossotemporale kiri kanan (X 5 ), Euryon kiri kanan (X 6 ), hinion Prosthion (X 7 ), Infraorbitale kiri kanan (X 8 ), Zygion kiri kanan (X 9 ), Entrobitale kiri kanan (X 10 ), tinggi kepala (X 11 ) dan panjang rahang bawah (X 12 ). Setiap ukuran craniometricks didefinisikan oleh Damayanti (2004) sebagai berikut: 1. Akrokranion Prosthion (X 1 ), diukur dari ujung tulang tengkorak sampai batas titik tepi bawah rahang atas. 2. Akrokranion Nasion (X 2 ), diukur dari ujung tulang tengkorak sampai batas ujung hidung. 3. Nasion hinion (X 3 ), diukur dari pangkal hidung sampai tulang hidung bagian bawah. 4. Basion Prosthion (X 4 ), diukur dari batas pangkal tulang baji sampai titik tepi bawah rahang atas. 5. Fossotemporale kiri kanan (X 5 ), diukur dari ujung lekuk pelipis kiri sampai ujung lekuk pelipis kanan. 6. Euryon kiri kanan (X 6 ) atau lebar kepala, diukur dari pelipis sebelah kiri sampai pelipis sebelah kanan. 7. hinion Prosthion (X 10 ), diukur dari ujung tulang hidung bagian bawah sampai titik tepi bawah rahang atas. 8. Infraorbitale kiri kanan (X 8 ), diukur dari pangkal infraorbitale (tulang di bawah lekuk mata) kiri sampai infraorbitale kanan. 9. Zygion kiri kanan (X 7 ), diukur dari ujung tulang pipi kiri sampai ujung tulang pipi kanan. 10. Entrobitale kiri kanan (X 10 ), diukur dari pangkal entobitale (lekuk mata) kiri sampai pangkal entobitale kanan. 11. Tinggi Kepala (X 11 ), diukur dari ujung tulang tengkorak sampai tulang rahang bawah. 12. Panjang ahang Bawah (X 12 ), diukur dari ujung titik tepi bawah rahang atas sampai pangkal rahang bawah. Gambar 3 menjelaskan lebih jauh berbagai bagian kepala kerbau yang diukur. 14

Gambar 3. Pengukuran Kepala Kerbau Pengamatan Sifat Kualitatif Sifat kualitatif yang diamati adalah bentuk tanduk dari ke tiga jenis kerbau. Berikut ini adalah bentuk tanduk dari setiap jenis kerbau: Kerbau rawa memiliki dua macam tipe tanduk, yaitu: 1. Tanduk memanjang ke belakang lalu melengkung ke atas (1). 2. Tanduk tergantung, yaitu tanduk memanjang ke belakang dan mengarah ke bawah (2). Berikut ini adalah macam tanduk kerbau Murrah : 1. Tanduk melingkar ke atas membentuk seperti spiral (3). 2. Tanduk tergantung, yaitu tanduk jatuh ke bawah lalu melengkung ke dalam (4). Kerbau silangan memiliki macam tanduk sebagai berikut : 1. Tanduk memanjang ke belakang lalu ke atas seperti kerbau rawa (5). 2. Tanduk campuran, yaitu tanduk mengarah ke atas seperti kerbau rawa dan ujungnya melingkar kedalam seperti Murrah (6) 3. Tanduk menggantung, jatuh ke bawah lalu melengkung ke luar (7). 4. Tanduk melingkar ke atas dan membentuk spiral seperti Murrah(8). 5. Tanduk kombinasi, yaitu sebelah kiri dan kanan berbeda bentuk dimana yang satu menggantung dan sisanya berbentuk spiral seperti Murrah (9). 15

Analisis Data Sifat Kuantitatif Data sifat kuantitatif berupa ukuran-ukuran tubuh dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan bangsa. Ukuran-ukuran tersebut kemudian distandarisasikan terhadap lokasi dan umur dewasa tubuh yaitu 3-4 tahun. Standarisasi dilakukan dengan menggunakan rumus: X koreksi = X standarisasi X yang akan dikoreksi x (X yang akan dikoreksi) Keterangan : X = Ukuran craniometrics X = ataan ukuran craniometrics Data ukuran craniometrics yang telah distandarisasi terhadap lokasi dan umur 3-4 tahun dianalisa untuk mendapatkan rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman dengan menggunakan rumus Walpole (1995), yaitu: X = n i=1 n Xi Sb = n ( Xi X ) n 1 Sb KK = 100 % X n 1 2 Keterangan : X = rata-rata Sb = simpangan baku Xi = ukuran ke-i dari peubah X n = jumlah sampel yang diambil dari populasi KK = koefisien keragaman Bangsa kerbau yang berbeda akan dibandingkan dengan menggunakan uji-t dari rumus Walpole (1995) sebagai berikut: t h = ( X 1 1 j n ( n 1 X ( X 1 1) ) 1 2 X + 2 ) ( X 2 2 j n ( n X 2 21 1) ) 2 Keterangan : t h = nilai t hitung X 1 = rataan sampel pada kelompok ke-1 X 2 = rataan sampel pada kelompok ke-2 X 1 j = nilai pengamatan ke-j pada kelompok pertama X 2 j = nilai pengamatan ke-j pada kelompok kedua n 1 = jumlah sampel pada kelompok ke-1 n 2 = jumlah sampel pada kelompok ke-2 Efek Heterosis Efek heterosis dihitung berdasarkan rumus dalam Noor (2004) : Heterosis (%) = (ataan produksi F 1 )-(ataan produksi tetua) X 100% 16

ataan produksi tetua Analisis Data Sifat Kualitatif Sifat kualitataif yang diamati adalah morfologi bentuk tanduk. Analisis statistik menggunakan frekuensi relatif dengan formula sebagai berikut: Frekuensi relatif = Σ Sifat A N x 100% Keterangan : A = salah satu sifat kualitatif pada kerbau yang diamati N = total sampel kerbau yang diamati Analisa Data Keragaman Morfometrik Penentuan jarak genetik menggunakan fungsi diskriminan sederhana (D 2 ). Fungsi diskriminan yang digunakan melalui pendekatan jarak Mahalonobis seperti yang dijelaskan oleh Nei (1987) yakni dengan menggabungkan (pooled) matriks ragam peragam antara peubah dari masing-masing kerbau yang diamati menjadi sebuah matriks. Statistik D 2 -Mahalanobis dalam Gazpersz (1995) dirumuskan sebagai berikut: D 1 ( X X ) S ( X X ) 2 = ' k k Keterangan : D 2 = Nilai statistik D 2 -Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik kerbau antara populasi dari kerbau sungai, rawa dan silangan k = Populasi 1, 2 dan 3 X k = Vektor nilai rataan pengamatan dari populasi ke-k S G = Matriks peragam gabungan Analisis diskriminan dilakukan pada peubah Akrokranion Prosthion, Akrokranion Nasion, Nasion hinion, Basion Prosthion, Fossotemporale kiri kanan, Euryon kiri kanan, hinion Prosthion, Infraorbitale kiri kanan, Zygion kiri kanan, Entrobitale kiri kanan, tinggi kepala dan panjang rahang bawah. Analisis statistik Mahalanobis dilakukan dengan menggunakan program statistik SAS 6. dan untuk mendapatkan pohon dendogram digunakan paket program MEGA 3 (Kumar et al., 2004). G k HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Kuantitatif 17

Karakteristik Craniometrics Kerbau awa, Murrah dan Silangan Perkawinan antara kerbau rawa dengan sungai (Murrah) merupakan cross breeding atau perkawinan antara bangsa yang berbeda. Perkawinan ini diharapkan meningkatkan efek heterosis pada keturunannya, mengingat hubungan kekerabatan yang jauh pada tetuanya. Heterosis dikatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua yang purebred (Noor, 2004). Situmorang dan Sitepu (1991) menyatakan terdapat perbedaan berat badan, performa pertumbuhan dan karakteristik semen antara kerbau rawa dan silangannya. Ukuran tubuh dari ternak kerbau silangan signifikan lebih tinggi dari kerbau rawa. ataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan efek heterosis ukuran Akrokranion Prosthion (X 1 ), Akrokranion Nasion (X 2 ), Nasion hinion (X 3 ), Basion Prosthion (X 4 ), Fossotemporale kiri kanan (X 5 ), Euryon kiri kanan (X 6 ), kerbau yang telah dikoreksi terhadap perbedaan lokasi (Kabupaten) dan umur (3 4 tahun) disajikan pada Tabel 3. Akrokranion Prosthion (X 1 ). Hasil analisis uji-t pada data yang telah distandarisasi kepada umur 3-4 tahun (Tabel 3) menunjukkan bahwa rataan Akronion Prosthion kerbau jantan tertinggi diperoleh pada bangsa sungai (Murrah) (50,878 cm) nyata (P<0,05) lebih besar terhadap ukuran kerbau rawa (46,3 cm). Bila hasil tersebut dibandingkan terhadap kerbau silangan (51,8 cm), hasilnya tidak berbeda nyata atau hampir sama. Nilai koefisien keragaman ukuran Akrokranion-Prosthion tertinggi diperoleh pada kerbau silangan jantan yaitu sebesar 13,73%. Kerbau silangan jantan lebih beragam dibandingkan kerbau rawa (5,19%) dan sungai (5,64%), pada ukuran Akrokranion-Prosthion. Pada kerbau silangan jantan terjadi efek heterosis sebesar 4,99%. Kerbau betina memiliki ukuran Akrokranion-Prosthion lebih besar dibandingkan kerbau jantan, kemungkinan disebabkan oleh jumlah ternak pejantan yang lebih sedikit. Ukuran Akrokranion-Prosthion (Tabel 3) pada kerbau sungai (51,5 cm) nyata (P<0,05) lebih besar terhadap kerbau rawa (46,8 cm) dan tidak berbeda nyata dibandingkan kerbau silangan (51,3 cm). Keragaman ukuran Akrokranion-Prosthion pada kerbau betina relatif cukup seragam (4,27 6,50%) dibandingkan pada kerbau jantan (5,19-13,73%). Efek heterosis Akrokranion- Prosthion pada kerbau betina adalah sebesar 4,41%. 18

Tabel 3. ataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Efek Heterosis dari Craniometrics X 1, X 2, X 3, X 4, X 5 dan X 6 Kerbau yang Telah Dikoreksi Terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten) dan Umur (3 4 Tahun) Jantan Betina Ukuran Bangsa KK He KK He Kepala X ± Sb (cm) n (%) (%) X ± Sb (cm) n (%) (%) X 1 awa Murrah 46,4 A ± 2,4 50,9 B ± 2,9 11 16 5,19 5,64 46,8 A ± 2,0 51,5 B ± 3,3 42 32 4,27 6.50 Silangan 51,0 AB ± 7,0 2 13,73 4,99 51,3 B ± 3,1 18 5,97 4,41 X 2 awa 26,5 A ± 8,2 11 30,88 23,3 A ± 6,9 42 29,78 Murrah Silangan 25,2 A ± 2,9 22,3 A ± 1,0 16 2 11,53 4,34-24,2 A ± 3,5 23,6 A ± 3,3 32 18 14,40 14,22 - X 3 awa Murrah 16,6 A ± 1,4 16,4 A ± 2,2 11 16 8,19 13,41 17,8 AB ± 2,6 17,1 A ± 2,2 42 32 14,57 12,78 Silangan 19,0 A ± 2,9 2 15,08 14,90 18,7 B ± 2,0 18 10,67 7,19 X 4 awa Murrah 51,7 A ± 2,1 57,5 B ± 2,0 11 16 3,99 3,42 51,4 A ± 2,1 57,7 B ± 3,7 42 32 4,14 6,48 Silangan 55,6 AB ± 6,2 2 11,22 1,78 57,6 B ± 3,1 18 5,33 5,65 X 5 awa Murrah 19,4 A ± 1,9 26,9 B ± 2,2 11 16 9,83 8,14 19,7 A ± 1,9 25,1 B ± 2,9 42 32 9,56 11,58 Silangan 22,8 AB ± 3,1 2 13,73-23,8 B ± 2,3 18 9,56 6,28 X 6 awa Murrah 20,9 A ± 1,3 23,1 B ± 1,8 11 16 6,42 7,62 21,2 A ± 1,3 22,0 AB ± 2,3 42 32 5,99 10,60 Silangan 23,4 AB ± 2,3 2 9,84 6,22 22,2 B ± 1,4 18 6,47 2,42 Keterangan : - Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama untuk masing-masing craniometrics menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - Huruf superskrip sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) - X adalah rataan, Sb adalah simpangan baku, n adalah jumlah sampel, KK adalah koefisien keragamam, dan He adalah heterosis Akrokranion Nasion (X 2 ). ataan dan simpangan baku ukuran Akrokranion- Nasion kerbau jantan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kerbau rawa memiliki ukuran yang paling besar yaitu sebesar 26,5 cm. Ukuran kerbau rawa tersebut tidak berbeda terhadap kerbau sungai (25,2 cm) dan silangannya (22,3 cm). Koefisien keragaman ukuran Akrokranion-Nasion kerbau rawa terlihat lebih besar (30,88%) bila dibandingkan dengan kerbau sungai (11,3%) dan silangannya (4,3%), sehingga ukuran panjang Akrokranion-Nasion kerbau rawa lebih beragam dibandingkan bangsa lainnya. Pada parameter ini, tidak ditemukan efek heterosis pada kerbau silangan jantan. Hal ini mungkin terjadi karena kerbau sungai dan rawa yang di ukur craniometrics-nya bukan merupakan tetua langsung dari kerbau silangan (F 1 ) tersebut, disamping jumlah pengamatan kerbau jantan yang sedikit. Ukuran Akrokranion-Nasion (Tabel 3) pada kerbau sungai betina memiliki ukuran terpanjang sebesar 24,2 cm. Ukuran Akrokranion-Nasion diantara ketiga 19

bangsa kerbau tidak berbeda. Koefisien keragaman ukuran ini tertinggi pada kerbau rawa yaitu sebesar 29,78%, sedangkan efek heterosis tidak ditemukan. Nasion hinion (X 3 ). ataan ukuran Nasion-hinion (Tabel 3) tertinggi pada kerbau jantan adalah pada kerbau silangan (19,0 cm), namun tidak berbeda dengan ukuran kerbau rawa (16,6 cm) dan sungai (16,4 cm). Nilai koefisien keragaman Nasion-hinion kerbau jantan cukup tinggi pada setiap bangsa, namun kerbau silangan memiliki ukuran koefisien keragaman tertinggi yaitu sebesar 15,08%. Efek heterosis yang diterima kerbau silangan jantan termasuk tinggi, yaitu sebesar 14,90%. Nilai rataan tertinggi untuk kerbau betina pada ukuran Nasion-hinion terdapat pada kerbau silangan (18,7 cm) nyata (P<0,05) lebih besar terhadap bangsa lain. ataan ukuran Nasion-hinion antara bangsa rawa (16,6 cm) dan sungai (16,4 cm) adalah hampir sama. Koefisien keragaman kerbau rawa lebih beragam dari bangsa lainnya yaitu sebesar 14,57%. Efek heterosis yang diperoleh kerbau silangan betina adalah sebesar 7,19%. Basion Prosthion (X 4 ). Tabel 3 menunjukkan rataan ukuran Basion-Prosthion tertinggi pada kerbau jantan adalah pada bangsa sungai sebesar (57,5 cm). Hasil tersebut berbeda nyata (P<0,05) terhadap ukuran kerbau rawa (51,7 cm). Kerbau silangan memiliki rataan ukuran sebesar 55,6 cm yang tidak berbeda nyata terhadap kerbau sungai. Keragaman ukuran Basion-Prosthion tertinggi kerbau jantan adalah pada bangsa silangan sebesar 11,22%, sedangkan bangsa rawa dan sungai memiliki keragaman yang kecil, masing-masing 3,99% dan 3,42%. Efek heterosis kerbau silangan jantan relatif rendah yaitu sebesar 1,78%. Ukuran Basion-Prosthion kerbau betina tertinggi diperoleh bangsa sungai sebesar (57,7 cm), yang tidak berbeda nyata dengan ukuran pada kerbau silangan (57,6 cm). Ukuran Basion-Prosthion kerbau rawa adalah paling kecil (51,4 cm) dan berbeda nyata (P<0,05) terhadap bangsa sungai dan silangan. Keragaman ukuran Basion-Prosthion pada setiap bangsa relatif seragam berkisar antara 4,14-6,58%. Efek heterosis yang diperoleh kerbau silangan adalah sebsar 5,45%. Fossotemporale kiri kanan (X 5 ). Hasil analisa pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rataan ukuran Frossotemporale kiri-kanan kerbau jantan tertinggi terdapat pada 20

bangsa sungai sebesar (26,9 cm) dan nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau rawa (19,4 cm), sedangkan kerbau silangan (22,8 cm) memiliki ukuran hampir sama terhadap kerbau sungai. Bangsa kerbau yang memiliki keragaman paling tinggi adalah kerbau silangan karena memiliki nilai koefisien keragaman yang paling besar (13,73%). Efek heterosis pada kerbau silangan jantan tidak ditemukan. ataan ukuran Fossotemporale kiri-kanan kerbau betina tertinggi terdapat pada bangsa kerbau sungai (25,1 cm) nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan ukuran kerbau rawa (19,7 cm) tetapi tidak berbeda nyata dengan kerbau silangan (23,8 cm). Nilai koefisiensi keragaman ukuran Fossotemporale kiri-kanan relatif tinggi terlihat pada kerbau sungai (11,58%). Efek heterosis yang dialami oleh kerbau silangan betina adalah sebesar 6,28%. Euryon kiri kanan (X 6 ). Ukuran Euryon kiri-kanan kerbau silangan jantan memiliki nilai rataan tertinggi yaitu sebesar 23,4 cm, tetapi tidak berbeda terhadap bangsa rawa dan sungai masing masing 20,9 cm dan 23,11 cm. Keragaman ukuran Euryon kiri-kanan pada setiap bangsa berbeda-beda dan yang tertinggi terdapat pada kerbau silangan sebesar 9,84%, sehingga ukuran panjang euryon kiri-kanan pada kerbau silangan jantan akan lebih beragam dibandingkan bangsa lain. Efek heterosis yang dialami oleh kerbau silangan jantan adalah sebesar 6,22%. Nilai rataan ukuran Euryon kiri-kanan kerbau betina (Tabel 3) yang tertinggi terdapat pada kerbau silangan (22,2 cm) dan memiliki ukuran yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dari kerbau rawa (21,2 cm), sedangkan terhadap kerbau sungai (22,0) ukurannya relatif sama. Keragaman yang lebih tinggi terdapat pada kerbau sungai dengan nilai koefisiensi keragaman sebesar 10,60%. Nilai efek heterosis yang dialami kerbau silangan betina tidak terlalu besar, yaitu sebesar 2,43%. hinion Prosthion (X 7 ). Ukuran hinion Prosthion pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa rataan tertinggi kerbau jantan adalah pada bangsa silangan sebeser 20,9 cm dan tidak berbeda terhadap ukuran bangsa rawa (17,1 cm) dan sungai (17,9 cm). Ukuran hinion Prosthion kerbau jantan yang terlihat relatif lebih beragam adalah pada bangsa kerbau sungai karena memiliki nilai koefisiensi keragaman yang lebih besar dibandingkan bangsa lain, yaitu sebesar 10%. Efek heterosis yang dialami bangsa silangan jantan adalah sebesar 6,84%, ini berarti 21

rataan ukuran hinion Prosthion kerbau silangan lebih besar sebanyak 6,84% dari rataan tetuanya yaitu kerbau rawa dan sungai. ataan ukuran panjang hinion Prosthion kerbau betina tertinggi terdapat pada silangan (19,7 cm) dan ukurannya nyata (P<0,05) lebih besar dari pada kerbau rawa (17,4 cm) dan sungai (17,9cm). Pada bangsa kerbau rawa terlihat ukurannya lebih beragam dari pada bangsa yang lainnya yaitu sebesar 8,53%. Kerbau silangan pada ukuran hinion Prosthion mengalami efek heterosis yang cukup tinggi dari tetuanya, yaitu sebesar 11,95%. Tabel 4. ataan, Simpangan Baku, Koefisiensi Keragaman dan Efek Heterosis dari Craniometrics X 7, X 8, X 9, X 10, X 11 dan X 12 Kerbau yang Telah Dikoreksi Terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten) dan Umur (3 4 Tahun) Jantan Betina Ukuran Bangsa Kepala X ± Sb KK He n X ± Sb KK He n (cm) (%) (%) (cm) (%) (%) X 7 awa Murrah 17,1 A ±1,5 17,9 A ±1,6 11 16 8,67 9,00 17,4 A ± 1,5 17,9 A ±1,3 42 32 8,53 7,46 Silangan 20,9 A ±1,5 2 7,26 6,84 19,7 B ±1,4 18 6,89 11,95 X 8 awa Murrah 10,7 A ±0,8 12,6 B ±1,5 11 16 7,43 12,22 10,8 A ±0,9 12,7 B ±1,4 42 32 8,56 10,77 Silangan 12,6 AB ±2,0 2 15,79 8,26 12,7 B ±1,8 18 13,89 8,43 X 9 awa Murrah 14,1 A ±1,8 16,1 A ±2,3 11 16 12,88 14,03 14,6 A ±1,8 16,6 B ±2,6 42 32 12,23 15,47 Silangan 14,6 A ±2,0 2 13,94-16,0 B ±2,0 18 12,79 2,81 X 10 awa Murrah 11,9 B ±0,8 9,2 A ±0,6 11 16 6,79 6,14 11,4 C ±0,8 9,1 A ± 1,0 42 32 7,05 10,94 Silangan 10,9 AB ±1,4 2 15,26 2,91 10,5 B ±0,9 18 8,14 2,53 X 11 awa 33,4 A ±2,8 11 8,28 32,2 A ±2,2 42 6,90 Murrah 39,2 B ±4,7 16 11,90 37,4 B ±4,0 32 10,76 Silangan 36,0 AB ±5,7 2 15,75-37,3 B ±3,4 18 9,24 7,12 X 12 awa 43,0 A ±4,6 11 10,68 43,2 A ±4,1 42 9,37 Murrah 42,9 A ±2,9 16 6,74 43,4 A ±5,1 32 11,89 Silangan 45,7 A ±3,3 2 7,11 6,37 46,6 B ±2,2 18 4,63 7,58 Keterangan : - Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama untuk masing-masing craniometrics menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - Huruf superskrip sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) - X adalah rataan, Sb adalah simpangan baku, n adalah jumlah sampel, KK adalah koefisien keragamam, dan He adalah heterosis Infraorbitale kiri kanan (X 8 ). ataan ukuran panjang Infrorbitale kiri-kanan kerbau jantan terbesar terdapat pada bangsa kerbau sungai sebesar 12,6 cm. Ukuran ini berbeda nyata (P<0,05) terhadap bangsa rawa sebesar 10,7 cm. Ukuran Infraorbitale kiri-kanan pada kerbau silangan sebesar 12,6 cm tidak berbeda nyata dengan ukuran pada kerbau rawa maupun silangan. Nilai koefisien keragaman 22

terbesar terdapat pada bangsa kerbau silangan (15,79%), ini berarti kerbau silangan memiliki keragaman yang relatif lebih tinggi pada ukuran Infraorbitale kiri-kanan dibandingkan dengan kerbau rawa (7,43%) dan sungai (12,22%). Efek heterosis yang dialami oleh kerbau silangan jantan adalah sebesar 8,26%. Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan rataan ukuran Infraorbitale kirikanan kerbau betina yang relatif lebih besar terdapat pada kerbau silangan (12,7 cm) dan nyata lebih besar (P<0,05) terhadap ukuran kerbau rawa (10,8 cm), sedangkan ukuran kerbau silangan tidak berbeda nyata dengan kerbau sungai (12,7 cm). Keragaman pada ukuran Infraorbitale kiri-kanan kerbau betina relatif tinggi, yang tertinggi adalah pada kerbau silangan. Keragaman ini dapat dilihat dari nila koefisiensi keragaman kerbau silangan (13,89%) yang lebih tinggi terhadap bangsa rawa (8,56%) dan sungai (10,77%). Kerbau silangan betina memperoleh efek heterosis dari tetuanya sebesar 8,43%. Zygion kiri kanan (X 9 ). Hasil uji-t (Tabel 4) menunjukkan bahwa rataan terbesar ukuran panjang Zygion kiri kanan kerbau jantan terdapat pada bangsa kerbau sungai (16,1 cm) tetapi tidak berbeda nyata terhadap ukuran kerbau rawa (14,1 cm) dan silangannya (14,6 cm). Nilai koefisien keragaman ukuran Zygion kiri kanan kerbau jantan pada setiap bangsa relatif besar, dan yang terbesar adalah pada bangsa kerbau Sungai (14,0%), sehingga ukuran panjang Zygion kiri kanan kerbau Sungai relatif lebih beragam dibanding bangsa lainnya. Tidak ada efek heterosis yang ditemukan pada kerbau silangan jantan pada ukuran Zygion kiri kanan. ataan ukuran panjang Zygion kiri kanan kerbau sungai betina adalah (16,6 cm) dan nyata (P<0,05) lebih besar dibandingkan dengan rataan kerbau rawa (14,6 cm), sedangkan terhadap kerbau silangan (16,0 cm) tidak berbeda nyata atau hampir sama. Nilai koefisiensi keragaman ukuran Zygion kiri kanan kerbau betina tertinggi sama seperti kerbau jantan, yaitu pada bangsa sungai sebesar 15,47% yang menandakan bahwa ukuran Zygion kiri kanan kerbau sungai relatif lebih beragam jika dibandingkan dengan kerbau rawa (12,23%) dan silangannya (12,79%). Kerbau silangan betina mengalami efek heterosis yang tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar 2,81%. Entrobitale kiri kanan (X 10 ). Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan ukuran Entrobitale kiri-kanan kerbau jantan terbesar terdapat pada bangsa 23

kerbau rawa sebesar 11,9 cm dan nyata (P<0,05) lebih besar terhadap ukuran kerbau sungai sebesar 9,2 cm sedangkan terhadap ukuran kerbau silangan sebesar 10,5 cm tidak berbeda nyata. Nilai koefisien keragaman ukuran Entrobitale kiri-kanan kerbau jantan rawa (6,79%) dan sungai (6,14%) relatif sama, sedangkan kerbau silangan (15,26) jauh lebih tinggi. Hal ini menadakan bahwa kerbau silangan relatif lebih beragam dari kerbau rawa dan sungai. Efek heterosis pada ukuran Entrobitale kirikanan pada kerbau jantan silangan nilainya relatif rendah, yaitu sebesar 2,91%. Tabel 4 menunjukkan hasil analisis uji-t terbesar pada ukuran Entrobitale kiri-kanan kerbau betina adalah pada bangsa kerbau rawa (11,4 cm) dan nyata (P<0,05) lebih besar dibandingkan kerbau sungai (9,1 cm) dan silangan (10,5 cm). Nilai koefisiensi keragaman ukuran Entrobitale kiri-kanan kerbau betina tertinggi adalah pada kerbau sungai sebesar 10,94%. Hal ini menunjukkan kerbau sungai relatif lebih beragam dibandingkan kerbau rawa dan silangan. Nilai efek heterosis pada ukuran Entrobitale kiri-kanan pada kerbau silangan betina tidak terlalu besar yaitu sebesar 2,53%. Tinggi Kepala (X 11 ). Bangsa kerbau sungai jantan memiliki nilai rataan ukuran tinggi kepala paling besar (39,2 cm) dan nyata (P<0,05) lebih besar terhadap ukuran kerbau rawa (33,4 cm), sedangkan terhadap ukuran kerbau silangan (36,0 cm) tidak berbeda nyata. Nilai koefisiensi keragaman kepala kerbau jantan silangan merupakan yang tertinggi (15,75%), ini menandakan bahwa keragaman kerbau silangan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa rawa (8,28%) dan sungai (11,90%). Efek heterosis pada kerbau silangan tidak ditemukan pada ukuran tinggi kepala kerbau jantan. ataan ukuran tinggi kepala kerbau betina sungai merupakan ukuran tertinggi (37,4 cm) dan nyata (P<0,05) lebih besar dari kerbau rawa (32,2 cm), sedangkan terhadap kerbau silangan (37,3 cm) tidak berbeda nyata. Berbeda dengan kerbau jantan, koefisiensi keragaman tinggi kepala kerbau betina terbesar adalah pada bangsa kerbau sungai sebesar 10,76%. Hal ini berarti bahwa kerbau sungai lebih beragam pada ukuran tinggi kepala jika dibandingkan dengan kerbau rawa dan silangan. Panjang ahang Bawah (X 12 ). Hasil uji-t data yang telah dikoreksi (Tabel 4) menunjukkan bahwa rataan ukuran panjang rahang bawah kerbau jantan terbesar 24

terdapat pada bangsa silangan (45,7 cm). Hasil tersebut tidak berbeda nyata terhadap ukuran kerbau rawa (42,98 cm) dan sungai (42,94). Dilihat dari nilai koefisien keragamannya, maka ukuran panjang rahang bawah pada kerbau rawa jantan (10,68%) relatif lebih beragam dibandingkan dengan bangsa kerbau sungai (6,74 cm) dan silangannya (7,11 cm) sedangkan keragaman kerbau sungai dan silangan relatif sama. Efek heterosis pada ukuran panjang rahang bawah yang dialami kerbau silangan jantan adalah sebesar 6,37%. Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan rataan panjang rahang bawah kerbau betina terbesar terdapat pada kerbau silangan, sebesar 46,6 cm. Hasil tersebut nyata (P<0,05) lebih besar terhadap ukuran panjang rahang bawah kerbau rawa dan sungai masing-masing 43,0 cm dan 42,9 cm. Keragaman ukuran panjang rahang bawah kerbau sungai betina relatif lebih beragam (11,89%) dibandingkan rawa (9,37%) dan silangan (4,63%). Efek heterosis terjadi terhadap ukuran panjang rahang bawah kerbau silangan betina dengan nilai sebesar 7,58%. ataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan efek heterosis ukuran Akrokranion Prosthion (X 1 ), Akrokranion Nasion (X 2 ), Nasion hinion (X 3 ), Basion Prosthion (X 4 ), Fossotemporale kiri kanan (X 5 ), Euryon kiri kanan (X 6 ), hinion Prosthion (X 7 ), Infraorbitale kiri kanan (X 8 ), Zygion kiri kanan (X 9 ), Entrobitale kiri kanan (X 10 ), tinggi kepala (X 11 ) dan panjang rahang bawah (X 12 ) kerbau rawa, sungai dan silangan yang telah dikoreksi pada jenis kelamin betina disajikan pada Tabel 5. Nilai rataan pada Tabel 5 antara kerbau rawa dan kerbau sungai menunjukkan bahwa kerbau rawa memiliki ukuran yang sangat nyata lebih kecil (P<0,01) pada parameter Akrokranion Prosthion (X 1 ), Basion Prosthion (X 4 ), Fossotemporale kiri kanan (X 5 ), Euryon kiri kanan (X 6 ), Infraorbitale kiri kanan (X 8 ), Zygion kiri kanan (X 9 ), Entrobitale kiri kanan (X 10 ) dan tinggi kepala (X 11 ). Sebaliknya pada ukuran Akrokranion Nasion (X 2 ), Nasion hinion (X 3 ), hinion Prosthion (X 7 ), dan panjang rahang bawah (X 12 ) nilai rataan kedua tipe kerbau tidak berbeda. Kerbau rawa nyata lebih kecil (P<0,05) dari kerbau silangan pada parameter kepala kecuali Akrokranion - Nasion (X 2 ) yang hampir sama. Tabel 5. ataan, Simpangan Baku, Koefisiensi Keragaman dan Efek Heterosis dari Craniometrics Kerbau yang Telah Dikoreksi pada Jenis Kelamin Betina 25

Ukuran Kepala Bangsa X ± Sb (cm) n KK (%) Heterosis (%) X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 X 12 awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan awa Murrah Silangan 46,7 A ± 2,1 51,3 B ± 3,2 51,3 B ± 3,3 24,0 A ± 7,3 24,5 A ± 3,3 23,4 A ± 3,2 17,5 A ± 2,4 16,8 A ± 2,2 18,7 B ±12,0 51,4 A ± 2,1 57,6 B ± 3,2 57,4 B ± 3,3 19,7 A ± 1,9 57,6 B ± 3,2 23,7 C ± 2,3 21,2 A ± 1,3 22,4 B ± 2,2 22,3 B ± 1,5 17,3 A ± 1,5 17,9 A ± 1,4 19,9 B ± 1,4 10,8 A ± 0,9 12,7 B ± 1,4 12,7 B ± 1,7 14,5 A ± 1,8 16,4 B ± 2,5 15,9 B ± 2,0 11,5 A ± 0,8 9,2 B ± 0,8 10,5 C ± 0,9 32,5 A ± 2,4 38,0 B ± 4,3 37,1 B ± 3,5 43,2 A ± 4,1 43,3 A ± 4,5 46,6 B ± 2,2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 11 16 2 4,44 6,19 6,46 30,26 13,48 13,65 13,85 13,00 10,68 4,08 5,61 5,75 9,55 10,88 9,67 6,06 9,84 6,74 8,51 7,92 6,96 8,29 11,14 13,64 12,30 14,95 12,89 7,12 8,91 8,34 7,28 11,30 9,51 9,56 10,42 4,71 4,91-8,70 5,58 5,28 2,45 12,86 Keterangan : - Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama untuk masing-masing craniometrics menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - Huruf superskrip sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) 9,00 3,04 1,58 5,87 7,65 - X adalah rataan, Sb adalah simpangan baku, n adalah jumlah sampel, KK adalah koefisien keragamam, dan He adalah heterosis Kerbau sungai jika dibandingkan dengan silangan memiliki rataan yang hampir sama pada parameter Akrokranion Prosthion (X 1 ), Akrokranion Nasion (X 2 ), Basion Prosthion (X 4 ), Euryon kiri kanan (X 6 ), Infraorbitale kiri kanan (X 8 ), Zygion kiri kanan (X 9 ), dan tinggi kepala (X 11 ). Pada ukuran Nasion hinion (X 3 ), Fossotemporale kiri kanan (X 5 ), hinion Prosthion (X 7 ), Entrobitale kiri kanan (X 10 ), dan panjang rahang bawah (X 12 ) keduanya berbeda 26

nyata (P<0,05) dimana kerbau sungai memiliki ukuran yang lebih besar dari kerbau silangan. Efek heterosis yang diperoleh kerbau silangan terjadi untuk setiap ukuran kepala, kecuali pada ukuran Akrokranion Nasion (X 2 ). Hal ini terjadi karena rataan tetuanya lebih tinggi daripada rataan silangan sehingga efek heterosis tidak ditemukan. Efek heterosis paling tinggi didapatkan pada ukuran hinion Prosthion (X 7 ) yaitu sebesar 12.86% dan kemudian diikuti Infraorbitale kiri kanan (X 8 ) 9,00%, Nasion hinion (X 3 ) 8.70%, panjang rahang bawah (X 12 ) 7,65%, tinggi kepala (X 11 ) 5,87%, Basion Prosthion (X 4 ) 5,58%, Fossotemporale kiri kanan (X 5 ) 5.28%, Akrokranion Prosthion (X 1 ) 4,91%), Zygion kiri kanan (X 9 ), 3,04%, Euryon kiri kanan (X 6 ) 2,45%, dan Entrobitale kiri kanan (X 10 ) 1,68%. Kisaran nilai koefisien keragaman setiap craniomtrics (Tabel 5) adalah 4,43-6,46% pada Akrokranion Prosthion (X 1 ); 13,48-30,26% pada Akrokranion Nasion (X 2 ); 10,68-13,85% pada Nasion hinion (X 3 ); 4,08-5,75% pada Basion Prosthion (X 4 ); 9,55-10,8 pada Fossotemporale kiri kanan (X 5 ) ; 6,06-9,84 pada Euryon kiri kanan (X 6 ); 6,96-8,51% pada hinion Prosthion (X 7 ); 8,29-13,64% pada Infraorbitale kiri kanan (X 8 ); 12,30-14,95% Zygion kiri kanan (X 9 ); 7,12-8,92% Entrobitale kiri kanan (X 10 ); 7,28-11,30% tinggi kepala (X 11 ); dan 4,71-10,42 pada panjang rahang bawah (X 12 ). Perbedaan ukuran tengkorak kepala kerbau dapat terjadi akibat dari perbedaan genetik dan lingkungan. Variasi performa ukuran kepala kerbau hasil penelitiaan cukup besar. Keragaman yang cukup besar pada ternak kerbau menggambarkan kondisi manajemen dan sumberdaya genetik kerbau yang beragam (Siregar dan Dwiyanto, 1996). Hal tersebut sebagai akibat tidak adanya seleksi dan besarnya variasi kondisi manajemen dan lingkungan (agroekosistem) pemeliharaan (Hasinah dan Hadiwirawan, 2006). Parker et al. (1996) menyebutkan bahwa kerbau silangan (F 1 ) memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan berat jika dibandingkan dengan kerbau rawa. Sheretha dan Parker (1992) menyatakan kerbau rawa memiliki bobot badan yang lebih ringan, lebih pendek dan lingkar dada yang lebih kecil jika dibandingkan kerbau Murrah dan silangannya. Banyak penelitian melaporkan bahwa bobot badan 27

dan produksi susu kerbau silangan (F 1 ) adalah lebih tinggi dibandingkan kerbau rawa (Chiangmai dan Chavananikul, 1999). Sifat Kualitatif Bentuk Tanduk Persentase bentuk tanduk dari kerbau rawa, Murrah dan silangnnya disajikan pada Tabel 6. Bentuk tanduk dapat menunjukkan spesifikasi dari bangsa ternak dan merupakan sifat kualitatif yang menggambarkan komponen-komponen khusus yang berkontributsi dalam menampilkan ciri khas suatu bangsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bentuk tanduk antar dan dalam bangsa kerbau. Peraturan Menteri Pertanian (2006) mendeskripsikan bahwa kerbau rawa memiliki tanduk mengarah ke belakang horizontal, bentuk bulan panjang dengan bagian ujung yang meruncing serta membentuk setengah lingkaran. Kerbau sungai memiliki tanduk melingkar pendek menuju ke belakang dan ke atas, kemudian berputar ke dalam membentuk spiral. BPPT Kalimantan Selatan (2007) melaporkan bahwa bentuk tanduk kerbau rawa agak pipih pada pangkalnya serta bulat dan runcing pada ujungnya, tumbuh mengarah kesamping kemudian lurus kebelakang dan berjumlah 2 buah. Ada terdapat 4 macam bentuk tanduk: 1) ke samping, naik ke atas; 2) ke samping, naik ke atas dan melengkung; 3) ke samping, melengkung ke belakang; dan 4) ke samping, yang 1 naik ke atas dan 1 turun ke bawah (tidak semetris). Panjang tanduk tergantung umur, pada umumnya semakin tua maka makin panjang tanduknya. Tanduk kerbau Murrah berbentuk spiral sempit atau keriting dan pendek dengan permukaan berombak-ombak. Sebagian kerbau Murrah memiliki tanduk yang berbentuk lurus (Cockrill,1974; anjhan dan Pathak, 1979). Hasil pengamatan dari 170 ekor kerbau Murrah di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa bentuk tanduk 82% melingkar ke atas, 6% mengarah ke bawah dan 11% bentuk tanduk kombinasi antara kerbau Murrah dan kerbau rawa (Puslitbang Peternakan, 2006). Kerbau silangan antara kerbau rawa dan sungai (Murrah) memiliki bentuk tanduk intermediet dari tetuanya, serta berbentuk sedikit keriting (Mason, 1974b). Tabel 6. Bentuk Tanduk Kerbau awa, Murrah dan Silangannya Bangsa Bentuk Tanduk Persentase Jumlah (ekor) 28

awa (n = 53) Murrah (n = 48) Silangan (n = 20) Normal awa (1) Menggantung (2) Jumlah Normal Murrah (3) Menggantung (4) Jumlah Memanjang ke belakang lalu ke atas (5) Campuran (6) Menggantung (7) Membentuk spiral (8) Kombinasi (9) Jumlah 96,2% 3,8% 100,0% 89,6% 10,4% 100,0% 20,0% 25,0% 10,0% 40,0% 5,0% 100,0% 51 2 53 43 5 48 4 5 2 8 1 20 Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kerbau rawa diidentifikasi dua bentuk tanduk yaitu tanduk normal yang memanjang ke belakang lalu melengkung ke atas (96,23%) dan tanduk tergantung, yaitu tanduk memanjang ke belakang dan mengarah ke bawah (3,77%). Bentuk tanduk kerbau sungai dalam hal ini Murrah memiliki dua tipe yaitu tanduk normal yaitu melingkar ke atas membentuk seperti spiral (89,58%) dan tanduk tergantung, yaitu tanduk jatuh ke bawah lalu melengkung ke dalam (10,42%). Sedangkan kerbau silangan memiliki lima tipe tanduk yang terdiri dari tanduk memanjang ke belakang lalu ke atas seperti tanduk normal kerbau rawa (20%); tanduk campuran, yaitu tanduk mengarah ke atas seperti kerbau rawa dan ujungnya melingkar kedalam seperti kerbau Murrah (25%); tanduk menggantung, jatuh ke bawah lalu melengkung ke luar (10%); tanduk melingkar ke atas dan membentuk spiral seperti tanduk normal kerbau Murrah (40%); dan tanduk kombinasi yaitu sebelah kiri dan kanan berbeda bentuk, dimana yang satu menggantung dan sisanya berbentuk spiral seperti pada kerbau Murrah (5%). Pengelompokan bentuk tanduk dilakukan berdasarkan bentuk yang ada/ditemukan di lapangan. Persilangan antara dua bangsa kerbau akan mengakibatkan terjadinya polymorphism, Hasinah dan Hadiwirawan (2006) mengemukakan hal yang sama bahwa polymorphism atau bentuk yang bermacam-macam yang tidak dapat diramalkan terlebih dahulu akan terjadi apabila persilangan diantara dua bangsa kerbau terjadi. 29

(1) (2) Gambar 4. Bentuk Tanduk Kerbau awa (3) (4) Gambar 5. Bentuk Tanduk Kerbau Sungai (Murrah) (5) (6) (7) (8) (9) Gambar 6. Bentuk Tanduk Kerbau Silangan 30