1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam kehidupan masyarakat, sebab dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan hidup manusia. Pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian terus berkembang sehingga mampu memberikan kontribusi yang berarti dalam pembangunan nasional. Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) tahun 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, provinsi yang memiliki populasi sapi potong terbesar kedua di Indonesia adalah Jawa Tengah dengan populasi sapi potong sebanyak 1,9 juta ekor. Populasi sapi dan kerbau di Jawa Tengah tahun 2011 mencapai 2,1 juta ekor, nomor dua terbesar setelah Jawa Timur. Oleh karena itu Provinsi Jawa Tengah bertekad agar daerahnya menjadi pusat sapi potong yang mampu menyuplai provinsi di Pulau Jawa, Sumatera, dan daerah lainnya (Anonimus, 2012a). Usaha tersebut tentunya harus didukung dengan pelaksanaan manajemen pembibitan yang baik, sehingga akan dihasilkan pedet sebagai replacement stock atau bibit ternak potong yang unggul. Pedet setelah lahir harus segera mendapatkan kolostrum dari induknya, karena belum mempunyai antibodi untuk resistensi terhadap penyakit. Tiga bulan pertama dari masa hidup pedet merupakan masa paling penting dalam kehidupannya. Umumnya penyakit pada pedet disebabkan oleh infestasi parasit, virus, bakteri atau karena manajemen pakan yang kurang baik (Syarief dan 1
2 Sumoprastowo, 1984). Pemeliharaan pedet mulai dari lahir hingga disapih merupakan bagian penting untuk kelangsungan suatu usaha peternakan sapi. Salah satu penyakit pada ternak sapi yang cukup merugikan adalah penyakit parasit. Penyakit ini berbeda dengan penyakit ternak yang disebabkan oleh virus dan bakteri, karena kerugian ekonomi yang disebabkan oleh virus dan bakteri dapat diketahui dengan mudah melalui kematian ternak. Kerugian utama akibat penyakit parasit adalah kekurusan, terlambatnya pertumbuhan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit lain dan gangguan metabolisme (Sudardjat, 1991). Sebagian besar masyarakat umumnya memelihara sapi secara tradisional. Pemeliharaan sapi dengan sistem gembala merupakan peluang besar bagi parasit untuk berkembang biak. Peternak kecil di Indonesia umumnya menggunakan sistem semi-intensif dengan membiarkan ternak mencari makan sendiri bahkan ada yang sama sekali tidak dikandangkan. Menurut Wymann (2005) parasit gastrointestinal menyebabkan penurunan produksi ternak secara luas dan sering diabaikan sehingga dapat menyebabkan kerugian pada hewan muda. Parasit ini terdiri dari protozoa seperti Coccidia, dan sejumlah kelompok cacing dari kelas nematoda, cestoda, dan trematoda. Helminthiasis gastrointestinal merupakan masalah besar bagi peternakan di Indonesia. Kasus infestasi cacing Toxocara vitulorum dan cacing genus Fasciola banyak menyerang sapi pada peternakan rakyat (Sarwono dan Arianto, 2001), sehingga berakibat menurunkan bobot hidup hingga mencapai sekitar 30%, dan kematian ternak mencapai 17% terutama pada ternak muda (Beriajaya dan
3 Stevenson, 1986). Parasit gastrointestinal lain seperti Coccidia menyebabkan kerugian ekonomi karena tingginya tingkat kematian dan menurunnya produktivitas akibat terhambatnya pertumbuhan, biaya antikoksi yang mahal, pemberian obat dan desinfestasi (Cornelius, 1980 disitasi Rehman et al., 2011). Permasalahan tersebut tidak mendapatkan perhatian terutama pada peternakan dengan skala tradisional, karena terkendala oleh kurangnya pengetahuan peternak tentang manajemen kesehatan hewan dan faktor modal. Menurut laporan pemeriksaan identifikasi dan pemetaan kasus parasit internal dan kematian pedet pada sapi potong di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011, dari sampel feses yang diperiksa menunjukkan bahwa prevalensi nematodosis 11,43% dan parasit Eimeria sp. 11,68% (Anonimus, 2011). Prevalensi Coccidiosis pada ternak sapi di Wisconsin dilaporkan oleh Soulsby (1982) sebesar 26%. Athar et al., (2011) menghitung kerugian ekonomi akibat parasit gastrointestinal terutama pada sapi dan kerbau menggunakan analisis cost-benefit masing-masing sebesar 0,47US$ dan 0,41US$/ekor/hari. Menurut hasil penelitian Kothalawala et al., (2007) bahwa infestasi Nematoda telah menyebabkan kerugian ekonomi sektor peternakan di Sri Lanka sebesar 230 juta Rupee per tahun. Permasalahan Potensi peternakan di Jawa Tengah saat ini sedang dikembangkan, karena beberapa kabupaten di wilayah ini sedang mengembangkan usaha pembibitan sapi potong. Usaha peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh sistem usaha pemeliharaan induk-anak sebagai penyediaan bakalan (cow calf operation).
4 Hampir 90% usaha ini dilakukan oleh peternakan rakyat yang pada umumnya belum menerapkan konsep usaha yang intensif. Sistem pemeliharaan dan penyediaan pakan yang seadanya serta waktu pemeliharaan yang cukup lama, menyebabkan usaha ini secara ekonomi kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha penggemukan. Alasan inilah yang menyebabkan usaha pembibitan sapi potong lokal kurang diminati pengusaha swasta. Namun, usaha pembibitan sapi potong rakyat sampai sekarang masih tetap bertahan karena diusahakan dalam sistem yang terintegrasi dan merupakan usaha sampingan serta berfungsi sebagai tabungan sehingga tidak pernah memperhitungkan nilai ekonomi. Sistem pemeliharaan yang masih tradisional merupakan peluang besar bagi parasit untuk berkembang biak. Permasalahan penyakit parasit pada hewan seringkali tidak disadari. Hal ini disebabkan penyakit berjalan kronis dan tingkat mortalitasnya rendah namun menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar karena turunnya nilai dari performan hewan, baik kualitas maupun kuantitasnya (Sudardjat, 1991). Output dari usaha pembibitan sapi potong adalah pedet sebagai bibit/bakalan. Kehidupan pedet setelah lahir sampai umur sapih sangat rawan akan infestasi parasit. Hal ini dikarenakan sistem kekebalan tubuh yang belum sempurna, sistem pemberian pakan yang semi-intensif dan sistem manajemen yang kurang baik. Parasit lain yang perlu mendapatkan perhatian pada masa awal pertumbuhan pedet adalah parasit dengan transmisi vertikal dan berkemampuan melakukan penetrasi aktif pada kulit. Selain itu, perhatian juga harus diberikan lebih ketika hewan muda mulai makan hijauan pakan ternak karena berisiko
5 menelan parasit pada stadium infektif (Yu et al., 2011). Permasalahan penyakit parasit ini tidak terlepas dari banyaknya faktor risiko yang berpengaruh terhadap kesehatan hewan, mencakup keberadaan agen, lingkungan, serta hospes. Contoh faktor risiko tersebut adalah permasalahan limbah, sanitasi pada peternakan, manajemen pemeliharaan, penyakit, jumlah dan kualitas pakan serta minum (Sudardjat, 1991). Selama ini belum banyak penelitian tentang prevalensi infestasi parasit gastrointestinal terutama pada pedet, faktor apa saja yang memengaruhi kejadian infestasi parasit gastrointestinal pada pedet sebagai replacement stock, seberapa besar nilai ekonomi dari tindakan penerapan perbaikan manajemen kesehatan ternak terhadap penyakit parasit. Oleh karena itu, kajian yang menganalisis faktor risiko terhadap kejadian infestasi parasit gastrointestinal khususnya pada pedet diperlukan. Selain itu upaya kajian untuk menilai dampak ekonomi akibat infestasi parasit gastrointestinal di peternakan rakyat juga diperlukan sehingga dapat ditetapkan tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit parasit. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan prevalensi dan faktor risiko kejadian infestasi parasit gastrointestinal pada beberapa jenis ternak serta analisis kerugian ekonominya, di dalam maupun luar negeri. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan, berikut persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.
6 Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian saat ini dengan penelitian terdahulu No. Peneliti / Tahun / Judul / Hasil Persamaan Perbedaan 1. Bandyopadhyay et al./2010/economic analysis of risk of gastrointestinal parasitic infection in cattle in North Eastern States of India/prevalensi parasit gastrointestinal 40%, produksi susu dan nilai ekonomi pada sapi dengan 3 strategi antelmintik diestimasikan lebih tinggi dibandingkan grup kontrol. Adanya strategi pemberian antelmintik; menghitung prevalensi parasit gastrointestinal; analisis ekonomi terhadap tindakan pemberian antelmintik Metode analisis data: linear regresi. Populasi target: sapi farm yang mewakili 3 daerah, dataran tinggi, sedang dan rendah; Lokasi: India 2. Regassa et al./2006/ Epidemiology of Gastrointestinal Parasites of Ruminants in Western Oromia, Ethiopia /prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi, domba, dan kambing masing-masing 50,2%, 75,3%, dan 84,1%, faktor risiko yang berasosiasi terhadap infestasi parasit gastrointestinal : spesies, agroekologi, musim, dan umur. 3. Bilal et al./2009/prevalence of Gastrointestinal Parasites in Buffalo And Cow Calves in Rural Areas of Toba Tek Singh, Pakistan / Anak sapi 56,25% dan anak kerbau 75% terifestasi oleh parasit gastrointestinal. 4. Jimenez et al./2010/a cross-sectional survey of gastrointestinal parasites with dispersal stages in feces from Costa Rican dairy calves /faktor risiko yang berpengaruh pada infestasi parasit gastrointestinal adalah area, semiconfinement, manajemen feses, dan pemberian desinfektan pada milking room 5. Kothalawala et al./2007/ Estimation Of Economic Losses On Nematode Infestation in Goats in Sri Lanka/Infestasi Nematoda menyebabkan kerugian ekonomi sektor peternakan di Sri Lanka sebesar 230 juta Rupee 6. Athar et al./2011/cost Benefits Analysis of Anthelmintik Treatment of Cattle and Buffaloes/Prevalensi helminth pada kerbau 40% dan sapi 35,7%; Kerugian ekonomi akibat infestasi parasit diestimasi sebesar 0,47US$ untuk sapi dan 0,41US$ untuk kerbau per ekor per hari. 7. He et al./1988/taksiran Kerugian Produksi Daging Akibat Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Ternak Domba/Infeksi tunggal nematoda mengakibatkan penurunan berat karkas 21,7%, cestoda 9%, trematoda 7%; infeksi campuran nematoda dan cestoda menurunkan berat karkas 41,9%; Kerugian ditaksir 7,68 10,56 milyar per tahun 8. Khozin/2012/Prevalensi penyakit cacing saluran pencernaan pada sapi potong Peranakan Ongole (PO) dan sapi Brahman di Kecamatan Sugio Kabupaten Lamongan/prevalensi sebesar 43%, faktor yang memengaruhi tingkat prevalensi adalah umur, sedangkan ras tidak memengaruhi Faktor risiko infestasi parasit gastrointestinal yang diamati/ diteliti Populasi target: anak sapi; menyidik prevalensi parasit gastrointestinal pada anak sapi Populasi target: pedet; Rancangan:Lintas-seksional; Menyidik faktor risiko terhadap kejadian infestasi parasit pada pedet Mengestimasi kerugian ekonomi akibat infestasi parasit. Menentukan kerugian ekonomi akibat infestasi parasit; menghitung prevalensi kejadian Menganalisis kerugian ekonomi akibat infestasi parasit gastrointestinal Menghitung prevalensi infestasi parasit gastrointestinal; ternaknya sapi; Menyidik faktor risiko yang memengaruhi kejadian infestasi parasit gastrointestinal Tidak menganalisa dampak ekonomi akibat infestasi parasit; Populasi target: sapi, kambing, dan domba; Lokasi: Ethiopia Tidak ada analisis ekonomi, tidak menyidik faktor risiko, Lokasi: Pakistan Tidak ada analisis ekonomi akibat infestasi parasit Lokasi: Costa Rica Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Department of Census and Statistics, Sri Lanka dan publikasipublikasi terdahulu; Populasi target: kambing; Lokasi: Sri Lanka Tidak menyidik faktor resiko terhadap kejadian infestasi parasit gastrointestinal; Populasi target: sapi dan kerbau; Lokasi: Pakistan Populasi target: domba; tidak menyidik faktor risiko, Lokasi: Bogor Tidak menganalisis nilai ekonomi akibat penyakit, Lokasi: Kabupaten Lamongan
7 Variabel yang memengaruhi tingkat prevalensi dan kejadian infestasi parasit gastrointestinal pada penelitian-penelitian tersebut bervariasi yang mencakup individu ternak, faktor lingkungan, dan manajemen pemeliharaan. Kajian umumnya dilakukan dengan lokasi dan populasi yang berbeda. Sampai saat ini kajian tentang prevalensi dan jenis parasit gastrointestinal serta faktor risiko terhadap kejadian infestasi parasit gastrointetinal pada pedet belum pernah diteliti. Analisis nilai ekonomi berupa manfaat ekonomi dari tindakan pengobatan penyakit parasit pada tingkat peternakan rakyat dan kerugian ekonomi karena infestasi parasit gastrointestinal juga belum pernah dilakukan. Hal-hal tersebut yang menjadikan penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Tujuan Penelitian Kajian ini dilakukan untuk mengetahui 1) prevalensi dari infestasi parasit gastrointestinal pada pedet di Jawa Tengah; 2) jenis parasit gastrointestinal pada pedet di Jawa Tengah; 3) faktor risiko yang memengaruhi kejadian infestasi parasit gastrointestinal pada pedet di Jawa Tengah; dan 4) nilai ekonomi dari tindakan pengobatan penyakit parasit di tingkat peternak. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama: bagi peternak; dapat memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagaimana upaya penerapan manajemen kesehatan pada ternak sehingga peternak termotivasi untuk menerapkannya,
8 bagi pemerintah; sebagai penentu kebijakan dapat memberikan rekomendasi awal berdasarkan informasi epidemiologi parasit gastrointestinal maupun dampak ekonominya dalam upaya penerapan manajemen kesehatan ternak sehingga dapat melakukan usaha pencegahan dan pengendalian secara optimal, bagi pengembangan penelitian; dapat memberikan informasi dasar tentang pentingnya pemberian antelmintik dan antikoksi pada pedet dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut.