1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menikah adalah penggabungan atau pencampuran antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008)

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Universitas Indonesia. Perbedaan kepuasan..., Imas Suryani, F.Psi UI, 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan, dimana setiap manusia harus menyelesaikan tugas-tugas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB II LANDASAN TEORI. (Herning, dalam Sumiarti 1956). Sedangkan menurut Duval & Miller (1980)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan seksual merupakan kebutuhan manusia sejalan dengan tingkat pertumbuhan

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami-istri. Bagi seorang wanita kehamilan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Makna Hidup. diraih. Makna hidup ini bila berhasil dipenuhi akan menyebabkan kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB V HASIL PENELITIAN. 1. Rekap Tema dan Matriks Antar Tema

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

- Sebelum melakukan penetrasi yang dalam, yang harus diutamakan adalah kenyamanan dan kebebasan ibu hamil.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa,

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. individu bisa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya, agar. dalam kehidupan suami istri. Putusnya hubungan perkawinan yang

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

Transkripsi:

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya, orang dewasa menginginkan hubungan cintanya berlanjut ke jenjang perkawinan. Perkawinan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau kasih sayang, kebutuhan seksual, serta kebersamaan (Papalia, Sterns, Feldman, & Camp, 2007). Di samping itu, perkawinan juga merupakan jalan terbaik untuk melegitimasi pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan definisi perkawinan yang diajukan oleh Duvall dan Miller (1985), bahwa perkawinan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, termasuk dalam hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pengaturan kerja antara pasangan. Setiap pasangan tentunya memiliki harapan yang ingin dicapainya dalam hubungan perkawinannya. Salah satu harapan yang terpenting adalah mencapai perkawinan yang memuaskan (Turner & Helms, 1995). Menurut Santrock (2006), kepuasan perkawinan memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan antara lain dapat mengurangi tingkat stres, baik secara psikologis maupun fisik. Sebaliknya, pasangan yang berada dalam perkawinan yang tidak memuaskan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami sakit dan mengurangi kesempatan hidup mereka (Gove, Style, & Hughes, dalam Santrock, 2006). Menurut Fitzpatrick (1988), kepuasan perkawinan didefinisikan sebagai evaluasi suami atau istri mengenai kualitas perkawinannya, termasuk di dalamnya gambaran subyektif dari pasangan apakah perkawinannya baik, bahagia ataupun memuaskan (dalam Bird & Melville, 1994). Hal mendasar yang harus dilakukan oleh pasangan untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan yaitu dengan mengembangkan karakteristik yang mendukung peningkatan kualitas kepuasan perkawinannya jauh sebelum pasangan menikah (Duvall & Miller, 1985). Terdapat dua karakteristik yang menentukan kepuasan perkawinan pasangan, antara lain faktor sebelum masa perkawinan (background characteristic) dan faktor selama masa perkawinan atau faktor masa kini (current characteristic). Faktor sebelum masa perkawinan adalah

hal-hal yang sudah dimiliki oleh tiap pasangan sebelum mereka menikah. Sementara, faktor selama masa perkawinan merupakan berbagai interaksi aktual yang berkembang di antara pasangan selama perkawinan berlangsung. Duvall & Miller (1985) menekankan bahwa faktor selama masa perkawinan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kepuasan perkawinan dibandingkan faktor sebelum masa perkawinan, sebab apapun yang telah terjadi di masa lalu tidak dapat diubah kecuali menerima dan memahami karakteristik masa lalu masing-masing. Berdasarkan penelitian, beberapa ahli mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan. Beberapa di antaranya adalah komunikasi, ciri kepribadian pasangan, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, kebersamaan, keintiman, kehidupan seksual, keyakinan beragama, ungkapan cinta, hubungan dengan mertua, kesepakatan, komitmen dan anak. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah anak (Landis & Landis, 1970; Duvall & Miller, 1985). Anak dan perkawinan memiliki keterkaitan karena tujuan perkawinan adalah untuk memiliki anak serta memperoleh pengakuan secara sosial untuk pengasuhan anak (Bird & Melville,1994; Santrock, 2006). Kehadiran anak di dalam perkawinan dapat memberikan berbagai keuntungan secara psikologis. Hoffman & Manis mengemukakan hal positif yang bisa didapatkan pasangan dari kehadiran anak dalam perkawinan yaitu dapat membuat pasangan menjadi lebih dewasa, bertanggung jawab, serta memiliki tujuan dalam hidupnya (dalam Atwater, 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Gallup & Newport (dalam Bird & Melville, 1994) menemukan hal positif lain yang diperoleh pasangan atas kehadiran anak dalam perkawinannya, antara lain anak memberikan kasih sayang kepada orangtua, orangtua memperoleh kesenangan dengan melihat perkembangan anak, anak memberikan kebahagiaan, anak melengkapi status pasangan menjadi sebuah keluarga dan anak membawa pemenuhan dan kepuasan kepada orangtua. Penelitian lain menyebutkan bahwa pasangan yang memutuskan untuk memiliki anak, selain dapat merasakan kebahagiaan bersama, juga dapat mencegah terjadinya perceraian, karena kehadiran anak menambah kompleksitas

dalam perkawinan serta menciptakan ikatan antara pasangan (Warte, Haggstrom & Kanouse, dalam Zanden, 1997). Meskipun perkawinan dan kehadiran anak memiliki kaitan yang erat, namun tidak semua pasangan langsung dikaruniai anak sebagaimana diidam-idamkan. Sebagian pasangan dapat dengan mudahnya memiliki keturunan, terlepas dari keinginan dan rencana yang dimiliki pasangan untuk memiliki anak. Sebaliknya, ada pasangan yang berharap agar segera memiliki keturunan, namun tidak mudah untuk mewujudkannya. Walker (1996) menjelaskan bahwa bagi sebagian pasangan memiliki anak merupakan hal yang sangat sulit terjadi. Ketidakmampuan pasangan untuk memiliki anak dapat disebabkan oleh faktor yang berbeda pada tiap pasangan, dimana salah satunya adalah disebabkan oleh infertilitas. Pasangan digolongkan infertil jika pasangan tersebut tidak memiliki anak setelah melakukan hubungan seksual secara teratur dalam waktu 12 hingga 18 bulan, tanpa menggunakan alat kontrasepsi (William, Sawyer & Wahlstrom, 2006; CDC, 2001a, dalam Papalia, 2007; Benson, dalam Abbey, Andrew, & Halman, 1992). Infertilitas dibedakan menjadi dua jenis, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder (Walker, 1996; Pepe & Byrne, 1991). Infertilitas primer adalah keadaan dimana istri belum pernah mengandung atau telah mengandung namun mengalami keguguran. Sementara, infertilitas sekunder terjadi ketika istri sudah memiliki setidaknya satu orang anak, tetapi kemudian mengalami keguguran dan sulit untuk mendapatkan anak kembali. Penyebab dari infertilitas dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yaitu 40% pasangan infertil karena masalah pada wanita, 40% karena masalah pada pria dan 20% karena kedua pasangan (Walker, 1996; William, Sawyer & Wahlstrom, 2006; Higgins, 1990). Higgins (1990) mengemukakan bahwa dalam 20% penyebab infertilitas karena pasangan, terdapat 5-10% kasus infertilitas yang tidak disebabkan oleh kedua pasangan, yaitu kondisi infertil yang tidak diketahui penyebabnya (idiopathic atau unexplained infertility). Terdapat perbedaan respon antara pria dan wanita dalam menghadapi kondisi infertilitas. Bila dibandingkan pria, wanita yang tidak memiliki anak mengalami

tekanan psikososial yang lebih besar (Lee, Sun, & Chao, 2001). Kondisi ini dapat terjadi karena masalah infertilitas mempengaruhi identitas seksual wanita dewasa dan self efficacy-nya akan kehadiran anak dalam perkawinannya. Kondisi infertil yang dialami oleh wanita juga berdampak pada hubungannya dengan lingkup keluarga yang lebih besar. Ini dapat dilihat ketika orangtua dari pasangan seringkali menyatakan kerinduannya kepada anaknya untuk segera memiliki cucu (Campbell, dalam Phoenix, Woollet, & Lloyd, 1991). Kenyataan ini sesuai dengan apa yang terjadi pada seorang wanita yang mengalami infertilitas primer, di bawah ini: Sangatlah sulit bagiku untuk hidup dalam kenyataan dimana aku tidak dapat memberikan ibu seorang anggota keluarga baru dan cucu baginya yang selalu diyakini akan hadir. Hal lain yang tidak kalah menyakitkan adalah ketika aku melihat kebahagiaan yang terpancar dari mereka saat memberitahukan aku tentang kelahiran cucu temannya. Aku seringkali merasa tidak dapat memberikan kebahagiaan dan kepuasan kepada mereka, karena keadaanku ini. (dalam Phoenix, Woollet, & Lloyd, 1991) Dampak negatif lainnya yang dirasakan oleh wanita adalah berkaitan dengan adanya tekanan di dalam masyarakat terhadap wanita agar memiliki anak (Miall, 1986). Dalam banyak budaya dan masyarakat, anak memang memiliki arti penting. Selain memiliki fungsi ekonomi, anak juga memiliki fungsi sosial (Seccombe & Warner, 2004). Hal ini bukan hanya karena penerimaan yang baik pada mereka yang mampu melahirkan anak (me.neruskan keturunan keluarga), tetapi juga karena sumbangan sosial dan ekonomi bagi rumah tangga. Oleh karena adanya masalah yang berkaitan dengan status sebagai wanita dewasa, serta adanya tekanan di dalam masyarakat untuk memiliki anak, maka tidak mengherankan jika reaksi yang ditunjukkan oleh wanita yang mengalami infertilitas adalah depresi, merasa bersalah, cemas, dan takut (Bird & Melville, 1994). Ketidakbahagiaan ini cenderung mempengaruhi kehidupannya, khususnya dalam aspek hubungan seksual, yaitu wanita menganggap bercinta lebih seperti suatu pekerjaan untuk menghasilkan anak dibandingkan untuk memperoleh kenikmatan (Bird & Melville, 1994 & Higgins, 1990). Hal ini sesuai dengan uraian mengenai kondisi infertilitas seorang istri di bawah ini:

Dia juga bercinta dengan antusias, dan selalu menuruti saran-saranku untuk mempercepat kehamilan. Tahun ketiga pun berlalu. Aku tak juga hamil. Empat bulan ini pun kami lalui dengan harapan dan kecemasan. Dan tak ada perubahan berarti. Aku tak juga hamil. Haidku tetap lancar dan teratur. Suamiku jadi merasa bersalah tiap aku mendapatkan haid. Rasa bersalahnya bahkan terasa lebih dalam dari rasa bersalahku. Dia jadi kehilangan gairah, dan menjadi malas berhubungan. Aku menyadarinya, dan pelan-pelan tak lagi mendesaknya, tak lagi menceritakan kekecewaanku karena datangnya haid tiap bulan. (Suara Merdeka, 14 Desember 2007) Meskipun pada umumnya infertilitas berkaitan dengan kondisi kesehatan seseorang, keadaan infertilitas sangat berpengaruh terhadap aspek emosional pasangan yang mengalaminya. Kondisi infertil ini seringkali tidak dapat diantisipasi, sangat menekan dan merupakan peristiwa yang dapat mengubah kehidupan seseorang. Menning (dalam Peterson, 2000) menuturkan bahwa infertilitas adalah suatu krisis perkembangan yang dapat mengancam tujuan pasangan akan masa depannya. Di samping itu, infertilitas juga dapat mempengaruhi kehidupan perkawinan secara emosional (Papalia, 2007). Bahkan ketika pasangan sudah dinyatakan tidak akan bisa memiliki anak, ini dapat menyebabkan pasangan mengalami tekanan psikologis jangka panjang (McQuilan, Greil, White & Jacob, 2003, dalam Papalia, 2007). Namun, hal di atas tidak dialami oleh semua pasangan yang menghadapi masalah infertilitas. Burns & Covington (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa keadaan infertilitas pada pasangan justru membuat pasangan semakin meningkatkan keintiman dan komunikasi antar pasangan (dalam Lee, Sun & Chao, 2001). Sejalan dengan itu, Callan (1987) juga menemukan bahwa istri yang mengalami infertilitas tetap merasakan kebahagiaan bersama suami dan dalam hubungan perkawinannya serta merasakan adanya kasih sayang yang lebih besar dibandingkan istri yang memiliki anak. Penelitian lain juga mengajukan hasil yang sejalan yaitu pasangan menikah yang tidak memiliki anak memiliki kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan pasangan yang memiliki anak (Brehm, 1992). Dengan demikian, ketidakhadiran anak dalam perkawinan bukanlah satusatunya sumber kepuasan perkawinan pasangan, sebab pasangan dapat meningkatkan

dan mengembangkan aspek penting lain yang dapat meningkatkan kepuasan perkawinannya. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas. Faktor-faktor yang diteliti dibatasi pada hal-hal yang terdapat dalam perkawinan saat ini. Gambaran kepuasan perkawinan dalam penelitian ini diperoleh dari deskripsi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Secara spesifik, peneliti ingin memahami lebih jauh mengenai pandangan subyek tentang kehadiran anak, penghayatan subyek atas kondisi infertilitas yang dialaminya serta gambaran faktor-faktor yang berperan dalam kepuasan perkawinan istri yang mengalami infertilitas. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif guna memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai masalah yang diangkat dalam penelitian. Subyek dalam penelitian ini adalah wanita yang mengalami infertilitas primer dan berada dalam usia dewasa muda yaitu 20-40 tahun, karena dalam rentang usia tersebut individu berada dalam usia produktif untuk menghasilkan keturunan (Papalia, 2007). 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti mengangkat permasalahan penelitian sebagai berikut. Bagaimana kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas? Dari permasalahan utama di atas, maka permasalahan turunan yang akan dirumuskan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana pandangan subyek tentang kehadiran anak? 2. Bagaimana penghayatan subyek atas kondisi infertilitas yang dialaminya? 3. Bagaimana gambaran faktor-faktor yang berperan dalam kepuasan perkawinan istri yang mengalami infertilitas?

1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh penjelasan mengenai kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas. 2. Memperoleh informasi mengenai pandangan subyek tentang kehadiran anak. 3. Memperoleh informasi mengenai penghayatan subyek atas kondisi infertilitas yang dialaminya. 4. Memperoleh gambaran faktor-faktor yang berperan dalam kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas. 1.4 Manfaat Penelitian Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk: 1. Memperkaya khasanah penelitian mengenai kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas. 2. Membantu konselor dalam melakukan asesmen dan intervensi yang efektif bagi pasangan infertil agar mereka dapat berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan infertilitasnya dan meningkatkan kualitas hubungan perkawinannya. 3. Mengingat bahwa infertilitas merupakan isu keluarga yang mempengaruhi suami dan istri sebagai individu dan sebagai pasangan yang terikat dalam perkawinan. Maka, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat dan orang-orang di sekitar pasangan yang mengalami infertilitas bahwa dukungan dari keluarga dan teman-teman sangat berguna bagi pasangan. 4. Memberikan pemahaman kepada masyarakat, agar dapat melihat dengan pandangan yang lebih obyektif dan positif dalam menyikapi fakta infertilitas yang terjadi di Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu : Bab 1 Pendahuluan, yang berisikan latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, metode penelitian, tujuan dan manfaat penelitian. Bab 2 Tinjauan pustaka, yang berisikan dasar-dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori perkawinan, kepuasan perkawinan, infertilitas dan dinamika kepuasan perkawinan pada istri yang mengalami infertilitas. Bab 3 Metode penelitian, yang menjelaskan metode penelitian, teknik pengambilan data, karakteristik subyek dan prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Bab 4 Hasil dan analisis data, yang berisi hasil analisis peneliti dari data yang diperoleh. Hasil analisis ini dibagi dua menjadi analisis intra kasus dan analisis antar kasus. Bab 5 Kesimpulan, diskusi, dan saran, yang berisi kesimpulan yang dibuat untuk menjawab permasalahan penelitian, diskusi yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian dan saran bagi penelitian selanjutnya.