BAB II DASAR PEMIKIRAN KONSEP DAN JENIS-JENIS WAKARE NO AISATSU

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berbicara dan cara penyampaiannya. Dalam beberapa masyarakat, percakapan

BAB III PENGGUNAAN WAKARE NO AISATSU DALAM DRAMA TELEVISI DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI

BAB I iii PENDAHULUAN. pada makhluk lainnya dimuka bumi ini. Semua orang menyadari betapa pentingnya

BAB II KONSEP PRONOMINA PERSONA DAN PENERJEMAHAN

Penggunaan Kata Salam Perpisahan (Wakare no Aisatsu) Ditinjau dari Segi Sosial dan Budaya pada Masyarakat Jepang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa pria (danseigo) dan ragam bahasa wanita (joseigo). Sudjianto dan Dahidi

BAB 4 SIMPULAN DAN SARAN. terdapat beberapa pronomina persona pertama dan kedua yang fungsinya berada di luar

BAB 5 RINGKASAN. memanggil atau menyebut lawan bicara yang sudah kita kenal ataupun yang belum kita

BAB I PENDAHULUAN. serupa. Ragam bahasa menurut Pateda (1987:52) terbagi menjadi berbagai jenis

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KEIGO

Bab 4. Simpulan dan Saran. maka bisa disimpulkan bahwa penggunaan partikel kashira dan kana dalam manga yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas komunikasi tidak lepas dari kehidupan manusia sehari-hari.

Bab 1. Pendahuluan. dengan sesama kita, manusia. Bahasa merupakan salah satu sarana yang

Bab 1. Pendahuluan. dapat menunjukkan dari lingkungan sosial seperti apa seseorang itu berasal.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelajaran 2011/2012. Bab 1 ini mencakup latar belakang masalah penelitian,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang merupakan pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Semarang telah

AIZUCHI YANG DIGUNAKAN ANAK-ANAK DALAM FILM SAYONARA BOKUTACHI NO YOUCHIEN SKRIPSI OLEH: DINDA ZINUL MISRI NIM

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Era Globalisasi membuat jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan. dimasyarakatkan luas pada khususnya. Agar bangsa Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa berperan antara lain dalam membentuk pengalaman sehubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nurlaila Djamali (2005) mengkaji tentang Variasi Bahasa Bolaang Mongondow

Tuturan Simpati Bahasa Jepang dalam Drama Gokusen 3.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

Bab 1. Pendahuluan. Dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya air dan udara yang menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dan dipelajari oleh berbagai kalangan di Indonesia, karena bahasa Jepang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial tidak dapat hidup tanpa adanya komunikasi dengan sesama. seseorang dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu

BAB IV ANALISIS DATA. pada orang tua dengan anak dan berdasarkan data-data yang telah. disajikan dalam Bab III didapatkan, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan baik antarsesama. (Keraf, 1971:1), bahasa merupakan alat

Bentuk Tuturan Imperatif Bahasa Indonesia dalam Interaksi Guru-Siswa di SMP Negeri 1 Sumenep

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

Sekolahku. Belajar Apa di Pelajaran 7?

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesama manusia baik dalam menyampaikan pesan, informasi,

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

Bab 5. Ringkasan. Bahasa yang digunakan untuk melakukan interaksi tersebut, tidak hanya. yang harmonis dan hubungan interkasi yang lancar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahasa, manusia dapat berkomunikasi antara satu dengan lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia itu sendiri. Dalam (9 Januari 2006), definisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan ungkapan manusia yang dilafalkan dengan kata-kata dalam. dan tujuan dari sebuah ujaran termasuk juga teks.

03Teknik RAGAM BAHASA DALAM BAHASA INDONESIA. Ragam Lisan dan Tulisan Bahasa Indonesia Baku Ragam Lisan dan Tulisan Bahasa Indonesia Tidak Baku

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Jepang, ungkapan disebut dengan hyougen. Menurut Ishimori (1994:710),

BAB I PENDAHULUAN. tetapi juga pada pemilihan kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan,

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. manusia bermasyarakat. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk berinteraksi atau alat

BAB I PENDAHULUAN. atau kelompok individu terutama kelompok minoritas atau kelompok yang

PEMAHAMAN KATA YANG MENUNJUKKAN TEMPAT DAN ARAH DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA INDONESIA *

BAB I PENDAHULUAN. bunyi yang arbitrer yang di gunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE

Kecakapan Antar Personal

RAGAM BAHASA DALAM BAHASA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Manusia umumnya mempunyai bidang keahlian untuk menunjang kelangsungan

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalin hubungan dengan dunia luar, hal ini berarti bahwa fungsi utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial pasti melakukan proses komunikasi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

BAB I PENDAHULUAN. istilah. Berikut diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan pendahuluan.

Bab 2. Landasan Teori. dalam cerita, dan bagaimana penempatannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep dapat mendukung proses berjalannya suatu penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. meninggalkan kebiasaan, pandangan, teknologi dan hal - hal lainnya yang

Bab 1. Pendahuluan. Negara Jepang telah lama mengenal gaya serta ritual penghancuran diri yang lebih

KOMUNIKASI VERBAL DAN KOMUNIKASI NON VERBAL DALAM KOMUNIKASI. Sesi 9 Pengantar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pembelajar bahasa asing pada pendidikan formal, sudah sewajarnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Jenis interaksi antarmanusia sangat beragam. Salah satu contoh interaksi terjadi pada

Kegiatan Sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi dan interaksi diantara dua

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. ada dua proses yang terjadi, yaitu proses kompetensi dan proses performansi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendapat dari seorang penutur kepada mitra tutur. mengemukakan pendapat, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan

Abstraksi. Kata kunci: Danjo, joseigo, danseigo

BAB 1 PENDAHULUAN. ini dapat terlaksana dengan bahasa sebagai media perantaranya. Bahasa dalam hal ini

PROFESSIONAL IMAGE. Etiket dalam pergaulan (2): Berbicara di depan Umum, etiket wawancara. Syerli Haryati, S.S. M.Ikom. Modul ke: Fakultas FIKOM

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa memiliki sistem fonologi dan tata bahasanya sendiri, yang membedakannya dari bahasa lain. Oleh karena itu, masyarakat

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Tesis ini membahas tentang pelanggaran maksim-maksim prinsip

ETIKA DAN ETIKET DALAM KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki dialek oleh karena seperti

BAB IV ANALISIS PROSES KOMUNIKASI ANTAR AGAMA ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS JAWA DI PECINAN DESA WELAHAN KEC. WELAHAN

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat. Bahasa merupakan ciri yang paling khas dari manusia

Bab 1. Pendahuluan. Arti dari bahasa dalam kamus bahasa Inggris Longman dictionary of contemporary

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

Hiburan di Sekolah. Belajar Apa di Pelajaran 4? Kegiatan menulis untuk mengenal format surat dan menyampaikan informasinya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial, manusia saling berinteraksi satu sama lain

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa yang spesifik dan unik sesuai

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. bahasa bidang-bidang tertentu. Karakteristik masing-masing komunitas

BAB I PENDAHULUAN. gagasan, ide, dan perasaan orang kepada orang lain. Bahasa juga digunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa digunakan manusia untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada zaman modern ini, telah banyak terdapat aneka ragam jenis medium

Transkripsi:

BAB II DASAR PEMIKIRAN KONSEP DAN JENIS-JENIS WAKARE NO AISATSU 2.1 Pengertian Wakare no Aisatsu 2.1.1 Pengertian Wakare Dalam Kamus Jepang-Indonesia yang ditulis oleh Kenji Matsuura (2005 : 1153), wakare berarti perpisahan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang disusun oleh Drs. Peter Salim dan Yenny Salim (1991 : 170), menyatakan bahwa perpisahan adalah cerai atau memutuskan pertemuan. Dalam skripsi ini, penulis menfokuskan pengertian perpisahan sebagai pemutusan pertemuan. Berikutnya adalah partikel no yang menjadi penghubung antara kosakata wakare dan aisatsu. Dalam buku Gramatika Bahasa Jepang seri B yang di dalamnya mengulas tentang partikel dan verba bantu dalam bahasa Jepang, Drs. Sudjianto, M. Hum. (2000 : 44) menjelaskan bahwa salah satu fungsi partikel no adalah untuk menggabungkan dua buah nomina. Dalam hal ini, wakare dan aisatsu adalah dua buah nomina yang digabungkan dengan partikel no, wakare berarti perpisahan dan aisatsu berarti salam. 11

2.1.2 Pengertian Aisatsu Dalam masyarakat Jepang, aisatsu adalah suatu keharusan. Agar dapat menjalin hubungan diantara sesama anggota masyarakat, setiap individu harus dapat menguasai aisatsu dengan baik. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Kyouko Hamada dan Fujimoto Shirou dalam bukunya yang berjudul (Aisatsu Genki ni Dekiru kana?). Mereka menyatakan bahwa aisatsu merupakan tahap pertama dalam pendidikan sebagai manusia. Seseorang yang tidak dapat menggunakan aisatsu dengan baik dan benar, maka didalam masyarakat ia akan dianggap sebagai orang yang kepribadiannya tidak baik. Oleh karena itulah, aisatsu harus diajarkan sejak dini kepada anak-anak, baik di rumah, di sekolah maupun di dalam masyarakat. Menurut Mizutani Osamu (1983 : 23) dalam bukunya (Hanashi Kotoba no Hyougen), aisatsu adalah membuka hati dan mendekati mitra tutur. Menurutnya, aisatsu adalah perantara agar manusia dapat saling mengenal. Secara gamblang, Mizutani membagi hubungan manusia ke dalam empat tahap yaitu sebagai berikut : Tahap D : Penutur dan mitra tutur tidak saling mengenal. Tahap C : Mitra tutur mengenal penutur, namun penutur tidak mengenal mitra tutur. Tahap B : Penutur mengenal mitra tutur, tapi mitra tutur tidak mengenal penutur. Tahap A : Penutur dan mitra tutur saling mengenal. Disinilah fungsi aisatsu sebagai perantara akan sangat berperan. Agar 12

dapat sampai ke tahap A, seseorang harus melalui tahap D. Dari tahap D, orang tersebut akan berada pada tahap C atau B, baru kemudian ia akan menjangkau tahap A. Untuk masuk ke tahap-tahap ini maka orang tersebut harus menggunakan aisatsu. Menurut Kenji Matsuura dalam Kamus Jepang-Indonesia yang disusunnya, aisatsu adalah persalaman. Persalaman adalah kalimat minor berupa klausa ataupun bukan, bentuknya tetap yang dipakai dalam pertemuan antara pembicara untuk memulai percakapan, minta diri dan lain sebagainya. Misalnya Selamat...!, Apa kabar?, dan lain sebagainya. ( Kridalaksana, 2001:190) Aisatsu dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan greetings. Allen D. Grimshaw (1981 : 54) dalam bukunya Language as Sosial Resource menggolongkan greetings sebagai : a. penghargaan atas pertemuan dengan orang lain yang merupakan bentuk hubungan sosial. b. hubungan utama yang merupakan pembukaan atau pengekalan suatu hubungan sosial. c. pengakuan orang lain sebagai satu kesatuan. d. elemen personal dalam situasi sosial yang umum. 2.2 Jenis-Jenis Wakare no Aisatsu Salah satu jenis aisatsu adalah wakare no aisatsu atau salam perpisahan. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, selamat tinggal, sampai jumpa, selamat tidur 13

digolongkan ke dalam aisatsu atau persalaman. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku dalam bahasa Inggris. Wakare no aisatsu atau salam perpisahan seperti good bye dan see u tidak dapat digolongkan ke dalam greetings. Bahasa Inggris memiliki istilah sendiri untuk menyebut wakare no aisatsu (salam perpisahan) yaitu farewell atau leave taking. Pemisahan antara greetings dan farewell ini kembali dipertegas oleh Alessandro Duranti dalam artikelnya yang berjudul Universal Culture Spesific Properties of Greetings. Duranti menyatakan bahwa greeting haruslah dibedakan dari closing salutation/farewell/leave taking, meskipun terkadang pada situasi tertentu, ada satu ungkapan yang dapat digunakan baik sebagai pembuka ataupun penutup suatu pertemuan. Menurut Grimshaw dalam bukunya Language as Social Resource, farewell adalah penghargaan atas suatu pertemuan yang telah diterima. Grimshaw melihat bahwa greetings (salam) dan farewell (perpisahan) sebagai penanda dan pengesah dari pembuka dan penutup suatu hubungan interaksi antar perorangan. William Mc Clure (2000 : 270) dalam Using Japanese a Guide to Contemporary Usage, memasukkan greeting dan farewell ke dalam ritual. Menurut J.C. Cooper (1990 : 181) dalam the dictionary of festivals, ritual adalah suatu cara untuk menciptakan suatu kesatuan dan keharmonisan antara suatu masyarakat tertentu dengan kosmos/alam yang lebih luas. Ritual juga dianggap sebagai pengendali anggota masyarakat. Sama seperti Grimshaw, Mc Clure menggolongkan aisatsu seperti ohayou gozaimasu konnichiwa dan konbanwa ke dalam greetings, dan aisatsu seperti 14

shitsurei shimasu sayounara jaa mata sore ja mata ke dalam farewell atau leave taking. William Mc Clure juga secara lebih jauh membahas tentang wakare no aisatsu ini. Mc Clure menulis beberapa contoh wakare no aisatsu yang sering digunakan oleh masyarakat Jepang. Salah satu wakare no aisatsu yang dibahas oleh Mc Clure adalah shitsurei shimasu. Dalam pemakaiannya dapat mengalami perubahan bentuk tergantung pada tingkat kesopanannya. dapat menjadi. Ketiga ungkapan ini memiliki makna yang sama yaitu Saya mohon diri!, yang membedakan ketiganya hanyalah tingkat kesopanannya. Bentuk kausatif dari ungkapan adalah bentuk yang paling sopan. Berikut adalah contoh percakapan yang menggunakan ungkapan : A: B : A: B : 15

Terjemahan : A : B : A : B : Wah, sudah jam segini!!kalo gitu, saya permisi dulu ya! Wah, cepat sekali kamu sudah mau pergi! Iya sih, tapi besok ada yang harus saya kerjakan! Oh, begitu. Padahal kamu sudah capek-capek datang, sayang sekali ya! Dalam situasi formal, keinginan seseorang untuk meninggalkan suatu tempat mungkin akan terjadi secara mendadak. Hal ini adalah sebuah pengecualian, karena dalam masyarakat Jepang akan terlihat lebih sopan jika seseorang tersebut tetap tinggal sampai sebuah acara selesai. Pengecualian ini dibenarkan ketika panggilan untuk meninggalkan tempat tersebut adalah sesuatu yang sangat mendesak / mewajibkan seseorang untuk pergi. Ketika meninggalkan rumah orang lain atau kantor rekan bisnis, Mc Clure menyarankan sebuah wakare no aisatsu yang cocok digunakan yaitu. Ungkapan wakare ni aisatsu lain yang sering terdengar adalah sayounara. Menurut Mc Clure, meskipun pada masyarakat umum, dianggap sebagai ungkapan standar untuk mengungkapkan perpisahan, namun pemakaiannya sangatlah terbatas. berasal dari ungkapan (kalau begitu). Jika 16

didefinisikan berarti (baiklah atau kalau begitu), karena tidak lengkap (ucapannya), maka terkadang menimbulkan berbagai perasaan pada diri lawan bicara. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa adalah kependekan dari kalimat bahasa Jepang klasik sayounaraba oitoma wo moushimasu yang berarti (kalau begitu, saya permisi dulu!). Oitoma sendiri berarti jeda. Jeda yang dimaksud adalah dalam konteks untuk tidak bertemu dulu. biasanya digunakan antara guru dan siswa ketika berakhirnya sebuah kelas. Ketika digunakan pada saat berbinis atau situasi kekeluargaan lainnya, maka akan timbul kesan bahwa kedua belah pihak tidak akan bertemu lagi, setidaknya untuk waktu yang cukup lama. Secara umum, tidak hanya mengindikasikan perpisahan (farewell), tapi juga sebuah penutupan (berakhirnya jam sekolah atau berakhirnya sebuah hubungan). Keterbatasan penggunaan disebabkan karena, seperti yang dikatakan Mc Clure, hubungan adalah sesuatu yang dibangun diatas sebuah fondasi kewajiban terhadap satu sama lain yang terus-menerus dan tanpa ada penutup dan salah satunya adalah dengan tidak menggunakan wakare no aisatsu seperti. Masih menurut Mc Clure (2000 : 278 ), Wakare no aisatsu yang 17

berikutnya adalah jaa jaa ne jaa mata, sore jaa. jaa jaa ne, dan sore jaa pada dasarnya merupakan kependekan dari. jika dilihat didalam Kamus Jepang-Indonesia yang disusun oleh Kenji Matsuura berarti lagi. Apabila dihubungkan dengan konteks perpisahan, maka seluruh wakare no aisatsu ini dapat diartikan dengan sampai jumpa (lagi). Berikutnya adalah wakare no aisatsu yang diserap dari bahasa Inggris bye, dan dalam bahasa Jepang menjadi bai bai. terdengar seperti bahasa anak-anak. Pemakaiannya juga sangat terbatas yaitu ketika seorang anak berbicara dengan teman sebayanya, atau orang dewasa yang lawan bicaranya adalah anak-anak, dan kadang-kadang juga digunakan oleh orang dewasa pada situasi-situasi tertentu. Wakare no aisatsu lain yang sering terdengar adalah osakini osakini shitsureishimasu osakini shitsurei itashimasu. Aisatsu ini berarti Saya duluan ya!. Dari maknanya dapat diketahui bahwa aisatsu ini digunakan ketika seseorang ingin meninggalkan suatu tempat lebih dulu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, akan terdengar janggal jika diucapkan pada situasi-situasi kekeluargaan seperti ketika 18

akan meninggalkan rumah (kecuali jika seseorang ingin melakukan perjalanan panjang yang sangat lama atau menulis sepucuk surat yang menyatakan bahwa ia kabur dari rumah). Sebuah wakare no aisatsu sederhana yang biasa digunakan pada saat akan meninggalkan rumah ketika akan pergi ke sekolah atau ke kantor adalah dengan menggunakan ittekimasu ittemairimasu ittekuruyo, yang berarti saya pergi (dan akan kembali). Sehingga orang yang ditinggalkan di rumah akan menjawab dengan itterasshaimase itteirasshai, itterasshai, yang berarti cepat kembali ya!. Berikutnya adalah wakare no aisatsu yang digunakan untuk salam sebelum tidur atau ketika akan berpisah dengan seseorang dimalam hari. Wakare no aisatsu ini adalah oyasumi oyasuminasai oyasuminasaimase, yang artinya selamat malam/selamat tidur!. Akan tetapi penggunaan wakare no aisatsu ini dapat juga digunakan pada siang atau pagi hari, yang berarti maknanya akan berubah menjadi selamat beristirahat. digunakan oleh anggota keluarga. Sedangkan adalah bentuk paling sopan yang biasanya digunakan para pembantu kepada majikannya. Wakare no aisatsu berikut adalah wakare no aisatsu yang terdengar seperti akan pergi ke tempat yang agak jauh atau ketika kehati-hatian sangat diperlukan 19

(seperti ketika menyetir di malam hari yang sedang turun hujan yang sangat deras atau pulang ke rumah dalam keadaan mabuk). Wakare no aisatsu tersebut adalah ki o tsukete kudasai karada ni ki o tsukete kudasai yang berarti hati-hati ya!/jaga diri. 2.3 Gender, Jouge Kankei dan Bamen Untuk menganalisis data yang telah didapat dalam skripsi ini, maka penulis akan mengklasifikasikan wakare no aisatsu yang ada pada data berdasarkan gender, jouge kankei dan bamen. 2.3.1 Gender Menurut Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani (1987 : 13) dalam bukunya How to be Polite in Japanese, pembedaan-pembedaan antara laki-laki dan perempuan akibat konstruksi masyarakat yang bersangkutan atau yang disebut dengan genderisme, bukan hanya dapat ditemui dalam hal pembagian kerja pada masyarakat Jepang, melainkan juga pada kehidupan berbahasanya. Seperti yang dikemukakan oleh Soenjono Dardjowidjojo dalam kumpulan esainya, wanita Jepang biasanya akan menggunakan bahasa yang lebih sopan daripada lelaki. Hal ini ada yang menghubungkannya dengan posisi wanita yang lebih rendah atau marginal, atau dengan usaha wanita untuk berkompetisi terhadap posisi yang tidak aman di dalam masyarakat. Keberadaan gaya bahasa yang secara tegas membedakan jenis kelamin tersebut merupakan kharakteristik bahasa Jepang (Jorden, 1989:250). Perbedaan gaya bahasa antara penutur pria dan penutur wanita dalam bahasa Jepang jarang 20

ditemui pada acara-acara resmi. Namun pada percakapan sehari-hari yang dapat dikategorikan informal, keberadaan gaya bahasa ini akan jelas terdengar. Ragam bahasa pria (danseigo) dan ragam bahasa wanita (joseigo) memiliki perbedaan yang dapat diamati dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek kebahasaan dan aspek pengucapan atau pelafalan. Deskripsi masing-masing aspek dapat dilihat pada penjelasan berikut. 1. Aspek Kebahasaan Dalam bahasa Jepang, perbedaan antara danseigo dan joseigo dari aspek kebahasaan dapat dibagi ke dalam lima kategori yaitu sebagai berikut : a. Penggunaan Keigo (bahasa hormat) Dari beberapa hasil penelitian para ahli, seperti Mizutani Osamu dan Mizutani Nobuko dalam How to be Polite in Japanese, dapat diketahui bahwa wanita lebih banyak menggunakan keigo daripada pria, sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita Jepang memakai bahasa yang lebih hormat dan lebih halus dibandingkan pria Jepang. b. Partikel Akhir Kalimat shuujoshi Shuujoshi pada umumnya dipakai setelah berbagai macam kata, pada akhir kalimat untuk menyatakan suatu pertanyaan, larangan, seruan, rasa haru dan sebagainya (Sudjianto dan Ahmad Dahidi, 2004:182). Shuujoshi yang sering dipakai oleh penutur pria adalah ze, -zo, -yo dan na, sedangkan shuujoshi yang biasa digunakan oleh wanita adalah wa dan no. 21

c. Pronomina Persona Pemilihan kata ganti orang antara penutur wanita dan pria di Jepang sangat berbeda. Dalam percakapan sehari-hari, penutur pria biasa menggunakan kata boku untuk menunjuk pada dirinya sendiri. Sedangkan bagi penutur wanita, kata atashi akan terdengar lebih sopan dan feminin untuk menyebutkan dirinya sendiri. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada tabel berikut : Orang pertama Orang kedua danseigo Joseigo Netral Boku Atashi Watakushi Washi Atakushi Watashi Wagahai Atai Ore Kimi -- Anata Omae Omae Kisama Temee d. Interjeksi Kandoushi Kandoushi adalah kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan seperti rasa terkejut dan rasa gembira. Namun selain itu didalamnya juga terkandung juga kata-kata yang menyatakan panggilan atau jawaban terhadap orang lain (Sudjianto dan Ahmad Dahidi, 2004:169). Kandoushi yang biasa dipakai oleh penutur pria adalah hoo, oi, yai, dan kuso. Sedangkan yang biasa dipakai oleh 22

wanita adalah ara dan maa. 2. Aspek Pelafalan / Pengucapan Menurut Janet S. Shibamoto dalam bukunya Japanese Woman s Language, perbedaan antara danseigo dan joseigo pada aspek pelafalan atau pengucapan muncul pada : 1. Pelesapan [i] dan asimilasi [r] oleh wanita Pelesapan [i] a. Ara, iya da wa dilafalkan Ara, ya da wa, artinya ih, aku tidak suka. b. Kekkou de gozaimasu dilafalkan Kekkou de Gozaamasu, artinya sudah cukup. c. Sayo de Irasshaimasuka dilafalkan sayo de rasshaimasuka, artinya begitulah. Asimilasi [r] a. Wakaranai dilafalkan Wakannai, artinya saya tidak mengerti. b. Wakaru no dilafalkan Wakanno, artinya saya mengerti. c. Sou Kamo Shirenai dilafalkan Sou Kamo Shinnai, artinya mungkin juga begitu. 2. Nada suara wanita naik turun dalam jarak yang lebih besar daripada pria saat mengungkapkan perasaannya. 23

Memang pada saat perkenalan atau pertemuan pertama antar satu dengan lainnya akan menggunakan bahasa resmi atau bahasa standar. Akan tetapi apabila hubungan diantara penutur sudah akrab, didalam pembicaraan mereka akan tampak perubahan bahasanya. 2.3.2 Jouge Kankei (Hubungan Atasan-Bawahan) Seperti yang dirumuskan oleh W.G Beasley dalam bukunya Pengalaman Jepang-Sejarah Singkat Jepang-, Jepang masa lalu adalah Jepang yang senantiasa diwarnai dengan perpecahan, perselisihan dan peperangan antar suku-suku dan daerah-daerah serta perampokan. Kerusuhan melanda seluruh negeri sehingga rakyat merasakan tidak ada keamanan sama sekali. Akan tetapi, setelah Ieyashu Tokugawa mengambil alih kekuasaan pada tahun 1603, Jepang mengalami titik balik yang penting dalam sejarahnya. Tokugawa seakan menciptakan semacam cetakan induk yang di dalamnya semua segi kehidupan bangsa Jepang diatur, termasuk sosial dalam masa 265 tahun selanjutnya. Setelah Tokugawa berkuasa dan kemudian berhasil menyatukan bangsa Jepang dengan membangun masyarakat secara terstruktur dan berkasta-kasta. Di luar kaum bangsawan, bangsa Jepang terkelompok ke dalam empat kasta yaitu militer, petani, cendikiawan dan pedagang. Dasar pengelompokan ini adalah seberapa banyak sumbangan dan kontribusi produktivitas mereka kepada masyarakat. Kaum militer dianggap kasta yang paling tinggi karena sumbangan produktivitasnya kepada masyarakat dinilai yang tertinggi. Hal ini bisa dimaklumi karena situasi keamanan dan ketertiban masyarakat pada saat itu dinilai sangat mahal, dan militerlah yang dinilai paling mampu mengupayakannya. 24

Dibawah kepemimpinan Tokugawa, bangsa Jepang dapat hidup dalam keadaan relatif stabil, meskipun cara hidup mereka terpola-pola dan berkasta. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, pemerintahan militer (keshogunan) Tokugawa menggunakan ajaran konfusianisme sebagai falsafah hidup bangsanya. Konfusianis mengajarkan bahwa masyarakat yang besar adalah masyarakat yang memiliki empat ciri dalam hidupnya yaitu kebajikan, sopan santun, bijaksana dan percaya diantara sesama. Ajaran konfusianisme ini bukan ditanamkan sebagai ajaran agama, tetapi berorientasi pada kehidupan dunia. Dengan demikian, terciptalah pola kehidupan yang disarankan kepada lima kunci semboyan hidup, yaitu : 1. Hormat antara bapak dan anak. 2. Penghargaan dan loyalitas antara atasan dan bawahan. 3. Harmonis antara suami dan istri. 4. Keteladanan antara kakak dan adik. 5. Percaya mempercayai sesama teman. Dalam ajaran bushidou, siapapun yang menduduki jabatan diharapkan dapat memberi kebajikan atau karunia kepada bawahan. Bagi bawahan kebajikan itu dirasakan sebagai hutang budi kepada atasannya yang tidak dapat dibalas dengan apapun juga selain kesetiaan. Bawahan yang gagal memberikan kepuasan dan kesetiaan kepada atasan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang tidak tahu kebajikan. Orang yang bersangkutan akan merasa malu dan perasaan ini sangat berat menghimpit jiwanya. Konsep kebajikan dan kesetiaan ini merupakan pola hidup masyarakat Jepang. Ajaran bushidou dan konfusianisme ini adalah akar dari masyarakat 25

Jepang zaman sekarang. Masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang bersifat vertikal, artinya berdasarkan hubungan atasan-bawahan. Sistem ini memberi penekanan pada senioritas. Hubungan senioritas bisa diartikan sebagai hubungan antara atasan-bawahan, antara siswa kelas yang lebih atas dan siswa kelas yang bawah di sekolah, atau bisa juga hubungan antara orangtua dan anak. Dapat dikatakan bahwa dalam kenyataan kehidupan Jepang, kesadaran tentang senioritas ini sangat berperan dalam masyarakat Jepang, terutama menjaga berlangsungnya tatanan sosial secara baik. Oleh karena itu, ada aturan-aturan moral yang menjaga kelancaran dan kelanggengan hubungan antara sesama anggota masyarakat. Mereka yang secara sosial lebih tinggi kedudukannya merasa terpanggil, bahkan berkewajiban untuk melindungi orang-orang yang berkedudukan dibawahnya, baik untuk urusan sosial maupun pribadi. Dilain pihak, orang-orang yang kedudukannya lebih rendah merasa patut membalas kebaikan orang tersebut dengan menyatakan hormat dan kesetiaannya. Perasaan tersebut yang dinamakan rasa hutang budi kepada atasan. Orang-orang yang tidak mempedulikan rasa hutang budi ini akan dianggap sebagai orang yang kurang bermoral dalam masyarakat. 2.3.3 Bamen Pemakaian bahasa Jepang sangat dipengaruhi oleh situasi ketika suatu percakapan berlangsung. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Haruhiko Kindaichi (1998), dalam bukunya The Japanese Language, The most characteristic feature of Japanese language is the existence of two different styles of expression, according to the 26

situation in which words are used Karakteristik bahasa Jepang yang paling menonjol adalah keberadaan dua ungkapan gaya bahasa yang berbeda, tergantung pada situasi kapan ungkapan tersebut digunakan Bamen jika diartikan secara harfiah adalah keadaan tempat di mana sesuatu terjadi, juga keadaan tempat yang memberikan pengaruh pada waktu orang melaksanakan sesuatu. Bamen juga dapat diartikan sebagai adegan. Menurut Kamus Istilah Sastra Indonesia, adegan adalah suatu kesatuan peristiwa terkecil dalam seni pentas atau drama. Ciri khas dari sebuah adegan adalah sebagai berikut : 1. Melukiskan suatu kejadian tertentu. 2. Berlangsung dalam satu waktu tertentu. 3. Tidak mengalami perubahan latar Yang dimaksud dengan bamen dalam skripsi ini adalah situasi pemakaian/latar dari suatu ungkapan. Bamen yang dimaksud dapat dilihat dari berbagai segi seperti tempat, suasana yang juga meliputi emosi pembicara pada saat menggunakan suatu ungkapan, keadaan yang formal atau tidak formal, suasana yang netral atau suasana yang akrab. Berdasarkan tingkat keformalan, ada dua macam variasi bahasa yaitu gaya atau ragam resmi (formal) dan gaya atau ragam santai (informal). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam bukunya Sosiolinguistik- Sebuah Perkenalan. Menurut keduanya, ragam atau gaya resmi (formal) adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, ataupun ketika sedang berada di 27

tempat resmi seperti di kantor dan sebagainya. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya digunakan pada tempattempat resmi. Jadi, percakapan teman yang sudah karib atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini. Akan tetapi pembicaraan dalam acara peminangan, pembicaraan dengan atasan, atau diskusi dalam ruang kuliah menggunakan ragam resmi ini. Ragam santai (informal) adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi dan tempat tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau sahabat karib pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi atau sebagainya. Selanjutnya adalah situasi yang menyangkut emosi. Emosi pembicara akan sengat mempengaruhi penggunaan wakare no aisatsunya. Contohnya ketika merasa marah atau sedih pada lawan bicara, maka seseorang akan cenderung menggunakan wakare no aisatsu yang dapat menyatakan kemarahannya itu yaitu sayounara, sebuah pernyataan singkat bahwa ada unsur ketidakinginan untuk bertemu lagi dengan lawan bicara. Menurut Neil R.Carlson (2005), dalam bukunya Foundation of Phsychological Psychology, emosi adalah keadaan internal yang memiliki manifestasi eksternal. Meskipun yang dapat merasakan emosi hanyalah yang mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi diekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Ekspresi verbal misalnya dengan menulis katakata, berbicara tentang emosi yang dialaminya atau dengan ungkapan lainnya. Ekspresi nonverbal misalnya perubahan ekspresi wajah, ekspresi vokal atau nada suara dan urutan pengucapan, perubahan fisiologis, gerak dan isyarat tubuh, dan tindakan-tindakan emosional. 28

Dengan ekspresi wajah dapat diketahui bahwa seseorang sedang marah atau sedih. Pada ekspresi vokal biasanya nada suara vokal seseorang akan berubah mengiringi emosi yang dialaminya. Seseorang yang marah nada suaranya akan meninggi. Mereka yang bahagia akan lepas dan lancar. Sedangkan mereka yang sedih akan terbata-bata. Tidak jarang kita mengetahui emosi seseorang hanya dari nada suaranya saja. 2.3.4 Gender, Jouge Kankei dan Bamen dalam Penggunaan Wakare no Aisatsu Bahasa perempuan dan pria sangat tampak dalam bahasa Jepang. Memang pada saat perkenalan atau pertemuan pertama antara yang satu dengan lainnya akan menggunakan bahasa resmi atau bahasa standar. Akan tetapi apabila hubungan diantara penutur sudah akrab, didalam pembicaraan mereka akan tampak perubahan bahasanya. Begitu pula dalam penggunaan aisatsu, ada aisatsu-aisatsu tertentu yang hanya digunakan oleh wanita dan ada aisatsu-aisatsu tertentu pula yang hanya digunakan oleh pria. Selain itu perbedaan yang muncul diantara pria dan wanita Jepang ini juga disebabkan karena kebudayaan Jepang yang mengharuskan wanita Jepang menggunakan bahasa yang lebih halus dan sopan daripada pria. Konsep vertikal atau jouge kankei dalam masyarakat Jepang juga diwujudkan dalam kehidupan berbahasa. Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Dahidi dan Sudjianto dalam bukunya Pengantar Linguistik Jepang, bahwa perbedaan pekerjaan, jabatan, kedudukan dan status sosial lainnya dalam hubungannya dengan masyarakat disekitarnya turut berperan dalam menciptakan berbagai perbedaan bahasa. Seorang bawahan tentu akan menghormati atasannya dengan menggunakan bahasa yang lebih sopan, dan salah satunya adalah dengan 29

menggunakan wakare no aisatsu yang dipilih berdasarkan statusnya di suatu tempat tertentu. Bamen dalam bahasa Jepang sangat mempengaruhi pemilihan kosakata yang dipakai oleh penuturnya. Oleh karena itu, penulis mengambil sudut pandang bamen untuk menganalisis penggunaan wakare no aisatsu ini. 30