BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jamkesmas ( Jaminan Kesehatan Masyarakat ) kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23/1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 40/2004, penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

BAB I PENDAHULUAN. akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Hal ini terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. BPJS Kesehatan ( Badan Penyelenggara Jaminan Sosial )

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai sebuah pelayanan yang baik bagi pasien. sesuai dengan klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-10) tentang

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 1

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Untuk memenuhi hak masyarakat miskin dalam. agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. 1. maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat.

BAB I PENDAHULUAN. satu faktor pendukung terpenting. Di dalam Permenkes RI Nomor

BAB I PENDAHULUAN. bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. isi, akurat, tepat waktu, dan pemenuhan persyaratan aspek hukum. berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

PENGARUH KODE TINDAKAN MEDIS OPERATIF DAN NON MEDIS OPERATIF PADA DIAGNOSIS APPENDICITIS, FRAKTUR EKSTREMITAS, KATARAK

BAB I PENDAHULUAN. Nasional) yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan Pelaksanan Jaminan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA CODER (DOKTER DAN PERAWAT) DENGAN KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS BERDASARKAN ICD-10 DI PUSKESMAS GONDOKUSUMAN II KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan adalah sesuai dengan standar pelayanan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam bidang kesehatan. World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. di dunia untuk sepakat mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 1

KEPUTUSAN KEPALA UPTD PUSKESMAS SAMBUNGMACAN II. No.../.../.../SK/... TENTANG STANDARISASI KODE KLASIFIKASI DIAGNOSA DAN TERMINOLOGI

Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi

HUBUNGAN KETEPATAN PENULISAN DIAGNOSIS DENGAN KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS KASUS OBSTETRI GYNECOLOGY PASIEN RAWAT INAP DI RSUD. Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bersifat mutlak. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam KEPMENKES RI No. 377/MENKES/SK/ III/2007 tentang. Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan disebutkan bahwa

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... LEMBAR PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN. paripurna yang menyediakan pelayanan rawat jalan, rawat inap dan. rawat darurat. Rustiyanto (2010), mengatakan bahwa pelayanan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. medis maupun non medis. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan. Republik Indonesia No. 269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

STUDI KEBIJAKAN PENGGUNAAN SISTEM CASEMIX

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. Sistem Manajemen Pelayanan Rumah Sakit dengan Sistem Manajemen. Pelayanan yang baik, harus memperhatikan keselamatan pasien, dapat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

HUBUNGAN PENGETAHUAN CODER DENGAN KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS PASIEN RAWAT INAP JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT BERDASARKAN ICD-10 DI RSUD SIMO BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. yang bermutu dan memperoleh penghasilan yang cukup untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Definisi kesehatan menurut undang-undang nomor 36 tahun 2009 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS. Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, klaim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan yang sempurna kepada pasien baik pasien rawat jalan, rawat

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupannya dengan baik. Maka dari itu untuk mencapai derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem kesehatan (health system) adalah tatanan yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan upaya bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang berkembang di Indonesia sangat. beragam macamnya, di antaranya ada rumah sakit, puskesmas, dokter

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan. dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia melalui kementerian kesehatan di awal tahun 2014, mulai

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi. Sarana pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. rangka pemberian pelayanan kesehatan. Dokumen berisi catatan dokter,

BAB I PENDAHULUAN. khususnya mengenai jaminan social (Depkes RI, 2004). Penyempurna dari. bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Rumah Sakit menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penduduk sebesar 1,49 persen yang siap dilayani oleh 2000 rumah sakit dan

PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan program Indonesia Case Based Groups (INA-CBG) sejak

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya mempercepat. peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia (Hatta, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. intervensi pemerintah dalam pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sistem INA CBG s (Indonesia Case Base

BAB I PENDAHULUAN. profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga

Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K) Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati

PETUNJUK TEKNIS ADMINISTRASI KLAIM DAN VERIFIKASI PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT 2008 PADA PEMBERI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN

PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELLITUS DI RSUD DR.MOEWARDI SURAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Undang-undang No.40 Tahun 2004 pasal 19 ayat1. 1

ANALISIS LAMA RAWAT DAN BIAYA PELAYANAN KESEHATAN PADA SISTEM PEMBAYARAN INA DRG DAN NON INA DRG DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. besarnya biaya yang dibutuhkan maka kebanyakan orang tidak mampu

Dwi Setyorini, Sri Sugiarsi, Bambang Widjokongko APIKES Mitra Husada Karanganyar

Ketepatan Penentuan Kode Penyebab Dasar Kematian Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Salatiga Triwulan IV Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. 28H dan pasal 34 Undang-Undang Dasar Dalam Undang Undang Nomor

Kebijakan Pembiayaan untuk pelayanan Dialisis di FKRTL dalam era JKN. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Jakarta, 08 April 2017

BAB III METODE PENELITIAN. desain penelitian deskriptif analitik. Pengambilan data dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. setempat dan juga kearifan lokal yang berlaku pada daerah tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan adalah dengan memantapkan penjaminan kesehatan melalui. jaminan kesehatan. Permenkes No. 71 tahun 2013 tentang Pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi, sarana pelayanan kesehatan merupakan elemen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS ADMINISTRASI KLAIM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL RAWAT JALAN RSUD KOTA SEMARANG TAHUN 2016

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. secara berkelanjutan, adil dan merata menjangkau seluruh rakyat.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Catatan

DAFTAR ISI. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka B. Kerangka Teori C. Kerangka Konsep D. Pertanyaan Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara komprehensif yang

HUBUNGAN BIAYA OBAT TERHADAP BIAYA RIIL PADA PASIEN RAWAT INAP JAMKESMAS DIABETES MELITUS DENGAN PENYAKIT PENYERTA DI RSUD ULIN BANJARMASIN TAHUN 2013

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. Medis, pengertian sarana pelayanan kesehatan adalah tempat. untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi. Rumah sakit merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

OLEH: ARIS SUSANTO (PERTEMUAN I & II)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERAN DINKES DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini

MAKALAH SISTEM PEMBAYARAN INA CBGS

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jamkesmas ( Jaminan Kesehatan Masyarakat ) Jamkesmas adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan bersama oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Propinsi/ Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi sehingga menghasilkan pelayanan yang optima. Manfaat jaminan yang diberikan ke peserta dalam bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) berdasarkan kebutuhan medik sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional, bukan berupa uang tunai (Depkes RI, 2008). UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal 2 dan 3 Undang-undang ini menyatakan bahwa tujuan penjaminan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Pasal 17 Undang undang ini mengatur sumber pembiayaan program Jamkesmas sebagaimana dinyatakan dalam butir 4, iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Pasal 19 Menyatakan bahwa 6

jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin membutuhkan perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup layak dan produktif, sehingga perlu dikelola secara efektif dan efisien, termasuk aspek pembiayaan. Salah satu sistem pembiayaan kesehatan yang telah berhasil dengan baik di berbagai negara adalah asuransi kesehatan sosial. B. Rekam Medis Menurut peraturan Menteri Kesehatan No. 749a tahun 1989 rekam medis adalah dokumen berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana kesehatan. Rekam medis adalah rekaman atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana, dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama masa perawatan yang memuat pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang diperoleh serta memuat nformasi yang cukup untuk mengidentifikasi pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam hasilnya ( Huffman, 1992). Sedangkan manfaat rekam medis menurut konsil kedokteran Indonesia (2006), antara lain: 7

1. Pengobatan pasien Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan, dan tindakan medis yang harus diberikan kepada pasien. 2. Peningkatan kualitas pelayanan Membuat rekam medis bagi penyelenggaraan praktik kedokteran dengan jelas dan lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan untuk melindungi tenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal. 3. Pendidikan dan penelitian Rekam medis yang merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit, pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi kedokteran dan kedokteran gigi. 4. Pembiayaan Dokumen rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien. C. Diagnosis Diagnosis adalah klasifikasi seseorang berdasarkan suatu penyakit yang dideritanya atau satu abnormalitas yang diidapnya. Batasan mengenai 8

diagnosis dalam ICD-10 adalah diagnosis berarti, penyakit, cidera, cacat, keadaan masalah terkait kesehatan. Diagnosis utama adalah kondisi yang setelah pemeriksaan ternyata penyebab utama admission pasien ke rumah sakit untuk dirawat. Diagnosis sekunder adalah masalah kesehatan yang muncul pada saat episode keperawatan kesehatan, yang mana kondisi itu belum ada di pasien. Setiap diagnosis harus mengandung kekhususan dan etiologi. Apabila dokter tidak dapat menemukan yang khusus atau etiologi karena hasil pemeriksaan rontgen, tes laboratorium serta pemeriksaan lain tidak dimasukkan, maka pernyataan harus dibuat sedemikian rupa yang mampu menyatakan simptom dan bukan penyakitnya, diagnosis harus dijelaskan sebagai meragukan atau tidak diketahui ( Huffman, 1994). Penetapan diagnosis pada seorang pasien merupakan kewajiban, hak dan tanggung jawab dokter. Diagnosis yang ada di dalam rekam medis diisi dengan lengkap dan jelas sesuai dengan arahan yang ada pada ICD-10 ( Depkes RI, 1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengkodean diagnosis sangat penting untuk diperhatikan agar kode diagnosis yang dihasilkan sesuai dengan ICD-10. Faktor- faktor tersebut adalah tenaga medis, tenaga pengkode dan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu manajemen RS dan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) lainnya diharapkan kerja keras untuk mensosialisasikan program jamkesmas dan INA-CBG di lingkungan internal agar terjadi pelayanan kesehatan yang terkendali mutu dan biaya ( Depkes RI, 1997). 9

D. Pengkodean (Coding) Informasi diagnosis tidak akan bermanfaat apabila belum diolah untuk itu perlu dilakukan pengkodean. Coding menurut Depkes RI (1997) adalah membuat kode atas diagnosis penyakit berdasarkan klasifikasi penyakit yang berlaku yang bertujuan untuk mempermudah pengelompokkan penyakit dan operasi yang dapat dituangkan dalam bentuk angka. Tujuan Coding menurut AHIMA (1986) Selain digunakan untuk klaim asuransi kesehatan, kode pada data digunakan untuk evaluasi proses dan hasil perawatan kesehatan. Kode data juga digunakan oleh pihak internal dalam institusi untuk aktifitas kualitas manajemen, casemix, perencanaan, pemasaran, administrasi lain dan penelitian. Menurut Bowman (1992) pengkodean adalah penggolongan data dan memberikan penyajian untuk data itu. Pengkodean dilakukan dengan berbagai alasan. Alasan utama adalah untuk memudahkan pengambilan kembali informasi menurut hasil diagnosis. Pengkodean selalu ditinjau ulang dari data pasien tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan kesalahan pengkodean (Bowman, 1992). 1. Kegagalan peninjauan seluruh catatan. 2. Pemilihan diagnosis utama yang salah. 3. Pemilihan kode yang salah. 4. Mengkode diagnosis atau prosedur yang salah oleh karena isi catatan. 10

5. Kesalahan didalam memasukkan kode ke dalam database atau pada tagihan. Beberapa elemen pengkodean yang harus dievaluasi dalam menetapkan kualitas data pengkodean (Bowman, 1992): 1. Reliability Yaitu hasil yang sama akan diperoleh apabila dilakukan beberapa kali usaha. contoh ; beberapa petugas pengkodean dengan rekam medis yang sama akan menghasilkan hasil pengkodean yang sama pula. 2. Validity Yaitu hasil pengkodean yang mencerminkan keadaan pasien dan prosedur yang diterima pasien. 3. Completeness Sebuah rekam medis belum bias dikatakan telah dikode apabila hasil pengkodean tidak mencerminkan semua diagnosis dan prosedur yang diterima pasien. 4. Timeliness Dokumen rekam medis dapat dikode dengan hasil yang dapat dipercaya, benar, dan lengkap, tetapi jika tidak dengan tepat waktu maka rekam medis tidak dapat digunakan untuk pengambilan kembali dokumen atau penagihan biaya perawatan. Tugas dan tanggung jawab dokter INA-CBG antara lain untuk menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan sekunder sesuai dengan ICD-10 serta menulis seluruh prosedur atau tindakan yang telah 11

dilaksanakan dan membuat resume medis secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat dirumah sakit dalam satu episode perawatan (Depkes RI, 2011). D. ICD-10 (International Statistical Classification of Disease and Related Health Problem Tenth Revision) Pengelompokan penyakit dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengelompokan dari data morbiditas yang ditetapkan sesuai dengan kriteria. (WHO, 1994). Salah satu pedoman klasifikasi penyakit yang berlaku di dunia adalah ICD-10. Fungsi ICD-10 menurut Kasim (2008), penerapan pengkodean ICD digunakan untuk: 1. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan disarana pelayanan kesehatan. 2. Masukan/ input bagi sistem pelaporan diagnosis medis. 3. Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan. 4. Bahan dasar dalam pengelompokan CBG (diagnostic-related groups) untuk sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan. 5. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas. 6. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan pelayanan medis. 7. Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. 12

8. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan. Menurut Erkadius ICD-10 terdiri dari tiga volume: volume 1 berisi klasifikasi utama, volume 2 memberikan bimbingan untuk pengguna ICD dan volume 3 adalah Indeks Alfabet pada klasifikasi. Hampir seluruh isi volume 1 digunakan oleh klasifikasi utama, terdiri dari daftar kategori tiga karakter dan daftar tabulasi inklusi ( termasuk juga ), dan sub kategori empat karakter. Klasifikasi inti, yaitu daftar kategori tiga kategori (Volume 1, halaman 29-104), merupakan tingkat pelapora wajib ke database mortalitas WHO dan untuk perbandingan umum internasional. Daftar tabulasi yang memberikan detail penuh level empat karakter, dibagi atas 21 Bab (halaman 105-1175). Volume 1 juga berisi hal-hal berikut: 1. Morfologi neoplasma. Klasifikasi morfologi neoplasma (halaman 1177-1204) bisa digunakan sebagai kode tambahan untuk klasifikasi jenis morfologis neoplasma yang dengan beberapa pengecualian, terdapat pada Bab II hanya menurut sifat dan tempat (topografi). Kode morfologi sama seperti yang dipakai pada adaptasi khusus ICD untuk onkologi (ICD-O). 2. Daftar tabulasi khusus, oleh karena daftar empat karakter penuh ICD dan juga daftar tiga karakter terlalu panjang untuk diberikan dalam tabel statistik, maka hamper semua statistik rutin menggunakan daftar tabulasi yang menekankan kondisi tunggal tertentu dan mengelompokkan kondisinya. Empat daftar khusus untuk tabulasi mortalitas merupakan bagian integral ICD. Daftar 1 dan 2 adalah untuk mortalitas umum, 13

sedangkan daftar 3 dan 4 adalah untuk mortalitas bayi dan anak (usia 0-4 tahun). Terdapat pula daftar tabulasi khusus untuk morbiditas, Volume1. Bimbingan penggunaann berbagai level klasifikasi dan daftar tabulasi secara semestinya diberikan pada Volume 2. 3. Definisi-definisi. Definisi pada halaman 1233-1238 Volume 1 telah diadopsi oleh WHO dan dimasukkan untuk memudahkan perbandingan data internasional. 4. Regulasi nomenklatur. Regulasi yang diadopsi WHO menjelaskan tanggung jawab resmi Negara anggota WHO mengenai klasifikasi penyakit dan penyebab mortalitas dan cara pengumpulan dan publikasi statistik. Berikut ini adalah pedoman sederhana yang dimaksudkan untuk membantu pengkode ICD yang bekerja sesekali: 1. Menentukan jenis pernyataan yang akan dikode dan rujuk ke section yang sesuai pada indeks alfabet. (Kalau pernyataan adalah penyakit, cedera, atau kondisi lain yang bisa diklasifikasikan pada bab I-XIX atau XXI, lihat section I dari index dan kalau pernyataan ini adalah penyebab luar dari cedera atau kejadian lain yang bisa diklasifikasikan pada bab XX, lihat section II pada index); 2. Menentukan lokasi lead term. Untuk penyakit dan cedera ini biasanya berupa sebuah kata benda untuk kondisi patologis. Namun, beberapa kondisi yang berupa kata sifat atau eponim (nama orang) bisa juga terdapat disini; 14

3. Membaca dan ikuti petunjuk semua catatan yang terdapat di bawah lead term ; 4. Membaca semua term yang dikurung oleh parentheses setelah lead term (modifier ini tidak mempengaruhi nomor kode), disamping semua istilah yang ber-indentasi di bawah lead term (modifier ini bisa mempengaruhi nomor kode), sampai semua kata di dalam diagnosis telah diperhatikan; 5. Mengikuti dengan hati-hati setiap rujukan silang see dan see also di dalam indeks; 6. Rujuk daftar tabulasi (Volume I) untuk memastikan nomor kode yang dipilih. Perhatikan bahwa sebuah kode tiga karakter di dalam indeks dengan dash (-) pada posisi ke-4 berarti bahwa sebuah karakter ke empat terdapat pada Volume 1. Subdivisi lebih lanjut yang digunakan pada posisi karakter tambahan tidak diindeks, kalau ini digunakan, ia harus dicari pada volume 1; 7. Ikuti petunjuk setiap inklusi dan eksklusi di bawah kode yang dipilih atau di bawah judul bab, blok, atau kategori; 8. Tentukan kode. E. ICD-9 CM ICD-9 CM merupakan buku yang digunakan untuk mengkode tindakan. ICD-9 CM berisi (Garmelia, 2010): 1. Bagian I : (Tabular List) Daftar Classification of Procedures. 2. Bagian II : Index to Procedure, Alfabet A Y. 15

Sedangkan tujuan penggunaan ICD-9 CM adalah: 1. Informasi klasifikasi morbiditas dan mortalitas untuk statistik. 2. Indeks penyakit dan operasi. 3. Laporan diagnosis oleh dokter. 4. Penyimpanan dan pengambilan data. 5. Laporan nasional morbiditas dan mortalitas. 6. Untuk pengelompokan penyakit (CBG). 7. Membantu kompilasi dan pelaporan data sebagai evaluasi pelayanan. 8. Pola pelayanan kesehatan. Berikut ini adalah langkah-langkah pengkodean ICD-9-CM : 1. Identifikasi prosedur diagnostik yang akan di kode; 2. Putuskan apakah ada lead term ; 3. Lihat lead term pada buku indeks alphabet; 4. Lihat pada beberapa lokasi modifiers ; 5. Koreksi kode yang didapat pada buku Tabular list ; 6. Lihat/koreksi juga pada Inclusion and Exclusion terms ; 7. Tetapkan Kode (Garmelia, 2010). G. Case Base Group ( CBG) Case Base Group (CBG) pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan DRG yang juga termasuk dalam sistem casemix. Indonesia Case Base Group (INA-CBG) adalah CBG yang dikaitkan dengan tarif yang dihitung berdasarkan data costing di Indonesia dan tetapi dijalankan dengan menggunakan United Nation University Grouper (UNU-GROUPER), 16

berbeda dengan INA-DRG terdahulu yang memakai sistem grouper komersial dari PT. 3M Indonesia. UNU adalah institusi dibawah PBB dengan prioritas membantu negara-negara berkembang untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) (Depkes RI, 2011). Perhitungan biaya perawatan pada sistem ini dilakukan berdasarkan diagnosis akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit. Penerapan diagnostic related group pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh beberapa rumah sakit untuk suatu diagnosis, besarnya biaya perawatan pasien dengan diagnosis akan berbeda apabila tipe rumah sakit tersebut berbeda (Tabrany, 2008). Pembayaran diagnostik related group, rumah sakit maupun pihak pembayar (asuransi jamkesmas) tidak lagi merinci tagihan pembayaran pasien dengan melakukan penagihan pada setiap jenis pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada seorang pasien. Diagnosis pasien saat keluar dari rumah sakit merupakan dasar dalam menentukan biaya perawatan. Diagnosis tersebut kemudian dilakukan pemberian kode International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD-10). Sistem pembayaran diagnostik related group adalah berdasarkan diagnosis pasien keluar perawatan. Rumah sakit mendapatkan penggantian biaya perawatan berdasarkan rata-rata biaya yang yang dihabiskan oleh rumah sakit dalam penatalaksanaan satu diagnosis penyakit. Sistem INA- DRG (Indonesia Diagnosis Related Group) merupakan solusi untuk pengendalian biaya pelayanan kesehatan karena berhubungan dengan mutu, 17

pemerataan, jangkauan dalam sistem kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam pembelanjaan kesehatan serta mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran. DRG adalah suatu sistem pemberian imbalan jasa pelayanan kesehatan pada penyedia pelayanan kesehatan (PPK) yang ditetapkan berdasarkan pengelompokkan diagnosis penyakit. Diagnosis dalam DRG sesuai dengan ICD-9-CM (International Classification Disease Ninth Edition Clinical Modification) dan ICD-10 ( International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems Tenth Revision ) (Hatta, 2008). Dasar hukum implementasi dan pelaksanaan INA-CBG di Indonesia adalah Undang- Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, serta Surat Keputusan Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor. HK.03.05/I/589/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Center for Casemix Tahun 2011 (Depkes RI, 2011). H. Sistem INA-CBG ( Indonesia Case Base Group) Proses penentuan kode INA-CBG beserta tarifnya dimulai pada saat pasien keluar dari rumah sakit, data yang harus dimasukkan dalam software INA-CBG adalah data variabel yang dapat diambil dari resume medik dan data sosial pasien, kedua data tersebut dapat dikumpulkan secara manual maupun komputerisasi dari sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) bagi rumah sakit yang telah mempunyai SIMRS. Setelah data variabel tersebut dimasukkan ke dalam software INA-CBG kemudian 18

dilakukan grouping sehingga menghasilkan kode INA-CBG beserta tarif per pasien. (Depkes RI, 2011) I. Hubungan INA-DRG dengan Peningkatan Mutu Pelayanan di Rumah Sakit Sebagai sistem yang baru diterapkan, INA-DRG akan berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan layanan kesehatan. Sistem casemix adalah suatu cara pembiayaan berdasarkan jenis diagnosis kasus yang homogen. Konsep sistem casemix dengan mengelola sumber daya rumah sakit se-efektif mungkin dalam memberikan layanan kesehatan berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit yang homogen dan prosedur yang diberikan. Sistem casemix terdiri dari 3 (tiga) komponen utama yaitu kode diagnosis, prosedur tindakan dan pembiayaan. Kepemimpinan klinis sangat diperlukan dalam mewujudkan budaya keselamatan pasien sebagai tingkat akhir output dari sistem mutu (clinical governance) di institusi layanan kesehatan. Dalam sistem mutu diperlukan kebijakan klinis yang jelas dan konsisten, adanya pedoman (manual/guidelines) yang mudah dimengerti dan layak (applicable) serta format implementasi dan evaluasi yang disepakati bersama dalam suatu organisasi untuk individu profesi maupun tim di tingkat SMF, komite medik dan rumah sakit. Sudah saatnya komite medik turut berperan serta secara aktif sesuai fungsi dan kewenangannya dalam rangka persiapan antisipasi era globalisasi dengan mempersiapkan diri dalam hal standar, kriteria dan indikator yang dibutuhkan (DepKes, 2008). 19

J. Verifikasi Verifikasi adalah kegiatan penilaian administrasi klaim yang diajukan pemberi pelayanan yang ditunjuk oleh pelaksana verifikasi dengan mengacu kepada standar penilaian klaim. Tujuan dilaksanakan verifikasi adalah diperolehnya hasil pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat miskin yang menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali mutu. Verifikasi program jaminan kesehatan masyarakat (Depkes, RI 2011), meliputi: 1. Verifikasi administrasi kepesertaan; kartu peserta, nomor surat keabsahan peserta dan surat rujukan. 2. Administrasi pelayanan; diagnosis penyakit, tindakan medis, bukti pelayanan, tanda tangan dokter, tanda tangan komite medis untuk severity level 3. 3. Administrasi keuangan; bukti pembayaran tarif tindakan dan form paket INA-CBG. K. Biaya Layanan Kesehatan Standar sebagai Prasyarat Penerapan Sistem Casemix di Indonesia Sistem DRG sebagai salah satu metode casemix, merupakan suatu metode pengelompokan kasus yang dapat digunakan sebagai acuan estimasi biaya layanan kesehatan yang harus dibayar oleh pasien. DRG akan dipandang sebagai sebuah objek perhitungan biaya. Terminologi biaya layanan dalam pembahasan ini adalah besaran nilai rupiah yang dikeluarkan atau dibayarkan oleh pasien maupun penjamin pasien atas suatu tindakan 20

atau episode perawatan pasien maupun penjamin pasien atas suatu tindakan atau episode perawatan pasien kepada rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan. Kandungan biaya pada terminologi biaya layanan kesehatan dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan tentu lebih luas dibanding kandungan biaya pada terminologi biaya perawatan dari sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Pada sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya, kandungan biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dikeluarkan rumah sakit atas konsumsi seluruh sumber daya yang digunakan baik yang bersifat recurrent cost maupun capital cost dalam aktivitas-aktivitas operasional maupun non-operasional rumah sakit dalam rangka penyediaan layanan kesehatan (Heru, 2007). L. Biaya Layanan Kesehatan Sudut Pandang Pasien sebagai Pembeli Layanan Kesehatan. Biaya layanan kesehatan jika ditinjau dari sudut pandang pasien sebagai pembeli layanan kesehatan, biaya mencakup besaran nilai rupiah yang dibutuhkan sebagai nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit, baik yang dibayar oleh pasien langsung (out of pocket), penjamin (insurance), maupun subsidi. Jika terminologi ini ditinjau dari sudut pandang rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan, maka biaya kesehatan yang dimaksud di sini tidak lain adalah tarif (charge) yang dikenakan rumah sakit atas layanan kesehatan yang diberikannya. Beberapa peneliti telah menggunakan nilai billing (tarif) sebagai proksi pengukuran 21

biaya layanan kesehatan. Permasalahan yang terjadi, seringkali billing (tarif) berbeda dengan biaya aktual yang dikeluarkan rumah sakit sebagai pembeli sumber daya. Selisih beda tersebut disebut margin. Pada dasarnya elemen yang terkandung dalam tarif adalah biaya (sudut pandang rumah sakit sebagai pembeli sumber daya) dan margin. Nilai margin dapat bernilai positif, yaitu tarif lebih besar atau seringkali disebut gain, namun dapat pula bernilai negatif, yaitu tarif lebih kecil dari biaya yang disebut loss. Manajemen rumah sakit diharapkan telah mempertimbangkan besar biaya yang dikeluarkan rumah sakit dalam menyusun tarif, sehingga besaran tarif yang dihasilkan cukup representative untuk menggambarkan besarnya nilai ganti ekonomis yang diinginkan rumah sakit. pasien, asuransi, dan pemerintah sebagai pembeli atau penyedia dana layanan kesehatan berkepentingan untuk mendapatkan kepastian atas nilai ganti ekonomis yang harus mereka keluarkan atas layanan kesehatan yang telah diberikan rumah sakit. Besaran nilai ganti ekonomis atas layanan kesehatan yang telah diberikan tersebut oleh manajemen rumah sakit telah direpresentasikan dalam nilai tarif layanan kesehatan. Jika dilihat dari sudut pandang pembeli atau penyedia dana layanan kesehatan, mekanisme transfer atas nilai ganti ekonomis antara pembeli layanan kesehatan kepada penyedia layanan kesehatan seringkali disebut sistem pembayaran layanan kesehatan. Secara umum sistem pembayaran layanan kesehatan dapat digolongkan menjadi dua yaitu sistem pembayaran prospektif dan sistem pembayaran retrospektif (Heru, 2007). 22

M. Kerangka Teori Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit Diagnosis Penyakit Rawat Inap disertai Kode Tindakan Medis Operatif Diagnosis Penyakit Rawat Inap Non Kode Tindakan Medis Operatif INA-CBG Besaran Biaya Pelayanan Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian 23

N. Kerangka Konsep Diagnosis Penyakit Rawat Inap disertai Kode Tindakan Medis Operatif Diagnosis Penyakit Rawat Inap Non Kode Tindakan Medis Operatif Sistem pembayaran INA-CBG Besaran Biaya Pelayanan Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian O. Hipotesis Tidak ada pengaruh kode tindakan medis operatif dan non medis operatif pada diagnosis appendicitis, fraktur ekstremitas dan katarak terhadap besaran biaya pelayanan pasien jamkesmas rawat inap pada sistem pembayaran INA-CBG di bangsal bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 24