BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu fase penting dalam penanggulangan bencana adalah fase respon atau fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat membutuhkan suatu sistem yang terintegritas dengan baik dalam pengelolaannya. Setiap kesalahan dalam sistem pada fase yang singkat ini akan berimbas pada peningkatan signifikan dari jumlah korban maupun kerugian materil yang ditimbulkan. Selain itu akan berakibat pada meningkatnya korban dan meningkatnya pengungsi yang belum sempat ditangani, kerugian dan kerusakan infrastruktur, serta munculnya berbagai masalah sosial ekonomi, sehingga membuat persoalan penanggulangan bencana menjadi semakin sulit (Balcik dan Beamon, 2008). Balcik dan Beamon (2008) menjelaskan pentingnya kebijakan terkait keputusan lokasi fasilitas untuk rantai pasok bantuan kemanusiaan pada fase tanggap darurat agar penyaluran bantuan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Permasalahan yang sering terjadi yaitu distribusi bantuan yang tidak merata, baik itu berupa barang ataupun relawan (manusia). Selain itu, posisi ataupun letak daerah-daerah yang terkena dampak bencana pun tidak dapat diprediksi. Verma dan Gaukler (2014) menyatakan penentuan dan pemilihan lokasi fasilitas tanggap bencana untuk penyimpanan persediaan darurat sangat penting untuk kualitas layanan kesehatan yang disediakan pasca terjadinya keadaan darurat skala besar seperti gempa bumi. Fakta menunjukkan terjadi banyak kegagalan dalam proses pemberian bantuan kepada pengungsi akibat kurang mempersiapkan dan menentukan lokasi fasilitas dan posko bantuan. Paul dan MacDonal (2015) mengembangkan sebuah kerangka kerja pemodelan stokastik untuk menentukan lokasi dan kapasitas Distribution Centers (DCs) untuk stok darurat agar meningkatkan kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana. Model simulasi dibangun dengan menggabungkan berbagai sumber ketidakpastian termasuk waktu dan tingkat potensi keparahan peristiwa dan dampak yang dihasilkan.

2 2 Hakasmanti (2008) menyatakan dalam upaya penanganan bencana, kecepatan bertindak merupakan faktor penting dalam kegiatan penyelamatan dan mengurangi penderitaan akibat bencana. Model pada penelitian ini difokuskan pada bencana gempa bumi yang telah terjadi di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Haskasmanti (2008) bertujuan untuk penentuan lokasi posko dan pusat posko dengan mempertimbangkan empat faktor yaitu adanya ketersediaan bangunan, lahan kosong atau ruang terbuka hijau, kemudahan akses (aksesbilitas) ke daerah bencana, kecepatan respon dan banyaknya korban berdasarkan jumlah penduduk. Hartmann dan Zerjav (2014) melakukan optimasi perencanaan lokasi pelayanan kesehatan untuk karakteristik penduduk daerah perkotaan. Penelitian ini menggunakan integrasi Agent Based Modeling (ABM) dan Geographic Information Systems (GIS) untuk mendukung pengambilan keputusan seperti lokasi pusat pelayanan kesehatan sesuai peraturan perkotaan yang berlaku. Model simulasi dibuat dengan mempertimbangkan spesifikasi preferensi pasien ketika memilih pusat pelayanan kesehatan dan data kode pos pasien berbasis GIS. Kruzikas et al (2014) menggunakan pendekatan Agent Based Modeling (ABM) dan Geographic Information Systems (GIS) untuk membangun model simulasi dalam pengembangan populasi suatu daerah, beban dan penyebaran penyakit, infrastruktur kesehatan dan memperkirakan dampak dari keputusan investasi sumber daya terkait biaya kesehatan penduduk dan perawatan kesehatan. Pendekatan ABM digunakan untuk mensimulasikan karakteristik populasi, perilaku kesehatan, intervensi dan hasil yang dihasilkan berdasarkan kondisi nyata. Sedangkan integrasi visualisasi data GIS memungkinkan adanya identifikasi dan interpretasi pola grafis. Crooks et al (2008) menjelaskan bahwa ABM akan menjadi lebih lengkap apabila diintegrasikan dengan GIS. Bantuan data spasial dan data visualisasi geografis dalam pemodelan Agent Based Modeling menjadi salah satu cara agar model yang dibuat mampu representatif terhadap kondisi nyata di lapangan seperti alur transportasi, jalur pedestrian dan data geografis lainnya.

3 3 Salah satu bencana yang menjadi objek pada penelitian ini adalah bencana Erupsi Gunung Merapi pada tahun Kejadian Erupsi Gunung Merapi Oktober 2010 mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta. Bencana ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bencana serupa dalam lima kejadian sebelumnya, yakni pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006 (BNPB, 2011). Gunung Merapi merupakan gunung api jenis strato dengan ketinggian meter di atas permukaan air laut. Secara geografis Gunung Merapi terletak pada posisi 7 32,5 Lintang Selatan dan ,5 Bujur Timur. Secara administratif terletak pada empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman di Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten-kabupaten tersebut memiliki kelas rawan bencana tinggi, tetapi Kabupaten Sleman memiliki indeks rawan bencana yang paling tinggi di antara kabupaten lain. Tingginya indeks rawan bencana Kabupaten Sleman salah satunya disebabkan oleh keberadaan salah satu gunung api teraktif di dunia ini (BNPB, 2011). BNPB (2011) menyatakan letusan Gunung Merapi paling dahsyat yang tercatat dalam sejarah terjadi pada April Letusan mematikan itu berlangsung selama 120 jam tanpa jeda. Awan panas dan material jatuhan memusnahkan seluruh permukiman yang berada di ketinggian di atas mdpl. Selanjutnya BNPB (2011) melaporkan bahwa Letusan Merapi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 menimbulkan korban jiwa sebanyak 252 orang di DI Yogyakarta dan 97 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah. Total kerusakan dan kerugian sebesar 3,557 triliun. Kerusakan terbesar terdapat pada sektor ekonomi produktif (46,64%), kemudian diikuti sektor infrastruktur (19,50%), sektor perumahan (17,27%), lintas sektor (13,22%) dan sektor sosial (3,38%). Tabel 1.1 menunjukkan data rekapitulasi jumlah korban dan pengungsi untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan data rekapitulasi jumlah korban dan pengungsi dapat diidentifikasikan bahwa Kabupaten Sleman

4 4 merupakan kabupaten yang memiliki jumlah korban dan pengungsi yang lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten lain (BNPB, 2011). Tabel 1.1. Data rekapitulasi jumlah korban dan pengungsi (BNPB, 2011) Lokasi Korban Meninggal Korban Rawat Inap Pengungsi Luka Bakar Non Luka Bakar Sleman Kulonprogo Yogyakarta Bantul Gunung Kidul Total Berdasarkan latar belakang ini, dilakukan penelitian terkait evaluasi letak dan jumlah posko bantuan dengan menggunakan Agent Based Modeling (ABM) dan GIS untuk wilayah Kabupaten Sleman Yogyakarta. Pengintegrasian ABM dan GIS akan memperlihatkan kondisi nyata secara lebih kompleks dan lebih representatif terkait kondisi geografis di lapangan. Pengintegrasian keduanya dalam penanggulangan bencana akan sangat membantu dalam kebijakan pengambilan keputusan terkait jumlah dan lokasi posko bantuan dalam pendistribusian bantuan menuju titik-titik barak pengungsian. Penelitian ini difokuskan pada penentuan jumlah dan lokasi posko bantuan utama mengenai kasus Erupsi Merapi dengan pendekatan GIS dan ABM. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu ditentukan model simulasi terkait evaluasi jumlah dan lokasi posko bantuan pada periode tanggap darurat dengan menggunakan pendekatan Agent Based Modeling (ABM) dan Geographic Information System (GIS). 1.3 Batasan Masalah Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini dibatasi pada penanganan bencana pada fase tanggap darurat bencana selama 60 hari dan penelitian ini terbatas pada penanggulangan bencana Erupsi Merapi Yogyakarta 2. Penelitian ini terfokus pada lokasi dan jumlah posko bantuan di Kawasan Kabupaten Sleman Yogyakarta yang merupakan daerah

5 5 paling rawan bencana Erupsi merapi. Selain itu, Kabupaten Sleman merupakan kabupaten dengan korban meninggal dan jumlah pengungsi paling banyak dibanding kabupaten lainnya di Yogyakarta 3. Penentuan jumlah dan lokasi posko bantuan serta lokasi barak pengungsian telah ditentukan sebelumnya 4. Lokasi posko bantuan berada dalam kawasan aman dan dapat beroperasi dalam penanggulangan bencana baik untuk skenario dasar dan skenario alternatif dalam model ini. Selain itu, posko-posko mandiri yang dibangun masyarakat ataupun posko instansi secara mandiri dan berada sangat berdekatan dengan barak pengungsian tidak dipertimbangkan dalam pemodelan ini. 5. Penelitian ini tidak mencakup evakuasi korban bencana oleh para relawan 6. Proporsi jumlah pengungsi berdasarkan tingkat kepadatan dan jumlah penduduk masing-masing kecamatan di kawasan Kabupaten Sleman 7. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa pengungsi berada pada periode yang mengharuskan untuk segera bergerak menuju barak pengungsian dalam radius yang ditetapkan oleh BPBD Kabupaten Sleman atau BNPB. 8. Pemodelan yang dilakukan tidak memperhitungkan faktor biaya yang dikeluarkan baik dalam aktivitas penyaluran bantuan, pembangunan posko bantuan dan kegiatan yang terkait penanggulangan bencana. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah berikut: 1. Memodelkan jumlah dan lokasi posko bantuan untuk mengetahui dinamika hubungan permintaan korban bencana terhadap total stok akhir kapasitas suplai bantuan selama masa waktu tanggap darurat terintegrasi dengan GIS dan ABM. 2. Menentukan skenario simulasi terbaik terkait penentuan jumlah dan lokasi posko bantuan yang digunakan dalam penanganan dan

6 6 penanggulangan bencana terhadap nilai total demand yang tidak terpenuhi dan total stok akhir kapasitas suplai bantuan yang dimiliki pada akhir simulasi. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a. Bagi Peneliti Mengembangkan pengetahuan mengenai penentuan lokasi dan jumlah posko bantuan kemanusian terkait penanggulan bencana Erupsi Merapi melalui pendekatan Agent Based Modeling (ABM) dan Geographic Information Systems (GIS). b. Bagi instansi maupun organisasi Membantu para pembuat keputusan dalam mengidentifikasikan informasi yang terbentuk untuk menentukan lokasi dan jumlah posko bantuan utama yang diperlukan dalam fase tanggap darurat Erupsi Merapi. Selain itu dapat memberikan kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana dengan ukuran kinerja yang memaksimalkan waktu respon dan meminimalkan korban jiwa. c. Masyarakat Penelitian ini akan memberikan dampak positif bagi masyarakat terutama masyarakat terdampak bencana terutama masyarakat kawasan gunung merapi. Penelitian ini akan memudahkan para relawan, bantuan pemerintah tersalurkan dengan baik, sehingga korban dapat ditangani secara cepat.