BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, yaitu

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR /6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

BAB III KETENTUAN PAJAK ROKOK DAN DATA PENDUKUNG SIMULASI. III.1. Pajak Rokok dan Penerimaan Pajak Propinsi Sebelum ada Pajak Rokok

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR : 52 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

Kebijakan Kementerian Keuangan dalam Cukai dan Pajak Rokok

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah tipe negara yang berbentuk welfare state modern (negara

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN KONSUMSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar

WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN PAJAK ROKOK

BAB I PENDAHULUAN. wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali. Secara langsung, yang

Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan pasal 26 sampai dengan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu membenfuk

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 64/PUU-XI/2013 Pajak Rokok

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 66/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI SEMENTARA DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN ANGGARAN 2010

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PAJAK ROKOK PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERJAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2016 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah pajak yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan/atau

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2016 T E N T A N G

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

Oleh Sunyoto, SE. MM. Ak. Ery Hidayanti, SE. MM. Ak. Dosen Program Studi Akuntansi STIE Widya Gama Lumajang ABSTRAK

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Salah satu alternatif sumber penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian. sumber dana yang berasal dari negeri, yaitu berupa pajak.

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI PAJAK. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah di indonesia, yaitu mulai tanggal 1 januari Dengan adanya

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2015 T E N T A N G

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

Jurnal Mirai Management, Volume 1 Nomor 2, Oktober 2016

Tanggal 18 Agustus 2009 REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. untuk membiayai kegiatannya, maka pemerintah daerah juga menarik pajak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. pihak. Seperti kita ketahui bersama Negara mempunyai tujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah khususnya pemerintah kota merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik pula. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran. pemerintah di bidang pembangunan dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Pada umumnya negara. pendapatan yang besar untuk kesejahteraan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dimana

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 016 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak. Menurut UU Republik Indonesia No 28 tahun 2007, pajak

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah salah satu wujud kemandirian bangsa dalam pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hasil dari pembayaran pajak kemudian digunakan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. sumber PAD adalah Pajak dan Retribusi. Undang-undang dasar 1945, pasal 23A

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah Indonesia diwujudkan dengan dihasilkannya Undang- Undang No 22

Jenis Penerimaan & Pengeluaran Negara. Pertemuan 4 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP

TENTANG. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan. Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL... i. HALAMAN PERSETUJUAN... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN PRIBADI... iv. ABSTRAK... v. ABSTRACT...

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

PELAKSANAAN BAGI HASIL DAN PENGGUNAAN PAJAK ROKOK DI PROVINSI LAMPUNG JURNAL ILMIAH. Oleh AULIA SYAWALUDIN

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah harus berusaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah untuk dikembalikan ke masyarakat walaupun tidak dapat dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

- 1 - GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2017 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan penerimaan negara terbesar. Hampir semua pendapatan Negara saat ini

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG UPAH PUNGUT PENDAPATAN ASLI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN,

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB II TINJAUAN TENTANG PAJAK A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERANAN PBB P2 DALAM MENINGKATKAN PAD DI KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 Alinea ke-iv, yakni melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan pembangunan yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. sumber ekstern tersebut sehingga sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern,

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia ini senantiasa tidak terlepas dari sumber penerimaan pajak yang dapat diandalkan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, yaitu mulai 1 Januari 2001. Dengan adanya otonomi daerah dipicu untuk dapat mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran dan kebutuhan daerah. Dari berbagai sumber penerimaan yang dipungut oleh daerah sesuai dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Sebelum ditetapkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pungutan Daerah berupa pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Beberapa latar belakang pembentukan UU baru ini adalah : (1) Dipandang perlunya memperluas basis pajak daerah dan objek retribusi daerah; (2) Dipandang perlunya memberikan diskresi penetapan tarif kepada daerah;

(3) Dipandang perlunya meningkatkan akuntabilitas pengalokasian pendapatan dari pajak dan retribusi daerah; dan (4) Dipandang perlunya meningkatkan efektifitas pengawasan pungutan daerah. Berangkat dari latar belakang pemikiran tersebut dibentuklah UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PERDA Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pajak Rokok. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah. Secara efektif pemberlakuan pajak rokok ini baru akan diterapkan pada tahun 2014. Dasar Pengenaan Pajak rokok adalah cukai rokok dan besarnya tarif ditetapkan sebesar 10 persen dari cukai rokok. Pajak rokok masuk dalam kategori pajak provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Artinya, pajak rokok ini nantinya akan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun demikian pemerintah provinsi diharuskan membagi penerimaan dari Pajak Rokok ini dengan pemerintah kabupaten/kota dengan porsi sebesar 70 persen untuk kabupaten/kota sisanya sebesar 30 persen diperuntukkan bagi pemerintah provinsi. Terdapat alokasi paling sedikit 50 persen dari hasil penarikan pajak rokok, dipakai untuk mendanai fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Di bidang kesehatan keputusan ini diambil sebagai langkah pengimbangan antara konsumsi rokok dengan kesehatan masyarakat. Dan di bidang penegakan hukum terkait permasalahan rokok illegal. Prosedur adalah suatu tata cara kerja atau kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan urutan waktu dan memiliki pola kerja yang tetap yang telah ditentukan. Sesuai Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai 1 Januari 2014 derah provinsi dapat memungut jenis pajak baru yakni pajak rokok. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya kebijakan pajak rokok, yaitu :

(1) Perlunya penerapan pajak yang lebih adil kepada seluruh daerah, agar seluruh daerah mempunyai sumber dana yang memadai untuk mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok, karena sebelumnya daerah yang mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian dananya dapat digunakan untuk mengendalikan/mengatasi dampak negatif rokok) hanya daerah penghasil rokok dan penghasil tembakau. (2) Perlunya peningkatan local taxing power guna meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan (3) Perlunya penerapan piggyback taxes, atau tambahan atas objek pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat terhadap konsumsi barang yg perlu dikendalikan, sesuai dengan best practice yg berlaku di negara lain (4) Perlunya pengendalian dampak negatif rokok, karena terkait dengan meningkatnya tingkat prevalensi perokok di Indonesia (jumlah penduduk perokok terhadap jumlah penduduk nasional), meningkatnya dampak negatif konsumsi rokok bagi masyarakat, dan masih rendahnya komponen pajak dalam harga rokok di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain khususnya negara ASEAN. Seperti halnya dengan pajak provinsi lainnya, penerimaan pajak rokok juga harus dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, yakni 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota. Penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kab/kota, minimal 50% digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Kegiatan yang terkait pelayanan kesehatan masyarakat antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Sementara kegiatan yang terkait penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemda yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan

peredaran rokok illegal, dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun alokasi Cukai Hasil Tembakau dalam miliar rupiah untuk daerah-daerah di Indonesia yang menghasilkan Tembakau sebelum dikenakan Pajak Rokok dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel I.1 Alokasi DBH Cukai Hasil Tembakau Rokok per-provinsi (Dalam Miliar Rupiah) NO Alokasi DBH CHT Rokok per-provinsi Se-Provinsi 2009 2010 2011 1 NAD - - 2,78 2 Sumatera Utara 1,43 6,83 10,39 3 Sumatera Barat - - 4,57 4 Jambi - - 2,12 5 Sumatera Selatan - - 1,77 6 Lampung - - 2,06 7 DKI Jakarta - - 1,46 8 Jawa Barat 9,48 119,05 69,56 9 Banten - - 2,96 10 Jawa Tengah 52,20 328,66 258,60 11 DIY 1,05 9,18 16,43 12 Jawa Timur 135,85 601,35 613,45 13 Kalimantan Tengah - - 1,61 14 Kalimantan Selatan - - 1,93 15 Kalimantan Timur - - 1,568 16 Sulawesi Selatan - - 7,59 17 Bali - - 8,02 18 NTB - - 109,38 19 NTT - - 2,25 TOTAL 200,00 1065,07 1118,50 Sumber : Kementrian Keuangan, diolah.

Demikian dengan alokasi Cukai Hasil Tembakau yang didapat tiap daerah di Indonesia, jika ditambahkan dengan Pajak Rokok tentunya penghasilan di setiap daerah akan lebih meningkat. Termasuk Riau yang tidak memiliki pabrik rokok pun akan mendapatkan bagi hasil dari pusat untuk mengembangkan pembangunan serta pelayanan masyarakat. Berikut adalah prosedur Penerimaan Pajak Rokok yang dapat kita ketahui : Gambar I.1 Prosedur Penerimaan Bagi Hasil Pajak Rokok Secara Umum Pabrik / Importir Cukai PPN Pajak Rokok 10 % Rekening Daerah/Provinsi Kab/Kota Rekening Pusat Rekening Antara Sumber : Hasil Wawancara Mendalam, diolah 2013 Sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, pajak rokok dipungut di tingkat pabrik/importir bersamaan dengan pemungutan cukai rokok oleh institusi yang berwenang memungut cukai, yaitu DJBC. Selanjutnya cukai hasil tembakau masuk ke rekening Pemerintah Pusat sedangkan pajak rokok ditampung di rekening antara untuk kemudian disetorkan ke rekening kas pemerintah daerah propinsi secara proporsional menurut jumlah penduduk. Kemudian pemerintah daerah propinsi melakukan bagi hasil atas penerimaan pajak rokok kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Pemerintah Provinsi Riau telah menerbitkan Perda (Peraturan Pemerintah Daerah) untuk Pajak Rokok yaitu PERDA Nomor 8 Tahun 2013 Pada tanggal 18 November 2013 lalu. Dari jumlah Pajak Rokok pusat yang berjumlah 116 Triliun, dibagikan untuk daerah sebesar 10% nya yaitu sebesar 11 Triliun. Diperkirakan Provinsi Riau dapat meraup dana Rp 180 miliar yang akan disalurkan guna meningkatkan fasilitas kesehatan daerah. Melalui Dinas Pendapatan Provinsi Riau Pajak Rokok tersebut akan disalurkan dan akan menambah Pendapatan Asli Daerah Provinsi Riau serta dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan pembangunan dan layanan kesehatan di Provinsi Riau. Dari masalah diatas penulis tertarik untuk melakukan penulisan lebih lanjut dengan judul : PROSEDUR PENERIMAAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK PADA DINAS PENDAPATAN PROVINSI RIAU 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka penulis merumuskan sebagai berikut : a. Bagaimanakah prosedur penerimaan bagi hasil Pajak Rokok pada Dinas Pendapatan Provinsi Riau? b. Apakah kendala yang dihadapi oleh Dinas Pendapatan Provinsi Riau dalam penerimaan bagi hasil Pajak Rokok? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.3.1 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui prosedur penerimaan bagi hasil Pajak Rokok di Dinas Pendapatan Provinsi Riau b. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Dinas Pendapatan Provinsi Riau dalam penerimaan bagi hasil Pajak Rokok 1.3.2 Manfaat Penulisan Dari hasil penulisan ini semoga memperoleh manfaat sebagai berikut : a. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis terutama masalah tentang penerimaan bagi hasil Pajak Rokok, dan penulisan ini semoga berguna sebagai bahan informasi dan perbandingan sederhana bagi peneliti. b. Sebagai referensi seluruh pihak yang ingin mengetahui tentang Pajak Rokok. c. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang ditemui dalam penerimaan bagi hasil Pajak Rokok. d. Memberikan informasi kepada masyarakat/wajib pajak tentang perpajakan terutama Pajak Rokok. 1.4 Metode Penulisan 1.4.1 Lokasi Penulisan Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian di Dinas Pendapatan Provinsi Riau yang berada di Komplek Perkantoran Jalan Jend. Sudirman No.6 Simpang Tiga Pekanbaru. 1.4.2 Waktu Penulisan Waktu penulisan Tugas Akhir ini dimulai pada tanggal 5 Februari 2014 dan direncanakan akan selesai pada tanggal 20 April 2014 1.4.3 Jenis Data Untuk memperoleh data yang akurat dan lengkap maka penulis mendapatkan data dan informasi dari berbagai sumber sebagai berikut: 1. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari tempat atau lokasi penelitian yaitu di Dinas Pendapatan Provinsi Riau melalui wawancara langsung kepada pegawai di Dinas Pendapatan Provinsi Riau tersebut, guna untu membantu pengambilan data yang diperlukan. 2. Data Sekunder Data yang penulis peroleh secara tidak langsung melalui perantara seperti dokumen, dari literatur-liteatur, pendapat para ahli, laporan dan informasi yang berhubungan dengan penelitian serta sumber-sumber lainnya yang dapat mendukung berjalannya penelitian tersebut. 1.4.4 Teknik/Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan teknik/metode : 1. Metode Observasi Observasi adalah pengamatan secara langsung di Dinas Pendapatan Provinsi Riau yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu mengenai mekanisme Penerimaan Pajak Rokok di Dinas Pendapatan Provinsi Riau. 2. Metode Wawancara Wawancara yang penulis lakukan dengan mengadakan pembicaraan secara langsung dengan tanya jawab kepada pegawai-pegawai yang ada di Dinas Pendapatan Provinsi Riau, tentunya yang berhubungan langsung dengan permasalahan dalam penulisan ini, yakni mekanisme penerimaan Pajak Rokok terhadap sumber pendapatan daerah di Dinas Pendapatan Provinsi Riau.

3. Dokumentasi Dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya. 1.5 Sistematika Penulisan Dalam penulisan ini, secara umum penulis membagi sistematika penulisan ini, maka penulis akan mengelompokkan menjadi beberapa Bab. Dimana masing-masing Bab diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, sistematika penulisan, serta metode penulisan. BAB II : GAMBARAN UMUM DINAS PENDAPATAN PROVINSI RIAU Dalam bab ini akan diuraikan tentang sejarah singkat berdirinya Dinas Pendapatan Provinsi Riau. Visi dan misi, struktur organisasi unit kerja serta uraian tugas bagian unit Dinas Pendapatan Provinsi Riau. BAB III : TINJAUAN TEORI DAN PRAKTEK Dalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian pajak, pengertian prosedur, kerangka teori, dan definisi-definisi yang berhubungan dengan penelitian ini BAB IV : PENUTUP Bab ini menguraikan kesimpulan dan hasil penelitian yang ditemukan, kemudian memberikan saran-saran. DAFTAR PUSTAKA