BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV PETA KERENTANAN LONGSORAN

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Session_01. - Definisi SIG - Latar Belakang - Keunggulan SIG dibanding sistem perpetaan konvensional - Contoh pemanfaatan SIG

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Tujuan. Pengenalan SIG

Pengenalan Sistem Informasi Geografis

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

PROFILE. Name Educational Background. . Website Phone

Suryanti Nur M. Farda

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB IV ANALISIS GEOMORFOLOGI DAN APLIKASINYA UNTUK TATA GUNA LAHAN PERMUKIMAN DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG (Sistem Informasi

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis

A. Pendahuluan Sistem Informasi Geografis/GIS (Geographic Information System) merupakan bentuk cara penyajian informasi terkait dengan objek berupa

BAB I PENDAHULUAN. 1. Menerapkan ilmu geologi yang telah diberikan di perkuliahan.

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I-1

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB II METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

1.1. Definisi Ilmu Ukur Tanah (Surveying)

MATERI DAN METODE. Prosedur

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG OUTLINE

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL BERBASIS WEB

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

Transkripsi:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran. Zonasi kerawanan longsoran adalah sebuah sistem untuk mengidentifikasi besar kerawanan suatu daerah untuk longsor, dengan membagi/mengklasifikasi area - area tersebut berdasarkan faktor -faktor penyebab longsor. Metode yang dipilih untuk melakukan zonasi adalah Metode Anbalagan (1992) untuk pengkelasan faktor penyebab longsoran dan klasifikasi zona tingkat kerawanan longsor dan Metode Sistem Informasi Geografi sebagai metode pengolahan data. 3.1.1. Metode Anbalagan (1992) Metode Anbalagan (1992) adalah metode untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran dengan cara pembobotan (weighting) dan pengkelasan (rating). Faktor - faktor yang digunakan sebagai acuan pengkelasan kerawanan daerah tersebut untuk longsor adalah kemiringan lereng, litologi, kebasahan lahan, relief relatif, dan tutupan lahan. Metode ini cukup sistematis dan sederhana sehingga dapat digunakan dan dimengerti dengan efektif, dan efisien. Pendekatan yang dikembangkan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran pada Metode Anbalagan adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi bahaya longsoran atau landslide hazard evaluation factor (LHEF). 3.1.1.1. Skema Pengkelasan Faktor Evaluasi Bahaya Longsoran (LHEF) LHEF adalah sistem pengkelasan numerikal pada faktor - faktor penyebab longsoran yang utama. Faktor - faktor tersebut meliputi geologi, kemiringan lereng, relief relatif, tutupan lahan, dan kondisi airtanah (Tabel 3.1). Nilai maksimum untuk masing - masing faktor berbeda, tergantung kepada seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi suatu lereng untuk longsor. Nilai maksimum untuk jumlah seluruh nilai faktor - faktor tersebut adalah 10. Nilai 10 menunjukkan kondisi yang memiliki kemungkinan paling besar untuk terjadinya longsor. 14

Berikut ini adalah uraian secara rinci faktor - faktor yang digunakan pada skema pengkelasan LHEF. a. Litologi Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap kemungkinan suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit, batugamping, dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan tahan terhadap erosi sehingga kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan sedimen campuran lunak dan sangat mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk longsor. b. Kemiringan Lereng Sudut kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk antara bidang permukaan tanah dengan bidang normal. Besar kecilnya kemiringan lereng di suatu area dipengaruhi oleh sejarah proses geomorfologi. Setiap unit kemiringan lereng menunjukkan proses dan kontrol yang terjadi di daerah tersebut. Peta kemiringan lereng dibuat dari peta topografi yang dibagi berdasarkan banyaknya garis kontur yang melewati satu lereng. Kemiringan lereng pada metode ini dikelaskan menjadi lima kelas yaitu sangat terjal (> 45 o ), terjal (35 o 45 o ), sedang (25 o 35 o ), landai (16 o 25 o ) dan sangat landai ( 15 o ). c. Tutupan Lahan Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng. lahan gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga menyebabkan lereng menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami banyak tumbuhan akan lebih resisten terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih stabil. Akar yang tertanam kuat dapat membuat permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian secara umum dilakukan pada lahan dengan kemiringan lereng yang rendah walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang sedikit terjal. Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang seperti irigasi yang diperkirakan stabil. 15

d. Kebasahan Lahan Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur diskontinuitas, sehingga airtanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran yang seragam. Analisis perilaku airtanah pada daerah yang sangat luas dan pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu untuk melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang lebih kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis kondisi keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi air tanahnya. Kondisi keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi lima yaitu kering, lembab, basah, merembes dan mengalir. e. Relief Relatif Relief Relatif adalah besaran yang menunjukkan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu individu faset. Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), medium (101-300 m) dan tinggi (> 300 m). Berikut ini adalah tabel skema pengkelasan LHEF pada Metode Anbalagan (1992). Tabel 3.1 Tabel skema pengkelasan faktor kerawanan terhadap longsoran (LHEF) pada Metode Anbalagan (1992). Deskripsi Faktor Kategori Nilai Kuarsit dan batugamping 0.2 Granit dan gabro 0.3 Gneiss 0.4 Litologi Batuan Sedimen dominan batupasir tersemen dengan baik Batuab Sedimen dominan batupasir tidak tersemen dengan baik 1.0 1.3 16

Sabak dan filit 1.2 Sekis 1.3 Serpih berselingan dengan batulempung 1.8 Serpih, filit dan sekis yang sudah lapuk 2.0 < 15 o 0.5 16 o o 25 0.8 Kemiringan Lereng 26 o o - 35 1.2 36 o o 45 1.7 o >45 2.0 0 100 m 0.3 Relief Relatif 100 300 m 0.6 >300 m 1.0 Tanah pertanian dan pemukiman datar 0.65 Area tertutup hutan lebat 0.8 Tutupan Lahan Area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat 1.2 Area jarang tertutup tumbuhan 1.5 Lahan gundul 2.0 Kering 0.0 Lembab 0.2 Kebasahan Lahan Basah 0.5 Merembes 0.8 Mengalir 1.0 17

3.1.1.2. Perhitungan Jumlah Estimasi Bahaya Longsoran (TEHD) dan Penentuan Zonasi Kerawanan Longsoran Jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) merupakan indeks kemungkinan suatu faset untuk longsor. Nilai TEHD masing masing faset diperoleh dari kelima faktor yang mengontrol bahaya longsoran yang telah dikelaskan menurut tabel pengkelasan LHEF. Nilai jumlah kerawanan bahaya longsoran (TEHD) adalah jumlah nilai kerawanan dari litologi, kemiringan lereng, relief relatif, tutupan lahan dan kondisi airtanah. Setelah nilai jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) diperoleh, dapat diidentifikasi tingkat kerawanan untuk mengalami longsor. Tingkat kerawanan tersebut dibedakan menjadi lima kelas (Tabel 3.2), yaitu kerawanan sangat rendah, kerawanan rendah, kerawanan sedang, kerawanan tinggi dan kerawanan sangat tinggi. Tabel 3.2 Tabel skema pengkelasan nilai jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) pada Metode Anbalagan (1992) Nilai TEHD Pembagian Zona <3.5 Kerawanan Sangat Rendah 3.5 5.0 Kerawanan Rendah 5.1 6.0 Kerawanan Sedang 6.1 7.5 Kerawanan Tinggi >7.5 Kerawanan Sangat Tinggi 3.1.2 Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System / GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga 18

memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini. Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi bencana alam (Gambar 3.1), atau SIG dapat digunakan untuk mencari lahan basah (wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi. Gambar 3.1 Peta Gempabumi sebagai contoh hasil pengolahan dengan SIG (ESRI, 2008) 19

3.1.2.1. Sejarah pengembangan 35000 tahun yang lalu, di dinding Gua Lascaux, Perancis, para pemburu Cro-Magnon menggambar hewan mangsa mereka, juga garis yang dipercaya sebagai rute migrasi hewanhewan tersebut. Catatan awal ini sejalan dengan dua elemen struktur pada sistem informasi gegrafis modern sekarang ini, arsip grafis yang terhubung ke database atribut. Pada tahun 1700-an teknik survey modern untuk pemetaan topografis diterapkan, termasuk juga versi awal pemetaan tematis, misalnya untuk keilmuan atau data sensus. Awal abad ke-20 memperlihatkan pengembangan "litografi foto" dimana peta dipisahkan menjadi beberapa lapisan (layer). Perkembangan perangkat keras komputer yang dipacu oleh penelitian senjata nuklir membawa aplikasi pemetaan menjadi multifungsi pada awal tahun 1960-an. Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG yang bisa diterapkan di Ottawa, Ontario oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS - SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (CLI Canadian Land Inventory) - sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250000. Faktor pemeringkatan klasifikasi juga diterapkan untuk keperluan analisis. 3.1.2.2 GIS dengan CGIS CGIS merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan, pendijitalan/pemindaian (digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang membentang di atas Benua Amerika, memasukkan garis sebagai arc yang memiliki topologi dan menyimpan atribut dan informasi lokasional pada berkas terpisah. Pengembangya, seorang geografer bernama Roger Tomlinson kemudian disebut "Bapak SIG". 20

Gambar 3.2 GIS dengan gvsig (http://en.wikipedia.org/wiki/gis) CGIS bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk penyempurnaan setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing denga aplikasi pemetaan komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph. Perkembangan perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti ESRI, CARIS, MapInfo, gvsig dan berhasil membuat banyak fitur SIG (Gambar 3.2), menggabung pendekatan generasi pertama pada pemisahan informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi kedua pada organisasi data atribut menjadi struktur database. Perkembangan industri pada tahun 1980-an dan 1990-an memacu lagi pertumbuhan SIG pada workstation UNIX dan komputer pribadi. Pada akhir abad ke-20, pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan distandarisasikan menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai mengekspor menampilkan data SIG lewat internet, yang membutuhkan standar pada format data dan transfer. Indonesia sudah mengadopsi sistem ini sejak Pelita ke-2 ketika LIPI mengundang UNESCO dalam menyusun "Kebijakan dan Program Pembangunan Lima Tahun Tahap Kedua (1974-1979)" dalam pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi dan riset. 21

3.1.2.3. Sistem Informasi Geografi Modern Teknologi SIG modern bekerja dengan basis komputer, sehingga data - data spasial dalam bentuk fisik seperti lembaran kertas peta harus terlebih dahulu didigitasi menjadi data komputer (elektronik). Perkembangan Sistem Informasi Geografi sampai saat ini telah menghasilkan sebuah sistem terpadu yang dapat mengintegrasikan data - data dari berbagai sumber yang memiliki jenis yang berbeda - beda. Hal ini dapat dijelaskan dalam bentuk universal data spasial yang selalu memiliki atribut lokasi data yang diwakili oleh tiga variabel yaitu x, y, dan z yang menyatakan longitude, latitude, dan ketinggian. Sistem Informasi Geografi merepresentasikan keadaan model bumi yang sebenarnya yang disimpan dalam bentuk digital. Ada dua jenis yang digunakan untuk menyimpan data SIG tersebut yatu raster dan vektor. Tipe data raster disimpan dalam bentuk tabulasi data yang terdiri dari baris dan kolom, dimana satu buah data diwakilkan oleh satu baris. Data pada tipe raster menutup seluruh cakupan area data, sehingga jika diperluas atribut penyimpanan datanya, raster dapat digunakan sebagai tipe penyimpanan band - band citra yang berisi nilai warna RGB (Red, Green, Blue). Sedangkan pada tipe data vektor, data yang disimpan berupa informasi geometri seperti titik, garis, dan poligon untuk menyatakan bentuk data spasial. Karena bentuk datanya poligon maka harus dipastikan bahwa data yang digunakan tidak tumpang tindih satu sama lain (overlap). Banyak metode yang digunakan dalam merepresentasikan data - data spasial, seperti Triangulated Irregular Network (TIN), raster dan garis kontur. Raster dan vektor memiliki kelebihan dan kekurangannya masing - masing. Data raster memiliki keunggulan dalam hal overlay, karena bentuk data pada kedua peta yang akan ditumpangtindihkan telah sama yaitu pixel. Sedangkan pada data vektor, proses overlay cukup rumit karena harus dilakukan penyesuaian jenis atau bentuk data. Tetapi data vektor dengan bentuknya yang geometrikal membutuhkan kapasitas penyimpanan data yang lebih kecil dibandingkan data raster. Selain itu data vektor mempunyai keunggulan dalam tampilan. 22

Tampilan vektor lebih baik dibandingkan raster terutama daerah - daerah batas objek karena berbentuk garis, sedangkan data raster akan terlihat kotak - kotak karena bentuk datanya pixel. 3.1.2.4. Proyeksi dan Sistem Koordinat Banyaknya lembaga dan peneliti yang membuat peta - peta membuat ketidaksesuaian acuan alamat dan skala, sehingga data yang dibuat oleh peneliti atau lembaga yang berbeda tidak dapat digunakan bersama - sama. Untuk mengatasi hal tersebut, sebelum dianalisis, data - data tersebut harus disesuaikan satu sama lain pada sistem pengkoordinatan yang dapat dikenali oleh SIG. Penyesuaian tersebut mencakup beberapa hal, antara lain sistem koordinat dan proyeksi. Bumi dapat direpresentasikan ke dalam beberapa model yang ditunjang oleh beberapa sistem koordinat. Model yang paling sederhana adalah bola. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pemodelan bumi jadi lebih mendekati bentuk aslinya. Secara faktual, untuk meningkatkan akurasi pemodelan tersebut, digunakan model yang berbeda - beda untuk masing - masing wilayah (contoh : North American Datum, 1983 - NAD83 - bekerja dengan baik di Amerika tetapi tidak di Eropa). Proyeksi adalah hal yang sangat penting dalam pembuatan peta. Proyeksi adalah sebuah kalkulasi matematika yang mempresentasikan bentuk permukaan bumi secara tiga dimensional menjadi bentuk datar dua dimensional. Seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan SIG dalam mengolah data spasial serta perkembangan kedetilan data, maka dibutuhkan perangkat keras komputer yang mumpuni untuk melakukan proses - proses SIG. 3.2. Pengolahan Data Data yang digunakan dan diolah dalam penelitian ini adalah data data spasial.data spasial tersebut berupa peta peta tematik dan citra satelit. Peta peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta kemiringan lereng, peta relief relatif, dan peta litologi. Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan lahan dan peta kebasahan lahan. Peta peta tematik ini tidak didapatkan murni sebagai data 23

sekunder, tetapi sebagai data mentah yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan peta peta tematik data yang dibutuhkan dalam zonasi kerawanan longsoran dengan Metode Anbalagan (1992). Data data mentah ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan Pusat Survei Geologi dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan. Data yang didapatkan dari Pusat Survei Geologi adalah data geologi yang didapatkan dari Peta Geologi berskala 1 : 100000. Peta peta tematik tersebut disamakan terlebih dahulu menjadi skala 1 : 50000, dan juga dilakukan penyamaan sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat Universal Tranverse Mercator (UTM), Zona 48S, dan WGS 84. Data diolah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), sehingga data yang akan diolah sebelumnya harus dikalibrasi, disamakan, dan disesuaikan ke dalam format digital yang sama, yaitu ke dalam format ESRI Shape (.shp) pada perangkat lunak ArcMap. Pengolahan data yang dilakukan adalah pengolahan data menjadi faktor faktor yang mengontrol terjadinya longsoran dengan menggunakan klasifikasi pengkelasan LHEF (Landslide Hazard Evaluation Factor). Data data yang digunakan diekstrak nilai bobot penyebab longsornya. Sehingga memiliki satu nilai dari kelima faktornya (Gambar 3.3). Faktor faktor tersebut adalah : 1. Litologi, yang diolah dari peta geologi 2. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi 3. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit 4. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit 5. Relatif relatif, yang diolah dari peta topografi 24

Data Topografi BAKOSURTANAL Citra Satelit LANDSAT 7 ETM+ Peta Geologi Badan Survey Geologi SKEMA PENGKELASAN METODE ANBALAGAN (1992) LANDSLIDE HAZARD EVALUATION FACTOR Peta Kemiringan Lereng Peta Relief Relatif Peta Tutupan Lahan Peta Kebasahan Lahan Peta Litologi PERHITUNGAN NILAI FAKTOR PEMBOBOTAN (TEHD) PETA KERAWANAN LONGSORAN Gambar 3.3 Diagram alir pengolahan data 3.2.1 Litologi Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerawanan longsoran. Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu. Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan massif seperti batuan beku akan memilki faktor kerawanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak, tidak solid dan mudah terkikis seperti batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor kerentanan yang tinggi. Data yang digunakan unuk peta faktor litologi adalah hasil gabungan peta geologi berskala 1:100000 yang diterbitkan oleh Pusat Survey Geologi seperti yang terlihat pada gambar. Informasi yang didapatkan dari data ini berupa satuan litostratigrafi atau formasi. Oleh sebab itu penulis melakukan asumsi bahwa litologi yang ada dan diperhitungkan pada faktor litologi ini adalah yang paling dominan pada masing masing satuan litostratigrafi. Sebagai contoh, aluvium akan diperhitungkan sebagai batulempung pada sistem pengkelasannya, 25

meskipun kenyataannya terdapat beberapa litologi lain yang tidak dominan pada aluvium ini (Gambar 3.4). Dalam pengolahan data pada faktor litologi ini, digunakan data geologi daerah penelitian dalam bentuk digital, yang didalamnya terdiri dari batas area, koordinat dan informasi geologi pada daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan pengkelasan yang sesuai dengan tabel pengkelasan LHEF Metode Anbalagan (1992). Gambar 3.4 Peta faktor litologi bagian barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk (Alzwar, dkk., 1992), dan Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono, M.,dkk., 1996) ) Pada tabel pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti batulempung, batulanau, dan serpih diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan daerah tersebut memiliki kerawanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut pandang litologi. 26

Sebaliknya, batuan batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki nilai pengkelasan yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang litologinya memiliki kerawanan yang rendah terhadap longsoran. 3.2.2. Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng pada Metode Anbalagan (1992) didefinisikan dengan derajat lereng. Derajat lereng adalah rasio dengan sudut antara tinggi lereng (vertikal) dan panjang lereng (horizontal). Data yang digunakan dalam pembuatan peta kemiringan lereng ini adalah peta topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal tahun 2002. Perangkat lunak yang digunakan untuk menghasilkan peta kemiringan lereng adalah ArcMap. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Topo to Raster dan Slope. Topo to Raster adalah metode interpolasi secara presisi (tidak secara linear) dari data poin, garis atau poligon menjadi sebuah data raster. Dari data raster hasil interpolasi ini kemudian diubah menjadi peta dengan sudut kemiringan lereng dengan metode Slope. Slope ini mengidentifikasi setiap perubahan maksimum dari nilai ketinggian dari tiap sel yang terdapat pada peta digital topografi yang sudah memiliki nilai ketinggiannya masing masing. Hasil akhirnya adalah sebuah peta kemiringan lereng daerah Cililin dengan skala 1 : 50000. Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai nilai kemiringan sesuai dengan skema pengkelasan LHEF pada Metode Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas kemiringan lereng yaitu di bawah 15 o, 16 o sampai 25 o, 26 o sampai 35 o, 36 sampai 45 o, dan lebih besar dari 45 o (Gambar 3.5). Terlihat bahwa pada daerah sebelah Timur dan Barat seperti Cikadu, Jatisari, Soreang, Kopo dan Padasuka memiliki kemiringan lereng 15 o, sama halnya seperti daerah Muara Payung. Untuk kemiringan yang lebih tajam lebih didominasi di daerah Utara dan Selatanseperti Karang Tanjung, Karyamukti, Burinagara dan sebagainya berkisar antara 16 sampai lebih besar dari 45 menerus hampir dari Utara ke Selatan. Untuk daerah pertengahan pada peta lebih bervariasi dari 15 sampai 45. 27

Gambar 3.5 Peta faktor kemiringan lereng bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 3.2.3. Tutupan Lahan Peta tutupan lahan ini menggunakan pengkelasan seberapa besar kerapatan tutupan tumbuhan pada suatu area. Data yang digunakan pada pengolahan faktor tutupan lahan ini adalah berupa data raster yaitu Citra Satelit Landsat ETM+ band 3 dan 4 (2002) sebagai data olahan. Perangkat lunak yang digunakan pada pengolahan citra satelit untuk memperoleh adalah ArcMap. Dengan perangkat lunak ini, citra yang sebelumnya beratribut delapan band panjang gelombang, diambil 2 band saja yaitu band 3 dan 4 kemudian diolah dengan 28

menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), sehingga citra satelit hanya memiliki satu atribut saja yaitu nilai NDVI. Setelah itu dilakukan klasifikasi citra. NDVI sendiri memiliki rumus : NDVI = NIR RED / NIR + RED dimana : NIR = nilai band infra merah (Band 4) RED = Nilai band merah (Band 3) (NDVI, Chesapeake Bay dan Mid-Atlantic from space,2008) Setelah dilakukan proses klasifikasi, diperoleh peta tutupan lahan (Gambar 3.6). Peta tutupan lahan hasil dari pengolahan citra tersebutlah yang selanjutnya dikelaskan menurut tabel pengkelasan LHEF dari Metode Anbalagan (1992). Gambar 3.6. Peta faktor tutupan lahan bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 29

Terdapat 5 kelas pada klasifikasi ini, yaitu tanah pertanian pemukiman datar, area tertutup hutan lebat, area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat, area jarang tertutup tumbuhan, dan lahan gundul. 3.2.4. Kebasahan Lahan Kebasahan lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada permukaan lahan. Untuk mendapatkan kebasahan, pendekatan dilakukan menggunakan citra satelit. Pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan Metode Tasseled Cap. Citra satelit yang sebelumnya memiliki delapan band panjang gelombang sebagai atributnya, diambil 6 band yaitu band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang kemudian diolah menggunakan Metode Tasseled Cap. Hasil akhir dari metode ini adalah wetness atau kebasahan yang kemudian diolah menjadi peta kebasahan lahan. Rumus Tasseled Cap untuk wetness atau kebasahan : ((0.1509 x band 1) + (0.1793 x band 2) + (0.3299 x band 3) + (0.3406 x band 4) + (-0.7112 x band 5) + (-0.4572 x band 7)). (Watkins, 2008) Penulis menggunakan perangkat lunak ArcMap dalam mengolah citra satelit ini. Metode Tasseled Cap ini pada dasarnya adalah sebuah faktor pengali terhadap band band di atas, yang kemudian dijumlahkan seluruhnya (Band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) sehingga mendapatkan nilai wetness atau kebasahan. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap ini, atribut wetness dikelaskan menjadi 5 tingkat kebasahan lahan menurut metode Anbalagan (1992), yaitu kering, lembab, basah, merembes, dan mengalir. Setelah didapatkan atribut tingkat kebasahan hasil klasifikasi citra, dilakukan pengkelasan menurut tabel LHEF sesuai dengan tingkat kebasahan lahannya. Terlihat pada peta bahwa pada umumnya kondisi hampir di seluruh desa terlihat kering dan sebagian basah dan lembab di daerah tengah yaitu Desa Kidangpananjung, Desa Gajahmekar, Desa Sukamulya, Desa Batulayang, Desa Nanggerang dan Desa Buni Nagara Sebelah barat yang diwakili oleh desa Rancapanggung termasuk daerah yang didominasi merembes dan sebagian 30

kering, dan basah. Sedangkan Desa Cikadu termasuk sebagian basah dan sebagian merembes. Sebelah timur yaitu Desa Jatisari dan desa Soreang termasuk daerah sebagian merembes, sebagian basah dan sebagian lembab. Begitupun Desa Kopo dan Desa Padasuka. Terlihat bahwa daerah Cililin pada umumnya merupakan lahan gundul dan sebagian merupakan area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat (Gambar 3.7). Hal ini dapat dilihat di Desa Rancapanggung, Desa Bongas, Desa Batulayang, Desa Nanggerang, Desa Karyamukti, Desa Buninagara, Desa Sukamulya, Desa Kidangpananjung, Desa Karangtanjung, Desa Singajaya, Desa Tanjungwangi,Desa Situwangi dan Desa Gajah Mekar. Gambar 3.7 Peta faktor kebasahan lahan bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Sebelah timur dan barat peta menunjukkan dominasi area tertutup hutan lebat dan tanah pertanian dan sebagian gundul yaitu terlihat di Desa Jejegong, Desa Soreang, Desa Kopo, 31

Desa Cikadu, Desa Rancapanggung, dan Desa Padasuka. Untuk area jarang tertutup tumbuhan, tersebar hampir di seluruh area, hanya saja dalam jumlah yang kecil saja. 3.2.5. Relief Relatif Relief Relatif adalah besaran yang menunjukkan selisih ketinggian antara puncak tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu faset. Data yang digunakan untuk relief relatif ini adalah peta digital bakosurtanal tahun 2002. Dari data garis topografi tersebut diambil nilai titik tingginya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap. Metoda yang digunakan dari ArcMap tersebut adalah Feature To Point, yaitu mengubah jenis data vektor menjadi data poin. Dalam hal ini data vektor tersebut berupa garis atau polyline yang merepresentasikan topografi atau kontur. Data poin ini diekstrak sesuai dengan bentuk dan posisi kontur. Sehingga, setelah diekstrak menggunakan metoda Feature To Point, peneliti mendapatkan nilai titik tingginya (Gambar 3.8). Gambar 3. 8 Peta faktor relief relatif bagian barat Kecamatan CIilin,Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 32

Setelah mendapatkan nilai titik tingginya peneliti mengubah data vektor yaitu kontur menjadi data raster dengan menggunakan metode Topo To Raster dan Minus dimana nilai titik tertinggi diselisihkan dengan nilai titik terendah. Nilai selisih tersebut yang nantinya digunakan sebagai faktor relief relatif sesuai dengan tabel pengkelasan LHEF dari Metode Anbalagan (1992). Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), medium (100-300 m) dan tinggi (> 300 m). Dapat dilihat pada peta bahwa nilai relief relatif dengan nilai rendah atau <100 m dan sebagian nilai medium mendominasi daerah timur dan barat, diantaranya Desa Rancapanggung, Desa Cikadu, Desa Jejegong, Desa Soreang, Desa Jatisari, Desa Kopo, Desa Rancapanggung. Untuk nilai medium (100 300 m) dan sebagian nilai tinggi (>300 m) direpresentasikan oleh Desa Nanggerang, Desa Buninagara dan Singajaya. Sedangkan untuk nilai tinggi (>300 m) dan sebagian nilai medium direpresentasikan oleh Desa Kidang Pananjung, Desa Batulayang, Desa Karangtanjung, Desa Karyamukti dan Desa Mukapayung. 3.2.6. Peta Jumlah Estimasi Bahaya Longsoran (TEHD) Peta Jumlah estimasi bahaya longsoran (THED), merupakan hasil penjumlahan dari peta peta faktor (Lampiran 1). Kelima faktor sebelumnya diintegrasikan ke dalam satu peta dengan menggunakan metode overlay. Sehingga dalam peta tersebut terdapat lima atribut yang berisi data tingkat kerentanan terhadap longsoran ditinjau dari kelima faktor menurut LHEF pada Metode Anbalagan (1992) Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas Geoprocessing pada perangkat lunak ArcMap. Dengan fasilitas ini, dapat dibuat satu peta gabungan yang merupakan hasil kompilasi dari kelima peta faktor dan memiliki seluruh atribut yang dimiliki oleh kelima peta faktor tersebut. Kemudian, kelima nilai kerawanan masing masing faktor tersebut dijumlahkan menjadi nilai THED. Peta TEHD tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam zonasi kerawanan longsoran menjadi lima kelas kerawanan longsoran yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan 33

sangat tinggi. Hasil akhir dari pengolahan data ini adalah sebuah peta kerawanan longsoran berdasarkan Metode Anbalagan seperti yang terlihat pada (Gambar 3.9). Gambar 3. 9 Peta kerawanan longsoran bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 34