KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
Karakteristik Sarang dan Penetasan Telur Burung Mamoa (Eulipoa wallacei) di Galela Kabupaten Halmahera Utara

KARAKTERISTIK HABITAT MIKRO SEBAGAI DASAR POLA PENETASAN TELUR MALEO DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH

TEKNOLOGI PENETASAN TELUR BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) SEBAGAI UPAYA KONSERVASI

KARAKTERISTIK SARANG DAN TINGKAH LAKU BERTELUR BURUNG MALEO (Macrochepalon maleo Sal Muller 1846) DI HUTAN MALIGANO KECAMATAN MALIGANO KABUPATEN MUNA

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

Cut Nuraini/Institut Teknologi Medan/

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra, H.S Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Penyiapan Mesin Tetas

II. TINJAUAN PUSTAKA

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

4. SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON IKLIM

HASIL DAN PEMBAHASAN

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Master Plan Pengendalian Sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup Kabupaten Donggala. yang harus dikelola dengan baik dan bijaksana. Pemanfaatan sumber

ROMMY ANDHIKA LAKSONO. Agroklimatologi

THE EFFECTS OF THE BRANDS OF LAMPS ON THE RADIATION HEAT AS THE HEAT SOURCE OF POULTRY HATCHERIES

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

Kampus Bina Widya Jl. HR. Soebrantas Km 12,5 Pekanbaru, Kode Pos Abstract

HATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON DIFFERENCE OF INCUBATOR HUMIDITY SETTING AT HATCHER PERIOD

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada 6 08 LU sampai LS sehingga memiliki

BAB III METODE PENELITIAN

STUDI KARAKTERISTIK MIKRO-HABITAT BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL RAWA AOPA WATUMOHAI (TNRAW) SULAWESI TENGGARA

Variasi Temporal dari Penyebaran Suhu di Muara Sungai Sario

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ke 6 (KELEMBABAN UDARA)

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Unsur Cuaca = unsur iklim. Keadaan fisik atmosfir bumi yang dapat diukur.

Keberadaan Burung Gosong Kaki-Oranye (Megapodius reinwardt) di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

PENGOLAHAN PRODUK PASCA PANEN HASIL PERIKANAN DI ACEH MENGGUNAKAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA EGGIN : EGG INCUBATOR TEKNOLOGI HIBRIDA PENUNJANG KONSERVASI FAUNA INDONESIA BIDANG KEGIATAN:

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

STUDI EKSPERIMENTAL PERFORMANSI COOLING PAD BERBAHAN SUMBU KOMPOR DENGAN PENAMBAHAN VARIASI DUCTING BERBENTUK SILINDER DAN BALOK ABSTRAK

dengan optimal. Selama ini mereka hanya menjalankan proses pembudidayaan bawang merah pada musim kemarau saja. Jika musim tidak menentu maka hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

KUALITAS FISIK TELUR BURUNG MAMOA (Eulipoa wallacei) (Physical Quality of the Eggs of Mamoa Bird (Eulipoa wallacei) Yusri Sapsuha ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya kebutuhan masyarakat akan daging ayam membuat proses

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

Cara cepat untuk membuat terarium padang pasir yang sempurna

IDENTIFIKASI PAKAN DAN PENETASAN DI HABITAT ALAMI SEBAGAI UPAYA UNTUK MELINDUNGI DAN MEMPERTAHANKAN POPULASI BURUNG MAMOA (Eulipoa wallacei)

PENGARUH PENGERINGAN ALAMI DAN BUATAN TERHADAP KUALITAS KAYU GALAM UNTUK BAHAN MEBEL

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

IDENTIFIKASI POTENSI GEOGRAFIS DESA

RENCANA PENGELOLAAN SATWA BURUNG MALEO/MOMOA (EULIPOA WALLACE) DI MALUKU.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

METODOLOGI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil survey lapangan, running eksisting dan

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

FLORA DAN FAUNA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Air dalam atmosfer hanya merupakan sebagian kecil air yang ada di bumi (0.001%) dari seluruh air.

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

III. METODOLOGI PENELITIAN

Udara & Atmosfir. Angga Yuhistira

SISTEM KONTROL SUHU PADA MESIN TETAS TELUR AYAM BURAS HEMAT ENERGI DAYA TETAS OPTIMAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

PENINGKATAN KUALITAS PRODUK DAN EFISIENSI ENERGI PADA ALAT PENGERINGAN DAUN SELEDRI BERBASIS KONTROL SUHU DAN HUMIDITY UDARA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

LKS EFEK RUMAH KACA, FAKTA ATAU FIKSI. Lampiran A.3

BAB I PENDAHULUAN. dalam beberapa kasus hingga mengalami kebangkrutan. termometer. Dalam proses tersebut, seringkali operator melakukan kesalahan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai

lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

ANALISIS SISTEM PENGERING OPAK SINGKONG TIPE RUANG KABINET DENGAN MENGGUNAKAN BIOMASSA LIMBAH PELEPAH PINANG DAN PELEPAH KELAPA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP, SULAWESI TENGAH Indrawati Yudha Asmara Fakultas Peternakan-Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 Abstrak Penelitian untuk mengetahui karakteristik fisik sarang burung maleo (Macrocephalon maleo) di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop telah dilakukan di Desa Pinjan, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui kedalaman, suhu dan kelembaban sarang yang ditemukan selama penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kedalaman lubang adalah 65,45 cm (± 10,25 cm), suhu 32,22 0 C (±0,87 0 C) dan kelembaban 59,44% (±8,29%). Kata kunci : Karakteristik fisik, sarang, burung maleo, Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop, Sulawesi Tengah Abstract A research on physical characteristic of nesting ground of maleo (Macrocephalon maleo) in Pinjan-Tanjung Matop Sanctuary was conducted at Pinjan Village, Tolitoli Regency, Central Sulawesi. The research used descriptive method to find out the depth, temperature and humidity of nesting ground. The result indicated that the average of the depth of nesting ground was 65,45 cm (± 10,25 cm), the temperature was 32,22 0 C (±0,87 0 C) and the humidity was 59,44% (±8,29%). Key words : Physical characteristic, nesting ground, maleo, Pinjan-Tanjung Matop Sanctuary, Central Sulawesi PENDAHULUAN Sulawesi merupakan pulau dengan kekayaan spesies endemik yang tinggi. Jumlah spesies endemik yang berada di pulau ini kedua terbesar di Indonesia setelah Irian Jaya (Mackinnon, 1992). Burung maleo (Macrocephalon maleo) merupakan salah satu burung endemik yang ada di Sulawesi. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah populasi burung maleo saat ini. Populasi burung ini diduga mengalami penurunan akibat degradasi habitat dan perburuan telur oleh manusia (Butchart & Baker, 1998). 1

Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop (SMPTM) merupakan salah satu kawasan yang telah ditetapkan pemerintah untuk melindungi burung maleo. Kawasan ini terletak di Kabupaten Toli-toli dan merupakan satu dari delapan kawasan konservasi yang menjadi prioritas utama perlindungan burung maleo di Sulawesi Tengah (Butchart & Baker, 1998). Di sebelah utara kawasan SMPTM terdapat hamparan pasir pantai tempat burung Maleo bertelur. Pantai tersebut mempunyai panjang sekitar 2 km dengan lebar berkisar antara 10-25 m dan terbagi menjadi dua bagian yaitu Tanjung Matop dan Tanjung Tangkudan. Panjang masing-masing pantai kurang lebih 1 km. Sejak tahun 1989 di SMPTM telah dibangun kandang penetasan. Pembangunan kandang ini tidak dimaksudkan untuk menangkarkan maleo, tetapi lebih kepada upaya perlindungan telur maleo baik dari predator maupun dari kondisi fisik lapangan tempat bertelurnya yang sempit, sehingga mudah terendah air. Dengan pembangunan kandang tersebut diharapkan banyak anak maleo yang bisa diselamatkan. Permasalahan yang dihadapi di kandang penetasan ini adalah daya tetasnya yang rendah. Daya tetas sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban tanah serta kedalaman dari sarang, oleh karena itu upaya untuk mengetahui suhu dan kelembaban serta kedalaman sarang di habitat asli maleo sangat diperlukan sebagai patokan dalam mengelola penetasan di kandang penetasan. Metoda Penelitian Karakteristik fisik sarang dilakukan dengan cara mengukur kedalaman, suhu dan kelembaban sarang yang ditemui pada waktu penelitian. - Kedalaman Lubang Kedalaman lubang pengeraman telur burung maleo diukur tegak lurus dari permukaan tanah sampai bagian tanah dimana telur diletakkan dengan menggunakan meteran 2

- Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban tanah diukur pada kedalaman masing-masing lubang pengeraman telur yang ditemukan di pantai Tanjung Matop. Suhu diukur dengan menggunakan termometer tanah, sementara kelembaban diukur dengan menggunakan soil tester. ISI Kedalaman Lubang Kedalaman lubang pengeraman di lokasi penelitian berkisar antara 40-100 cm dengan rata-rata 65,45 cm (± 10,25 cm) (Tabel 1). Dengan demikian kedalaman masih berada pada kisaran normal, karena diketahui bahwa kedalaman letak telur burung Maleo bervariasi antara 10-15 cm dan 80-100 cm, tetapi kebanyakan pada kedalaman 30-50 cm (Jones, et.al., 1995). Telah diketahui bahwa ukuran dan kedalaman sarang tergantung pada tinggi kedalaman air (Water Table), jarak dari sumber panas, suhu tanah, struktur tanah, kondisi cuaca beberapa hari sebelumnya, frekuensi penggunaan dan umur sarang (Jones et.al., 1995). Terlihat bahwa pada waktu penelitian dilakukan kedalaman letak telur relatif lebih dalam dibandingkan kedalaman pada umumnya. Hal ini disebabkan pengukuran dilakukan saat musim hujan belum berakhir. Kondisi ini terjadi karena Maleo meletakkan telurnya lebih dalam ketika suhu tanah turun setelah hujan lebat dan lebih dangkal setelah masa kekeringan (Dekker, 1988). Setelah turun hujan tanah menjadi basah dan mempunyai suhu yang rendah, oleh karena itu Maleo akan menggali lubang lebih dalam untuk menemukan suhu yang cocok bagi penetasan. Kedalaman letak telur berkaitan juga dengan fluktuasi suhu tanah. Suhu sarang di pantai sangat berbeda antara siang dan malam. Menurut Gunawan (2000) pada siang hari, semakin dalam lubang semakin rendah suhunya, sedangkan pada malam hari sebaliknya. Namun pada kedalaman 60 cm atau lebih perbedaan suhu ini relatif kecil, baik siang maupun malam. Berdasarkan fakta tersebut, diduga induk maleo meletakan telurnya pada kedalaman 50 cm atau lebih bertujuan mendapatkan suhu yang relatif stabil. Dengan demikian letak 3

telur pada kedalaman rata-rata 65.45 cm dilokasi penelitian diperkirakan akan memberi keuntungan berupa terjaganya suhu pada kisaran normalnya yaitu antara 32-39 0 C. Suhu Dari hasil pengukuran, suhu tanah pada lubang pengeraman di lokasi penelitian berkisar antara 31-33 0 C dengan rata-rata 32,22 0 C (±0,87 0 C) (Tabel 1) suhu ini masih berada dalam kisaran normal penetasan telur Maleo. Suhu tanah untuk menetaskan telur Maleo berkisar antara 32-39 0 C (Jones, et.al., 1995). Pengukuran menunjukkan bahwa suhu tanah di lokasi penelitian berada pada nilai terendah dari kisaran normal penetasan Maleo. Kondisi ini disebabkan pengukuran dilakukan pada waktu musim hujan yang masih belum berakhir, sehingga tanah di lokasi cenderung basah. Radiasi matahari yang sampai ketanah sebagian akan diserap dan sisanya akan dipantulkan. Energi yang diserap akan diubah menjadi panas dan dihilangkan dengan 3 cara, yaitu sebagian lewat penguapan air, sebagian digunakan untuk memanaskan tanah dan udara, dan sebagian lagi akan diradiasi ulang. Untuk tanah yang basah, kira-kira setengah dari energi yang diserap akan digunakan untuk menguapkan air, akibatnya suhu tanah akan lebih dingin jika dibandingkan dengan tanah yang tidak basah (Russel, 1961). Rendahnya suhu tanah sarang pengeraman ini berkaitan juga dengan kedalaman sarang semakin jauh kedalaman tanah, maka suhu akan semakin rendah. Hal ini disebabkan berkurangnya konduksi panas dari permukaan tanah (Russel, 1961). Maleo yang berada di SMPTN meletakkan telurnya lebih dalam, yaitu pada kedalaman rata-rata 65,45 cm, dibandingkan dengan penelitian lain yang berkisar antara 30-50 cm. Lebih dalamnya peletakan telur yang terdapat di lokasi ini menguntungkan dalam mempertahankan suhu normal bagi penetasan telur Maleo, karena letak telur yang berada pada kedalaman lebih dari 50 cm akan mempunyai suhu yang lebih konstan baik siang maupun malam (Gunawan, 2000). Jika rendahnya suhu tanah ini terus berlangsung bukan disebabkan oleh musim, maka dapat diduga bahwa pengeraman di lokasi penelitian relatif lebih 4

lama. Semakin tinggi suhu, maka masa pengeraman akan semakin cepat (Dekker, 1988). Tabel 1. Karakterisitik Fisik Sarang Burung Maleo di SMPTM Nomor Sarang Karakteristik Fisik Kedalaman (cm) Suhu ( 0 C) Kelembaban (%) 1 50 31,5 97 2 70 32,5 65 3 51 31,5 44 4 50 31 78 5 50 31,5 50 6 60 31,5 44 7 80 32 65 8 60 32 54 9 80 32,5 50 10 100 32 56 11 40 33 28 12 70 32,5 44 13 100 32 35 14 80 33 80 15 67 32,5 45 16 60 33 65 17 50 33 82 18 60 33 88 Rata-rata 65,45 (± 10,25) 32,22 (±0,87) 59,44 (±8,29) Kelembaban Kelembaban tanah di habitat bertelur berkisar atara 28-97% dengan ratarata 59,44% (±8,29%) (Tabel 1). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Gunawan (2000) di Tanjung Binarahan, Sulawesi Utara, bahwa kelembaban tanah di pantai tempat peneluran berkisar antara 55-65% denga ratarata 58,34%. Ekstrimnya kisaran kelembaban di SMPTM disebabkan pengukuran dilakukan pada kondisi cuaca yang berbeda. Tanah yang mempunyai kelembaban yang tinggi diukur setelah turun hujan, karena kelembaban tanah selain dipengaruhi oleh tekstur tanah juga oleh pola curah hujan (Dekker, 1988). Untuk Maleo yang bertelur dipantai, kelembaban dipengaruhi juga oleh jarak sarang ke pasang tertinggi (Gunawan, 2000). Dengan demikian sarang yang mempunyai 5

kelembaban tinggi letaknya diperkirakan dekat dengan garis pantai. Akibatnya, telur yang berada pada sarang yang berdekatan dengan garis pantai akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap pembusukan telur atau tidak berhasil menetas. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan Maleo di SMPTM, biasanya telur-telur tersebut akan digali dan dibawa ke kandang penetasan. Kelembaban merupakan faktor yang penting dalam penetasan telur karena akan mempengaruhi suhu. Menurut Russel (1961) suhu tanah dipengaruhi oleh kelembaban tanah. Tanah yang basah akan menggunakan setengah energi matahari yang diserapnya untuk penguapan, akibatnya energi yang pergunakan untuk memanaskan tanah menjadi berkurang (Russel, 1961). Dengan demikian, tingginya kelembaban di lokasi penelitian yang diakibatkan oleh hujan dan dekatnya sarang dengan pasang tertinggi menyebabkan rendahnya suhu tanah. PENUTUP Kedalaman, suhu dan kelembaban rata-rata sarang burung maleo di SMPTM masih normal. Kisaran ekstrim kedalaman, suhu dan kelembaban yang diukur selama penelitian disebabkan pengukuran dilakukan pada kondisi cuaca yang berbeda pada waktu musim hujan yang belum berakhir. Daftar Pustaka Butchart, S.H.M and Gillian C. Baker. 1998. Priority Sites for Conservation of Maleo (Macrocephalon maleo) in Central Sulawesi. Department of Zoology, Downing Street, Cambridge, CB2 3 EJ, UK. 20p. Dekker, R.W.R.J. 1988. Notes on Ground Temperatures at Nesting Sites of The Maleo (Macrocephalon maleo (Megapodiidae). Emu 88 : 124 127. Gunawan, H. 2000. Strategi Burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) dalam Seleksi Habitat Tempat Bertelurnya di Sulawesi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 203 hal. Jones, D.N., Dekker, R.W.R.J. and C.S. Roselaar. 1995. Bird Families of The World : The Megapodea. Stanford University. Press. Oxford. 262 p. Mackinnon, K. 1992. The Wildlife of Indonesia : Nature s Treasurehouse. Gramedia Pustaka Utama. P 114 129. Russel, E.W. 1961. Soil Condition and Plant Growth. The English Language Book Society and Longman Group Ltd. London. P. 352-360. 6

7