HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi Fi F top lasma p ada Tanaman Sumb m er e I r nokulum

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Serangga Vektor

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Budidaya Kacang Panjang. Klasifikasi tanaman kacang panjang menurut Anto, 2013 sebagai berikut:

Tabel 6.2 Gejala infeksi tiga strain begomovirus pada beberapa genotipe tanaman tomat Genotipe

TEMUAN PENYAKIT BARU. Sapu pada Kacang Hias (Arachis pintoi): Penyakit Baru yang Berasosiasi dengan Fitoplasma

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

BAB I. PENGANTAR. A. Latar Belakang. kurang dari 7 ton/ha/tahun atau kira-kira 6,8 ton/ha/tahun, sedangkan di negara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Penanaman Tanaman Uji

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN. HALAMAN PERNYATAAN... PRAKATA iv DAFTAR GAMBAR... DAFTAR SINGKATAN... INTISARI... BAB I. PENGANTAR...

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

PENDAHULUAN Latar Belakang

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Cymbidium Mosaik Virus (CyMV) PADA TANAMAN ANGGREK FITRI MENISA

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Buah per Tandan. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah buah,

Dr. Tri Asmira Damayanti (Institut Pertanian Bogor ) Dr. Giyanto (Institut Pertanian Bogor )

Penyakit Karena Bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Transformasi, Kokultivasi, dan Regenerasi

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

BAB I PENDAHULUAN. Kacang panjang (Vigna sinensis L.) tergolong dalam Famili Fabaceae.

Universitas Sumatera Utara

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT BAB I

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK MUTAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) HASIL PERLAKUAN MUTAGEN KOLKISIN BERDASARKAN PENANDA MOLEKULER RAPD

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan salah satu sayuran penting

KONSEP, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI PENYAKIT TANAMAN

Deteksi Molekuler dan Uji Penularan Fitoplasma Asal Rumput Bermuda

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas pangan

HASIL. Pengaruh Seduhan Kompos terhadap Pertumbuhan Koloni S. rolfsii secara In Vitro A B C

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA

Hama Patogen Gulma (tumbuhan pengganggu)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dari Agustus sampai dengan November 2012 di

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN INTISARI... ABSTRACT...

VIROLOGI TUMBUHAN; Panduan Kerja Laboratorium Edisi 2, oleh Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A

POTENSI LIMA EKSTRAK TUMBUHAN DALAM MENEKAN INFEKSI VIRUS MOSAIK PADA TANAMAN KACANG PANJANG (Vigna unguiculata subsp.

Deteksi Keberadaan Liberobacter asiaticum Pada Tanaman Jeruk Yang Terserang Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) Dengan Gejala Parsial

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

DAFTAR ISI. AKSRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Oleh Octa Fransisca Sitorus NIM KONSENTRASI PERLINDUNGAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT BELANG (MOTTLE) PADA TANAMAN LADA (Piper nigrum L.) DI INDONESIA IRWAN LAKANI

SIKLUS PENYAKIT DAN PENGHITUNGAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN. Compilled by N.Istifadah

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT DAUN KECIL KACANG PANJANG (Cowpea Little Leaf Disease) ISOLAT INDONESIA; KAJIAN SIFAT BIOEKOLOGI DAN BIOMOLEKULER

SKRIPSI. untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian. Oleh. I Kadek Purnawirawan Putra NIM KONSENTRASI PERLINDUNGAN TANAMAN

Gambar 5. Pertumbuhan Paspalum notatum Fluegge Setelah Ditanam

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala pada Larva S. litura

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TESIS PENULARAN BEAN COMMON MOSAIC VIRUS (BCMV) PADA TANAMAN KACANG PANJANG SECARA MEKANIS DAN MELALUI KUTUDAUN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV

KULIAH 2. ILMU PENYAKIT TUMBUHAN DASAR

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

HASIL DAN PEMBAHASAN

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BAB I PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk famili solanaceae dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merrill) PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK DAUN GROW MORE DAN WAKTU PEMANGKASAN

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Penapisan

HASIL DAN PEMBAHASAN

DETEKSI KEBERADAAN Liberobacter asiaticum PADA TANAMAN JERUK YANG TERSERANG Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) DENGAN GEJALA PARSIAL

HASIL DAN PEMBAHASAN. (Ocimum sanctum) untuk pengendalian akar gada (plasmodiophora brassicae)

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Konstruksi vektor over-ekspresi gen OsWRKY 1.1 Amplifikasi dan purifikasi fragmen gen OsWRKY76

Lampiran 1. Deskripsi Varietas TM 999 F1. mulai panen 90 hari

SKRIPSI DETEKSI CEMARAN DAGING BABI PADA PRODUK SOSIS SAPI DI KOTA YOGYAKARTA DENGAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

TINGKAT KETAHANAN SEMBILAN KULTIVAR KACANG PANJANG TERHADAP INFEKSI BEAN COMMON MOSAIC VIRUS (BCMV) Oleh. Lina Setyastuti A

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Sidik Ragam Persentase Kematian Tanaman

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Deteksi Fitoplasma pada Tanaman Sumber Inokulum Sumber inokulum yang digunakan dalam uji penularan adalah tanaman kacang tanah yang menunjukkan gejala penyakit sapu yang berasal dari lapangan. Deteksi molekuler dengan teknik PCR menggunakan primer P1/P7 terhadap contoh DNA dari tanaman sumber inokulum dilakukan untuk memastikan adanya infeksi fitoplasma pada tanaman tersebut. Hasil PCR terdeteksi adanya fragmen DNA dengan ukuran 1800 bp yang merupakan sekuen target dari fitoplasma (Gambar 8). Menurut Schneider et al. (1995) deteksi fitoplasma dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer P1 dan P7 akan mengamplifikasi DNA dengan ukuran ± 1800 bp sebagai penanda spesifik fitoplasma secara universal. Hasil ini menunjukkan bahwa gejala yang muncul pada tanaman sumber inokulum berasosiasi dengan fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang tanah. Gambar 8 Visualisasi hasil uji PCR terhadap contoh DNA tanaman kacang tanah sumber inokulum M = 1 Kb ladder, Kt SG = sumber inokulum asal Situ Gede, Kt CP = sumber inokulum asal Carangpulang, dan Kt CK = sumber inokulum asal Cikarawang

Uji Penularan Fitoplasma Menggunakan Wereng Daun Uji penularan fitoplasma pada kacang tanah menggunakan wereng daun dilakukan untuk mengetahui potensi wereng daun yang berada di pertanaman kacang tanah dalam menularkan fitoplasma penyebab penyakit sapu dan untuk memperoleh informasi terkait jumlah minimal vektor untuk dapat menularkan penyakit sapu. Parameter yang digunakan dalam uji penularan fitoplasma menggunakan wereng daun adalah kejadian penyakit dan masa inkubasi fitoplasma (waktu dimana gejala penyakit pertama kali muncul setelah inokulasi). Pengamatan kejadian penyakit dan masa inkubasi fitoplasma didasarkan pada hasil pengamatan gejala penyakit yang muncul baik pada daun, cabang, bunga, dan bagian tanaman lainnya. Kejadian Penyakit dan Masa Inkubasi Fitoplasma Uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus yang diberi periode makan akuisisi selama 3 hari, periode laten sekaligus periode makan inokulasi selama 3 hari menunjukkan hasil yang positif untuk semua perlakuan, kecuali pada perlakuan kontrol. tersebut mencapai 100% (Tabel 3). 19 Kejadian penyakit pada keempat perlakuan Tabel 3 Kejadian penyakit dan masa inkubasi fitoplasma pada uji penularan dengan wereng daun O. argentatus dan Empoasca sp. Jenis wereng Jumlah wereng (ekor) Kejadian Penyakit (gejala/ulangan) Kejadian penyakit (%) Masa Inkubasi (HSP) O. argentatus kontrol a 0/3 0 - b 1 3/3 100 67,33a c 3 3/3 100 61,33a 5 3/3 100 53,33a 7 3/3 100 21,33b Empoasca sp. kontrol 0/3 0-1 0/3 0-3 0/3 0-5 0/3 0-7 0/3 0 - a Periode akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat b Tanaman uji tidak menunjukkan gejala sampai akhir pengamatan (-) c Nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α = 0,05)

20 Masa inkubasi fitoplasma berkisar dari 21 sampai 67 hari. Masa inkubasi fitoplasma pada perlakuan yang menggunakan wereng daun O. argentatus dengan jumlah serangga 7 ekor per tanaman berbeda nyata dengan perlakuan yang menggunakan 1, 3, dan 5 ekor serangga per tanaman (Tabel 3). Secara umum, waktu yang dibutuhkan oleh patogen untuk menimbulkan gejala setelah inokulasi oleh 1, 3, dan 5 ekor wereng daun O. argentatus lebih lama dibandingkan dengan penularan yang menggunakan 7 ekor wereng O. argentatus per tanaman. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya dengan populasi 1 ekor wereng O. argentatus per tanaman sudah dapat menularkan fitoplasma pada tanaman. Tingginya kejadian penyakit pada perlakuan ini menunjukkan bahwa O. argentatus merupakan vektor yang efektif dalam menularkan fitoplasma. Hasil yang diperoleh dari percobaan ini menunjukkan bahwa jumlah serangga vektor berbanding terbalik dengan masa inkubasi. Semakin banyak vektor yang dipergunakan maka masa inkubasi semakin pendek. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengaruh dari jumlah inokulum yang ditrasmisikan ke dalam jaringan tanaman. Semakin banyak vektor yang menyerang maka semakin banyak pula fitoplasma yang ditransmisikan. Menurut McCoy et al. (1989) penyebaran dan perkembangan penyakit tanaman dipengaruhi oleh kepadatan inokulum yang ditransmisikan oleh aktivitas vektor. Menurut D Arcy & Nault (1982) dan Agrios (2005), jika fitoplasma telah diakuisisi oleh serangga vektornya maka fitoplasma akan bersirkulasi dan berkembang biak di dalam tubuh vektor dan pada akhirnya akan masuk ke kelenjar ludah. Jika konsentrasi fitoplasma dalam ludah telah mencapai tingkat tertentu, fitoplasma bersama-sama dengan ludah disekresikan dan ditularkan pada tanaman baru pada saat serangga melakukan aktivitas makan. Hasil pengamatan pada uji penularan fitoplasma pada tanaman kacang tanah dengan wereng daun Empoasca sp. tidak menunjukkan gejala penyakit sapu pada semua perlakuan (Tabel 3). Dengan demikian, Empoasca sp. bukan merupakan vektor fitoplasma penyebab penyakit sapu pada tanaman kacang tanah. Gejala Penyakit yang Teramati pada Tanaman Uji Gejala yang teramati pada setiap perlakuan yang diberikan berbeda-beda. Menurut Sinaga (2006) gejala adalah ekspresi dari inang terhadap kondisi

21 penyakit patologis sehingga suatu penyakit tertentu dapat dibedakan dengan penyakit lain. Gejala pada perlakuan uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus dengan jumlah serangga 1, 3, dan 5 ekor per tanaman berupa pemendekan ruas daun dan terbentuknya daun-daun baru yang berukuran lebih kecil. Pada perlakuan ini, gejala tidak berkembang menjadi lebih lanjut. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah fitoplasma yang ditransmisikan tidak mendukung untuk meningkatkan keparahan penyakit. Perlakuan dengan 7 ekor serangga O. argentatus per tanaman menunjukkan gejala penyakit sapu yang kemudian berkembang sampai gejala lanjut dan menunjukkan gejala khas dari penyakit tersebut. Gejala yang pertama kali muncul berupa geotrofisme negatif, yaitu keadaan dimana ginofor mengarah ke atas. Pada kondisi normal, ginofor mengarah ke tanah dan akan masuk menembus tanah untuk selanjutnya membentuk polong. Selanjutnya terjadi pembentukan tunas-tunas samping (proliferasi) dengan daun-daun yang sangat banyak serta berukuran sangat kecil, pembentukan bunga menjadi struktur daun (phyllody), dan polong yang terbentuk jumlahnya sedikit dan keriput bahkan sampai dengan tidak terbentuknya polong (Gambar 9). Dengan demikian, penularan fitoplasma dengan tujuh ekor O. argentatus per tanaman mampu mentransmisikan fitoplasma pada jumlah yang mampu mendukung terjadinya peningkatan keparahan penyakit sapu sehingga memunculkan gejala yang lebih berat. Gejala yang muncul pada perlakuan uji penularan fitoplasma dengan wereng daun Empoasca sp. tidak menunjukkan gejala yang identik dengan penyakit sapu. Gejala yang muncul pada perlakuan penularan menggunakan Empoasca sp. sebanyak 3, 5, dan 7 ekor/tanaman adalah layu pucuk daun (Gambar 10B) yang dapat teramati pada satu hari setelah perlakuan (HSP). Menurut McCoy et al. (1983) terjadinya mati pucuk pada tanaman yang terserang oleh Empoasca sp. adalah karena wereng tersebut dapat menghasilkan fitotoksemia. Pada perkembangan selanjutnya, pertumbuhan tanaman akan menjadi terhambat. Semakin banyak populasi Empoasca sp. per tanaman maka penghambatan pertumbuhan semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan tanaman yang menjadi lebih pendek (Gambar 10B).

22 A B C D E F Gambar 9 Gejala penyakit sapu kacang tanah hasil penularan fitoplasma menggunakan O. argentatus Tanaman kontrol (A), tanaman A. hypogea hasil uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus yang menunjukkan gejala penyakit sapu (B), ginofor mengarah ke atas (geotrofisme negatif) (C), pembentukan tunas-tunas samping dengan daun yang kecil (D), pembentukan struktur phyllody (E), dan tidak terbentuknya polong (F)

23 A B Gambar 10 Tanaman A. hypogea hasil uji penularan fitoplasma dengan wereng daun Empoasca sp. Gejala layu pucuk daun pada 1 HSP (A) dan penghambatan pertumbuhan tanaman (B) Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah yang Ditulari Fitoplasma Penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus dengan berbagai perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata untuk pertumbuhan tinggi tanaman, begitu pula pada penularan fitoplasma dengan wereng daun Empoasca sp. Secara umum pada penularan dengan Empoasca sp. semakin banyak jumlah Empoasca sp. per tanaman maka tinggi tanaman semakin rendah (Gambar 11). Akan tetapi penurunan tinggi tanaman ini bukan merupakan pengaruh dari infeksi fitoplasma, melainkan dari adanya fitotoksemia yang dihasikan oleh Empoasca sp. (McCoy et al. 1983). Infeksi fitoplasma pada bagian daun menyebabkan peningkatan jumlah daun yang yang luar biasa. Menurut McCoy (1979) infeksi fitoplasma dapat mengganggu proses translokasi fotosintat sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan fisiologis. Gangguan fisiologis yang terjadi pada tanaman berupa terganggunya keseimbangan hormon yang mengakibatkan munculnya gejala proliferasi dan phyllody. Munculnya gejala proliferasi dan phyllody pada tanaman uji menyebabkan jumlah daun menjadi jauh lebih banyak dari kondisi normal. Berdasarkan Gambar 12, perlakuan penularan dengan wereng daun O. argentatus tujuh ekor per tanaman yang menimbulkan gejala penyakit sapu yang berat menyebabkan peningkatan jumlah daun yang cukup tinggi dibandingkan perlakuan lain walaupun secara statistik pengaruhnya tidak berbeda nyata.

Peningkatan jumlah daun yang tinggi terlihat jelas dimulai pada 5 MSP sampai dengan akhir pengamatan. 24 60 Tinggi tanaman (cm) 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 kontrol Oa Oa 1 ekor Oa 3 ekor Oa 5 ekor Oa 7 ekor Umur tanaman (MSP) 60 Tinggi tanaman (cm) 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 kontrol E E 1 ekor E 3 ekor E 5 ekor E 7 ekor Umur tanaman (MSP) Gambar 11 Pengaruh perlakuan jumlah O. argentatus dan Empoasca sp. terhadap tinggi tanaman kacang tanah selama 13 MSP Oa = O. argentatus dan E = Empoasca sp. Penularan fitoplasma menggunakan wereng daun Empoasca sp. memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun pada setiap perlakuan yang diuji (Gambar 12). Hal ini karena perlakuan penularan fitoplasma menggunakan wereng daun Empoasca sp. tidak dapat menularkan fitoplasma penyebab penyakit sapu pada tanaman uji.

25 Jumlah daun 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Umur tanaman (MSP) kontrol Oa Oa 1 ekor Oa 3 ekor Oa 5 ekor Oa 7 ekor Jumlah daun 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Umur tanaman (MSP) kontrol E E 1 ekor E 3 ekor E 5 ekor E 7 ekor Gambar 12 Pengaruh perlakuan jumlah O. argentatus dan Empoasca sp. terhadap jumlah daun tanaman kacang tanah selama 13 MSP Oa = O. argentatus dan E = Empoasca sp. Infeksi fitoplasma menimbulkan gejala proliferasi menyebabkan jumlah cabang tanaman kacang tanah menjadi jauh lebih banyak dari kondisi normal. Perlakuan penularan dengan wereng daun O. argentatus tujuh ekor per tanaman yang menimbulkan gejala penyakit sapu yang berat menyebabkan peningkatan jumlah cabang yang cukup tinggi dibandingkan perlakuan lain walaupun berdasarkan uji statistik pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata. Peningkatan jumlah cabang mulai terlihat jelas pada 7 MSP sampai dengan akhir pengamatan (Gambar 13). Begitu pula pada penularan fitoplasma menggunakan wereng daun Empoasca sp. memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah cabang pada setiap perlakuan yang diuji (Gambar 13).

26 140 120 Jumlah cabang 100 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 kontrol Oa Oa 1 ekor Oa 3 ekor Oa 5 ekor Oa 7 ekor Umur tanaman (MSP) 140 120 Jumlah cabang 100 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 kontrol E E 1 ekor E 3 ekor E 5 ekor E 7 ekor Umur tanaman (MSP) Gambar 13 Pengaruh perlakuan jumlah O. argentatus dan Empoasca sp. terhadap jumlah cabang tanaman kacang tanah selama 13 MSP Oa = O. argentatus dan E = Empoasca sp. Penularan fitoplasma penyebab penyakit sapu terjadi melalui jaringan floem yang memiliki fungsi sebagai jaringan pengangkut hasil fotosintesis (Agrios 2005). Jaringan floem terdapat pada bagian batang, daun, dan akar. Infeksi fitoplasma pada tanaman kacang tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti pada tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang. Pengaruh Infeksi Fitoplasma terhadap Hasil Panen dan Umur Tanaman Tabel 4 menunjukkan hasil pengamatan terhadap hasil panen berupa polong yang dihasilkan pada berbagai perlakuan. Walaupun berdasarkan uji statistik jumlah polong yang dihasilkan oleh setiap perlakuan tidak berbeda nyata, terdapat perbedaan yang cukup tinggi pada perlakuan yang menimbulkan gejala penyakit

sapu yang berat. Perlakuan penularan dengan O. argentatus dengan populasi 7 ekor per tanaman rata-rata menghasilkan persentase jumlah polong isi 48%, artinya lebih dari 50% polong yang dihasilkan merupakan polong hampa. Sedangkan pada perlakuan lainnya baik pada perlakuan penularan dengan O. argentatus maupun Empoasca sp. persentase jumlah polong yang dihasilkan lebih dari 50%. Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap persentase jumlah polong isi per jumlah polong total Jenis wereng Jumlah wereng (ekor) Jumlah polong total Jumlah polong isi 27 Persentase jumlah polong isi/jumlah polong total O. argentatus kontrol a 9,67 6,33 66,67 a b 1 9,33 7,00 76,33 a 3 6,67 5,33 78,67 a 5 12,00 7,00 60,00 a 7 7,00 5,00 48,00 a Empoasca sp. kontrol 9,00 6,00 70,33 a 1 8,00 4,67 58,67 a 3 5,00 5,00 100,00 a 5 10,67 6,33 63,67 a 7 8,67 5,33 69,00 a a b Akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat Nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α = 0,05) Tabel 5 Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering dan umur tanaman Jenis wereng Jumlah wereng (ekor) Bobot kering Umur tanaman (HSP) O. argentatus kontrol a 10,60 a b 96,00 a 1 7,69 a 113,33 a 3 8,14 a 122,00 a 5 11,59 a 102,00 a 7 9,59 a 115,00 a Empoasca sp. kontrol 11,97 a 91,67 a 1 10,09 a 94,00 a 3 8,36 a 101,33 a 5 9,58 a 104,00 a 7 6,48 a 92,67 a a b Akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat Nilai rataan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α = 0,05)

28 Infeksi fitoplasma terutama yang menunjukkan keparahan penyakit yang tinggi (gejala berat) dapat menurunkan hasil panen kacang tanah. Infeksi fitoplasma dapat menyebabkan gangguan pada proses fisiologis dan biokimia dari tanaman inang sehingga mengakibatkan malformasi pada daun yang merupakan tempat fotosintesis. Menurut Hadidi et al. (1998) malformasi pada daun akan menyebabkan gangguan pada proses fotosintesis sehingga berakibat pada penurunan produksi. Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata baik pada semua perlakuan penularan dengan O. argentatus maupun Empoasca sp. Begitu pula pada umur tanaman, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur tanaman pada uji penularan fitoplasma dengan kedua wereng uji pada berbagai perlakuan populasi yang digunakan. Namun secara umum dapat diketahui bahwa tanaman uji dari perlakuan yang mampu menularkan fitoplasma, yaitu perlakuan penularan O. argentatus dengan populasi 1, 3, 5, dan 7 ekor per tanaman memiliki umur yang lebih lama (Tabel 5). Deteksi Fitoplasma Menggunakan Teknik PCR Deteksi fitoplasma pada contoh DNA hasil isolasi dari tanaman kacang tanah hasil penularan dengan O. argentatus menunjukkan hasil yang positif pada semua perlakuan kecuali perlakuan kontrol. Begitu pula pada contoh wereng, seluruh contoh wereng O. argentatus yang digunakan untuk penularan menunjukkan hasil yang positif mengandung fitoplasma kecuali pada wereng yang digunakan untuk perlakuan kontrol. Fitoplasma tidak terdeteksi pada contoh tanaman kacang tanah hasil penularan dengan Empoasca sp. maupun pada tubuh wereng Empoasca sp. yang digunakan untuk penularan (Tabel 6). Deteksi molekuler terhadap keberadaan fitoplasma pada contoh DNA hasil isolasi dari tanaman kacang tanah, tubuh wereng, dan air liur wereng pada uji penularan penting dilakukan untuk mengklarifikasi asosiasi antara patogen penyebab penyakit sapu (fitoplasma) dengan vektor dan gejala yang muncul pada tanaman uji. Identifikasi serangga vektor fitoplasma hanya dengan deteksi keberadaan fitoplasma di dalam tubuh serangga uji tidak dapat mengidentifikasi secara akurat apakah serangga tersebut merupakan vektor fitoplasma atau bukan.

Tabel 6 Hasil PCR terhadap contoh DNA tanaman uji, wereng uji, dan medium sukrosa Jenis wereng Jumlah wereng (ekor) Hasil uji PCR Tanaman Wereng Medium sukrosa O. argentatus kontrol a - b - - 1 + + - 3 + + - 5 + + - 7 + + - Empoasca sp. kontrol - - - 1 - - - 3 - - - 5 - - - 7 - - - a Akuisisi pada tanaman kacang tanah sehat b Hasil uji PCR (+ = DNA fitoplasma positif teramplifikasi, - = DNA fitoplasma tidak teramplifikasi). 29 Menurut D Arcy & Nault (1982) penularan fitoplasma oleh serangga vektornya berlangsung secara persisten dan bersifat sirkulatif-profagatif. Identifikasi serangga sebagai vektor secara akurat dapat dilakukan dengan deteksi keberadaan fitoplasma pada medium makan sukrosa-te (feeding sachet) yang mengandung air liur wereng daun yang diuji karena uji tersebut dapat menunjukkan apakah penularan fitoplasma oleh wereng uji bersifat sirkulatifprofagatif atau tidak. Namun deteksi fitoplasma pada feeding sachet tidak menunjukkan hasil yang positif pada semua sampel air liur wereng uji yang dipergunakan. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah titer fitoplasma sangat rendah sehingga pada saat dilakukan ekstraksi DNA, DNA fitoplasma tidak terisolasi. Pada saat dilakukan uji artifisial selama 72 jam, wereng tetap dapat bertahan hidup, padahal berdasarkan kegiatan pemeliharaan sebelumnya, wereng akan segera mati apabila tidak diberi pakan selama ± 24 jam. Dengan demikian, hasil uji PCR yang negatif pada semua contoh air liur wereng yang diuji kemungkinan terjadi bukan karena wereng uji tidak melakukan aktivitas makan pada feeding sachet, melainkan karena jumlah titer fitoplasma sangat rendah sehingga pada saat dilakukan ekstraksi DNA, DNA fitoplasma tidak terisolasi dan selanjutnya tidak terdeteksi dengan PCR.

30 Gambar 14 menunjukkan visualisasi hasil PCR terhadap keseluruhan contoh yang diuji. Semua tanaman uji hasil penularan yang tidak menunjukkan gejala penyakit sapu menunjukkan hasil uji PCR yang negatif. Hasil uji PCR yang positif ditandai dengan terbentuknya pita DNA berukuran 1800 bp yang merupakan fragmen DNA dari fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang tanah melalui elektroforesis dengan gel agarose 1%. Sampel DNA yang menunjukkan hasil yang positif pada deteksi menggunakan teknik PCR berasal dari seluruh tanaman perlakuan yang bergejala, yaitu perlakuan yang menggunakan serangga penular O. argentatus 1 ekor, 3 ekor, 5 ekor, dan 7 ekor per tanaman. Hasil positif juga diperoleh diperoleh pada seluruh sampel wereng O. argentatus yang dipergunakan untuk penularan pada semua perlakuan tersebut. A 1800 bp B 1800 bp Gambar 14 Hasil deteksi PCR untuk berbagai contoh DNA dari tanaman dan B serangga uji A Hasil PCR DNA fitoplasma dari tanaman kacang tanah hasil uji penularan fitoplasma (A), Hasil PCR DNA fitoplasma dari wereng daun yang digunakan pada uji penularan fitoplasma (B), M (1 kb ladder), Oa (O. argentatus), E (Empoasca sp.)

31 Hasil yang diperoleh dari deteksi keberadaan fitoplasma dengan teknik molekuler pada contoh tanaman dan wereng daun yang diuji dapat mendukung data yang diperoleh dalam uji penularan fitoplasma dengan wereng daun O. argentatus dan Empoasca Sp. Gejala yang muncul pada perlakuan yang menggunakan serangga penular O. argentatus 1 ekor, 3 ekor, 5 ekor, dan 7 ekor per tanaman berasosiasi dengan fitoplasma penyebab penyakit sapu pada kacang tanah dan wereng daun O. argentatus merupakan vektor dari fitoplasma. Sedangka Empoasca sp. bukan merupakan vektor dari fitoplasma karena gejala yang muncul pada tanaman uji hasil penularan dengan Empoasca sp. tidak berasosiasi dengan fitoplasma. Teknik PCR merupakan teknik molekuler yang dapat digunakan untuk mendeteksi fitoplasma secara akurat (Marcone et al. 1997). Teknik ini dianggap sangat sensitif dalam mendeteksi fitoplasma, artinya mampu mengamplifikasi DNA target walau dalam jumlah sedikit. Dalam teknik PCR ini, hanya dengan satu molekul DNA saja maka proses amplifikasi sudah dapat terjadi. Pada praktiknya, teknik PCR cukup sulit dilakukan karena dalam pengerjaannya dibutuhkan ketelitian yang tinggi, harus menghindari adanya kontaminasi sekecil apapun, dan DNA template yang digunakan harus memiliki kualitas yang baik. Pada penelitian ini, DNA fitoplasma baru berhasil teramplipikasi setelah beberapa kali mengulang proses PCR. Menurut Marzachi et al. (2004) keberhasilan teknik PCR sangat bergantung pada metode yang digunakan dalam mendapatkan DNA yang berkualitas baik.