BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB V PENUTUP. dengan rencana yang telah dibuat dan melakukan pengoptimalan potensi yang ada di

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

BAB 1 PENDAHULUAN. pertahun. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan Otonomi Daerah membuat Pemerintah menggantungkan sumber

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. keuangan tahunan pemerintah daerah yang memuat program program yang

Arah Kebijakan Pengelolaan Pendapatan Daerah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (Realisasi dan Proyeksi)

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dan kemasyarakatan harus sesuai dengan aspirasi dari

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

SOSIALISASI PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2007

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.otonomi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

ANALISIS ANTARA ANGGARAN DENGAN REALISASI PADA APBD KABUPATEN KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN Nama : Sukur Kurniawan NPM :

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

V. SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis penelitian, kesimpulan yang didapat adalah :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada Bab IV, maka hasil yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. rancangan APBD yang hanya bisa diimplementasikan apabila sudah disahkan

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otomoni daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendasar terhadap hubungan Pemerintah Daerah (eksekutif) dengan

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2016

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. akan meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi ini dapat dipandang sebagai

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2018

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB 8 STRATEGI PENDAPATAN DAN PEMBIAYAAN

Transkripsi:

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.1.1. Model Pertumbuhan Ekonomi. a. Ditemukan bukti bahwa pengaruh kompetisi politik lokal di DPRD terhadap pertumbuhan ekonomi berbentuk kurve U terbalik. Pada saat kompetisi politik rendah, pertumbuhan ekonomi cenderung lebih tinggi. Setelah mencapai tingkat kompetisi yang moderat, kompetisi politik lokal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi kompetisi politik akan semakin rendah pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil perhitungan, kompetisi politik lokal di DPRD di Indonesia berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini terjadi dikarenakan sebagian besar kompetisi politik yang terjadi di DPRD di Daerah Kabupaten dan kota di Indonesia berada pada tingkat kompetisi yang sangat tinggi. Temuan ini membuktikan pemikiran dari kelompok pemikir Ekonomi Kelembagaan Baru, terutama kelompok aliran public choice. Tingginya kompetisi politik akan mengarahkan perilaku individu, politikus dan birokrat mengarah ke perilaku rent seeking atau pemburu rente. Mereka cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan publik. b. Ditemukan bukti variabel kepala daerah petahana berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh

183 petahana dan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah baru. Pertumbuhan ekonomi di daerah yang dipimpin oleh petahana memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah baru. Penyebabnya pertama, pemilih belum melakukan evaluasi atas kinerja mereka selama berkuasa, pemilih memilih kepala daerah petahana lebih karena faktor popularitas; Kedua, petahana dalam Pilkada di Indonesia merupakan periode terakhir baginya. Petahana cenderung berusaha memaksimumkan kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dan partainya. Mereka akan abai terhadap pertumbuhan ekonomi. c. Tidak ditemukan bukti bentuk pemerintahan divided government berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, untuk mengatasi masalah divided government, kepala daerah melakukan antisipasi dengan melakukan politik akomodasi agar anggota DPRD dapat dijadikan sebagai penyokong tindakan kepala daerah dan bukan menjadi kekuatan penyeimbang ( chek and balance). Dampaknya tidak terlihat perbedaan antara daerah dengan pemerintahan divided dan unified government. d. Kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah tidak terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua alasan, pertama; nilai Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD), tidak memasukan kasus penyelewengan penggunaan dana (korupsi) yang terjadi di lembaga pemerintahan. Daerah dengan nilai EKPPD tinggi belum tentu bebas dari kasus korupsi; Kedua birokrasi pemerintahan yang cenderung rent seeking, kepentingan pribadi pejabat cenderug dapat mengalahkan kepentingan masyarakat.

184 e. Variabel kontrol, yaitu inisial level PDRB perkapita (Inisial PDRB Perkapita) memiliki tanda yang positif. Pertumbuhan ekonomi antara wilayah di Indonesia mengarah ke pertumbuhan divergensi, daerah yang kaya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang miskin sehingga kesenjangan pendapatan akan semakin meningkat. Variabel kontrol yang lain yaitu rasio investasi riil terhadap PDRB perkapita berpengaruh positif terhadap pertumbuhan PDRB riil perkapita, semakin tinggi rasio investasi akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Pertumbuhan penduduk sebagai variabel kontrol, tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. f. Dari sisi regional, tidak ditemukan adanya ada perbedaan pengaruh dari wilayah Pulau Jawa dan Bali dengan wilayah di luar di luar Pulau Jawa dan Bali, terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing kabupaten dan kota. Demikian pula tidak ditemukan perbedaan pengaruh antara wilayah kota dan kabupaten terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Ini terjadi dikarenakan pola kompetisi politik, pola pertumbuhan ekonomi antara daerah cenderung sama. 6.1.2 Model PAD Riil Perkapita a. Ditemukan bukti bahwa kompetisi politik lokal di DPRD dapat mempengaruhi besarnya realisasi PAD riil perkapita secara positif maupun negatif. Ketika kompetisi politik rendah realisasi PAD cenderung rendah. Pada tingkat kompetisi yang moderat, kompetisi politik berpengaruh positif, semakin tinggi tingkat

185 kompetisi politik di DPRD maka semakin tinggi realisasi PAD. Berdasarkan hasil perhitungan kompetisi politik lokal di DPRD berpengaruh positif terhadap realisasi PAD. Ini terjadi dikarenakan dalam era desentralisasi kemandirian pembiayaan daerah menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintahan. Dampaknya Pemerintah daerah berlomba-lomba untuk melakukan peningkatan pungutan PAD dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah. Berbagai macam peraturan daerah (Perda) pajak dan retribusi dibuat dan disahkan dalam rangka meningkatkan penerimaan dari PAD. b. Tidak ditemukan bukti bahwa variabel dummy divided, dummy petahana, dan variabel kinerja pemerintah mempengaruhi realisasi PAD riil perkapita di masingmasing daerah. Di daerah yang memiliki bentuk pemerintahan divided maupun unified tidak berpengaruh terhadap realisasi pemungutan PAD. Daerah yang dipimpin oleh kepala daerah terpilih petahana maupun pendatang baru tidak berpengaruh terhadap realisasi pungutan PAD. Begitu pula daerah yang memiliki kinerja baik dan krang baik dalam pemerintahan tidak berpengaruh terhadap realisasi pungutan PAD. c. Variabel kontrol yaitu pertumbuhan PDRB riil perkapita dan variabel rasio investasi terhadap PDRB, memiliki pengaruh yang positif. Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu daerah maka akan semakin besar pajak yang dapat dipungut dari wajib pajak. Peningkatan dalam investasi akan membuka peluang dalam aktivitas kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat menjadi sumber penerimaan pajak yang baru.

186 d. Tidak ada perbedaan antara wilayah Pulau Jawa dan Bali dengan luar Pulau Jawa dan Bali dalam mempengaruhi besarnya realisasi penerimaan PAD. Tidak ada pengaruh antara wilayah Pulau Jawa dan Bali dengan wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali terhadap realisasi peneimaan PAD. e. Terdapat perbedaan dalam pengaruh dari kota dan kabupaten terhadap realisasi penerimaan PAD. Di daerah kota, realisasi pemungutan PAD lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten. 6.1.3 Model Belanja Pemerintah Untuk Kepentingan Publik a. Tidak ada bukti bahwa variabel-variabel: a)kompetisi di DPRD; b) bentuk pemerintahan divided atau unified; c) kepala daerah petahana atau pendatan baru; dan d) kinerja pemerintahan terhadap belanja pemerintah untuk kepentingan publik. Seluruh variabel yang digunakan tidak mempengaruhi realisasi belanja pemerintah, baik untuk pendidikan, kesehatan dan belanja modal. Terdapat dua alasan utama, pertama, faktor utama yang mempengaruhinya belanja untuk barang-barang publik adalah terjadinya defisit anggaran, investasi sektor swasta dan bantuan luar negeri; kedua, pemerintah akan cenderung mengalokasikan anggaran untuk kepentingan publik yang langsung dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat (visibilitas tinggi) dibandingkan dengan kepentingan publik yang tidak langsung dan kurang terlihat oleh masyarakat (visibilitas rendah). b. Variabel kontrol yang digunakan yaitu pertumbuhan PDRB riil perkapita memiliki pengaruh yang berbeda terhadap belanja sektor pendidikan dan belanja sektor kesehatan serta belanja modal. Pertumbuhan PDRB perkapita berpengaruh negatif

187 terhadap belanja sektor pendidikan, namun tidak berpengaruh terhadap belanja sektor kesehatan dan belanja modal. c. Variabel perbedaan antara daerah kota dengan kabupaten, tidak mempengaruhi belanja pemerintah, baik untuk sektor pendidikan, kesehatan maupun belanja modal. Demikian juga perbedaan wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau jawa tidak mempengaruhi belanja di sektor pendidikan dan kesehatan, namun variabel ini berpengaruh terhadap belanja modal pemerintah. 6.2 Saran dan Kebijakan 1. Pengaruh kompetisi politik di DPRD terhadap pertumbuhan ekonomi dapat berpengaruh positif, namun ketika kompetisi politik sudah terlalu tinggi akan berdampak negatif. Hasil penelitian menunjukan daerah dengan kompetisi politik tinggi akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Berdasarkan hasil temuan ini kebijakan pemerintah untuk terus meningkatkan parliementary threshold, guna mengarahkan kompetisi politik berada pada kompetisi moderat atau kompetisi politik yang ideal yang akan memberikan manfaat bagi demokrasi dan perekonomian. 2. Ditemukan bukti variabel kepala daerah petahana berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di daerah yang dipimpin oleh petahana akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah dibandingkan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah baru. Berdasarkan temuan ini diperlukan kebijakan pemerintah untuk memperketat aturan dan pengawasan

188 untuk menghindari penggunaan APBD untuk bagi kepentingan pencalonan kepala daerah. 3. Ditemukan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah yang dipimpin oleh petahana akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah dibandingkan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah baru. Apakah kurangnya perhatian mereka terhadap kondisi ekonomi tersebut dikarenakan mereka lebih mementingkan keberlanjutan kekuasaan politik kepada partainya, kelompoknya maupun keluarganya? Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan masalah ini, 4. Pemerintah dan civil society harus berusaha untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat, agar masyarakat dapat melakukan pilihan yang rasional terhadap kepala daerahnya. Pilihan lebih didasarkan atas prestasi yang telah dihasilkan kepala daerah dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan lain. 5. Kompetisi politik di DPRD berpengaruh negatif terhadap penerimaan PAD ketika kompetisi politik cenderung rendah. Namun kompetisi politik akan berpengaruh positif jika tingkat kompetisi politik semakin tinggi. Berdasarkan hal ini, diharapkan pemerintah tetap melakukan pengawasan yang lebih ketat agar usahausaha peningkatan PAD di daerah tidak merugikan kinerja ekonomi daerah itu sendiri. 6. Penelitian ini hanya melihat kompetisi politik hasil Pemilu legislatif tahun 2004 dan Pilkada tahun 2005, 2006 dan 2007. Kondisi periode pengamatan ini menggambarkan kondisi masa peralihan dari sistem demokrasi di Indonesia.

189 Penelitian lebih lanjut, dengan menambahkan Pemilu legislatif tahun 2009 dan 2014 akan lebih menggambarkan kondisi kompetisi politik yang baik. 7. Penelitian ini masih terbatas melihat kompetisi politik dari sisi: Komposisi jumlah anggota DPRD; Kepala daerah petahana; dan bentuk pemerintahan devided. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan memasukkan variabel-variabel kompetisi politik yang lain, seperti besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh politisi.