Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. paling dasar. Di tingkat ini, dasar-dasar ilmu pengetahuan, watak, kepribadian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran pada dasarnya adalah suatu proses terjadinya interaksi antara

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

5. DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan manusia dengan kemampuan berbeda-beda dengan rencana yang. kesialan atau kekurangan dengan istilah cacat.

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI

5. PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dengan masing-masing perbedaan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Namun terkait

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Husni Umakhir Gitardiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. terarah dan mencapai tujuannya. Seperti, pada fase kanak-kanak orang harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. masa depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Terdapat perkembangan mental yang

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB I PENDAHULUAN. Waktu yang dihabiskan anak-anak di sekolah saat ini cukup besar, oleh karena itu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

GAMBARAN STRES DAN STRATEGI COPING PADA ORANG TUA DENGAN ANAK TUNAGANDA

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Anak retardasi mental memperlihatkan fungsi intelektual dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PEMBELAJARAN BAGI ANAK MULTIPLE DISABILITIES VISUALY IMPAIRMENT (MDVI) SECARA TERPADU

PENDIDIKAN BERKEBUTUHAN KHUSUS Anak-anak Berkelainan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

3. METODE PENELITIAN. Universitas Indonesia

LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sumber daya yang berkualitas tidak hanya dilihat secara fisik namun

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat berkembang secara baik atau tidak. Karena setiap manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang ringan sampai efek yang berat (Dickinson et al., 2007).

Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan. Kesempurnaan, kemuliaan, serta kebahagiaan tidak mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

1. PENDAHULUAN. sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Fenomena-fenomena Anak-anak anak tuna grahita merupakan individu yang utuh dan unik yang pada umumnya juga memiliki potensi atau kekuatan dalam mengim

BAB I PENDAHULUAN. manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. tersebut dikaitkan dengan kedudukannya sebagai makhluk individu dan

Transkripsi:

1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak semua dalam keadaan yang sama satu sama lain. Seperti yang telah kita ketahui bahwa selain ada anak yang memiliki perkembangan yang normal (sesuai dengan perkembangan untuk usianya), ada juga anak-anak yang mengalami hambatan dalam perkembangannya. Anak-anak yang memiliki hambatan dalam perkembangannya, baik yang bersifat bawaan atau terjadi ketika masa pertumbuhan termasuk anakanak berkebutuhan khusus. Menurut Heward dan Orlansky (1992) yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki atribut fisik dan/atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal sehingga membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus. Meskipun demikian, membedakan anak menjadi dua kategori, anak yang memiliki kebutuhan khusus dan anak yang biasa atau normal, merupakan suatu kesalahan. Hal tersebut dikarenakan anak-anak berkebutuhan khusus tidak berbeda dari anak normal, mereka sama-sama membutuhkan perhatian, pengasuhan, dan perawatan. Adapun perbedaan yang terjadi merupakan karakteristik individual yang masih berada dalam satu kontinum. Salah satu kategori anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang mengalami ketunaan pada mata. Ketika mata seseorang tidak dapat berfungsi dengan normal karena cacat, luka, atau penyakit, berarti individu tersebut mengalami tunanetra. Hal tersebut membuat informasi yang diperoleh dari lingkungan menjadi terbatas. Dengan terbatasnya informasi yang diterima dari lingkungan, gangguan tersebut dapat membatasi pembelajaran dan perjalanan menjadi individu yang independen sehingga mengakibatkan kesulitan yang serius dalam bidang pendidikan dan sosial (Haring, 1974). Dengan demikian, anak dengan gangguan penglihatan merupakan tantangan untuk guru dalam mengajar karena memiliki kesulitan dalam bidang pendidikan. Kesulitan lain yang dihadapi oleh individu dengan tunanetra, antara lain: mengalami keterlambatan dalam kemampuan konseptual dibandingkan dengan teman sebaya yang tidak menyandang tunanetra (Hallahan & Kaufman, 2006), kemampuan motorik (Celeste, 1992 dalam Hallahan & Kaufman, 2006), perkembangan kemampuan 1

2 spasial (Ochaita & Huertas, 1993 dalam Hallahan & Kaufman, 2006), ketertinggalan dalam hal hal akademis (Rapp & Rapp, 1992 dalam Hallahan & Kaufman, 2006), dan kesulitan dalam penyesuaian sosial (Hallahan & Kaufman, 2006). Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh individu dengan tunanetra sudah sedemikian kompleks, dapat dibayangkan betapa lebih beratnya permasalahan yang dialami bila mereka tidak hanya tunanetra tetapi juga memiliki ketunaan lainnya. Anak-anak dengan tunanetra memiliki kemungkinan untuk mengalami ketunaan lain. Sekitar 40% anak-anak di Amerika Serikat yang mengalami tunanetra mungkin memiliki ketunaan tambahan atau lainnya (Graham, 1968 dalam Haring, 1974). Presentase tersebut merupakan yang tertinggi bila dibandingkan dengan kombinasi ketunaan ganda lainnya. Hal inilah yang membuat peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai anak-anak yang mengalami tunanetra dan ketunaan lainnya. Keadaan dimana seorang anak dengan tunanetra juga memiliki ketunaan lainnya disebut dengan Multiple Disabilities with Visually Impairment (MDVI). Untuk selanjutnya, dalam penelitian ini akan disebut sebagai tunaganda-netra. Menurut The U.S. Department of Education, Office of Special Education Programs (dalam Heward & Orlansky, 1988; Kirk & Gallagher, 1989), anak tuna ganda adalah mereka yang memiliki permasalahan atau kelainan pada fisik, mental, atau emosional, atau kombinasi beberapa kelainan tersebut sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan, sosial, psikologis, dan kesehatan melebihi yang biasanya diberikan oleh program pendidikan reguler dan program pendidikan khusus. Prevalensi anak tunaganda tidak dapat diketahui dengan pasti karena belum ada pengertian mengenai tunaganda yang berlaku secara universal (Heward & Orlansky, 1992). Hal tersebut terjadi karena anak-anak dengan ketunaan ganda memiliki kondisi ketunaan yang bervariasi satu sama lain (Kirk & Gallagher, 1989). Ludlow dan Sobsey (1984 dalam Heward & Orlansky, 1992) mengestimasikan prevalensi dari tunaganda memiliki rentang antara 0,1% hingga 1% di dalam populasi, dimanapun mereka berada. Menurut Heward dan Orlansky (1992) anak-anak berkebutuhan khusus tidak berbeda dari anak-anak lainnya. Semua anak merupakan individu unik yang

3 membutuhkan perhatian, pengasuhan, dan perawatan individual, termasuk di dalamnya adalah pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, termasuk siswa berkebutuhan khusus. Konsensus di Amerika melalui undang-undang pemerintah (Public Law / PL) no 92-142 : The Education for All Handicapped Children Act pada tahun 1975 pun menetapkan hak dari semua anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan (Blackhurst & Berdine, 1981 dalam Mangunsong dkk, 1998). Dengan demikian, anak dengan tunaganda memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Heterogenitas pada anak-anak dengan ketunaan ganda menciptakan kebutuhan individual yang harus dipenuhi melalui pelayanan pendidikan yang beragam. Walaupun anak-anak dengan ketunaan ganda berbeda-beda, tetapi mereka memiliki satu karakteristik yang sama, yaitu: mereka membutuhkan suatu pendidikan luar biasa (Kirk & Gallagher, 1989). Dengan demikian, pendidikan yang sesuai untuk anak dengan ketunaan ganda adalah pendidikan luar biasa. Pelayanan pendidikan yang diberikan kepada mereka pun banyak dilakukan di sekolah yang berbeda dari sekolah reguler. Menurut persentase dari Twelfth Annual Report to Congress on the Implementation of the Education of the Handicapped Act, U. S. Department of Education (1990, dalam Heward & Orlansky, 1992) anak-anak dengan ketunaan ganda yang dilayani di kelas yang terpisah dari kelas reguler mencapai 45,9% (persentase ini menggambarkan anakanak dengan ketunaan ganda secara umum). Persentase tersebut merupakan persentase yang tertinggi dibandingkan persentase pelayanan untuk anak dengan ketunaan ganda di tempat lain, seperti sekolah reguler, ruang sumber, sekolah terpisah, asrama, dan rumah atau rumah sakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dengan ketunaan ganda harus mendapatkan pelayanan pendidikan luar biasa, termasuk anak-anak tunaganda-netra. Menurut DNIKS dan BP3K, Depdikbud (1987 dalam Mangunsong, dkk, 1998), pelayanan pendidikan kepada anak-anak dengan ketunaan ganda memiliki tujuan agar mereka memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang

4 dapat memungkinkan mereka untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan di masyarakat. Pelayanan pendidikan yang diberikan kepada mereka hendaknya berisikan program-program yang praktis, sederhana, fleksibel, dan berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Program-program tersebut mencakup latihan menolong diri sendiri, sosialisasi, motorik kasar, motorik halus, komunikasi, pendayagunaan indera, keterampilan sederhana, akademik (membaca, menulis, dan berhitung), dan pengetahuan lain yang mengacu pada kurikulum SLB. Salah satu pihak yang berperan dalam pelayanan pendidikan kepada anak-anak dengan ketunaan ganda adalah guru. Mengajar siswa dengan ketunaan ganda merupakan hal yang sulit dan memiliki banyak persyaratan. Beberapa syaratnya antara lain guru harus terorganisasi dengan baik, tegas, dan konsisten. Guru harus memelihara catatan dengan seksama dan merencanakan secara terus-menerus untuk kebutuhan masa depan siswanya. Siswa dengan ketunaan ganda terkadang hanya sedikit atau bahkan tidak memberikan respons yang nyata, sehingga guru mereka harus sensitif terhadap perubahan kecil yang terjadi pada tingkahlaku siswanya (Heward & Orlansky, 1992). Banyaknya persyaratan dan hal yang harus dilakukan oleh seorang guru yang mengajar siswa dengan ketunaan ganda menuntut guru agar mampu mengajar secara efektif. Keefektifan guru ketika mengajar dapat terlihat dari perkembangan siswanya. Menurut Richards I. Arends (1998), guru yang memiliki keefektifan dalam mengajar adalah guru yang memiliki kemampuan secara akademis, mampu menguasai materi yang mereka ajarkan, dan memiliki perhatian terhadap keberadaan siswa-siswanya. Dengan kata lain, guru yang memiliki keefektifan dalam mengajar merupakan seorang individu yang mampu memberikan hasil terhadap pencapaian prestasi akademis dan pembelajaran pada siswa. Berdasarkan wawancara dengan salah satu guru di Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala, pencapaian akademis dan pembelajaran pada siswa tunaganda lebih menekankan pada perkembangan kemampuan-kemampuan yang mereka butuhkan dalam menjalani hidup. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, maka guru harus melakukan serangkaian tingkahlaku ketika mengajar. Serangkaian tingkah laku

5 tersebut disebut juga dengan peran. Guru menjalankan sejumlah peran dan beberapa diantaranya saling berkaitan dan saling tumpang tindih. Menurut Moore (2007) ada tiga peran yang dijalankan oleh guru ketika mengajar, yaitu sebagai pengajar, manajer, dan konselor. Peran yang pertama yang dijalankan oleh guru adalah pengajar dimana guru bertindak sebagai seseorang yang merencanakan, memandu, dan mengevaluasi pembelajaran. Kedua adalah manajer yang mengatur dan menyusun lingkungan pembelajaran. Yang termasuk ke dalam peran ini adalah keputusan dan tindakan yang dibutuhkan untuk memelihara ketertiban di dalam kelas, seperti membuat peraturan dan prosedur kegiatan belajar. Peran yang ketiga adalah sebagai konselor. Kottler dan Kottler (1993, dalam Moore, 2007) berpendapat bahwa hampir semua guru membutuhkan kemampuan dasar untuk memikul peran sebagai konselor di dalam kelas. Kemampuan konseling dibutuhkan untuk mengembangkan sensitivitas interpersonal yang tinggi dan untuk mengatasi masalah sehari-hari dengan efektif. Ketiga peran tersebut yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Menurut Turner dan Helms (1995), guru memiliki peran yang signifikan dalam hidup anak. Tingkahlaku dan sikap guru sangat berpengaruh pada anak didiknya. Pendidikan memberikan program dan pengalaman belajar yang konstruktif pada anak. Program yang diberikan menekankan pentingnya mendukung kemampuan-kemampuan sosial, bina bantu diri, dan citra diri. Melalui pelajaran, guru berada pada posisi untuk mengasuh perkembangan dan pertumbuhan seseorang. Selain itu, guru juga memajukan atau mendorong pengalaman belajar yang positif (Getswicki, 1992 dalam Turner & Helms, 1995). Cara guru berinteraksi dengan siswa merupakan hal yang penting, terutama sikap hangat, pengertian, serta dukungan pada kekuatan dan kelemahan siswanya (Turner & Helms, 1995). Pada siswa dengan ketunaan ganda, mereka juga memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru memiliki andil dalam perkembangan siswa yang diajarnya. Begitu pula dengan guru yang mengajar siswa tunaganda-netra. Guru memiliki peran penting dalam membantu, atau sebaliknya menghambat, perkembangan mental dan emosional siswa (Salzberger-Wittenberg

6 dkk, 1983). Selain itu, menurut Maslach dkk (1996), guru pun diharapkan untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi peserta didik (misalnya masalah emosional) serta membantu perkembangan moral dan emosional. Dari hal tersebut terlihat bahwa guru memiliki andil dalam perkembangan siswanya. Dalam mengajar siswa dengan ketunaan ganda, termasuk tunaganda-netra, diperlukan banyak syarat (sudah dijelaskan sebelumnya) dan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didiknya juga lebih sulit dibandingkan bila siswanya hanya mengalami gangguan pada penglihatan saja. Permasalahan yang dihadapi lebih sulit karena siswa yang diajar tidak hanya memiliki satu gangguan tetapi dua gangguan atau bahkan lebih. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai peran yang dijalankan oleh guru ketika mengajar dan perkembangan anak dengan ketunaan ganda yang menjadi siswanya, anak dengan tunaganda-netra. Penelitian ini bersifat eksploratif atau dilakukan untuk mendapatkan gambaran saja. Dengan adanya penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah literatur mengenai peran guru yang mengajar siswa dengan tunaganda-netra. 1.2 Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana gambaran peran yang dijalankan oleh guru ketika mengajar siswa tunaganda-netra? 2. Bagaimana gambaran perkembangan siswa tunaganda-netra? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui gambaran peran yang dijalankan oleh guru ketika mengajar siswa tunaganda-netra. 2. Mengetahui gambaran perkembangan siswa tunaganda-netra. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis.

7 1.4.1 Manfaat Teoritis Untuk memperkaya literatur dalam bidang psikologi pendidikan, terutama mengenai guru yang mengajar anak tunaganda-netra. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Bagi sekolah (tempat pelaksanaan penelitian): dapat memberikan gambaran mengenai peran yang dilakukan oleh guru ketika mengajar anak tunagandanetra dan kaitannya dengan perkembangan anak tunaganda-netra. 2. Bagi guru (di sekolah tempat pelaksanaan penelitian): hasil penelitian dapat dijadikan sebagai rekomendasi mengenai peran yang efektif untuk dijalankan ketika mengajar anak tunaganda-netra. 3. Bagi penelitian selanjutnya: hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lanjutan dengan tema yang serupa atau sama. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan Pada bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab ini berisi teori-teori mengenai peran guru dan anak tunaganda-netra. Bab 3 Metode Penelitian Dalam bab mengenai metode penelitian, dijelaskan mengenai pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan, karakteristik dan jumlah subjek, metode pengambilan data, prosedur pelaksanaan penelitian, dan prosedur analisis data. Bab 4 Hasil dan Analisis Hasil Berisi analisis serta interpretasi yang dilakukan pada hasil data yang telah diperoleh. Bab 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Pada bab ini, peneliti membuat kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, diskusi mengenai penelitian yang dilakukan, dan memberikan saransaran sehubungan dengan penelitian yang dilakukan.