Wilayah Jawa Barat yang Integratif Melalui 18Pembangunan Pegembangan Agribisnis Pendahuluan Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dan berhasil mengurangi jumlah absolut penduduk miskin. Namun demikian, dibalik prestasi perekonomian tersebut, ternyata masih menampilkan sisi suram terutama bila kita persoalkan siapa yang menikmati hasil pertumbuhan ekonomi tersebut. Secara makro, kita masih berhadapan dengan ketimpangan pembangunan dan pendapatan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Secara regional, kita juga menghadapai ketimpangan pendapatan pendapatan antara wilayah perkotaan (urban area) dan wilayah pedesaan (rural area). Secara sektoral, kita masih berhadapan dengan ketimpangan pendapatan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian (khususnya sektor industri). Secara nasional, pangsa sektor pertanian primer (on-farm) dalam PDB telah berubah dari 40 persen (tahun 1969) menjadi sekitar 18 persen tahun 1993. Sementara itu, pangsa sektor industri pada tahun 1995 telah naik menjadi sekitar 23 persen. Perubahan pangsa sektor dalam PDB ini ternyata tidak diikuti oleh perubahan struktur penyerapan tenaga kerja. Bila pada tahun 1969 sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja sekitar 65 persen, maka pada tahun 1993 hanya sedikit menurun menjadi 50,6 persen dan sektor industri hanya mampu menyerap sekitar 15,6 persen tenaga kerja. Perubahan pangsa sektor tersebut mengandung makna: pertama, sekitar 50 persen (sekitar 40 juta orang) dari total angkatan kerja nasional hanya menikmati sekitar 18 persen pendapatan nasional. Sementara itu, sekitar 50 persen lainnya, menikmati sekitar 82 persen pendapatan nasional. Kedua, meskipun pangsa sektor industri meningkat, ternyata tidak disertai dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja secara signifikan. Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa proses pembangunan yang sedang berlangsung masih menampilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang (imbalance structural transformation). Perubahan struktur ekonomi yang tidak seimbang ini juga terjadi pada tingkat regional seperti wilayah Jawa Barat. Ketidakseimbangan ekonomi di
wilayah Jawa Barat ini sangat krusial diperhatikan karena sekitar 43 juta orang penduduk nasional berada di wilayah Jawa Barat. Perubahan Struktur Perekonomian Jawa Barat Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah pusat kegiatan ekonomi nasional. Dilihat dari konstribusi dalam PDB, Jawa Barat menduduki peringkat kedua dalam penyumbang PDB. Menurut data Bappeda Jawa Barat (1996), pangsa Jawa Barat dalam PDB nasional meningkat dari 14,6 persen tahun 1983 menjadi 16,7 persen pada tahun 1993 (berdasarkan harga konstan 1983). Perubahan pangsa Jawa Barat yang meningkat ini disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat lebih tinggi (rata-rata 8,7 persen per tahun) daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional (rata-rata 7,2 persen per tahun). Dilihat dari perubahan struktur ekonomi, dalam kurun waktu 1975-1993 telah terjadi perubahan struktur perekonomian Jawa Barat. Bila tahun 1975 pangsa sektor pertanian primer masih sekitar 45 persen dalam PDRB Jawa Barat, maka pada tahun 1993 turun menjadi 16 persen. Sementara itu, pangsa sektor industri meningkat dari 8 persen (1975) menjadi 30 persen tahun 1993. Sama halnya dengan perubahan struktur ekonomi nasional, perubahan struktur ekonomi Jawa Barat tersebut masih menampilkan sisi suram sebagai berikut: pertama, dengan pangsa sektor pertanian primer sebesar 16 persen pada tahun 1993, angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian masih cukup besar yaitu 37,7 persen (sekitar 11 juta orang) dari angkatan kerja Jawa Barat yang berjumlah sekitar 29,3 juta orang. Hal ini berarti, sekitar 37 persen penduduk Jawa Barat hanya menikmati sekitar 16 persen pendapatan Jawa Barat. Kedua, dilihat dari segi wilayah, wilayah Jawa Barat bagian Selatan, dimana berada sekitar 30,7 persen angkatan kerja Jawa Barat, hanya menikmati sekitar 17 persen PDRB Jawa Barat atau rata-rata pendapatan per kapita (PDRB per kapita) hanya sebesar Rp 857 ribu per tahun (tahun 1993). Pendapatan per kapita ini hanya setengah dari pendapatan per kapita penduduk yang berada di wilayah Jawa Barat bagian Utara yang telah mencapai Rp 1,6 juta per tahun. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan struktur ekonomi wilayah Jawa Barat juga mengalami perubahan yang tidak seimbang. Wilayah Jawa Barat bagian Selatan yang masih didominasi oleh sektor pertanian primer dan menampung sekitar 30,7 persen angkatan kerja Jawa Barat hanya 220
menerima 17 persen PDRB Jawa Barat, Sementara itu, wilayah Jawa Barat bagian Utara dan Tengah yang menampung sekitar 69,3 persen angkatan kerja menikmati 83 persen PDRB Jawa Barat. Data mengenai pangsa antarsektor dan antarwilayah dalam PDRB Jawa Barat tersebut juga memberikan indikasi bahwa proses pembangunan antarsektor dan antarwilayah di Jawa Barat berjalan secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain, proses pembangunan di Jawa Barat selama ini belum terintegrasi, baik pembangunan anta sektor maupun pembangunan antarwilayah. Bila perubahan struktur perekonomian yang demikian terus berlangsung, maka wilayah Jawa Barat bagian Utara dan Tengah akan menjadi sasaran arus migrasi sumber daya manusia terus-menerus dan dikhawatirkan akan mengalami tekanan penduduk yang berlebihan, sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Sementara itu, Jawa Barat bagian Selatan akan menderita akibat pelarian sumber daya manusia (brain drain) dan sumber daya modal (capital flight) sedemikian rupa sehingga akan menjadikan Jawa Barat bagian Selatan tetap tertinggal bahkan menjadi kantongkantong kemiskinan di Jawa Barat, Secara keseluruhan, kecenderungan yang demikian akan menimbulkan persoalan sosial politik (seperti kecemburuan sosial) beserta segala konsekuensinya; dan akan memperlemah kedudukan Jawa Barat sebagai wilayah penyangga (buffer zone) DKI Jakarta. Untuk menghindari kecenderungan tersebut diperlukan strategi pembangunan wilayah Jawa Barat yang bersifat integratif. Artinya, strategi pembangunan wilayah Jawa Barat yang diperlukan adalah bagaimana mengintegrasikan pembangunan antarsektor (sektor pertanian dengan sektor lainnya) dan antarwilayah (wilayah Jawa Barat bagian Selatan dengan bagian Utara dan Tengah) sedemikian rupa sehingga perkembangan sektor industri di bagian Utara dan Tengah dapat menarik pertumbuhan sektor pertanian di bagian Selatan. Pengembangan Agribisnis Salah satu strategi pembangunan wilayah yang potensial mengintegrasikan antarsektor dan antarwilayah adalah pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis bukan sekedar pengembangan bisnis komoditas pertanian yang sudah kita kenal selama ini. Lebih dari itu, pendekatan agribisnis merupakan paradigma baru pembangunan ekonomi (wilayah, nasional) yang berbasis pertanian (as a new way to seeing agriculture). 221 221
Suatu sistem agribisnis dapat dibagi menjadi empat sub-sistem, yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu (downstrean agribusiness), (2) subsistem agribisnis usahatam (on-farm agribusiness, yang di masa lalu kita kenal sebagai usahatani (farming system), (3) subsistem agribisnis hilir (upstream agribusiness), dan (4) subsistem jasa layanan pendukung agribisnis (supporting institution). Dengan pengertian agribisnis tersebut maka paradigma baru pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian adalah membangun keempat subsistem agribisnis tersebut secara simultan dan terintegrasi vertikal mulai dari hulu hingga ke hilir. Paradigma baru ini berbeda dengan paradigma lama pembangunan ekonomi berbasis pertanian, yang terbatas pada pembangunan subsistem usahatani saja. Dalam hubungannya dengan pembangunan wilayah Jawa Barat yang terintegrasi, pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis mampu memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantages) dari setiap wilayah yang berbeda melalui pengembangan subsistem agribisnis yang relevan. Jawa Barat bagian Utara dan Tengah yang unggul dari segi pasar, dapat dimanfaatkan oleh agribisnis melalui pengembangan sub-sistem agribisnis hilir, yang terintegrasi secara vertikal dengan subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hulu di Jawa Barat bagian Selatan yang unggul dari segi agrobiofisik. Dengan demikian, peningkatan pendapatan penduduk di Jawa Barat bagian Utara dan Tengah (yang berarti meningkatkan daya serap pasar), akan mendorong pertumbuhan subsistem agribisnis hilir di wilayah tersebut. Pertumbuhan agribisnis hilir ini akan menarik subsistem agribisnis usahatani dan subsistem agribisnis hulu di wilayah Jawa Barat bagian Selatan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan penduduk di Jawa Barat bagian Selatan. Kemudian, dengan bertumbuhnya subsistem agribisnis hilir, usahatani dan subsistem agribisnis hulu tersebut akan menarik seluruh kegiatan industri jasa yang berkaitan dengan agribisnis (perbankan, transportasi dan lain-lain). Dengan mekanisme seperti itu, maka pembangunan dengan pendekatan agribisnis akan mampu mengintegrasikan perekonomian wilayah Jawa barat, baik antara wilayah Utara, Tengah dan Selatan; maupun antara sektor pertanian dengan industri/agroindustri, sektor pertanian dengan sektorjasa, dan sektor industri dengan sektor jasa. Selain itu, melalui mekanisme pasar, pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis akan mampu memperkecil pelarian sumber daya manusia dan pelarian modal dari Jawa Barat bagian Selatan ke wilayah Jawa Barat bagian Utara dan Tengah, bahkan potensial mendorong 222
terjadinya penarikan kembali sumber daya manusia dan kapital dari wilayah Jawa Barat bagiam Utara dan Tengah ke wilayah Selatan. Agar proses yang demikian dapat terjadi, maka komoditas yang dikembangkan di Jawa Barat bagian Selatan hendaknya merupakan komoditas/produk yang bersifat memiliki elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi (income elastic demand), seperti komoditas peternakan dan hortikultura. Konsumsi komoditas peternakan (daging, telur dan susu) dan hortikultura meningkat dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Kemudian, konsumen hasil peternakan dan hortikultura terbesar di Jawa Barat selama ini berada pada masyarakat yang mendiami Jawa Barat bagian Utara dan Tengah; sementara kemampuan Jawa Barat bagian Utara dan Tengah dalam menghasilkan komoditas peter nakan dan hortikultura semakin menurun. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di bagian Utara dan Tengah akan meningkatkan permintaan komoditas peternakan dan hortikultura, sehingga bila komoditas tersebut dikembangkan di Jawa Barat bagian Selatan, peningkatan permintaan tersebut akan menarik aktivitas ekonomi masyarakat Jawa Barat bagian Selatan. Kemudian, untuk menjamin peningkatan pendapatan masyarakat di Jawa Barat bagian Selatan yang umumnya adalah petani, maka para petani perlu didorong dan difasilitasi untuk mengembangkan koperasi agribisnis. Di masa lalu, aktivitas ekonomi petani kita hanya terbatas pada usahatani saja, yang justru paling kecil nilai tambahnya dibandingkan dengan nilai tambah agribisnis hulu dan hilir. Dengan mengembangkan koperasi agribisnis secara vertikal, maka petani akan dapat menangkap nilai tambah yang ada pada subsistem agribisnis tersebut, baik yang berada di Jawa Barat bagian Utara dan Tengah maupun yang ada di Jawa Barat bagian Selatan. Dengan demikian, pendapatan petani di Jawa Barat bagian Selatan akan dapat ditingkatkan dan mengejar ketertinggalan dari Jawa Barat bagian Utara dan Tengah. Pengembangan wilayah dengan pendekatan agribisnis berpotensi mengintegrasikan perekonomian Jawa Barat ke perekonomian yang lebih luas oleh karena komoditas yang dikembangkan adalah bersifat memiliki elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan di wilayah DKI Jakarta, nasional dan internasional, sehingga pengembangan agribisnis yang demikian juga akan mendorong pengintegrasian perekonomian Jawa Barat(68) dengan perekonomian Jakarta, kemudian ke perekonomian nasional dan bahkan ke perekonomian internasional. Dengan demikian, manfaat pengintegrasian 223 223
perekonomian nasional dengan perekonomian internasional (AFTA dan APEC) akan dapat dinikmati oleh Jawa Barat, termasuk masyarakat Jawa Barat bagian Selatan yang selama ini tertinggal. Catatan Penutup Pembangunan wilayah melalui pendekatan agribisnis tidak melakukan dikotomi antara pembangunan sektor pertanian dan pembangunan sektor industri, akan tetapi merupakan pembangunan yang integratif yang membangun sektor pertanian dan sektor industri secara simultan, Hanya saja, industri yang dimaksudkan di sini adalah industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (agroindustri). Perlu saya kemukakan bahwa perubahan struktur ekonomi, baik nasional maupun Jawa Barat yang semakin memperbesar pangsa sektor industri adalah disebabkan konstribusi agroindustri yang sangat besar. Untuk mewujudkan pembangunan wilayah dengan pende-katan agribisnis yang berpotensi meningkatkan pendapatan sekaligus menghilangkan kesenjangan ekonomi, perlu dukungan keinginan politik (political will) dari pemerintah dan masyarakat luas, termasuk Badko HMI Jawa bagian Barat, Badko HMI Jawa bagian Barat dapat menjadi aktor penting dalam mewujudkannya, baik melalui sosialisasi strategi pembangunan wilayah melalui pengembangan agribisnis maupun melalui pendampingan petani dalam pengembangan agribisnis unggulan dan koperasi agribisnis di Jawa Barat. 224