PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis

dokumen-dokumen yang mirip
MEWASPADAI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN

Benarkah Ada Aflatoksin pada Kakao?

XIII. JAMUR DAN MIKOTOKSIN DALAM PANGAN

SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia adalah faktor suhu lingkungan yang cukup tinggi. Kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia dan konsekuensi yang buruk pada ekonomi yang harus

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sejumlah produk olahan pangan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pakan merupakan salah satu komponen terpenting dalam proses produksi

1. Stres Panas Stres panas pada ayam akan menurunkan tampilan produksi. Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan-perubahan fisiologik dan biokimiawi

TINJAUAN PUSTAKA Aflatoksin

BAB I PENDAHULUAN. Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sekitar 2/3 wilayah dari total wilayah Indonesia. Dengan luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diliputi oleh perairan. Dengan luas dan panjangnya garis pantai Indonesia, komoditi

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

1 Universitas Kristen Maranatha

TOKSIN MIKROORGANISME. Dyah Ayu Widyastuti

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

KEBERADAAN JAMUR KONTAMINAN PENYEBAB MIKOTOKSIKOSIS PADA SELAI KACANG YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA PALEMBANG TAHUN 2013

I. PENDAHULAN. memetabolisme dan mengekskresi zat kimia. Hati juga mendetoksifikasi zat

A. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM MATA KULIAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar

Kacang Tanah: SUMBER Pangan Sehat dan Menyehatkan

1 Universitas Kristen Maranatha

I. PENDAHULUAN. dan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Tingkat konsumsi

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman jenis tanaman. Iklim

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

BAB 1 PENDAHULUAN. makhluk hidup, yang berguna bagi kelangsungan hidupnya. Makanan penting

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. unggul. Telur itik Mojosari banyak digemari konsumen. Walaupun bentuk badan itik

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

I. PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang gizi yang meningkat. Penduduk Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan

Berikut tips mengenali dan memilih pangan yang berasal dari hewan yang memenuhi kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. antar jenis tanaman menyebabkan tanaman ini tersisih dan jarang ditanam dalam

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aspergilus sp adalah salah satu jenis mikroorganisme yang termasuk jamur,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENCEMARAN BAHAN MAKANAN DAN MAKANAN HASIL OLAHAN OLEH BERBAGAI SPESIES KAPANG KONTAMINAN SERTA DAMPAKNYA BAGI KESEHATAN

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Usus Besar

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food

PENDAHULUAN. Latar Belakang. bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan

STUDI TENTANG PROTEIN ORGAN HATI YANG BERINTERAKSI DENGAN AFLATOKSIN B 1

I. PENDAHULUAN. satu komoditi yang sangat berpotensi untuk meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gaya hidup modern turut mengubah pola makan masyarakat yang

TERNAK PERAH SEBAGAI PRODUSEN SUSU

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

UJI TOKSISITAS SUB KRONIS DARI EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata.l) TERHADAP HATI DAN GINJAL PADA MENCIT PUTIH

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN Latarbelakang Indonesia yang beriklim tropis memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai cendawan. Salah satu diantara cendawan tersebut adalah Aspergillus. Tiga spesies Aspergillus yang memiliki peran penting dalam dunia kesehatan, terutama kesehatan hewan, adalah A. fumigatus, A. flavus dan A. parasiticus. A. flavus dan A. parasiticus dikenal sebagai cendawan pencemar lapang dan gudang karena kemampuannya bertindak sebagai pencemar bagi produk-produk pertanian sejak penanganan pasca panen di ladang hingga produk tersebut disimpan di gudang-gudang penyimpanan. A. flavus dan A. parasiticus dikenal juga sebagai cendawan toksigenik. Salah satu mikotoksin yang sangat dikenal yang dihasilkan oleh kedua spesies ini adalah toksin aflatoksin. Aflatoksin dapat dihasilkan oleh kedua spesies ketika menghadapi kondisi yang ekstrim baik saat masih di ladang/kebun maupun di gudang-gudang penyimpanan. Cekaman (stres) yang dialami cendawan akibat peningkatan suhu gudang penyimpanan, atau cekaman akibat serangan serangga gudang dapat menggertak cendawan untuk menghasilkan aflatoksin. Jagung dan kacang tanah, merupakan komoditi pertanian yang paling rentan terhadap pencemaran oleh aflatoksin. Pencemaran oleh aflatoksin terhadap jagung dan kacang tanah mendapat perhatian yang serius karena jagung merupakan komponen utama penyusun pakan ternak. Sedangkan banyak makanan tradisional Indonesia yang menggunakan kacang tanah, seperti bumbu-bumbu pecel, gado-gado, sate dan sebagainya. Aflatoksin tidak mengalami kerusakan terhadap proses pengolahan makanan, seperti pemanasan karena sifatnya yang termotoleran hingga suhu mencapai 220 o C (Syarief et al. 2003). Cemaran aflatoksin di dalam pakan ternak dapat memicu gangguan kesehatan pada ternak-ternak yang memakan pakan yang tercemar tersebut. Gangguan kesehatan pada ternak yang disebabkan oleh karena memakan pakan yang tercemar aflatoksin dikenal dengan sebutan aflatoksikosis. Beberapa

2 kejadian aflatoksikosis pada ternak telah terekam dalam beberapa hasil penelitian. Kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian aflatoksikosis tidak dapat dihindari karena aflatoksin menyerang organ hati sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan ternak. Dampak yang diakibatkan oleh aflatoksikosis tidak hanya selama ternak dipelihara saja, tetapi setelah ternak dipanenpun masih menyisakan permasalahan. Residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk-produk asal hewan menjadi permasalahan lain lagi. Pribadi dan Patriana (1996) mendapati akumulasi residu aflatoksin pada beberapa bagian karkas ayam dalam skala penelitian. Tidak tertutup kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang sama bila dilakukan pengamatan yang lebih mendalam pada karkas-karkas ayam yang dijual. Aflatoksin M 1 pun dapat saja ditemukan di produk susu segar dari peternakan sapi perah yang pakannya tercemar aflatoksin. Walaupun penelitian telah merekam keberadaan residu aflatoksin dalam beberapa produk asal hewan, namun masih jarang diperoleh penelitian-penelitian yang memusatkan perhatiannya pada kesehatan konsumen setelah memakan produk-produk yang berpotensi tercemari oleh aflatoksin. Satu survei yang pernah dilakukan oleh Tsuboi et al. (1984) melaporkan bahwa 20% sukarelawan yang dinyatakan sehat pada waktu itu mengandung aflatoksin B1 di dalam darahnya. Sebanyak 23% penderita primary hepatocellular carcinoma (PHC) akut dan kronis di dalam darahnya juga mengandung aflatoksin B1. Sedangkan pada ternak ayam (karena komoditi daging ayam merupakan komoditi tertinggi yang dikonsumsi masyarakat), akumulasi aflatoksin terjadi di organ hati, limpa dan ginjal dengan tingkat kerusakan terparah pada organ hati (Pribadi dan Patriana 1996). Intoksikosis aflatoksin yang bersifat akut dapat menyebabkan kematian ternak ayam tanpa memperlihatkan gejala klinis. Pemeriksaan dengan melakukan bedah bangkai akan menemukan perubahan patologik berupa pembesaran hati (hepatomegali) (Espada et al. 1992). Sedangkan ternak bebek dan kalkun memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan ternak ayam.

3 Rusaknya sel-sel hati yang diakibatkan oleh aflatoksin telah diamati oleh beberapa peneliti baik pada hewan (Chen et al. 1994; Jenning et al. 1994) maupun pada manusia (Cole et al. 1989; Begue et al. 1988). Beberapa tanggap seluler sel hati dari hewan yang mengalami aflatoksikosis dapat berupa terjadinya peroksidasi lipida (Shen et al. 1994), perubahan keutuhan membran dan penghambatan enzim glutathione-s-transferase (Jenning et al. 1994), peningkatan aktivitas sangat tinggi pada sitokrom dari sel-sel hepatik yang mengiringi proses pembesaran organ hati (Iwaki et al. 1990). Tingkat kerusakan sel-sel hati dalam kasus karsinoma hepatoseluler pada hewan percobaan telah diteliti oleh beberapa peneliti. Nunez et al. (1991) mendapati bahwa organ hati yang mengalami karsinoma hepatoseluler akan kehilangan hubungan antara hepatosit dan sinusoid, antara hepatosit dan sistem saluran empedu dan antar hepatosit itu sendiri. Sedangkan Pritchard dan Butler (1988) mendapatkan bahwa perkembangan pembentukan tumor hati dapat ditandai dengan adanya nodul-nodul yang bersifat eosinofilik di dalam sel. Proses biotransformasi yang terjadi di dalam organ hati merupakan tahap awal yang sangat penting bagi aflatoksin. Aflatoksin mengalami bioaktivasi setelah melalui proses biotransformasi sehingga bersifat radikal, toksik dan memberikan efek karsinogenik. Proses biotransformasi aflatoksin dimulai dengan terjadinya oksidasi di dalam sitokrom P-450 dan selanjutnya akan menghasilkan berbagai metabolit aflatoksin dengan tingkat toksisitas yang tidak lebih rendah dari senyawa awalnya (Eaton dan Groopman 1994). Muncul satu pemikiran setelah mengetahui beberapa tahapan proses biotransformasi aflatoksin, yaitu (i) mekanisme apa yang terjadi sehingga aflatoksin dapat masuk ke dalam sel hati?, dan (ii) apakah memungkinkan untuk mengganggu mekanisme masuknya aflatoksin ke sel hati? Hao et al. (1999) yang melakukan penelitian dengan okhratoksin A mendapatkan bahwa ada protein di dalam sel hati yang mampu terikat dengan toksin tersebut. Aflatoksin dapat diikat dengan protein dinding sel bakteri asam laktat (LAB) (Haskard et al. 2001) dan protein susu (Pierides et al. 2000). Dengan memanfaatkan hasil penelitian tersebut,

4 maka dikembangkan suatu pemikiran (iii) apakah ada sejenis protein yang berada di dalam organ hati yang dapat berikatan dengan aflatoksin?; (iv) seandainya memang protein ini yang bertanggungjawab terhadap kejadian aflatoksikosis, apakah keberadaan protein di organ hati dapat digunakan sebagai parameter tingkat kepekaan antar spesies hewan terhadap aflatoksin? Tujuan Penelitian Sampai saat ini hasil-hasil penelitian yang secara tegas mengarah ke upaya mencari jawaban atas pemikiran-pemikiran di atas belum tercatat, namun dari hasil yang sudah ada dapat dirangkai pemikiran-pemikiran melalui penelitian ini. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan: 1. Isolasi protein pada organ hati yang dapat berikatan dengan aflatoksin B 1 (AFB 1 ). Protein yang telah diisolasi dapat dikatakan sebagai protein yang terikat AFB 1 (PAB 1 ); 2. Identifikasi dan karakterisasi protein PAB 1 ; 3. Pengamatan keberadaan protein PAB 1 di organ hati ayam dan bebek. Keberadaan PAB 1 dan pola penyebarannya di jaringan hati akan digunakan untuk menjelaskan perbedaan kepekaan antara bebek dan ayam terhadap aflatoksikosis. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah H 0 : didapatkan protein di dalam organ hati yang bereaksi dengan AFB 1 dan menyebar pada organ hati bebek dan ayam H 1 : tidak didapatkan protein di dalam organ hati yang bereaksi dengan AFB 1 dan menyebar pada organ hati bebek dan ayam

5 Manfaat Hasil Penelitian Informasi mengenai protein terikat AFB 1 masih belum banyak dilaporkan dan dari penelitian ini diharapkan diperoleh informasi mengenai: 1. adanya protein yang memiliki kemampuan untuk berikatan dengan AFB 1 (PAB 1 ), 2. sifat antigenik PAB 1 sehingga mampu menggertak untuk memproduksi antibodi (APAB 1 ), 3. PAB 1 yang dapat digunakan sebagai penentu perbedaan kepekaan antara bebek dan ayam terhadap AFB 1, 4. adanya peluang pemanfaatan ikatan antara APAB 1 dan PAB 1 yang dapat memodifikasi proses biotransformasi AFB 1 sehingga memiliki peranan dalam pencegahan aflatoksikosis pada hewan maupun manusia.