1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah rawan bencana. Dalam dekade terakhir sudah cukup banyak bencana yang melanda negeri ini. Gempa bumi, gunung meletus, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, angin puting beliung serta banyak lagi bencana alam yang memakan korban jiwa, merusak alam, terlebih kehilangan harta dan dampak psikologis. Semua pihak baik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat lain yang tidak terkena bencana hingga dunia internasional tergerak hatinya untuk ikut membantu meringankan beban penderitaan korban bencana alam, sehingga mereka berbondong-bondong menyalurkan bantuannya baik berupa harta, tenaga dan lain sebagainya. Namun permasalahan yang sering terjadi dalam penanganan korban bencana ini adalah belum terorganisirnya upaya pendistribusian bantuan logistik ke posko pengungsian. Beberapa posko pengungsian terjadi penumpukan logistik, sementara di posko yang lain banyak yang kekurangan sehingga timbullah kesenjangan logistik antar posko. Di sisi lain ada pula posko yang harus menunggu cukup lama dikarenakan lokasi yang jauh atau sulit terjangkau. Sedangkan Pemerintah Republik Indonesia dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 04 Tahun 2009 Pasal 1 menyebutkan bahwa pedoman bantuan logistik merupakan panduan bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Instansi/ Lembaga dan penyelenggara penanggulangan bencana agar pemberian bantuan logistik kepada korban bencana dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, terpadu, efektif, efisien, dan akuntabel. Oleh karena itu dengan mengacu pada peraturan BNPB tersebut maka diperlukan proses distribusi logistik dengan mempertimbangkan jarak tempuh terpendek yang dapat menjangkau semua lokasi posko pengungsian.
2 Dalam mewujudkan pendistribusian bantuan logistik yang cepat, efektif, dan efisien maka perlu dilakukan penentuan rute distribusi. Rute distribusi ini bergerak dari satu posko ke posko lain dengan masing-masing posko hanya dilewati satu kali. Penentuan rute ini tentunya dicari yang sependek mungkin agar bantuan logistik dapat mencapai semua posko dengan cepat. Dalam hal riset operasi permasalahan seperti ini dinamakan Traveling Salesman Problem (TSP). Dikarenakan pada penelitian ini bukan multi salesman dan ketidaklengkapan data logistik maupun sarana transportasinya, maka permasalahan ini bukan termasuk Vehicle Routing Problem (VRP). Traveling Salesman Problem (TSP) merupakan salah satu topik bahasan yang begitu menarik perhatian para peneliti dalam beberapa dekade terakhir. Traveling Salesman Problem (TSP) merupakan permasalahan optimasi kombinatorial dengan tujuan untuk menentukan jalur terpendek dengan mengunjungi seluruh kota sebanyak satu kali dan kemudian kembali ke kota awal (Hashler, 2009). Permasalahan Traveling Salesman Problem (TSP) ini pernah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Purwanto (2014) untuk kasus distribusi BBM di depot Rewulu dengan mengubahnya menjadi permasalahan Vehicle Routing Problem (VRP). Namun sayangnya untuk lokasi SPBU nya masih menggunakan sistem koordinat garis lintang dan garis bujur, sehingga dalam penentuan jarak antar lokasi SPBU masih menggunakan rumus Euclidean Distance, bukan rute asli sesuai dengan jalan raya di peta. Begitu pula untuk penelitian-penelitian lainnya, semuanya menggunakan sistem garis lintang dan garis bujur atau koordinat kartesian. Untuk kasus TSP dengan jumlah kota sedikit mungkin metode eksak masih bisa digunakan. Permasalahan akan timbul ketika jumlah kota yang harus dikunjungi dalam proses distribusi itu banyak, maka TSP tidak mungkin diselesaikan dengan perhitungan manual karena kemungkinan rutenya akan sangat banyak sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama dan perhitungan yang rumit. Oleh karena itu untuk menyelesaikannya adalah dengan menggunakan
3 metode pendekatan (approximate methods), yang salah satu jenisnya adalah metode metaheuristik. Metode metaheuristik adalah metode kombinasi antara heuristik dan framework level yang lebih tinggi dengan tujuan meningkatkan efsiensi dan efektivitas dalam menemukan area pencarian. Tujuan utama dari metode metaheuristik ini adalah untuk menjelajahi ruang pencarian solusi seefisien dan sesederhana mungkin. Pada penelitian kali ini digunakan perbandingan dua jenis metode metaheuristik yang paling banyak dipakai untuk menyelesiakan permasalahan TSP, yaitu Ant Colony Optimization (ACO) dan Algoritma Genetika (AG). Harapannya dengan dua metode ini dapat ditemukan rute distribusi terpendek dengan waktu komputasi yang cepat untuk kasus pendistribusian bantuan logistik korban bencana erupsi merapi ini, sehingga kedepannya tidak ada lagi kesenjangan logistik ataupun keterlambatan dalam proses pendistribusian bantuan logistik korban bencana merapi. 1.2 Perumusan Masalah Dalam penyelesain optimasi rute distribusi logistik korban bencana merapi ini dapat dibuat beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu: a. Rute jarak antar posko merupakan rute jalan raya sebenarnya seperti yang ada di peta. b. Adanya perubahan status erupsi Merapi saat itu, dikarenakan terjadi 3 erupsi yang cukup besar sehingga posko yang ada saat itu baik jumlah maupun lokasinya mengikuti perkembangan status erupsi Merapi. Perumusan masalah yang dapat ditarik dari kedua hal di atas adalah bagaimana mengoptimalkan rute distribusi logistik korban bencana erupsi Merapi dengan mengikuti rute asli di peta dan pembagian periode distribusi yang mengikuti status gunung Merapi saat itu.
4 1.3 Asumsi dan Batasan Masalah Dalam penyelesaian optimasi rute distribusi korban bencana erupsi Merapi se-diy ini terdapat asumsi dan batasan masalah agar dapat memahami secara menyeluruh mengenai kasus TSP ini, diantaranya yaitu: Asumsi: a. Jarak antar posko merupakan jarak yang diambil dari rute sebenarnya di peta, sehingga TSP ini tergolong TSP asimetris, dimana jarak dari posko A ke posko B belum tentu sama dengan jarak dari posko B ke posko A. b. Tidak mempertimbangkan jenis logistik yang didistribusikan, sehingga diasumsikan semuanya sama, seperti bahan makanan, pakaian, obat-obatan, dan sebagainya yang dijadikan satu dalam satu kendaraan. c. Kecepatan kendaraan diasumsikan tidak konstan, karena mempertimbangkan kepadatan lalu lintas dan lebar jalan yang ditunjukkan pada rute Google Maps. d. Tiap posko diasumsikan hanya untuk satu periode saja mengingat tidak adanya data yang pasti mengenai tanggal mulai dan berakhirnya posko tersbut, sehingga tidak ada posko yang terkategori dalam dua atau lebih periode. e. Kapasitas kendaraan diasumsikan tidak terbatas dan tidak adanya Distribution Centre (DC). Batasan: a. Posko-posko yang dioptimasi rute distribusinya dibatasi hanya yang di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saja. b. Data lokasi posko dan pembagiannya diambil dari situs Sistem Informasi Manajemen Aksi Komunitas untuk Krisis (SIMAK) Merapi yang diambil langsung pada tahun 2010 lalu. c. Data jarak antar posko diambil dari Google Maps dan terbagi menjadi dua jenis data, yaitu data jarak Google Maps terpendek (Shortest Path) dan data jarak yang disarankan Google Maps (Google Maps).
5 d. Waktu distribusi logistik dibatasi hanya waktu perjalanan antar poskonya saja, tidak termasuk waktu loading dan unloading logistiknya. e. Tidak ada batasan waktu dalam pendistribusian logistik (time window), hal ini dikarenakan keterbatasan data yang ada. 1.4 Tujuan Penelitian Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengoptimasi rute distribusi bantuan logistik korban bencana merapi se- Daerah Istimewa Yogyakarta dan memberikan pemahaman yang mendalam kepada pembaca mengenai perbandingan penyelesaian optimasi dengan dua metode metaheuristik, yaitu Ant Colony Optimization (ACO) dan Algoritma Genetika (AG). 1.5 Manfaat Penelitian Dengan mengoptimasikan rute distribusi bantuan logsitik korban bencana Merapi ini diharapkan dapat mengurangi keterlambatan pendistribusian dan kesenjangan logistik antar posko kedepannya jika suatu saat gunung Merapi kembali meletus, serta di sisi pembaca dapat memahami secara mendalam mengenai optimasi TSP dengan menggunakan metode Ant Colony Optimization (ACO) dan Algoritma Genetika (AG).