EXPRESSED EMOTION PADA KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

Interaksi Dinamis Penderita Gangguan Psikotik dengan Keluarga

PSIKOEDUKASI INTEGRATIVE MODEL UNTUK MENURUNKAN EKSPRESI EMOSI DAN STIGMA FAMILY CAREGIVER PASIEN SKIZOFRENIA Sebuah Studi Mixed Methods

Keefektifan terapi keluarga terhadap penurunan angka kekambuhan pasien skizofrenia di rumah sakit khusus jiwa dan saraf Puri Waluyo Surakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

HUBUNGAN PERSEPSI KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA DAN EKSPRESI EMOSI KELUARGA DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN SKIZOFRENIA DI IRD RSJ PROVINSI BALI

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menimbulkan beban bagi

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Sebagian besar penelitian telah menggunakan. istilah psikosis episode awal sebagai nama lain untuk

PERAN KELUARGA PADA PEMULIHAN KESEHATAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa. hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian. perjalanan kronik dan berulang. Skizofrenia biasanya memiliki onset pada masa

BAB I PENDAHULUAN. umum, dan dianggap memiliki tingkat keparahan paling tinggi. Berdasarkan data

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan

PERCOBAAN BUNUH DIRI PADA PASIEN PSIKIATRI DI TURKI

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

berinteraksi dan menghadapi penyakit ODS, akan mempengaruhi baik atau buruknya perjalanan penyakit ODS.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

SETTING PENDIDIKAN PENGANTAR WAWANCARA METODE OBSERVASI & WAWANCARA. Drs. Agung Sigit Santoso, M.Si., Psi. FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN)

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. timbulnya berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang dapat terjadi yaitu diabetes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengalami peningkatan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Di

GANGGUAN PERILAKU PADA ANAK SD DITINJAU DARI EKSPRESI EMOSI IBU

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. memiliki anak dengan riwayat gangguan skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sosial, dan ekonomi individu, yang dapat menyerang berbagai usia dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditemukan pada semua lapisan sosial, pendidikan, ekonomi dan ras di

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan salah satu jenis gangguan psikis yang paling serius

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. utama dari penyakit degeneratif, kanker dan kecelakaan (Ruswati, 2010). Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan sematamata

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Januari Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan

Kesehatan memiliki nilai yang sangat penting dalam kehidupan. manusia, sehat bukan hanya sebagai kondisi bebas dari penyakit atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi individu dengan skizofrenia yang meninggal karena bunuh diri adalah

PEMERIKSAAN PSIKIATRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terhadap kualitas hidup anak, termasuk pada anak dengan Leukemia Limfoblastik

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah kondisi maladaptif pada psikologis dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak dari segi

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

TERAPI KELUARGA UNTUK PENINGKATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA ORANG DENGAN SKIZOFRENIA. Petty Juniarty 1) & Sriningsih 2) Abstract

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. psikososial seperti bencana dan konflik yang dialami sehingga berdampak. meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa(keliat, 2011).

BAB II LANDASAN TEORI. A. Ekspresi Emosi. mempengaruhi perasaan internal, mengkomunikasikan perasaan,

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik. gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa.

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID DI POLIKLINIK RS JIWA DAERAH PROPSU MEDAN

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I LATAR BELAKANG. A. Latar Belakang Permasalahan. Penderita dengan gangguan jiwa saat ini jumlahnya mengalami peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dibandingkan populasi anak sehat (Witt et al., 2003). Pasien dengan penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan fungsi yang luas sehingga harus memiliki sumberdaya, baik modal

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. beraneka ragam gangguan pada alam pikir, perasaan dan perilaku yang. penderita sudah mempunyai ciri kepribadian tertentu.

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI Kesenjangan. tenaga non-medis seperti dukun maupun kyai, (Kurniawan, 2015).

tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

Transkripsi:

85 EXPRESSED EMOTION PADA KELUARGA PENDERITA GANGGUAN JIWA Nida Ul Hasanat PENDAHULUAN Sebagian besar waktu kehidupan seseorang berada bersama dengan keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri, tidak seluruh keluarga dapat memberikan atau menciptakan lingkungan yang mendukung. Dalam banyak kasus, keluarga bahkan berpotensi untuk menjadi sumber timbulnya tekanan psikologis. Sayangnya, penelitian tentang pengaruh keluarga terhadap munculnya gangguan jiwa mempunyai kendala, karena belum ada cara yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu-individu yang rentan, yang kemudian memunculkan simtom gangguan jiwa. Akibatnya, penelitian yang dilakukan bersifat retrospektif, dimulai pada saat seseorang mengalami gangguan (untuk yang pertama kali atau pada saat kambuh ), kemudian menelusuri perjalanan gangguan atau bersifat cross-sectional (Leff & Vaughn, 1985). Sebagai salah satu contoh, penelitian Vaughn & Leff (dalam Leff & Vaughn, 1985) yang meneliti pengaruh sikap keluarga terhadap kondisi klinis pasien skizofrenia menemukan, bahwa Expressed Emotion (EE) merupakan prediktor terbaik untuk menentukan apakah pasien akan kambuh atau tidak selama periode 9 bulan follow-up. Expressed Emotion ini ditemukan peneliti pada saat wawancara ketika pasien pertama kali masuk rumah sakit. Tulisan ini akan memberikan gambaran tentang EE dalam keluarga penderita gangguan jiwa (terutama skizofrenia), sebagai bagian dari hubungan emosional antara penderita atau pasien dengan keluarga dan atau anggota keluarga, yang terbukti merupakan faktor yang mempengaruhi perjalanan gangguan yang dialaminya. Tulisan ini juga sekaligus ingin memberikan tambahan informasi mengenai kajian expressed emotion dalam bidang psikologi, yang sepengetahuan penulis belum banyak dibicarakan, meskipun dalam bidang psikiatri justru sangat luas mendapat perhatian (Jenkins, dalam Subandi, 2004).

86 Expressed Emotion pada Keluarga Penderita Gangguan Jiwa PENGERTIAN EXPRESSED EMOTION (EE) Konsep tentang EE menjadi topik yang mendapatkan perhatian dalam penelitian di kalangan psikiatri sejak tahun 1956. Pada tahun tersebut Brown, Carstairs, dan Topping menemukan bahwa pasien yang ke luar dari rumah sakit dan kemudian tinggal bersama dengan keluarga ternyata lebih sering kambuh dibandingkan dengan mereka yang tinggal bersama orang lain. Pada penelitian ke dua tahun 1962, Brown, Monck, Carstairs, dan Wing menunjukkan bahwa jika penderita skizofrenia tinggal bersama keluarga dengan high emotional involvement, maka kondisinya akan semakin memburuk dan dirawat kembali di rumah sakit. Selanjutnya pada penelitian ke tiga pada tahun 1972, Brown, Birley, dan Wing memantapkan penggunaan istilah emotional involvement dan memperkenalkan istilah expressed emotion. Dalam penelitian ini mereka menggunakan teknik wawancara yang dikembangkan oleh Brown dan Rutter untuk menggali perilaku anggota keluarga pasien selama 3 bulan sebelum pasien masuk rumah sakit dan tentang perasaan anggota keluarga terhadap pasien (Leff & Vaughn, 1985; Subandi, 2004). Expressed emotion diukur melalui the Camberwell Family Interview (CFI), yang dikembangkan pada tahun 1962 (Leff & Vaughn, 1985; Subandi, 2004). Di dalam CFI ada lima skala, yaitu: CC (Critical Comments), Hostility, Emotional-Over- Involvement (EOI), Warmth and Positive Remark (PR). Sebagai bagian dari CFI, EE diukur berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga dan atau anggota keluarga. Critical Comments didefinisikan sebagai suatu pernyataan yang diekspresikan dengan nada suara mengkritik, kesan yang tidak menyenangkan terhadap kepribadian dan perilaku pasien. Hostility merupakan CC yang berkembang menjadi komentar negatif tentang pasien secara keseluruhan dan adanya penolakan. Emotional-Over- Involvement adalah penampakan emosi yang berlebihan dan overproteksi. Warmth ditunjukkan melalui antusiasme keluarga ketika berbicara atau menceritakan tentang pasien, dengan simpati, perhatian, dan empati. Positive Remark adalah suatu pernyataan yang menggambarkan kebanggaan, penerimaan atau penghargaan terhadap perilaku atau kepribadian pasien. Dalam perkembangan berikutnya, hanya CC, Hostility dan EOI yang dimasukkan sebagai EE, karena berdasarkan penelitian Brown dan kawan-kawan pada tahun 1972, ketiga skala itulah yang berhubungan erat dengan kekambuhan, sehingga warmth dan PR dikeluarkan dari EE.

87 EXPRESSED EMOTION PADA KELUARGA GANGGUAN JIWA: BEBERAPA PENELITIAN Penelitian tentang EE dalam keluarga telah berlangsung lebih kurang selama 30 tahun di berbagai negara (Leff & Vaughn, 1985). Suatu studi meta-analisis terhadap 27 penelitian tentang hubungan antara EE dengan kekambuhan skizofrenia menemukan bahwa EE -yang didefinisikan sebagai spontanitas keluarga dalam membicarakan pasien- merupakan prediktor yang signifikan dan kuat terhadap kekambuhan skizofrenia. Analisis tambahan juga menunjukkan bahwa hubungan tersebut paling kuat pada pasien skizofrenia kronis (Butzlaff & Hooley, 1998). Berikut ini dikemukakan beberapa penelitian EE di berbagai negara, selain penelitian yang dimasukkan dalam analisis Butzlaff & Hooley di atas. Sebenarnya penelitian tentang EE tidak hanya pada subjek skizofrenia saja, tetapi juga pada gangguan jiwa lain, misal depresi (Leff & Vaughn, 1985), namun pada tulisan ini lebih fokus pada skizofrenia. Di Jepang (Mino, dkk., 1997), EE dalam keluarga merupakan prediktor yang baik terhadap kekambuhan skizofrenia selama 2 tahun. Pasien tinggal bersama keluarga selama periode 2 tahun follow-up. Penelitian EE di Iran (Mottaghipour, dkk., 2001) memperlihatkan bahwa EE tinggi menjadi faktor risiko perjalanan skizofrenia. Penelitian tersebut juga merekomendasikan rencana program psikoedukasi untuk keluarga pasien. Di Turki, penelitian Karanci & Inandilar (2002) menunjukkan bahwa persepsi caregiver (ibu, bapak, pasangan) terhadap kemampuan untuk melakukan coping perilaku pasien dan distres mereka merupakan variabel yang penting dalam komponen EE dan menjadi target dalam penelitian tentang intervensi. Seperti penelitian serupa sebelumnya di Turki, penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya caregiver justru memunculkan stresor psikososial, yang merupakan penyebab paling penting untuk menentukan perjalanan gangguan. Phillips dan Wei Xiong (1995) dalam penelitiannya di China menemukan bahwa 42% keluarga pasien skizofrenia diklasifikasikan EE tinggi. Namun berbeda dengan penelitian-penelitian EE yang lain, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa EE tinggi pada keluarga pasien skizofrenia merupakan prediktor yang lemah untuk terjadinya kekambuhan. Di Jogjakarta, penelitian dengan fokus utama EE sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Sukarto (2004) dalam penelitian tentang manipulasi keluarga dalam pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia untuk disertasi doktornya meneliti EE, namun tidak menggunakan istilah-istilah yang digunakan dalam skala yang ada dalam EE, melainkan memakai istilah yang digunakan dalam sikap hidup orang Jawa. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa keintiman antara orangtua

88 Expressed Emotion pada Keluarga Penderita Gangguan Jiwa dan anak serta penghayatan falsafah hidup Jawa sangat baik, sehingga peneliti menyimpulkan bahwa ekspresi emosi orang Jawa dalam penelitian tersebut cukup rendah. Hasanat et.al (2004) dalam penelitiannya untuk melihat respon keluarga terhadap penderita gangguan jiwa menggunakan istilah yang ada dalam EE meskipun belum menggunakan Skala EE. Delapan subjek yang baru pertama kali mengalami gangguan jiwa diikuti secara longitudinal dari mulai tahun 2001 sampai dengan tahun 2004. Sebagai ilustrasi berikut ini penulis paparkan gambaran pada salah satu subjek wanita (sebut saja dengan nama T2). Subjek T2 adalah anak ke 2 dari 4 bersaudara, dengan pendidikan lulus D3. Saudara yang lain berpendidikan sarjana, kecuali adik T2 yang sedang menyelesaikan studi S1. Subjek mengatakan bahwa dia merasa tidak lebih bodoh dari saudaranya, hanya dia merasa sulit untuk berkonsentrasi. Dengan kondisi pendidikan yang lebih rendah dari saudaranya yang lain, seharusnya dia mendapat dukungan dan motivasi dari keluarganya. Sayangnya, dia mendapat sikap dan perlakuan dari ibu (catatan: ayah subjek meninggal pada tahun 1987) dan saudaranya yang berkebalikan dengan apa yang seharusnya dia dapatkan. Pada pertemuan ke dua ketika wawancara dengan ibu, ibu menyebut T2 dengan kata-kata goblok (kata-kata ini sebagai contoh adanya CC; istilah ini sangat kasar untuk ukuran budaya Jogjakarta) dan pada kunjungan pertama penulis mendengar adik subjek menyebut kakaknya sebagai pemalas (kata-kata ini sebagai contoh adanya hostility). Ibu juga mengatakan bahwa subjek dibenci saudara-saudaranya karena pemalas. Meskipun dalam penelitian ini tidak melakukan analisis kuantitatif hubungan antara EE dengan perjalanan penyakit, namun penulis menduga bahwa adanya EE dalam keluarga akan mempengaruhi kekambuhan. Sampai tulisan ini disusun kondisi subjek T2 masih belum membaik, karena pada subjek masih muncul gejala positif, berupa halusinasi auditori. Penelitian Parker (King & Dixon, 1995) menguji secara meta-analisis 12 penelitian dan menyimpulkan bahwa lingkungan dengan EE tinggi mempunyai hubungan dengan kekambuhan pasien 3,7 kali dibandingkan dengan pasien dengan lingkungan EE rendah. King & Dixon (1995) menyadari bahwa dalam penelitian tentang EE yang menggunakan kekambuhan sebagai variabel utama belumlah lengkap menggambarkan tentang kondisi pasien yang sebenarnya. Vaughn dkk. (King & Dixon, 1995) mengakui bahwa meskipun pasien memiliki lingkungan dengan EE rendah, sehingga mempunyai risiko kecil untuk kambuh, namun bukan berarti kondisi pasien akan membaik. Selanjutnya Vaughn dkk. mengusulkan agar dalam penelitian tentang EE memperhatikan variabel kualitas hidup dan social adjustment. Hooley (King & Dixon, 1995) juga menunjukkan bahwa ada aspek positif dari EE tinggi, sebagaimana konsekuensi negatif dari EE rendah. Hooley mengatakan

89 bahwa sikap dan perilaku anggota keluarga dengan EE tinggi akan mengakibatkan tingkat fungsi pasien dalam kehidupan sehari-hari meningkat daripada pasien dengan lingkungan EE rendah. Dengan kata lain, menurut Hooley, di sela-sela antara kekambuhan pasien, pasien yang berasal dari keluarga EE tinggi akan berfungsi lebih baik daripada pasien dengan lingkungan EE rendah yang tidak pernah kambuh. Hasil ini disebabkan adanya social adjustment pada pasien. Mengutip Weissman 1975 (King & Dixon, 1995), social adjustment diartikan sebagai saling pengaruh mempengaruhi antara individu dan lingkungan sosial. Individu menyesuaikan perannya dengan norma dimana dia berada. PSIKOEDUKASI PADA KELUARGA YANG MEMILIKI ANGGOTA PENDERITA GANGGUAN JIWA Perdebatan mengenai faktor yang mempengaruhi perjalanan gangguan skizofrenia masih berlanjut hingga kini. Salah satu ahli yang percaya bahwa faktor lingkungan dan psikososial berpengaruh kuat terhadap perjalanan penyakit pasien adalah Ciompi. Dia mengatakan bahwa perjalanan panjang skizofrenia kurang tergantung pada faktor genetik dan biologis dibandingkan dengan faktor lingkungan dan psikososial, yang berinteraksi dengan kerentanan yang sudah dimiliki individu. Atau dengan kata lain faktor lingkungan dan psikososial lebih berpengaruh daripada faktor genetik dan biologis dalam mempengaruhi perjalanan penyakit pasien (Tarrier & Barrowclough, 1995). Faktor lingkungan dan psikososial ini termasuk suasana dalam keluarga, kondisi budaya dan ekonomi. Interaksi antara faktor konstitusi dan lingkungan ini merupakan model dalam penanganan skizofrenia.model ini disebut the stress-vulnerability model of schizophrenia. Selanjutnya model ini merupakan faktor penting yang diperhatikan dalam pengembangan intervensi terhadap keluarga. Intervensi terhadap keluarga ini juga penting mengingat bahwa sebagian besar penderita gangguan jiwa yang tidak dirawat di rumah sakit, tinggal bersama keluarga dan terbanyak adalah tinggal bersama orangtuanya (Ryder, et.al, dalam Hasanat, et.al, 2004). Anggota keluarga akan menjadi perawat dan memberikan dukungan, padahal mereka sendiri kurang mengetahui tentang gangguan jiwa (Rose et.al., dalam Hasanat et.al., 2004). Informasi yang kurang akan mengakibatkan keluarga hidup dalam kondisi lelah fisik dan emosional. Dari kutipan-kutipan hasil penelitian di atas, sebagian besar menunjukkan bahwa pasien skizofrenia yang berada dalam keluarga dengan EE tinggi cenderung untuk kambuh kembali dibandingkan pasien dengan keluarga EE rendah. Hal ini diperkuat oleh Kavanagh (Tarrier & Barrowclough), yang menganalisis 26 penelitian dengan

90 Expressed Emotion pada Keluarga Penderita Gangguan Jiwa hasil menunjukkan bahwa 1 tahun pertama setelah pasien dirawat di rumah sakit, mereka yang kambuh sebanyak 21% berasal dari mereka yang kembali dalam keluarga dengan EE rendah dan 48% tinggal bersama dengan anggota keluarga dengan EE tinggi. Dari tujuh penelitian yang mengikuti pasien selama 2 tahun sesudah dirawat di rumah sakit, mereka yang kambuh sebanyak 27% berasal dari mereka yang berada dalam keluarga dengan EE rendah dan 66% berasal dari mereka yang kembali pada keluarga dengan EE tinggi. Dengan demikian, maka perlu intervensi terhadap keluarga dengan tujuan: a) jangka pendek: mengubah EE tinggi ke EE rendah ; b)jangka panjang: sebagai prevensi atau setidaknya menunda agar pasien tidak kambuh kembali. Sebagai contoh, dalam penelitian yang dilakukan di London (dalam Leff & Vaughn, 1985) intervensi terhadap keluarga yang dilakukan meliputi tiga komponen, yaitu: program pendidikan, pendekatan kelompok untuk anggota keluarga, dan sesi terapi keluarga. Program pendidikan berisi informasi tentang diagnosis, simtom, etiologi, perjalanan, dan manajemen skizofrenia, yang diberikan dengan cara menghindari jargon dan istilah teknis. Pendekatan kelompok untuk anggota keluarga dilakukan dengan tujuan agar mereka mempunyai EE rendah, sehingga dapat menghadapi masalah pasien skizofrenia sehari-hari, tanpa menjadi kritikal dan overinvolved. Sesi terapi keluarga dilakukan di rumah pasien dengan tujuan untuk melihat hubungan interpersonal antar anggota keluarga, juga kesempatan untuk mendengarkan, melihat reaksi pasien terhadap keluarga dan sebaliknya. Setiap sesi direkam suaranya dan didiskusikan di antara terapis. PENUTUP Meskipun penelitian tentang hubungan expressed emotion dengan kekambuhan gangguan jiwa mendapatkan hasil yang tidak konsisten, namun tampaknya luasnya kajian tentang expressed emotion menunjukkan bahwa kondisi psikososial pasien, dalam hal dalam keluarga tetap dianggap sebagai faktor yang ikut mempengaruhi perjalanan penyakit pasien. Oleh karena itu psikoedukasi perlu dilakukan sebagai langkah tritmen maupun upaya prevensi. Dengan demikian maka seharusnya kajian expressed emotion bukan hanya kajian yang menarik dalam bidang psikiatri, namun juga untuk bidang psikologi.

91 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Prof. Byron J. Good dari Harvard Medical School, yang telah memberi kesempatan penulis untuk terlibat dalam Jogjakarta Early Psychosis Project sejak tahun 2001. Juga kepada rekan Subandi, dengan tulisan Expressed Emotion: A Review, 2004, dan pinjaman koleksi jurnal, telah memberi inspirasi kepada penulis untuk menulis artikel ini. KEPUSTAKAAN Butzlaff, R.L., & Hooley, J.M. (1998). Expressed emotion and psychiatric relapse: a meta-analysis. Archieved General Psychiatry, 55, June, 547-552. Hasanat, N.U., Utami, S.U., & Subandi. (2004). Perjalanan sosial dari tahap awal gangguan psikotik: suatu studi deskriptif di Jogjakarta. Paper, yang dipresentasikan dalam 3 rd Conference on Schizophrenia, Bali 9-10 Oktober 2004. Karanci, A.N. & Inandilar, H. (2002). Predictors of components of expressed emotion in major caregivers of Turkish patients with schizophrenia. Social Psychiatry Psychiatric Epidemiology, 37, 80-88. King, S., & Dixon, M.J. (1995). Expressed emotion, family dynamics and symtom severity in predictive model of social adjustment for schizophrenic young adults. Schizophrenia Research, 14, 121-132. Leff, J. & Vaughn, C. (1985). Expressed Emotion in Families. Its Significance for Mental Illness. New York: The Guilford Press. Mino, Y., Inoue, S., Tanaka, S., & Tsuda, T. (1997). Expressed emotion among families and course of schizophrenia in Japan: a 2-year cohort study. Schizophrenia Research, 24, 333-339. Mottaghipour, Y., Pourmand, D., Maleki, H, & Davidian, L. (2001). Expressed emotion and the course of schizophrenia in Iran. Social Psychiatry Psychiatric Epidemiology, 36, 195-1999. Phillips, M.R., & Wei Xiong. (1995). Expressed emotion in Mainland China: Chinese families with schizophrenic patients. International Journal of Mental Health, 24, 3, 54-75. Subandi. (2004). Expressed emotion: a review. Unpublished paper. Sukarto, A. (2004). Manipulasi keluarga dalam kekambuhan penderita skizofrenia. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tarrier, N., & Barrowclough, C. (1995). Family interventions in schizophrenia and their long-term outcomes. International Journal of Mental Health, 24, 3, 38-53.