Barat yang Integratif Melalui Pegembangan Agribisnis

dokumen-dokumen yang mirip
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

19Pengembangan Agribisnis

10Pilihan Stategi Industrialisasi

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah

3 KERANGKA PEMIKIRAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

I. PENDAHULUAN. subsistem agribisnis hulu peternakan (upstream agribusiness) yakni kegiatan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

Berskala Kecil. Pendahuluan

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

PROSPEK AGRIBISNIS 2001 DAN EVALUASI PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tidak sekedar di tunjukan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi. perekonomian kearah yang lebih baik. (Mudrajad,2006:45)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan wilayah dapat diartikan sebagai peningkatan taraf hidup masyarakat

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP.

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi daerah yang berpeluang pengembangan tanaman hortikultura; tanaman perkebunan; usaha perikanan; usaha peternakan; usaha pertambangan; sektor in

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

Mengangkat Ekonomi Petani Melalui Pengembangan Sistem Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

I. PENDAHULUAN. Penlbangunan nasional pada kerangka makro hakekatnya mempunyai

I. PENDAHULUAN. arti yang seluas-luasnya. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AGRIBISNIS DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN PERTANIAN INDONESIA. I Komang Suarsana

PERANAN PERTANIAN DALAM SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA (MODUL 2)

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. dari kesenjangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja disatu pihak dan

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan proses kearah yang lebih baik sesuai tujuan yang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

Wilayah Jawa Barat yang Integratif Melalui 18Pembangunan Pegembangan Agribisnis Pendahuluan Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia dan berhasil mengurangi jumlah absolut penduduk miskin. Namun demikian, dibalik prestasi perekonomian tersebut, ternyata masih menampilkan sisi suram terutama bila kita persoalkan siapa yang menikmati hasil pertumbuhan ekonomi tersebut. Secara makro, kita masih berhadapan dengan ketimpangan pembangunan dan pendapatan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Secara regional, kita juga menghadapai ketimpangan pendapatan pendapatan antara wilayah perkotaan (urban area) dan wilayah pedesaan (rural area). Secara sektoral, kita masih berhadapan dengan ketimpangan pendapatan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian (khususnya sektor industri). Secara nasional, pangsa sektor pertanian primer (on-farm) dalam PDB telah berubah dari 40 persen (tahun 1969) menjadi sekitar 18 persen tahun 1993. Sementara itu, pangsa sektor industri pada tahun 1995 telah naik menjadi sekitar 23 persen. Perubahan pangsa sektor dalam PDB ini ternyata tidak diikuti oleh perubahan struktur penyerapan tenaga kerja. Bila pada tahun 1969 sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja sekitar 65 persen, maka pada tahun 1993 hanya sedikit menurun menjadi 50,6 persen dan sektor industri hanya mampu menyerap sekitar 15,6 persen tenaga kerja. Perubahan pangsa sektor tersebut mengandung makna: pertama, sekitar 50 persen (sekitar 40 juta orang) dari total angkatan kerja nasional hanya menikmati sekitar 18 persen pendapatan nasional. Sementara itu, sekitar 50 persen lainnya, menikmati sekitar 82 persen pendapatan nasional. Kedua, meskipun pangsa sektor industri meningkat, ternyata tidak disertai dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja secara signifikan. Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa proses pembangunan yang sedang berlangsung masih menampilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang (imbalance structural transformation). Perubahan struktur ekonomi yang tidak seimbang ini juga terjadi pada tingkat regional seperti wilayah Jawa Barat. Ketidakseimbangan ekonomi di

wilayah Jawa Barat ini sangat krusial diperhatikan karena sekitar 43 juta orang penduduk nasional berada di wilayah Jawa Barat. Perubahan Struktur Perekonomian Jawa Barat Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah pusat kegiatan ekonomi nasional. Dilihat dari konstribusi dalam PDB, Jawa Barat menduduki peringkat kedua dalam penyumbang PDB. Menurut data Bappeda Jawa Barat (1996), pangsa Jawa Barat dalam PDB nasional meningkat dari 14,6 persen tahun 1983 menjadi 16,7 persen pada tahun 1993 (berdasarkan harga konstan 1983). Perubahan pangsa Jawa Barat yang meningkat ini disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat lebih tinggi (rata-rata 8,7 persen per tahun) daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional (rata-rata 7,2 persen per tahun). Dilihat dari perubahan struktur ekonomi, dalam kurun waktu 1975-1993 telah terjadi perubahan struktur perekonomian Jawa Barat. Bila tahun 1975 pangsa sektor pertanian primer masih sekitar 45 persen dalam PDRB Jawa Barat, maka pada tahun 1993 turun menjadi 16 persen. Sementara itu, pangsa sektor industri meningkat dari 8 persen (1975) menjadi 30 persen tahun 1993. Sama halnya dengan perubahan struktur ekonomi nasional, perubahan struktur ekonomi Jawa Barat tersebut masih menampilkan sisi suram sebagai berikut: pertama, dengan pangsa sektor pertanian primer sebesar 16 persen pada tahun 1993, angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian masih cukup besar yaitu 37,7 persen (sekitar 11 juta orang) dari angkatan kerja Jawa Barat yang berjumlah sekitar 29,3 juta orang. Hal ini berarti, sekitar 37 persen penduduk Jawa Barat hanya menikmati sekitar 16 persen pendapatan Jawa Barat. Kedua, dilihat dari segi wilayah, wilayah Jawa Barat bagian Selatan, dimana berada sekitar 30,7 persen angkatan kerja Jawa Barat, hanya menikmati sekitar 17 persen PDRB Jawa Barat atau rata-rata pendapatan per kapita (PDRB per kapita) hanya sebesar Rp 857 ribu per tahun (tahun 1993). Pendapatan per kapita ini hanya setengah dari pendapatan per kapita penduduk yang berada di wilayah Jawa Barat bagian Utara yang telah mencapai Rp 1,6 juta per tahun. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan struktur ekonomi wilayah Jawa Barat juga mengalami perubahan yang tidak seimbang. Wilayah Jawa Barat bagian Selatan yang masih didominasi oleh sektor pertanian primer dan menampung sekitar 30,7 persen angkatan kerja Jawa Barat hanya 220

menerima 17 persen PDRB Jawa Barat, Sementara itu, wilayah Jawa Barat bagian Utara dan Tengah yang menampung sekitar 69,3 persen angkatan kerja menikmati 83 persen PDRB Jawa Barat. Data mengenai pangsa antarsektor dan antarwilayah dalam PDRB Jawa Barat tersebut juga memberikan indikasi bahwa proses pembangunan antarsektor dan antarwilayah di Jawa Barat berjalan secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain, proses pembangunan di Jawa Barat selama ini belum terintegrasi, baik pembangunan anta sektor maupun pembangunan antarwilayah. Bila perubahan struktur perekonomian yang demikian terus berlangsung, maka wilayah Jawa Barat bagian Utara dan Tengah akan menjadi sasaran arus migrasi sumber daya manusia terus-menerus dan dikhawatirkan akan mengalami tekanan penduduk yang berlebihan, sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Sementara itu, Jawa Barat bagian Selatan akan menderita akibat pelarian sumber daya manusia (brain drain) dan sumber daya modal (capital flight) sedemikian rupa sehingga akan menjadikan Jawa Barat bagian Selatan tetap tertinggal bahkan menjadi kantongkantong kemiskinan di Jawa Barat, Secara keseluruhan, kecenderungan yang demikian akan menimbulkan persoalan sosial politik (seperti kecemburuan sosial) beserta segala konsekuensinya; dan akan memperlemah kedudukan Jawa Barat sebagai wilayah penyangga (buffer zone) DKI Jakarta. Untuk menghindari kecenderungan tersebut diperlukan strategi pembangunan wilayah Jawa Barat yang bersifat integratif. Artinya, strategi pembangunan wilayah Jawa Barat yang diperlukan adalah bagaimana mengintegrasikan pembangunan antarsektor (sektor pertanian dengan sektor lainnya) dan antarwilayah (wilayah Jawa Barat bagian Selatan dengan bagian Utara dan Tengah) sedemikian rupa sehingga perkembangan sektor industri di bagian Utara dan Tengah dapat menarik pertumbuhan sektor pertanian di bagian Selatan. Pengembangan Agribisnis Salah satu strategi pembangunan wilayah yang potensial mengintegrasikan antarsektor dan antarwilayah adalah pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis bukan sekedar pengembangan bisnis komoditas pertanian yang sudah kita kenal selama ini. Lebih dari itu, pendekatan agribisnis merupakan paradigma baru pembangunan ekonomi (wilayah, nasional) yang berbasis pertanian (as a new way to seeing agriculture). 221 221

Suatu sistem agribisnis dapat dibagi menjadi empat sub-sistem, yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu (downstrean agribusiness), (2) subsistem agribisnis usahatam (on-farm agribusiness, yang di masa lalu kita kenal sebagai usahatani (farming system), (3) subsistem agribisnis hilir (upstream agribusiness), dan (4) subsistem jasa layanan pendukung agribisnis (supporting institution). Dengan pengertian agribisnis tersebut maka paradigma baru pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian adalah membangun keempat subsistem agribisnis tersebut secara simultan dan terintegrasi vertikal mulai dari hulu hingga ke hilir. Paradigma baru ini berbeda dengan paradigma lama pembangunan ekonomi berbasis pertanian, yang terbatas pada pembangunan subsistem usahatani saja. Dalam hubungannya dengan pembangunan wilayah Jawa Barat yang terintegrasi, pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis mampu memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantages) dari setiap wilayah yang berbeda melalui pengembangan subsistem agribisnis yang relevan. Jawa Barat bagian Utara dan Tengah yang unggul dari segi pasar, dapat dimanfaatkan oleh agribisnis melalui pengembangan sub-sistem agribisnis hilir, yang terintegrasi secara vertikal dengan subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hulu di Jawa Barat bagian Selatan yang unggul dari segi agrobiofisik. Dengan demikian, peningkatan pendapatan penduduk di Jawa Barat bagian Utara dan Tengah (yang berarti meningkatkan daya serap pasar), akan mendorong pertumbuhan subsistem agribisnis hilir di wilayah tersebut. Pertumbuhan agribisnis hilir ini akan menarik subsistem agribisnis usahatani dan subsistem agribisnis hulu di wilayah Jawa Barat bagian Selatan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan penduduk di Jawa Barat bagian Selatan. Kemudian, dengan bertumbuhnya subsistem agribisnis hilir, usahatani dan subsistem agribisnis hulu tersebut akan menarik seluruh kegiatan industri jasa yang berkaitan dengan agribisnis (perbankan, transportasi dan lain-lain). Dengan mekanisme seperti itu, maka pembangunan dengan pendekatan agribisnis akan mampu mengintegrasikan perekonomian wilayah Jawa barat, baik antara wilayah Utara, Tengah dan Selatan; maupun antara sektor pertanian dengan industri/agroindustri, sektor pertanian dengan sektorjasa, dan sektor industri dengan sektor jasa. Selain itu, melalui mekanisme pasar, pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis akan mampu memperkecil pelarian sumber daya manusia dan pelarian modal dari Jawa Barat bagian Selatan ke wilayah Jawa Barat bagian Utara dan Tengah, bahkan potensial mendorong 222

terjadinya penarikan kembali sumber daya manusia dan kapital dari wilayah Jawa Barat bagiam Utara dan Tengah ke wilayah Selatan. Agar proses yang demikian dapat terjadi, maka komoditas yang dikembangkan di Jawa Barat bagian Selatan hendaknya merupakan komoditas/produk yang bersifat memiliki elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi (income elastic demand), seperti komoditas peternakan dan hortikultura. Konsumsi komoditas peternakan (daging, telur dan susu) dan hortikultura meningkat dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Kemudian, konsumen hasil peternakan dan hortikultura terbesar di Jawa Barat selama ini berada pada masyarakat yang mendiami Jawa Barat bagian Utara dan Tengah; sementara kemampuan Jawa Barat bagian Utara dan Tengah dalam menghasilkan komoditas peter nakan dan hortikultura semakin menurun. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di bagian Utara dan Tengah akan meningkatkan permintaan komoditas peternakan dan hortikultura, sehingga bila komoditas tersebut dikembangkan di Jawa Barat bagian Selatan, peningkatan permintaan tersebut akan menarik aktivitas ekonomi masyarakat Jawa Barat bagian Selatan. Kemudian, untuk menjamin peningkatan pendapatan masyarakat di Jawa Barat bagian Selatan yang umumnya adalah petani, maka para petani perlu didorong dan difasilitasi untuk mengembangkan koperasi agribisnis. Di masa lalu, aktivitas ekonomi petani kita hanya terbatas pada usahatani saja, yang justru paling kecil nilai tambahnya dibandingkan dengan nilai tambah agribisnis hulu dan hilir. Dengan mengembangkan koperasi agribisnis secara vertikal, maka petani akan dapat menangkap nilai tambah yang ada pada subsistem agribisnis tersebut, baik yang berada di Jawa Barat bagian Utara dan Tengah maupun yang ada di Jawa Barat bagian Selatan. Dengan demikian, pendapatan petani di Jawa Barat bagian Selatan akan dapat ditingkatkan dan mengejar ketertinggalan dari Jawa Barat bagian Utara dan Tengah. Pengembangan wilayah dengan pendekatan agribisnis berpotensi mengintegrasikan perekonomian Jawa Barat ke perekonomian yang lebih luas oleh karena komoditas yang dikembangkan adalah bersifat memiliki elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan di wilayah DKI Jakarta, nasional dan internasional, sehingga pengembangan agribisnis yang demikian juga akan mendorong pengintegrasian perekonomian Jawa Barat(68) dengan perekonomian Jakarta, kemudian ke perekonomian nasional dan bahkan ke perekonomian internasional. Dengan demikian, manfaat pengintegrasian 223 223

perekonomian nasional dengan perekonomian internasional (AFTA dan APEC) akan dapat dinikmati oleh Jawa Barat, termasuk masyarakat Jawa Barat bagian Selatan yang selama ini tertinggal. Catatan Penutup Pembangunan wilayah melalui pendekatan agribisnis tidak melakukan dikotomi antara pembangunan sektor pertanian dan pembangunan sektor industri, akan tetapi merupakan pembangunan yang integratif yang membangun sektor pertanian dan sektor industri secara simultan, Hanya saja, industri yang dimaksudkan di sini adalah industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (agroindustri). Perlu saya kemukakan bahwa perubahan struktur ekonomi, baik nasional maupun Jawa Barat yang semakin memperbesar pangsa sektor industri adalah disebabkan konstribusi agroindustri yang sangat besar. Untuk mewujudkan pembangunan wilayah dengan pende-katan agribisnis yang berpotensi meningkatkan pendapatan sekaligus menghilangkan kesenjangan ekonomi, perlu dukungan keinginan politik (political will) dari pemerintah dan masyarakat luas, termasuk Badko HMI Jawa bagian Barat, Badko HMI Jawa bagian Barat dapat menjadi aktor penting dalam mewujudkannya, baik melalui sosialisasi strategi pembangunan wilayah melalui pengembangan agribisnis maupun melalui pendampingan petani dalam pengembangan agribisnis unggulan dan koperasi agribisnis di Jawa Barat. 224