II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Gelombang

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN S A K K A

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

SEDIMENTASI AKIBAT PEMBANGUNAN SHEET PILE BREAKWATER TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT

BAB II TEORI TERKAIT

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

BAB V Analisa Peramalan Garis Pantai

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

2.6. Pengaruh Pemecah Gelombang Sejajar Pantai / Krib (Offshore Breakwater) terhadap Perubahan Bentuk Garis Pantai Pada Pantai Pasir Buatan...

III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

Oleh: Darius Arkwright. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

TINJAUAN PUSTAKA Gelombang

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONDISI GELOMBANG DI WILAYAH PERAIRAN PANTAI LABUHAN HAJI The Wave Conditions in Labuhan Haji Beach Coastal Territory

KETIDAKSTABILAN PANTAI SEBAGAI KENDALA PENGEMBANGAN DAERAH PERUNTUKAN DI PERAIRAN LASEM JAWA TENGAH

KAJIAN PENGARUH GELOMBANG TERHADAP KERUSAKAN PANTAI MATANG DANAU KABUPATEN SAMBAS

I. PENDAHULUAN Permasalahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN LAJU TRANSPOR SEDIMEN DI PANTAI AKKARENA

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

POLA ARUS DAN TRANSPOR SEDIMEN PADA KASUS PEMBENTUKAN TANAH TIMBUL PULAU PUTERI KABUPATEN KARAWANG

TRANSPORT SEDIMEN YANG DISEBABKAN OLEH LONGSHORE CURRENT DI PANTAI KECAMATAN TELUK SEGARA KOTA BENGKULU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *)

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISA PERUBAHAN GARIS PANTAI TUBAN, JAWA TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF)

KAJIAN MORFODINAMIKA PESISIR KABUPATEN KENDAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH MULTI SPEKTRAL DAN MULTI WAKTU

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

STUDI JUMLAH ANGKUTAN SEDIMEN SEPANJANG GARIS PANTAI PADA LOKASI PANTAI BERLUMPUR ( Studi Kasus Di Pantai Bunga Batubara, Sumatera Utara) TUGAS AKHIR

BAB VI PEMILIHAN ALTERNATIF BANGUNAN PELINDUNG MUARA KALI SILANDAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rancu pemakaiannya, yaitu pesisir (coast) dan pantai (shore). Penjelasan mengenai

PENGARUH FASILITAS PELABUHAN TERHADAP PANTAI LABUHAN HAJI The Effect of Port Structure on Labuhan Haji Beach

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS

GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 2

PEMODELAN ARUS SEJAJAR PANTAI STUDI KASUS PANTAI ERETAN, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

Gambar 2.1. Definisi Daerah Pantai Sumber: Triatmodjo (1999)

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2014), Hal ISSN :

DAFTAR NOTASI. A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1)

BAB V ANALISIS PERAMALAN GARIS PANTAI

PEMODELAN POLA ARUS DI SEPANJANG PANTAI DELTA MUARA SUNGAI SADDANG

Pengaruh Perubahan Layout Breakwater Terhadap Kondisi Tinggi Gelombang di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY

STUDI ANGKUTAN SEDIMEN SEJAJAR PANTAI DI PANTAI PONDOK PERMAI SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Fusi ISSN: Vol.7 No.2 STUDI KARAKTERISTIK PANTAI TANJUNG ALAM KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Gambar 4.11 Lokasi 1 Mala (Zoom).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DESAIN STRUKTUR PELINDUNG PANTAI TIPE GROIN DI PANTAI CIWADAS KABUPATEN KARAWANG

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN GENESIS. KL 4099 Tugas Akhir. Bab 5. Desain Pengamananan Pantai Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara

ANALISIS ARUS DAN GELOMBANG PERAIRAN BATU BELANDE GILI ASAHAN DESA BATU PUTIH KECAMATAN SEKOTONG LOMBOK BARAT

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik

PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POLA TRANFORMASI GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RCPWave PADA PANTAI BAU-BAU, PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

PREDIKSI PERUBAHAN GARIS PANTAI PULAU GILI KETAPANG PROBOLINGGO DENGAN MENGGUNAKAN ONE-LINE MODEL

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

07. Bentangalam Fluvial

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tinjauan Pustaka

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

Gambar 2.7 Foto di lokasi Mala.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gelombang Dinamika yang terjadi di pantai dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah gelombang, suplai sedimen dan aktifitas manusia (Sorensen 1993). Mula-mula angin membangkitkan gelombang di laut lepas, kemudian gelombang merambat menuju ke pantai. Selama penjalaran gelombang menuju pantai terjadi transformasi gelombang dan membangkitkan arus menyusuri pantai (longshore current) atau arus tegak lurus pantai (rip current) yang dapat mengubah bentuk garis pantai. Gelombang yang dominan terjadi di laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Angin yang berhembus di atas permukaan laut mentransfer energi ke permukaan air sehingga dapat membangkitkan gelombang yang merambat menjauhi daerah asal terbentuknya. Tinggi dan periode gelombang yang terbentuk tergatung pada kecepatan angin, lama hembusan angin dan jarak hembusan angin tanpa rintangan (Komar 1976 dan Massel 1989). Jika suatu muka barisan gelombang datang dengan membentuk sudut terhadap garis pantai yang mempunyai kedalaman dasar pantai dangkal, maka gelombang tersebut akan mengalami refraksi. Dalam hal ini arah perambatan gelombang berangsur-angsur berubah dengan berkurangnya kedalaman, sehingga muka gelombang cenderung sejajar dengan kontur kedalaman laut. Proses pembiasan gelombang ini disebabkan oleh perubahan kedalaman yang mengakibatkan perubahan kecepatan dan amplitudo gelombang (Carter 1988 dan Dean & Dalrymple 1984). Beberapa model transformasi gelombang telah dibuat untuk melihat perubahan tinggi dan arah gelombang yang merambat dari laut lepas ke garis pantai. Misalnya, model yang dibuat oleh Thornton dan Guza (1983) untuk mengamati transformasi gelombang dengan menggunakan persamaan distribusi Rayleigh dalam menjelaskan distribusi tinggi gelombang yaitu: (1)

12 p(h) = distribusi tinggi gelombang H 0 = Tinggi gelombang laut lepas K s = koefisien soaling H h = tinggi gelombang pada kedalaman h Hasil ini menunjukkan bahwa metode distribusi Rayleigh memprediksi gelombang secara detail sedikit lebih tinggi dari hasil pengukuran lapangan, walaupun demikian metode ini mampu memprediksi H 1/3 dan H 1/10 dengan baik. Selain itu, metode distribusi Rayleigh mampu meramalkan peningkatan tinggi gelombang rata-rata akibat shoaling dan penurunan tinggi gelombang akibat gelombang pecah. Perhitungan tinggi gelombang pada surf zone dilakukan dengan menggunakan koefisien gesekan dasar C f = 0.01 dan menghasilkan penurunan tinggi gelombang maksimum sebesar 3%. Maa dan Wang (1995) mengamati transformasi gelombang di pantai Virginia dengan menggunakan model RCPWAVE. Dalam model ini perhitungan transformasi gelombang dilakukan dengan memasukkan pengaruh shoaling, refraksi dan difraksi menggunakan persamaan mild slope. Hasil perhitungan metode ini menunjukkan bahwa gesekan dasar merupakan suatu faktor penting yang mempengaruhi transpormasi gelombang. Jika efek gesekan dasar dikeluarkan dalam perhitungan, hasil perhitungan spectra gelombang di dekat pantai akan menjadi sangat lebih besar dari pada hasil pengukuran. Dengan menggunakan konstanta faktor gesekan dasar yang kecil (f w = 0,01 untuk frekuensi 0,07 Hz, f w = 0,02 untuk 0,07 < frekuensi < 0,08 Hz, dan f w = 0,03 untuk frekuensi 0,08 Hz), maka diperoleh spectra gelombang yang baik pada stasiun dekat pantai. Hung et al. (2008) membuat model transformasi gelombang dengan menggunakan persamaan mild slope bergantung waktu yang dinyatakan sebagai berikut: (2) (3)

13 adalah operator gradien horizontal η = elevasi permukaan air laut (m) C = kecepatan gelombang (m/s) = percepatan gravitasi (m/det 2 ) h = kedalaman air laut (m) d b = ketebalan medium pemecah gelombang (m) k = bilangan gelombang ε b = Porositas medium pemecah gelombang C r = Koefisien energi aliran f = Faktor gesekan Untuk keperluan penentuan tinggi gelombang pecah, maka model ini menggunakan kriteria gelombang pecah dari Goda (1975) yaitu: (4) H b = Tinggi gelombang pecah (m) L 0 = Panjang gelombang di laut lepas (m) tan β = Kelerengan pantai h = kedalaman laut (m) Perubahan tinggi dan panjang gelombang berhubungan dengan berkurangnya kedalaman air. Hubungan antara tinggi gelombang dan kedalaman air pada saat gelombang pecah telah banyak diteliti. Dari beberapa hasil eksperimen memberikan perbandingan antara tinggi gelombang pecah (H b ) dan

14 kedalaman air di mana gelombang pecah (h b ) berkisar antara 0.7 sampai 1.2 (Messel 1988). Beberapa hasil penelitian telah dibuat untuk memformulasikan hubungan antara tinggi gelombang pecah dengan tinggi gelombang laut lepas (H b /H o ) yaitu Komar dan Gaughan (1972) dalam Sunamura (1992) menggunakan hubungan fluks energi dalam teori gelombang linier untuk mendapatkan persamaan semiempiris. Le Mehaute dan Koh (1967) dalam Sunamura (1992) menurunkan hubungan H b /H o dengan memasukkan efek kemiringan dasar pantai. Kriteria gelombang pecah telah diformulasikan oleh beberapa penulis seperti diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria gelombang pecah (Thornton & Guza 1983) Penulis Collins (1970) Sifat Shoaling Linier Kriteria Gelombang Pecah Battjes (1972) Kuo & Kuo (1974) Goda (1975) Linier Linier Nonlinier 2.2 Kecepatan Arus Menyusur Pantai Salah satu aspek penting dari gelombang yang berambat menuju pantai adalah terbentuknya arus menyusur pantai dan arus tegak lurus pantai yang akan mempengaruhi pergerakan material sedimen sepanjang pantai (Ippen 1966). Apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi arus tegak lurus pantai yang menuju ke laut. Selain itu, apabila gelombang yang datang membentuk sudut terhadap garis pantai akan membangkitkan arus menyusur pantai (Horikawa 1988). Longuet-Higgins (1970) dalam Horikawa (1988) menganalisis proses pembangkitan arus menyusur pantai dengan menggunakan konsep tekanan radiasi (radiation stress). Jika garis puncak gelombang datang miring terhadap garis

15 pantai, maka tekanan radiasi akan timbul di sepanjang pantai. Setelah gelombang pecah, maka komponen geser tekanan radiasi semakin berkurang dan akan menghasilkan suatu tenaga pembangkit (driving force) untuk membangkitkan arus menyusur pantai. Kecepatan arus menyusur pantai (V) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan : (5) tan β * = 1+ tan β 2 ( 3 / 8) γ b tan β = kelerengan pantai = percepatan gravitasi (m/det 2 ) = sudut gelombang pecah (derajat) C f = koefisien gesekan dasar pantai γ b = indeks gelombang pecah Suriamihardja (2005) meneliti kecepatan arus menyusur pantai di delta Sungai Jeneberang untuk mengestimasi angkutan sedimen menyusur pantai dan kecenderungan perubahan garis pantai sepanjang delta Sungai Jeneberang. Gelombang yang datang miring terhadap garis normal pantai setelah pecah akan membangkitkan arus menyusuri pantai. Berdasarkan arah dan tinggi gelombang pecah serta kedalaman air, maka kecepatan arus menyusuri pantai di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang sebagian besar berada pada interval 0.051 sampai 0.10 m/det (76.79%), kemudian pada interval 0.11 m/det sampai 0.15 m/det (22.32%) dan sebagian kecil terjadi pada kecepatan lebih besar dari 0.2 m/det (15.6%). Di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang kecepatan arus menyusuri pantai ke arah utara lebih besar dari pada ke arah selatan. Arah arus menyusuri pantai di sepanjang delta Sungai Jeneberang tergantung dari arah gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Berdasarkan pola arah gelombang, mengindikasikan bahwa gelombang yang datang dari arah barat dan barat daya akan membangkitkan arus menyusuri pantai di sepanjang pantai delta Sungai

16 Jeneberang kearah utara, sedangkan gelombang yang datang dari arah barat laut membangkitkan arus menyusuri pantai ke arah selatan. 2.3 Angkutan Sedimen di Pantai Laju angkutan sedimen sejajar pantai merupakan faktor utama dalam mengevaluasi perubahan garis pantai (Hung et al. 2008 dan Elfrink & Baldock 2002). Untuk mempelajari angkutan sedimen akibat gelombang, maka daerah dekat pantai dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu daerah offshore zone, surf zone dan wash zone (Horikawa 1988). Offshore zone adalah daerah yang terbentang dari garis dimana gelombang pecah sampai laut lepas. Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas naikturunnya gelombang di pantai. Dalam daerah ini angkutan sedimen terutama disebabkan oleh gelombang pecah dan arus yang diinduksi oleh gelombang. Wash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai. Arah angkutan sedimen di sepanjang pantai dapat berupa angkutan sedimen dari pantai ke laut atau dari laut ke pantai yang dapat terjadi oleh gerakan gelombang dan arus balik dasar serta arus tegak lurus pantai. Angkutan sedimen sejajar pantai (Long shore transport) yaitu angkutan sedimen sepanjang pantai atau biasa disebut angkutan sedimen sejajar pantai yang berkaitan erat dengan arus menyusuri pantai. Dalam mengestimasi perubahan garis pantai, maka diperlukan suatu evaluasi kuantitatif laju angkutan sedimen pada setiap titik di grid horizontal dua dimensi. Untuk tujuan ini, angkutan sedimen yang terjadi di daerah pantai dibagi menjadi angkutan sedimen lintas pantai (cross-shore transport) dan angkutan sedimen sejajar pantai (longshore transport). Mekanisme angkutan sedimen dibagi dalam dua tipe yaitu (Horikawa 1988): Angkutan sedimen dasar (bed load transport) adalah gerakan material sedimen pada dasar perairan yang terseret oleh arus secara menggelinding, bergeser dan saltasi. Angkutan sedimen suspensi (suspended load transport) adalah gerak material sedimen melayang yang terhanyut oleh aliran.

17 Madsen dan Grant (1976) dalam Horikawa (1988) membuat hubungan antara besar angkutan sedimen lintas pantai yang tak berdimensi dengan parameter shields dengan mengembangkan hasil yang diperoleh oleh Brown (1950) dalam kasus aliran searah. Pendekatan ini menghasilkan laju transpor sedimen rata-rata terhadap setengah periode gelombang, tanpa arah transpor sedimen ke pantai atau ke lepas pantai dan nilai laju transpor pada setiap fase satu periode gelombang, yaitu : (6) Q l = angkutan sedimen menyusur pantai (m 3 /det) = Amplitudo dari = Parameter shield u m = kecepatan maksimum orbital gelombang (m/det) u = kecepatan orbital gelombang (m/det) C f = koefisien gesekan dasar pantai ρ s = Massa jenis sedimen (kg/m 3 ) = percepatan gravitasi (m/det 2 ) d 50 = diameter sedimen rata-rata (mm) Ozasa dan Brampton (1980) merumuskan angkutan sedimen menyusuri pantai untuk digunakan dalam mengamati perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line. Metode one-line adalah model dua dimensi yang menghitung perubahan garis pantai dengan cara mengamati pergerakan posisi garis pantai dengan asumsi bahwa profil pantai tidak berubah. Laju angkutan sedimen menyusuri pantai didasarkan pada komponen fluks energi gelombang pada daerah gelombang pecah. Persamaan angkutan sedimen menyusur pantai dinyatakan sebagai: (7) H bs = tinggi gelombang signifikan pada saat pecah (m) C gb = kecepatan group gelombang pada saat pecah (m/s)

18 A d = koefisien kalibrasi = Koefisien empiris = kelerengan pantai Shibutani et al. (2007) menghitung laju angkutan sedimen sejajar pantai untuk mengamati perubahan garis pantai dengan menggunakan persamaan Ozasa dan Brampton (1980). Hung et al. (2008) menggunakan persamaan angkutan sedimen sejajar pantai yang dibuat oleh Komar dan Inman (1970) untuk mengamati perubahan garis pantai di sekitar pemecah gelombang. Persamaan angkutan sedimen ini didasarkan pada flux energi gelombang yang dinyatakan sebagai berikut: (8) Q l = angkutan sedimen menyusur pantai (m 3 /det) = flux energi gelombang pada saat gelombang pecah = Koefisien empiris n = porositas sedimen = percepatan gravitasi (m/det 2 ) θ b ρ s = sudut gelombang pecah (derajat) = Massa jenis sedimen (kg/m3) ρ = Massa jenis air (kg/m 3 ) 2.4 Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai dapat diprediksi dengan membuat model matematik atau numerik yang didasarkan pada imbangan sedimen pantai pada daerah pantai yang ditinjau (Ebersole et al. 1986; Hanson & Kraus 1989). Perubahan garis

19 pantai dipengaruhi oleh angkutan sedimen sejajar pantai dan angkutan sedimen tegak lurus pantai. Gelombang badai yang terjadi dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadinya erosi pantai. Selanjutnya gelombang biasa yang terjadi sehari-hari akan membentuk kembali pantai yang tererosi sebelumnya. Dengan demikian dalam satu siklus yang tidak terlalu lama profil pantai kembali pada bentuk semula, atau dalam satu siklus pantai dalam kondisi stabil. Sebaliknya, akibat pengaruh transpor sedimen sejajar pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan menyebabkan perubahan garis pantai. Untuk mengembalikan perubahan garis pantai pada kondisi semula diperlukan waktu cukup lama. Dengan demikian, maka transpor sedimen sejajar pantai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai (USACE 2003b). Dinamika lautan atau proses-proses yang berasal dari laut dapat mengakibatkan perubahan pada pantai, baik karena proses abrasi maupun sedimentasi. Kemudian karena adanya perubahan garis pantai tersebut, maka dinamika laut, seperti arah datang gelombang, atau pembiasan gelombang akan mengalami perubahan. Jika arah arus mengalami perubahan, maka arah transpor sedimen juga berubah, sehingga bentuk pantai juga berubah. Jadi perubahan bentuk pantai dan arah gelombang saling mempengaruhi. Berbagai penelitian tentang perubahan garis pantai telah dilakukan baik secara analitik maupun secara numerik, seperti: Komar (1973), membuat model numerik perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line yang mengamati evolusi delta yang didominasi gelombang. Model ini menggunakan sumber sedimen yang berlokasi tetap dan gelombang yang merambat ke pantai hanya dari satu arah dengan puncak gelombang sejajar garis pantai. Model Komar menghasilkan delta yang tumbuh dengan bentuk melengkung berhubungan dengan delta tipe Nile. Gelombang dengan sudut miring, menunjukkan sedikit asimetri di samping arah angkutan sedimen. Leont yev (1997) membuat model numerik perubahan garis pantai untuk waktu singkat di sekitar struktur tegak lurus pantai dengan menggunakan metode one-line. Dalam studi ini ditinjau dampak groin atau struktur tipe dermaga dan pipa dibawah air yang berorientasi tegak lurus terhadap pantai. Pendekatan ini

20 telah dipakai untuk mengestimasi perubahan garis pantai selama musim panas di pantai Yamal, Teluk Baidara (Laut Kara). Dampak gabungan dari pipa dan dermaga terlihat jelas setelah 70 hari. Durasi total kondisi gelombang ketika tinggi gelombang rms melebihi 0.7 adalah sekitar 500 jam, periode gelombang adalah 4-7 detik dan sudut gelombang dari -40 sampai +45. Material dasar pantai adalah pasir halus dengan ukuran rata-rata 0.12-0.15 mm dan kemiringan dasar pantai landai dengan kontur kedalaman paralel terhadap garis pantai. Fluks sedimen sejajar pantai bergerak ke arah utara atau selatan tergantung pada situasi gelombang. Pengaruh nyata groin ditinjau pada jarak sekitar 10 km. Hasil simulasi diperoleh bahwa perubahan garis pantai yang tertinggi melebihi 4 m. Jumlah total material sedimen yang terangkut adalah 25 x 10 3 m 3 untuk daerah sebelah utara groin dan 12 x 10 3 m 3 untuk daerah sebelah selatan groin. Dabees dan Kamphuis (2000) membuat model perubahan kontur kedalaman pantai dalam skala spasial dan temporal dengan metode NLine. Model ini mensimulasikan transformasi gelombang pada kondisi batimetri yang tidak teratur dan menghitung hubungan antara transformasi sedimen dengan perubahan morfologi pantai serta pengaruh pemecah gelombang terhadap perubahan morfologi pantai. Hasil simulasi model ini memperlihatkan perubahan profil pantai berdasarkan perubahan musim, yaitu pada musim panas terjadi sedimentasi pada pantai depan sedangkan pada musim dingin terjadi abrasi pada pantai depan dan terjadi bar (gundukan pasir) bagian bawah. Model ini dicoba diterapkan di pantai Pulau Gasparilla di sebelah barat daya pantai Florida di Teluk Meksiko. Panjang pantai yang digunakan dalam model adalah 10600 m dengan jumlah grid tegak lurus pantai 100 dan sejajar pantai 11 (dari kedalaman 1.5 sampai -9 m). model disimulasikan selama 20 tahun (1975-1995) dengan menggunakan data gelombang interval 3 jam dari U.S Army Corps of Engineers Wave Information Study. Hasil simulasi memperlihatkan adanya lokasi yang mengalami abrasi dan akresi. Daerah yang mengalami erosi menunjukkan adanya peningkatan angkutan sedimen sedangkan yang mengalami akresi menunjukkan adanya penurunan angkutan sedimen. Makota et al. (2004) meneliti perubahan garis pantai di pantai utara dan selatan Kunduchi, Tanzania dengan menggunakan photo udara, tahun 1981, 1992

21 dan 2002. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 1981-1992 pantai utara telah mengalami abrasi seluas 2.02 ha dan akresi seluas 0.11 ha dan pada tahun 1992-2002 telah mengalami abrasi seluas 0.68 ha. Perubahan garis pantai pada tahun 1992-2002 dipengaruhi oleh adanya konstruksi bagunan pengaman pantai sehingga abrasinya lebih kecil. Pada pantai selatan telah mengalami abrasi seluas 1.13 ha dan akresi seluas 0.04 ha pada tahun 1981-1992, sedangkan pada tahun 1992-2002 mengalami abrasi seluas 0.12 ha dan akresi seluas 2.81 ha. Purba dan Jaya (2004) melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan garis pantai dan karakteristik gelombang tergantung pada kekuatan angin yang terjadi. Bagian pantai yang berbentuk tonjolan, disisi hilir dari arah arus menyusuri pantai umumnya angkutan sedimen dominan ke utara menyebabkan terjadinya erosi. Hasil gerusan sedimen tersebut diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada bagian tertentu sehingga terjadi proses sedimentasi. Ashton dan Murray (2006) membuat model perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line. Penggunaan model ini memasukkan suatu penghalang hempasan gelombang sederhana, untuk menyelidiki implikasi sudut gelombang yang dapat mengakibatkan perubahan garis pantai. Dalam model ini diasumsikan bahwa delta didominasi oleh gelombang, ada sumber sedimen dari sungai yang berlokasi tetap. Perhitungan angkutan sedimen dilakukan dengan menggunakan persamaan CERC (USACE 1984) dan mengasumsikan bahwa kontur kedalaman parallel dengan garis pantai, bentuk profil lintas pantai konstan dan evolusi garis pantai terjadi akibat gradien angkutan sedimen sejajar pantai. Dalam model ini satu sumber sedimen dimasukkan ke dalam model: setiap step waktu 0.1 hari dengan jumlah sedimen yang sama ditambahkan ke pantai pada lokasi yang tetap. Hasil simulasi menunjukkan bahwa interaksi antara input sedimen, pembentukan kembali gelombang dan hempasan gelombang mengakibatkan sifat yang komplek, dengan garis pantai menyerupai bentuk delta Nile dan bentuk yang lebih komplek seperti Delta Ebro atau Danube.

22 Shibutani et al. (2007) menggunakan persamaan kontinuitas sedimen untuk membuat model perubahan garis pantai dengan metode one-line. Model ini diaplikasikan di pantai Yumigahama Jepang sepanjang 4 km sejajar pantai. Hasil simulasi model setelah 2 tahun menunjukkan terjadinya abrasi pada pantai bagian atas dan pada sisi lain yaitu pantai bagian bawah mengalami sedimentasi. Model ini juga melihat pengaruh ukuran butiran sedimen terhadap perubahan garis pantai. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ukuran butiran sedimen yang terdapat di pantai mempunyai pengaruh terhadap besarnya perubahan garis pantai. Semakin kecil ukuran butiran, maka semakin besar jarak perubahan garis pantai yang terjadi. Hung et al. (2008) membuat model perubahan garis pantai akibat adanya pemecah gelombang di sekitar pantai. Model perubahan garis pantai dibuat berdasarkan perhitungan dari persamaan kontinuitas sedimen yang menggunakan metode one-line yaitu: (9) Q = laju angkutan sedimen h s = Kedalaman kritis Persamaan (8) dapat ditulis dalam bentuk beda hingga (finite-difference) yaitu: (10) Hasil simulasi model ini menunjukkan adanya perubahan garis pantai yaitu terjadi bentuk garis pantai menonjol yang terbentuk di belakang pemecah gelombang. Hasil simulasi model perubahan garis pantai menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hasil eksperimen. Triwahyuni et al. (2010) membuat pemodelan perubahan garis pantai di sepanjang pantai Timur Tarakan, Kalimantan Timur. Model perubahan garis pantai ini menggunakan metode one-line, dan perhitungan angkutan sedimen dilakukan dengan menggunakan persamaan yang dibagun oleh Komar (1983). Model ini tidak mengamati transformasi gelombang, sehingga proses transformasi

23 gelombang harus dihitung di luar model yang kemudian digunakan sebagai input dalam model. Hasil simulasi model ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun (1991 2001) telah terjadi kemajuan garis pantai (sedimentasi) yang lebih intensif di bagian utara dibandingkan pada pantai bagian selatan. Secara umum profil garis pantai hasil akhir model menunjukkan kemiripan dengan garis pantai hasil citra. Sejumlah penelitian dalam aspek oseanografi telah dilakukan pada kawasan perairan Kota Makassar. Lokasi penelitian dipusatkan di sekitar muara Sungai Jeneberang, karena wilayah ini merupakan wilayah yang sangat dinamik dan mempunyai arti strategis. Seperti, Departemen PU (1989) memfokuskan penelitian tentang hidrologi, perubahan garis pantai dan batimetri di Sekitar muara Sungai Jeneberang. Suriamiharja (2005) telah melakukan telaah pasang surut, gelombang, arus dan angkutan sedimen dalam kaitannya dengan sedimentasi dan abrasi pantai Tanjung Bunga.