KELAYAKAN TEKNO-EKONOMI MIGRASI TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI GULA KRISTAL PUTIH DARI SULFITASI KE DEFEKASI REMELT KARBONATASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pemurnian nira yang ternyata masih mengandung zat zat bukan gula dari proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Pendirian Pabrik Sejarah Perkembangan Pabrik

LAPORAN KERJA PRAKTEK PT PG CANDI BARU SIDOARJO. Diajukan oleh : Elizabeth Silvia Veronika NRP: Lovitna Novia Puspitasari NRP:

01 PABRIK GULA PG. KEBON AGUNG MALANG JAWA TIMUR

PENINGKATAN MUTU PRODUK GULA KRISTAL PUTIH MELALUI TEKNOLOGI DEFEKASI REMELT KARBONATASI

PEMBUATAN GULA MERAH DENGAN BAHAN DASAR TEBU (SACCHARUM OFFICIANARUM)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu, jika digiling akan menghasilkan air dan ampas dari tebu,

AUDIT KINERJA PROSES PENGOLAHAN PADA PABRIK GULA

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini yang tidak membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

PERTANIAN. Anisa Zain, Rudi Wibowo, Julian Adam Ridjal

BAB I. Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja

BAB IX TEKNIK KIMIAWI

Tebu dari kebun dikirim ke pabrik menggunakan beberapa model angkutan : trailer (tebu urai), truk

Perencanaan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik di Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput-rumputan. Tanaman

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

PG. TJOEKIR PENERAPAN INDUSTRI HIJAU BY: EDWIN RISANANTO SURABAYA, 16 FEBRUARI 2017

INDUSTRI PENGOLAHAN GULA PT. PABRIK GULA CANDI BARU SIDOARJO LAPORAN PRAKTEK KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN PANGAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Sejarah Perusahaan PT. Perkebunan Nusantara II Pabrik Gula

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Analisis Produksi Emisi CO 2 Pada Industri Gula Di PT. Perkebunan Nusantara X (Persero) Tbk. (Studi Kasus Di Pabrik Gula Lestari)

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

STRATEGI BISNIS DALAM MENGHADAPI PELEMAHAN EKONOMI DUNIA 2017 CORPORATE ENTREPRENEURSHIP

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

PERENCANAAN BAHAN BAKU PADA PRODUKSI GULA TEBU (Studi Kasus PTPN XI PG Djatiroto Kabupaten Lumajang)

- Menghantar/memindahkan zat dan ampas - Memisahkan/mengambil zatdengan dicampur untuk mendapatkan pemisahan (reaksi kimia)

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

HASIL SAMPING INDUSTRI GULA TEBU

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Pabrik Gula dari Nira Siwalan dengan Proses Fosfatasi-Flotasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyaringan nira kental pada proses pengkristalan berfungsi untuk

Lampiran 1 Daftar Wawancara

BAB 1 PENDAHULUAN. proyek listrik tenaga nuklir, pembangunan pabrik sampai pembuatan proyek dengan

PT. PERKEBUNAN NUSANTARA XI (PERSERO) PABRIK GULA SEMBORO

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

Peneliti : Budi Santoso Fakultas Teknik Industri Univesitas Gunadarma PROSES PEMBUATAN GULA DARI TEBU PADA PG X

Universitas Sumatera Utara

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor industri di Indonesia. Salah satu industri yang banyak berkembang adalah

NASKAH SEMINAR HASIL. Oleh : Vinna Nour Windaryati NIM

I... INOUII: ~-:2/lf (/I 3

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

GULANAS PT. GULA ENERGY NUSANTARA

BAB I PENDAHULUAN. produk atau jasa. Melalui produktivitas, perusahaan dapat pula mengetahui. melakukan peningkatan produktivitas.

PRINSIP KONSERVASI ENERGI PADA PROSES PRODUKSI. Ir. Parlindungan Marpaung HIMPUNAN AHLI KONSERVASI ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk menghasilkan suatu barang. Pentingnya masalah

DAFTAR PUSTAKA UNIVERSITAS MEDAN AREA

KIMIA TERAPAN (APPLIED CHEMISTRY) (PENDAHULUAN DAN PENGENALAN) Purwanti Widhy H, M.Pd Putri Anjarsari, S.Si.,M.Pd

Pemetaan Korosi pada Stasiun Pemurnian di Pabrik Gula Watoe Toelis Krian, Sidoarjo. Adam Alifianto ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisa kelayakan..., Muhamad Gadhavai Fatony, FE UI, 2010.

APLIKASI METODE REGRESI LINIER BERGANDA DALAM MENCARI FORMULASI PERSEDIAAN BAHAN BAKU GULA TEBU

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

MEMINIMASI JUMLAH PRODUK CACAT PADA PROSES PRODUKSI GULA DI PG. KARANGSUWUNG

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

Pabrik Gula (PG) Kebon Agung merupakan salah satu perusahaan. keteknikan pertanian di Indonesia yang mengolah tebu menjadi gula. PG.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU GAS DAN CAIRAN TERHADAP GAS ENTRAINMENT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

STABILISASI HARGA GULA MENUJU SWASEMBADA GULA NASIONAL

KEADAAN UMUM Sejarah PG Cepiring

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS KERAGAMAN PARAMETER PENENTU RENDEMEN GULA KRISTAL PUTIH PADA PABRIK GULA BUMN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

PERENCANAAN UNIT SENTRIFUGASI, PENGEMASAN DAN PENGGUDANGAN PABRIK GULA TEBU SHS 1A DENGAN KAPASITAS PRODUKSI 2000 KUINTAL PER HARI

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

5. PEMODELAN SISTEM. Basis Pengetahuan. karakteristik pembeda. ukuran-ukuran kinerja & keterkaitannya. kualifikasi kinerja per jenis kinerja

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Pe elitian

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Untuk Daerah Tertinggal

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

TEKNOLOGI BERSIH PABRIK GULA KEBON AGUNG MALANG

EKONOMI LOSSES PENGOLAHAN TEBU DAN IMPLIKASI TERHADAP KINERJA DAN EFISIENSI PABRIK GULA Studi Kasus di PT Perkebunan Nusantara X

Oleh : Pressa Perdana S.S Dosen Pembimbing Ir. Syarifuddin Mahmudsyah, M.Eng - Ir. Teguh Yuwonoi -

BAB I PENDAHULUAN. akan dilakukan pada periode berikutnya. Jika tidak dilakukan penentuan. solusi terbaik dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

PENGARUH PENAMBAHAN SUSU KAPUR (CaOH) 2 DAN GAS SO 2 TERHADAP ph NIRA MENTAH DALAM PEMURNIAN NIRA DI PABRIK GULA KWALA MADU PTP NUSANTARA II LANGKAT

Prarancangan Pabrik Asam Oksalat dari Tetes dengan Kapasitas ton/tahun BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu dari Sembilan bahan pokok di Indonesia. Kebutuhan

PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES PEMBUATAN ASAM OKSALAT DARI AMPAS TEBU. Oleh : Dra. ZULTINIAR,MSi Nip : DIBIAYAI OLEH

Transkripsi:

KELAYAKAN TEKNO-EKONOMI MIGRASI TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI GULA KRISTAL PUTIH DARI SULFITASI KE DEFEKASI REMELT KARBONATASI Subiyanto Pusat Audit Teknologi BPPT E-mail : biyanto@webmail.bppt.go.id Abstract Sugar is a strategic commodity for Indonesia, such that the availibility and the price have been managed by the government. The national production of Indonesia sugar has not been enough to cover the consumption, such that the deficit must be imported. Indonesian sugar was produced by 61 factories, where 51 units are State-owned Company. Unfortunately, the quality of sugar produced by State owned factory has been getting worse, such that some are not qualified to the Indonesian National Standards (SNI). One of the reasons is poor process technology adopted, which is mostly using sulfitation technology. The Government, therefore, encourages industry to migrate the process technology from sulfitation system to defecation remelt carbonatation (DRK) system. This study assesses the techno-economy feasibility of the migration. The results indicate that technology migration is technically feasible, but for the business, Government needs to give price incentive to the product. Furthermore, the study recommends that adoption of DRK technology should be prioritized to the factories with abundant stock of baggase. Kata kunci : proses produksi gula, teknologi sulfitasi dan karbonatasi, kelayakan migrasi teknologi 1. PENDAHULUAN Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang ketersediaan dan harganya diatur oleh pemerintah. Walaupun produksi gula kristal putih (GKP) nasional semakin meningkat, tetapi peningkatannya belum mampu mengimbangi peningkatan konsumsi, sehingga pemerintah terpaksa memberikan ijin kepada beberapa importer terdaftar untuk melakukan impor, baik dalam bentuk GKP maupun dalam bentuk gula mentah (raw sugar). Yang mengkhawatirkan, gula yang diimpor jumlahnya semakin meningkat yaitu dari 1,6 juta ton Th 2003 menjadi 1,8 juta ton Th 2006, dan 2,2 juta ton Th 2009 (Kemendag, 2010). Gula kristal putih di Indonesia dihasilkan oleh 62 Pabrik Gula (PG), 51 diantaranya milik BUMN (PTPN dan RNI). Dari total produksi GKP tahun 2009 sebesar 2,3 juta ton, PG swasta berkontribusi sekitar 27%, petani 48%, dan sisanya 25% dari PG BUMN (Husein Sawit, 2010). Petani tidak memiliki pabrik, karena itu pengolahan tebunya dilakukan di PG BUMN (sebagian besar) maupun PG Swasta. Ketidakmampuan Indonesia mencukupi kebutuhan gula nasional karena petani dan BUMN sebagai kontributor mayoritas kinerja on farm maupun off farm-nya relatif buruk, terutama dibandingkan dengan PG swasta (Tabel 1). Di antara penyebabnya adalah keekonomian tanaman tebu yang kurang kompetitif dalam mendapatkan lahan produktif, serta kondisi alat dan permesinan PG yang rata-rata sudah tua. Tabel 1. Perbandingan Kinerja Pabrik Gula BUMN dan Swasta pada MT 2008/2009 Parameter Kinerja Satuan BUMN a Swasta b Produktivitas Tebu Ton/Ha 79,90 82,25 Produktivitas Gula Ton/Ha 6,52 7,67 Rendemen % 8,15 9,33 Biaya Produksi (2010) * Rp/kg ± 6.800 ± 4.700 Sumber : DGI (2009); * Kabarbisnis.com (2011); Keterangan : a rataan di Jawa; b rataan 4 PG di Lampung; Untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, Pemerintah telah mengeluarkan SNI- 3410-200/rev 2005 sebagai standar nasional gula kristal putih (Martoyo dkk., 2009). Di antara parameter yang diatur dalam standar ini adalah warna larutan gula yang dinyatakan dalam satuan Icumsa Unit (81 300 IU) dan kandungan SO2 56 Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14, No. 1, April 2012 Hlm.56-61

dalam produk gula ( 30 mg/kg). Parameter Icumsa terkait dengan penampilan produk, sedangkan kandungan sulfur terkait dengan perlindungan kesehatan pengguna produk. Status pemberlakuan SNI tersebut saat ini masih bersifat sukarela. Dengan semakin banyaknya produk gula impor dan rafinasi (gula industri) berpenampilan menarik yang beredar di pasaran (seharusnya terlarang), belakangan mulai diwacanakan untuk meningkatkan status SNI GKP menjadi wajib (Dinas Perindag Jabar, 2008). Untuk mengatasi permasalahan industri gula nasional, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II telah menetapkan Program Revitalisasi Industri Gula Nasional yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Kementerian Perindustrian. Untuk pelaksanaan program revitalisasi tersebut, Kementerian Perindustrian telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 12/M-IND/PER/1/2010 tentang pembentukan tim revitalisasi industri gula, yang anggota Tim Teknisnya terdiri dari 16 institusi. Target dari Program Revitalisasi Industri Gula Nasional adalah percepatan swasembada gula pada tahun 2014, dengan target produksi 5,7 juta ton. Kegiatan inti dari program revitalisasi adalah restrukturisasi mesin/peralatan PG existing, dan salah satu rencananya adalah penggantian/ modifikasi mesin/peralatan PG dari proses sulfitasi menjadi defekasi remelt karbonatasi (DRK). Di lingkungan BUMN, PG yang sudah menerapkan teknologi DRK baru satu, yaitu PG Semboro PTPN XI. Itupun baru dioperasikan secara penuh pada masim giling tahun 2011. Lainnya menggunakan teknologi sulfitasi. Untuk itu perlu technology clearance, apakah perpindahan (migrasi) teknologi proses dari sulfitasi ke karbonatasi memang layak didifusikan. 2. BAHAN DAN METODE 2.1. Kelayakan Tekno-ekonomi Analisis kelayakan migrasi teknologi proses produksi GKP dari sulfitasi ke karbonatasi pada laporan ini dilakukan secara berjenjang, melalui pendekatan : (a) teknologi, (b) ekonomi & bisnis, dan (c) persyaratan penerapan. Pendekatan teknologi dimaksudkan untuk mengevaluasi perbedaan teknologi antara sulfitasi dan karbonatasi, khususnya dari sisi proses, peralatan, dan produknya. Tahapan ini untuk mengkonfirmasi bahwa teknologi yang baru diyakini mampu memberikan output yang lebih unggul di banding teknologi yang akan diganti (sulfitasi). Kelayakan teknologi ini kemudian dilanjutkan dengan analisis kelayakan dari pendekatan ekonomi dan bisnis. Tujuannya untuk mengevaluasi apakah investasi perubahan tersebut mampu memberikan nilai output yang secara bisnis menguntungkan. Karena teknologi karbonatasi akan didifusikan ke PG lain khususnya di BUMN, maka analisis akan dilengkapi dengan kondisi minimum yang harus dipenuhi oleh suatu PG, agar teknologi karbonatasi ini layak (sustainable) untuk diterapkan. Secara skematis, pendekatan analisis ini disampaikan pada Gambar 1. Tekn Sulfitasi Gambar 1. Diagram analisis kelayakan teknoekonomi migrasi teknologi pengolahan gula 2.2. Basis Analisis Layak teknologi? ya Layak ekonomi? ya Layak terap? ya go Tekn Karbonatasi Tidak Tidak Tidak No go Dalam proses produksi gula kristal putih, sistem sulfitasi dan karbonatasi merupakan pilihan teknologi pada proses pemurnian. Proses pemurnian sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu teknologi inti pada proses pabrikasi gula kristal putih karena sangat menentukan kualitas gula yang dihasilkan. Teknologi proses sistem karbonatasi telah mengalami perkembangan, dari sistem ortodox ke defekasi remelt. Teknologi yang akan dievaluasi pada laporan ini adalah sistem karbonatasi terbaru, yaitu defekasi remelt karbonatasi (DRK). Sistem DRK pada dasarnya merupakan upaya penyempurnaan dari sistem sulfitasi karena menjanjikan output dengan kualitas yang lebih baik. Namun demikian proses dalam sistem DRK tahapannya lebih panjang sehingga memerlukan tambahan investasi peralatan dibanding dengan sistem sulfitas. Karena itu tingkat kelayakan migrasi teknologi dari sulfitasi ke DRK akan ditentukan juga oleh kapasitas pabrik atau skala usaha. Berdasarkan hasil audit teknologi terhadap tujuh PG BUMN yang mewakili perusahaan RNI II, PTPN IX, X, XI, diperoleh rata-rata kapasitas giling Kelayakan Tekno-Ekonomi Migrasi...(Subiyanto) 57

PG sebesar sekitar 3.000 ton cane per day (TCD). Data ini selanjutnya digunakan sebagai basis analisis dalam studi kelayakan tekno-ekonomi pada laporan ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kelayakan Teknologi Jenis teknologi yang digunakan akan menentukan tingkat absorbsi komponen warna sehingga produknya lebih cerah dan bersih (Kurniawan dkk., 2009). Pada tingkatan tertentu, teknologi pemurnian juga mampu menekan kerusakan gula reduksi sehingga juga menentukan besar kecilnya kehilangan gula dalam proses (Anonim, 2006). Tebu Air Imbibisi MESIN GILINGAN Ampas kasar FILTER AMPAS Ampas ke boiler Susu Kapur Asam Phosphat DEFEKATOR Nira Mentah Nira Mentah Terkapur Bagasillo Pemurnian Sulfur TABUNG SULFITASI Nira Mentah Tersulfitir Nira Tapis Air Afzoet Floculant DOOR CLARIFIER Nira Encer Nira Kotor VACUUM FILTER Blotong EVAPORATOR Air Kondensat Nira Pekat VACUUM PAN Air Kondensat Klare SHS Massecuite PUTARAN SENTRIFUGAL Tetes Tebu Gula SHS Gambar 2. Diagram Proses Produksi GKP Sistem Sulfitasi (Anonim, 2006) Proses pemurnian dimaksudkan untuk memisahkan material bukan gula (kotoran) dari nira mentah seoptimal mungkin, sehingga diperoleh nira encer yang jernih dan kondusif untuk dikristalkan. Pemurnian sendiri hanya merupakan salah satu tahapan proses dalam sistem produksi. Posisi proses pemurnian dalam teknologi sistem sulfitasi ditunjukkan dengan blok pada Gambar 2. Pemurnian dalam proses produksi gula menggunakan prinsip kerja penangkapan kotoran, pengendapan, dan penyaringan. Pada sistem sulfitasi, penangkapan kotoran dilakukan pada alat defekator dengan cara menambahkan susu kapur atau Ca(OH) 2 dan asam phosphat sehingga terbentuk endapan Calcium Phosphat yang akan menangkap kotoran-kotoran dan partikel non gula yang ada dalam nira mentah. Nira mentah yang bercampur kapur ini selanjutnya di pucatkan warnanya (bleaching) di tangki sulfitir menggunakan belerang atau sulfur (SO 2 ). Nira mentah tersulfitir yang dihasilkan kemudian diendapkan di door clarifier, setelah sebelumnya ditambahkan dengan agen pengendap (flokulan). 58 Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14, No. 1, April 2012 Hlm.56-61

Keluaran dari door clarifier adalah nira encer bersih dan nira kotor. Nira encer bersih sebagai luaran utama diproses lebih lanjut dengan cara diuapkan dan dikristalisasi, sedangkan nira kotor disaring dengan vacuum filter sehingga diperoleh nira tapis (nira kotor) dan endapan kotoran nira dalam bentuk blotong (limbah padat). Pada sistem sulfitasi, umumnya akan diperoleh warna larutan dengan tingkat Icumsa sekitar 150-300 IU (Icumsa Unit), dengan produk akhir gula kristal putih (GKP) yang berwarna putihtapi tidak cerah. Semakin rendah angka Icumsa, warna GKP akan semakin putih dan cerah. Dari survey produk GKP yang dilakukan terhadap 41 PG BUMN pada tahun 2008, hanya 3 PG yang mempunyai warna Icumsa 150, 11 PG Icumsanya antara 150 200, 24 PG antara 200-300, dan sisanya 3 PG Icumsanya > 300 (Kurniawan dkk., 2009). Batas maksimum Icumsa SNI adalah 300 IU. Pada sistem defekasi remelt karbonatasi (DRK), produk GKP yang diperoleh secara teoritis akan mempunyai kualitas warna Icumsa kurang dari 100, atau mendekati kualitas gula rafinasi (< 80 IU) (Martoyo dkk., 2009). Dengan kualitas warna Icumsa kurang dari 100, disamping akan memenuhi SNI, produk GKP diyakini akan mampu bersaing dengan gula impor, atau bahkan gula rafinasi. Pada sistem DRK, gula kristal mentah (GKM, brown sugar) yang dihasilkan dari rangkaian proses seperti pada sistem sulfitasi (tahap awal) dilebur kembali (remelt) dan selanjutnya dimurnikan lagi. Karena pemurnian dilakukan dua tahap, maka produk GKP yang dihasilkan dalam sistem karbonatasi berkualitas jauh lebih baik dari sistem sulfitasi. Namun demikian ada tambahan satu rangkaian proses (pemurnian) lagi dalam sistem produksinya, seperti ditunjukkan pada tahapan proses yang diblok pada Gambar 3 Nira mentah SENTRIFUGASI GKP super (IU<100) DEFEKASI KRISTALISASI SENTRIFUGASI PELEBURAN/ MELTER KRISTALISASI gula mentah SUBSIDASI/ PENGENDAPAN EVAPORASI Tetes KARBONATASI FILTRASI Gambar 3. Flow Proses Sistem Karbonatasi (Martoyo dkk., 2009) Teknik pemurnian dalam sistem karbonatasi, baik pemurnian tahap awal maupun tahap lanjutan, tetap menggunakan susu kapur sebagai penggumpal, tetapi pemucatan warnanya tidak menggunakan sulfur (SO 2 ), melainkan gas CO 2. Kalau gas SO 2 dalam sistem sulfitasi diperoleh dari tobong belerang, maka gas CO 2 pada sistem karbonatasi diperoleh dari gas buang boiler yang dimurnikan melalui scrubber. Peniadaan sulfur inilah yang menyebabkan produk GKP hasil sistem DRK dinilai lebih sehat untuk dikonsumsi. Dengan demikian pada sistem karbonatasi tidak lagi diperlukan bahan belerang/sulfur maupun asam phosphat. Karena bahan/nira pemurnian tahap lanjutan sudah relatif bersih, penyaringan endapan kotoran tidak menggunakan door clarifier dan vacuum filter seperti halnya pemurnian pada tahap awal, melainkan dengan rotary leaf filter. Diagram proses pemurnian lanjutan pada sistem karbonatasi ditunjukkan pada Gambar 4. Nira mentah Reaction Tank ph 10-11, Alkalinitas 800-900 ppm CaO, < 1 menit KARBONATASI I Alkalinitas 250-500 ppm CaO, ph 10-10,5 FILTRASI I (rotary leaf filter) Nira Jernih (ke Evaporator) Gambar 4. Diagram Proses Karbonatasi Lanjutan (Martoyo dkk., 2009) 3.2. Kelayakan Bisnis CO2 Gas buang ketel KARBONATASI II Alkalinitas 150-250 ppm CaO, ph 8,2-8,7 FILTRASI II (filter press) Sweet Water (ke melter) Blotong Konsekuensi migrasi teknologi dari sistem sulfitasi ke karbonatasi adalah adanya tambahan peralatan. Jenis alat proses tambahan serta estimasi nilainya untuk pabrik kapasitas sekitar 3.000 TCD disampaikan pada Tabel 2. Pada alat energi, migrasi juga perlu menambah alat thermo compressor untuk pre-evaporator. Dilain pihak, migrasi ke sistem DRK akan berdampak kepada tidak difungsikannya beberapa alat yang biasa digunakan pada sistem sulfitasi, yaitu tower sulfitir, blower, sublimator, rotary sulfur burner / tobong belerang, dan kompresor (hasil diskusi dengan Manajemen PG Semboro). Kelayakan Tekno-Ekonomi Migrasi...(Subiyanto) 59

Tabel 2. Estimasi Biaya Investasi Alat Tahun 2012 No Jenis Alat Estimasi Biaya (Juta Rp) 1 A/B Centrifugal 113 2 Melter 390 3 Lime Preparation 110 4 Carbonator 2.110 5 CO 2 Plant 2.985 6 Filtration 6.105 7 Crystalization 4.575 Sub Total 16.388 8 Lain-lain (10%) 1.639 Total 18.026 Sumber : Anonim, 2011 (diolah) Untuk operasional pabrik, penyesuaian terjadi pada kebutuhan bahan dan tenaga kerja. Pada sistem DRK, asam phosphat dan belerang tidak digunakan lagi. Dengan asumsi kinerja PG merupakan rata-rata dari kinerja tahun 2008 dan 2009 dari 30 PG sesuai hasil monitoring Tim Revitalisasi PG dari Kementerian Perindustrian (Anonim, 2011a), dimana rerata utilitas : 89%, rerata efektivitas : 91%, dan rerata jumlah hari giling : 150, maka estimasi jumlah tebu yang digiling untuk PG dengan kapasitas 3000 TCD adalah sekitar 360.000 ton per tahun. Dengan standar pemakaian bahan sesuai dengan perhitungan PG Subang, maka migrasi teknologi ini akan berdampak kepada biaya operasional melalui dua sisi, yaitu penghematan bahan pembantu (belerang dan asam phosphat) sekaligus penambahan bahan pembantu (susu kapur/hydrad lime dan flokulan) dan tenaga kerja. Berdasarkan data dosis pemakaian dan harga bahan dari PG Subang serta pemakaian tenaga kerja dari PG Semboro, rincian dampak penyesuaian migrasi sistem DRK terhadap biaya operasional diperhitungkan seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Dampak Migrasi Teknologi Terhadap Biaya Operasional Jenis Penyesuaian Dosis Pemakaian Harga Nilai Total per1000tt Satuan/Th Rp/satuan Rp1000/Th Penghematan* 1.014.120 - Belerang 460 Kg 165.600 5.700 943.920 - Asam Phosphat 10 Ltr 3.600 19.500 70.200 Penambahan* 983.520 - Hydrad Lime 1,1 ton 396 1.900.000 752.400 - Flokulan (Kg) 4 Kg 1.440 98.000 141.120 - Tenaga 4 HOK/ 1.800 50.000 90.000 Kerja** shift Sumber :*Anonim, 2011 (diolah); **PG Semboro (hasil diskusi) Berdasarkan pengalaman dari PG Semboro yang pada tahun 2011 menerapkan sistem DRK, migrasi sistem akan menambah tenaga kerja musiman sebanyak 4 orang per shift, atau 12 orang per hari. Dengan asumsi upah per hari sebesar Rp 50.000,- per orang, maka tambahan biaya operasi untuk tenaga kerja adalah : 12 org x 150 hari x Rp 50.000,- = Rp 90.000.000,- per tahun atau per musim giling. Dengan asumsi penyusutan alat selama 10 tahun, tingkat bunga pinjaman 14%, serta tingkat rendemen GKP sebesar 8%, maka migrasi teknologi dari sulfitasi ke DRK akan memberikan prospek kelayakan bisnis sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 4, beberapa hal yang dapat disampaikan berkaitan dengan migrasi teknologi sulfitasi ke karbonatasi adalah : Apabila migrasi teknologi tidak diikuti dengan kebijakan penyesuaian/penaikan harga jual GKP, maka migrasi akan merugikan PG; Penyesuaian harga jual GKP sebesar Rp 200,- per Kg sudah cukup mendatangkan keuntungan bagi PG, yang diindikasikan dengan nilai IRR 30% dan payback period selama 3,1 tahun; Penyesuaian harga jual GKP sebesar Rp 1000,- per Kg akan mempercepat waktu pengembalian modal (0,6 tahun), dan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memunculkan program bantuan migrasi teknologi secara bergulir. Tabel 4. Indikator Kelayakan Bisnis Migrasi Teknologi Parameter Skenario Insentif Harga GKP (Rp/Kg) Kelayakan 0 200 500 1000 NPV (Rp juta) -17.867 12.178 57.245 132.357 IRR (%) - 30 80 160 B/C (indeks) 0,2 1,5 3,5 6,7 Payback Period (thn) - 3,1 1,2 0,6 3.3. Persyaratan Penerapan Berdasarkan pengalaman dari PG Semboro, salah satu penentu keberhasilan dari sistem DRK adalah kecukupan dan konsistensi pasokan energi (power dan steam). Besarnya bergantung kepada kapasitas pabrik. Hasil perhitungan PG Subang menunjukkan bahwa untuk PG dengan kapasitas sekitar 3000 TCD, tambahan power yang diperlukan untuk penerapan sistem DRK adalah sekitar 389 KW. Di lain pihak, biaya energi, apabila harus menggunakan sumber selain boiler berbahan bakar ampas tebu (misal PLN atau 60 Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol. 14, No. 1, April 2012 Hlm.56-61

genset), nilainya sangat signifikan sehingga diperkirakan tidak akan ekonomis. Sementara itu PG Semboro melaporkan bahwa penerapan sistem DRK telah meningkatkan kebutuhan steam dari 55-58 ke 60-63 ton uap per ton tebu. Di samping itu, sistem DRK memerlukan konsistensi kinerja boiler karena proses pemurniannya menggunakan CO 2 yang diambil dari gas buang dari boiler yang dimurnikan. Berdasarkan fakta lapangan tersebut, penerapan migrasi teknologi DRK sebaiknya dimulai dari pabrik yang mempunyai jaminan pasokan bahan bakar ampas mencukupi, khususnya yang mempunyai HGU dengan luasan yang memadai. 4. KESIMPULAN Migrasi teknologi dari sistem sulfitasi ke defekasi remelt karbonatasi (DRK) secara teknis layak untuk didifusikan ke PG lain karena : produknya mempunyai tampilan yang lebih menarik (IU<100) dan lebih sehat (mampu menekan kandungan SO 2 ), sehingga bisa mempercepat pemberlakuan wajib SNI ; teknologinya relatif mudah diakses di dalam negeri dan mudah dioperasikan; Kelayakan bisnis migrasi teknologi DRK menuntut insentif harga jual GKP. Insentif sebesar Rp 500 / Kg diperhitungkan cukup layak dan cukup menarik bagi PG untuk berpartisipasi. Selama insentif harga jual belum bisa diberikan, pemerintah perlu memberikan keleluasaan kepada PG (BUMN) untuk melakukan pemasaran langsung ke tingkat retail. 1) Penerapan migrasi teknologi DRK sebaiknya dimulai dari PG yang selama ini secara konsisten mempunyai cadangan ampas yang berlebih. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006. Baku Operasi Proses Pembuatan Gula PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Bidang Pengolahan. Anonim. 2011. Bahan Pertemuan Teknis Persiapan Program Defekasi Remelt Karbonatasi. PG Subang, RNI II. Anonim. 2011a. Lampiran Data Global Monitoring Program Restrukturisasi Pabrik Gula Tahun 2009. Tim Revitalisasi PG Kementerian Perindustrian. Dewan Gula Indonesia (DGI). 2009. Simposium Gula, Jakarta 11 Juni Bahan Dinas Perindag Jabar, 2008. Gula Putih Akan Dikenai SNI Wajib. Website Dinas Perindustrian & Perdagangan Jawa Barat (http://disperindagjabar.go.id/). Rubrik Publikasi. Senin, 17 Nopember 2008. Husein Sawit, M. 2010. Kebijakan Swasembada Gula: Apanya Yang Kurang? Makalah FGD Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional. Jakarta tgl 12 Oktober 2010. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Kabarbisnis.com. 30 Desember 2011. Transfor- Masi Tak Tuntas, Industri Gula Tertatih-Tatih. Kemendag. 2010. Meredam Gejolak: Sistem Distribusi Kebutuhan Pokok di Indoneia, Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Kemendag: Jakarta. Kurniawan, Y., Bachtiar, A., dan Triantarti. 2009. Potret Kualitas Gula Kristal Putih dan Upaya Peningkatan Menuju SNI GKP. Dalam Mengantisipasi SNI Gula Kristal Putih : Masalah dan Solusi Peningkatan Kualitas Gula. 2009. Prosiding Seminar. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Hal. 5. Martoyo, T., Santoso, B.E., Kuswuryanto, R. 2009. Peningkatan Kualitas Gula Kristal Putih Melalui Proses Defekasi Remelt Karbonatasi. Dalam Mengantisipasi SNI Gula Kristal Putih : Masalah dan Solusi Peningkatan Kualitas Gula. 2009. Prosiding Seminar. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Hal. 6-12. Kelayakan Tekno-Ekonomi Migrasi...(Subiyanto) 61