V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

IV. ANALISIS RISIKO RANTAI PASOK

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI. MITIGASI RISIKO MELALUI PENDEKATAN MODEL DISTRIBUSI RISIKO (RISK SHARING)

LAMPIRAN KUISIONER PENELITIAN

VII NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BERAS ORGANIK

5 KINERJA, SUMBER RISIKO, DAN NILAI TAMBAH RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR

BAB V HASIL PENELITIAN

VIII PENGENDALIAN PERSEDIAAN BERAS ORGANIK

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Penelitian dan Pengumpulan Data. tempat dan waktu btertentu. Metode pengumpulan dengan melakukan

BAB VIII. PENGUKUFUN KINERJA FUNTAI PASOK SAYURAN LETTUCE HEAD DENGAN PENDEKATAN DEA

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan

Lampiran 1. Sebaran Bulanan Kebutuhan dan Ketersediaan Beras Tahun 2011 (ARAM II) Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011

8. NILAI TAMBAH RANTAI PASOK

TINJAUAN PUSTAKA. 4 Pengertian Manajemen Risiko [26 Juli 2011]

BAB I PENDAHULUAN. pokok masyarakat, salah satunya adalah sayur-sayuran yang cukup banyak

DESAIN RANTAI PASOK AGROINDUSTRI KOPI ORGANIK DI ACEH TENGAH UNTUK OPTIMALISASI BALANCING RISK ARIE SAPUTRA

BAB I PENDAHULUAN. logistik sudah digunakan untuk mengatasi berbagai jenis kebutuhan manusia dan

4 ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Rantai Pasok Jagung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Resiko Rantai Pasok

MANFAAT KEMITRAAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memaksa kinerja rantai pasok harus ditingkatkan. Terutama untuk

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi

Rancang Bangun Rantai Pasok Kopi Gayo Berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

BAB I PENDAHULUAN. dalam peningkatan perekonomian daerah, peningkatan pendapatan devisa nasional

BAB I PENDAHULUAN. turut meningkatkan angka permintaan produk peternakan. Daging merupakan

VII. IMPLEMENTASI MODEL

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Pada bab ini, akan dibahas mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian.

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Konsumen tidak lagi hanya menginginkan produk yang berkualitas, tetapi juga

MANAJEMEN OPERASIONAL. BAB VI Supply Chain

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Tanggal : No. Responden : ANALISIS RANTAI PASOKAN (SUPPLY CHAIN) BUAH NAGA. 1. Nama :.. 2. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan. 4. Alamat Rumah :...

BAB I PENDAHULUAN. majunya gizi pangan, masyarakat semakin sadar akan pentingnya sayuran sebagai

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor

III. METODE PENELITIAN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Pengukuran Kinerja SCM

7. KINERJA RANTAI PASOK

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia bisnis yang cepat dan kompleks sebagai akibat dari

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

ANALISA RANTAI NILAI DISTRIBUSI KOPI DI KABUPATEN GARUT

BAB III METODOLOGI 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. apalagi perekonomian Indonesia bersifat terbuka. Menurut artikel yang ditulis oleh

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

III KERANGKA PEMIKIRAN

KONSEP SI LANJUT. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. tujuan strategis dari Food and Agriculture Organization (FAO) yaitu mengurangi

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mutu lebih baik, dan lebih cepat untuk memperolehnya (cheaper, better and

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

B A B 5. Ir.Bb.INDRAYADI,M.T. JUR TEK INDUSTRI FT UB MALANG 1

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

konsumen, dan tiap kegiatan menambah nilai pada produk akhir.

Pemilihan Pemasok Bahan Baku Produksi Menggunakan Metode Data Envelopment Analysis

ANALISIS TATANIAGA BERAS

BAB I PENDAHULUAN. industri mendorong perusahaan untuk dapat menghasilkan kinerja terbaik. Dalam

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

BAB I PENDAHULUAN. maupun jasa, sehingga persaingan antar industri-industri sejenis semakin

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

4 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tersebut. Hal itu menjadi prioritas perusahaan dalam mencapai

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Gambar 1. 1 Bagian Pucuk Daun Teh (Ghani, 2002)

Lampiran 1 Posisi penelitian manajemen risiko rantai pasok. Metode

atau keluaran yang dihasilkan dari proses.

STUDI PENERAPAN MANAJEMEN RANTAI PASOK PENGADAAN MATERIAL PROYEK KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. bisnis telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan. Dampak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pengelolaan pengadaan paprika, yaitu pelaku-pelaku dalam pengadaan paprika,

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VI ANALISIS RISIKO HARGA

Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ.

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3.2 Tata Laksana Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bawang merah belum terasa nikmat (Rahayu, 1998).

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

TINJAUAN PUSTAKA. barang dan jasa akan terdistribusi dengan jumlah, waktu, serta lokasi yang

BAB I PENDAHULUAN. 2000). Secara tradisional rimpang jahe dimanfaatkan untuk beberapa keperluan

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang

UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH ROB TERHADAP DISTRIBUSI LOGISTIK KOMODITAS BUAH DAN SAYUR DI KAWASAN PASAR JOHAR SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha pada era globalisasi ini diwarnai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Usulan kerangka..., Charly Buchari, FE UI, 2009

ANALISIS NILAI TAMBAH PELAKU RANTAI PASOK GAMBIR DENGAN METODE HAYAMI TERMODIFIKASI ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN. lokasi penelitian secara sengaja (purposive) yaitu dengan pertimbangan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

57 V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA 5.1. Parameter Pengukuran Kinerja Pelaku Rantai Pasok Pengukuran kinerja dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) digunakan untuk menentukan apa yang akan diukur dan dimonitor serta menciptakan kesesuaian antara tujuan manajemen risiko rantai pasok dan metode atau model mitigasi risiko yang ingin dilakukan. Pengukuran kinerja pelaku rantai pasok dilakukan dengan membandingkan antara satu pelaku dengan pelaku yang lainnya di dalam satu wilayah (sphere) rantai pasok. Setiap atribut kinerja mempunyai indikator kinerja yang berguna untuk mengetahui efisiensi kinerja dari sebuah organisasi. Di dalam pengukuran kinerja melalui pendekatan DEA, atribut kinerja terdiri dari variabel input dan output. Berdasarkan hasil perancangan model pengukuran kinerja pada pembahasan sebelumnya, maka faktor input dan output yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja para pelaku rantai pasok kopi organik di Aceh Tengah dengan mengunakan pendekatan DEA adalah : 1. Faktor input yang terdiri atas metrik: a. Risiko indeks b. Biaya total c. Siklus pemenuhan pesanan d. Harga produk 2. Faktor output yang terdiri atas metrik : a. Kualitas b. Fulfill order c. Jumlah pasokan Penentuan variabel input dan output yang menjadi parameter pengukuran kinerja DEA diselaraskan dengan tujuan manajemen risiko rantai pasok yang telah ditetapkan sebelumnya. Setiap parameter dalam pengukuran merupakan indikator bagi tujuan manajemen risiko rantai pasok (Gambar 20). Pada penelitian ini pengukuran kinerja tidak dilakukan terhadap koperasi dengan alasan : 1) model distribusi risiko (Risk Sharing) mempunyai tolak ukur satu stakeholder untuk mengkoordinasikan mekanisme model distribusi risiko terhadap pelaku di

58 bawahnya (upstream); 2) karena hanya terdapat satu pelaku maka tidak bisa diperoleh efisiensi pelaku karena tidak ada unit (DMU) pembanding di dalam proses Benchmarking. manjemen risiko rantai pasok Tujuan manajemen risiko Peningkatan kuantitas pasokan Peningkatan kualitas pasokan Peningkatan total profit rantai pasok Menjamin kontinuitas pasokan Parameter pengukuran Kinerja DEA Risiko indeks Siklus pemenuhan pesanan Biaya total Harga produk kualitas Jumlah pasokan Fulfill order Gambar 20 Relasi atribut kinerja pengukuran terhadap tujuan manajemen risiko rantai pasok Pengukuran kinerja terhadap kolektor seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya hanya melibatkan lima pelaku (DMU). Kelima DMU kolektor ini mewakili wilayah sampel 20 pelaku rantai pasok yang berada di diatasnya (upstream). Sehingga, keterunutan sampel sesuai dengan kondisi objek penelitian yang ada di Aceh Tengah. Dari gambar 17 terlihat bahwa parameter risiko indeks mempunyai relasi atau kaitan terhadap semua tujuan manajemen rantai pasok. Sistematika konsep mitigasi risiko dengan pendekatan distribusi risiko seperti ini memberikan sistematika yang jelas terhadap penelusuran parameter dan indikator model. Pengukuran kinerja yang digunakan di dalam studi adalah Multiple Input Multiple Output Charness Cooper Rhodess Data Envelopment analysis (MIMO CCR DEA) dengan mekanisme untuk memaksimalkan output pada setiap unit pengukuran (DMU). 5.1.1. Risiko Indeks Risiko indeks merupakan nilai risiko (Value at Risk) tingkatan pelaku rantai pasok dengan variabel pengukuran meliputi : 1) konsekuensi dari rantai pasok

59 yang harus masing-masing pelaku dalam satu sphere rantai pasok (α x ); 2) persentase nilai tambah yang diberikan pelaku rantai pasok tingkat ke-x (β x ) serta probabilitas kegagalan komponen ke-i yang merupakan persentase variabel risiko setiap pelaku rantai pasok yang telah dihitung pada pembahasan sebelumnya. 1. Konsekuensi risiko, dalam studi ini risiko kopi organik pada semua tingkatan (α) adalah (1.0) karena pada pengunaannya tidak terdapat produk pengganti kopi organik Arabika Gayo. Keberadaan kopi jenis Arabika dari daerah lain tidak dapat menggantikan posisi kopi organik Gayo dalam fungsionalitas produk di negara tujuan ekspor. 2. Persentase nilai tambah, dari pengukuran nilai tambah menggunakan metode Hayami maka didapatkan persentase nilai tambah (β) pada setiap tingkatan rantai pasok yang dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Persentase nilai tambah pelaku rantai pasok Aktor Nilai tambah (%) Petani 100,00 Prosesor 1,51 Kolektor 43,19 Koperasi 33,11 Sumber : Data primer 2012 Dari persentase nilai tambah terlihat jelas bahwa kontribusi petani terhadap persentase nilai tambah produk sangat tinggi dengan persentase hampir 100 %. Faktor ini menyebabkan kompleksitas risiko di tingkat petani sangat tinggi dengan banyaknya tahapan proses yang harus dilalui sebelum produk siap dijual. Sebaliknya Koperasi sebagai pelaku dengan nila total profit yang paling tinggi hanya memberikan persentase nilai tambah 33,11 %. Artinya koperasi menanggung risiko yang jauh lebih kecil dibanding petani karena tahapan proses untuk pemberian nilai tambah terhadap produk lebih sedikit. Sehingga, probabilitas kegagalan atau risiko disepanjang tahapan proses jauh lebih sedikit. Fungsi prosesor yang hanya sebagai perantara antara petani dengan kolektor tergambar dari persentase nilai tambah yang sangat kecil yaitu 1,51 %. 3. Probabilitas variabel risiko, merupakan nilai variabel risiko setiap pelaku rantai pasok yang telah didefinisikan pada pembahasan sebelumnya

60 Berdasarkan hasil pengukuran pada variabel risiko indeks maka didapatkan nilai nilai risiko indeks untuk setiap tingkatan pelaku rantai pasok sebagai berikut (Tabel 14) Tabel 14 Rekapitulasi risiko indeks pelaku rantai pasok Aktor Risiko indeks (%) Petani 0,99 Prosesor 0,02 Kolektor 0,43 Sumber : Data primer 2012 5.1.2. Biaya Total Biaya total pelaku rantai pasok adalah total biaya yang dibutuhkan pelaku dalam melakukan material handling dari pemasok hingga ke konsumen mulai dari pengolahan sampai dengan biaya pengiriman ke pelaku berikutnya di dalam struktur rantai pasok. Khusus untuk petani, tidak terdapat komponen biaya pengiriman atau transportasi karena produk kopi organik diambil langsung ke lokasi petani. Tabel 14 menerangkan biaya total pelaku rantai pasok untuk setiap DMU pengukuran. Sampel kolektor terdiri atas lima unit (DMU) pengukuran karena keterbatasan kepada wilayah yang memiliki prosesor sebagai bagian pelaku rantai pasok. Untuk setiap DMU kolektor memiliki empat sampel prosesor dan petani. Tabel 15 Rekapitulasi total biaya pelaku rantai pasok DMU Petani (Rp/ha/thn) Prosesor (Rp/ha/thn) Kolektor (Rp/ha/thn) 1 10.600.000,00 2.000.000,00 21.781,43 2 10.410.000,00 2.160.000,00 16.260,02 3 10.460.000,00 1.920.000,00 39.495,12 4 10.560.000,00 2.000.000,00 40.530,42 5 10.560.000,00 1.300.000,00 50.585,14 6 10.560.000,00 1.600.000,00-7 10.760.000,00 1.520.000,00-8 10.410.000,00 1.680.000,00-9 10.293.333,00 3.200.000,00-10 10.226.667,00 2.000.000,00-11 10.360.000,00 3.600.000,00-12 10.360.000,00 4.400.000,00 -

61 Tabel 15 Rekapitulasi total biaya pelaku rantai pasok (lanjutan) DMU Petani (Rp/ha/thn) Prosesor (Rp/ha/thn) Kolektor (Rp/ha/thn) 13 10.360.000,00 2.800.000,00-14 10.360.000,00 3.040.000,00-15 10.560.000,00 2.640.000,00-16 10.560.000,00 3.120.000,00-17 11.560.000,00 2.320.000,00-18 11.360.000,00 2.560.000,00-19 10.960.000,00 2.160.000,00-20 10.610.000,00 2.720.000,00 - Sumber : Data primer 2012 5.1.3.Siklus Pemenuhan Pesanan Siklus pemenuhan pesanan adalah periode kemampuan pelaku untuk bisa memenuhi pasokan kepada pelaku berikutnya minimal dengan kuantitas tertentu.kemampuanpemenuhan pesanan untuk setiap pelaku rantai pasok berbeda-beda tergantung dari jumlah pekerja yang digunakan, kondisi cuaca, tingkat kadar air jumlah pasokan dan jarak lokasi bahan baku. Untuk memudahkan penentuan siklus periode pemesanan maka kuantitas pasokan setiap pelaku digeneralisir ke dalam satuan jumlah yang sama sehingga bisa diketahui kecepatan setiap pelaku dalam memenuhi pesanan. Detail siklus pemenuhan pesanan setiap pelaku rantai pasok dapat dilihat dari Tabel 16. Tabel 16 Rekapitulasi siklus pemenuhan pesanan pelaku rantai pasok DMU Petani (jam/ha)* Prosesor (hari) Kolektor (hari) 1 69,44 3 4 2 30,89 3 4 3 54,38 3 4 4 148,15 3 4 5 106,82 5 4 6 49,48 4-7 100,00 4-8 21,25 4-9 22,99 2-10 20,95 3-11 27,87 3-12 62,50 1-13 45,00 2 -

62 Tabel 16 Rekapitulasi siklus pemenuhan pesanan pelaku rantai pasok (lanjutan) DMU Petani (jam/ha)* Prosesor (hari) Kolektor (hari) 14 46,67 2-15 93,75 2-16 95,92 2-17 156,25 3-18 144,00 2-19 38,46 3-20 50,00 2 - Sumber : Data primer 2012 *) periode waktu ketika buah kopi selesai dipetik Kuantitas dari siklus pemenuhan pesanan petani dihitung berdasarkan kuantitas pemetikan satu hari yang sanggup dipenuhi berdasarkan jumlah pekerja yang dibayar. Sementara untuk prosesor dan kolektor kuantitas dari siklus pemenuhan pesanan dihitung berdasarkan standar minimal pengiriman yaitu 500 kg biji kopi. 5.1.4.Harga Produk Harga jual produk kopi berbeda beda untuk setiap pelaku dalam sphere rantai pasok tergantung dari kualitas, ketinggian tempat, jarak lokasi (Tabel 17). Petani yang mempunyai lahan pada ketinggian diatas 1400 diatas permukaan laut (Dpl) secara umum memiliki rata-rata kualitas produk yang cukup baik. Semakin tinggi lokasi areal pertanian maka biji kopi yang dihasilkan semakin besar dan tingkat terase juga semakin rendah. Terase adalah cacat pada biji kopi yang diakibatkan hama penggerek buah, proses pulper yang tidak baik, cacat pada biji kopi dan proses fermentasi yang tidak sempurna. Pada umumnya lahan dengan ketinggian diatas 1400 Dpl berada jauh dari areal koperasi sehingga distributor harus mengeluarkan biaya transportasi yang dibebankan kepada harga jual produk terhadap koperasi. Sebagian biaya transportasi bisa dinegosiasikan agar ditanggung koperasi jika kualitas produk secara umum dapat diterima oleh koperasi. Tabel 17 Rekapitulasi harga jual produk pelaku rantai pasok. DMU Petani (Rp/kg) Prosesor (Rp/kg) Kolektor (Rp/kg) 1 25.000 25.500 47.000 2 26.000 26.500 48.500 3 25.500 26.000 49.000

63 Tabel 17 Rekapitulasi harga jual produk pelaku rantai pasok (lanjutan). DMU Petani (Rp/kg) Prosesor (Rp/kg) Kolektor (Rp/kg) 4 26.000 26.500 50.000 5 26.000 26.500 63.000 6 25.000 25.500-7 24.000 24.500-8 27.000 27.500-9 26.000 26.500-10 27.000 27.500-11 26.000 26.500-12 28.000 28.500-13 28.000 28.500-14 28.000 28.500-15 26.000 26.500-16 27.000 27.500-17 29.000 29.700-18 29.000 29.700-19 29.000 29.700-20 28.000 28.700 - Sumber : Data primer 2012 5.1.5.Kualitas Kualitas pasokan dari kopi organik sangat ditentukan oleh pelaku tingkat petani dan sebagian kecil lagi oleh kolektor dan koperasi yang melakukan pengolahan lebih lanjut. Penentuan kualitas produk yang di hasilkan oleh setiap tingkatan pelaku rantai pasok dilakukan melalui proses agregasi terhadap beberapa variabel risiko yang telah dijustifikasi pada tahapan sebelumnya. Pemilihan variabel risiko ditentukan berdasarkan dampak yang terjadi terhadap kualitas produk. Konsentrasi variabel risiko yang mempunyai dampak terhadap kualitas produk kopi organik terdapat pada faktor risiko pasokan, faktor risiko proses dan sebagian kecil pada faktor risiko permintaan. Tabel 18 menjelaskan secara rinci dari persentase kualitas produk pada setiap tingkatan pelaku rantai pasok. Tabel 18 Rekapitulasi kualitas produk pelaku rantai pasok. DMU Petani (%) Prosesor (%) Kolektor (%) 1 21,00 30,00 40,38 2 10,00 14,48 43,21 3 21,00 20,22 41,24

64 Tabel 18 Rekapitulasi kualitas produk pelaku rantai pasok (lanjutan). DMU Petani (%) Prosesor (%) Kolektor (%) 4 14,00 15,14 42,11 5 11,00 16,54 60,32 6 12,00 17,00-7 13,00 29,47-8 15,00 18,07-9 81,00 19,88-10 8,80 14,05-11 8,00 13,79-12 9,00 14,24-13 8,90 14,03-14 8,60 13,74-15 8,50 13,55-16 7,20 13,47-17 14,00 17,55-18 16,00 13,27-19 19,00 13,27-20 29,00 35,12 - Sumber : Data primer 2012 Berdasarkan rincian kualitas produk pada Tabel 17 terlihat bahwa nilai kualitas produk dari petani sangat rendah. Rendahnya kualitas produk ini disebabkan oleh petani tidak mampu melaksanakan budidaya pertanian organik sesuai dengan standar dan panduan yang telah ditetapkan. 5.1.6.Fulfill Order Persentase pemenuhan pesanan (fulfill order) dilihat dari kemampuan pelaku dalam memenuhi pesanan produk dari koperasi. Nilai patok dalam menentukan besarnya kuantitas pasokan yang harus dipenuhi oleh pelaku mulai dari petani sampai kolektor ditentukan berdasarkan rasio antara produktifitas lahan petani yang sebenarnya dengan data prediksi koperasi. Karena petani merupakan pelaku kunci dalam memenuhi jumlah pasokan yang diinginkan, maka persentase pemenuhan pesanan dari petani akan berimbas terhadap prosesor dan kolektor dalam memenuhi pesanan terhadap koperasi. Data pada Tabel 19 memberikan rincian persentase pemenuhan pesanan pada setiap pelaku rantai pasok.

65 Tabel 19 Rekapitulasi fulfill order pelaku rantai pasok DMU Petani (%) Prosesor (%) Kolektor (%) 1 55,56 73,02 86,77 2 61,79 77,32 88,87 3 54,38 82,47 73,66 4 37,04 85,91 73,80 5 53,41 52,45 78,49 6 49,48 93,24-7 50,00 88,58-8 42,50 86,25-9 34,48 71,43-10 31,43 42,41-11 55,74 80,36-12 62,50 98,21-13 45,00 71,25-14 46,67 52,93-15 46,88 67,18-16 47,96 79,40-17 78,13 84,28-18 72,00 92,00-19 38,46 79,13-20 100,00 97,14 - Sumber : Data primer 2012 Berdasarkan gambaran data pada Tabel 19, kinerja pelaku rantai pasok dalam memenuhi pesanan sangat rendah. Indikasi ini memperkuat hipotesa sebelumnya kalau produktifitas petani juga sangat rendah. Persentase fulfill order pada tingkatan pelaku prosesor dan kolektor terlihat lebih baik karena dalam prakteknya pelaku tersebut menerima dan mengumpulkan pasokan tidak hanya dari wilayah domain mereka tetapi juga dari wilayah lain. Akibatnya, berdampak terhadap keseragaman kualitas produk dari suatu wilayah, sehingga tingkat kepercayaan koperasi ikut menurun terhadap kualitas produk suatu wilayah yang sebenarnya bagus tetapi teridentifikasi buruk ketika dilakukan pemeriksaan kualitas di tingkat koperasi. Indikasinya berujung terhadap semakin menurunnya perolehan profit pelaku dari tingkat petani sampai kolektor karena degradasi kualitas akibat ketidakseragaman mutu produk.

66 5.1.6.Jumlah Pasokan Jumlah pasokan pelaku rantai pasok diukur secara kuantitatif selama satu tahun periode pengiriman dari pelaku rantai pasok (Tabel 20) Tabel 20 Rekapitulasi jumlah pasokan pelaku rantai pasok. DMU Petani (kg/thn) * Prosesor (kg/thn)* Kolektor (kg/thn)* 1 720 17.000 1.364,27 2 1.730 18.000 1.412,11 3 870 19.200 1.213,85 4 200 20.000 1.222,47 5 470 9.000 1.424,40 6 950 16.000-7 500 15.200-8 1.700 14.800-9 1.200 32.000-10 1.100 19.000-11 1.650 36.000-12 800 44.000-13 810 28.000-14 840 20.800-15 450 26.400-16 470 31.200-17 750 26.200-18 720 28.600-19 1.200 24.600-20 1.950 30.200 - Sumber : Data primer 2012 *) dikonversi kedalam kopi green bean 5.2. Pengukuran Kinerja Pelaku Rantai Pasok Dengan Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Pengukuran kinerja pelaku rantai pasok dilakukan terhadap tiga mitra tani yang menjadi pelaku di dalam struktur rantai pasok yaitu : petani, prosesor, dan kolektor. Pemilihan pelaku rantai pasok berdasarkan data petani, prosesor dan kolektor yang bernaung di bawah lembaga koperasi Baburrayyan. Pengukuran kinerja dilakukan pada satu tahun terakhir atribut pengukuran DEA pada setiap tingkatan pelaku rantai pasok. Pengukuran efisiensi pelaku rantai pasok dengan pendekatan DEA dilakukan dengan bantuan solver excel 2007 (Ragsdale 2008). Data yang dimasukkan ke dalam solver merupakan variabel atribut input dan

67 output DEA yang telah dilakukan perhitungan nilai kuantitatifnya selama setahun terakhir. 5.2.1. Kinerja Pelaku Tingkat Petani Perhitungan kinerja petani melibatkan 20 sampel yang terdapat di tujuh kecamatan berbeda. Dari hasil pengukuran efisiensi pelaku ternyata terdapat lima sampel petani yang mempunyai kinerja yang paling baik diantara 15 pelaku (DMU) lainnya (Tabel 21). Dari hasil perhitungan terlihat jelas kalau fluktuasi nilai efisiensi petani sangat tinggi. Artinya, kinerja antara satu pelaku dengan pelaku lainnya sangat jauh berbeda. Nilai fluktuasi kinerja pelaku mulai dari rentang terendah yaitu sampel petani ke 16 dengan nilai efisiensi 49,74 % sampai dengan lima petani lainnya dengan nilai efisiensi 100 %. Dari hasil perhitungan ini dapat disimpulkan bahwa kualitas produk organik tingkat petani sangat bervariasi dengan mutu jauh di bawah standar yang ditetapkan. Produktifitas petani juga sangat rendah akibat penetapan harga jual yang tidak berimbang. Distribusi profit yang tidak seimbang dengan risiko yang ditanggung mengakibatkan kinerja petani sangat rendah dalam memenuhi tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pasokan. Fluktuasi kinerja petani yang tinggi juga berakibat kepada penggelembungan risiko di tingkat pelaku akhir yaitu koperasi.

62 68 Tabel 21 Hasil perhitungan efisiensi petani menggunakan pendekatan DEA Unit Kualitas (%) Output Input Jumlah Biaya Total Pasokan RI Proses (Rp) (thn) Fulfill order (%) Siklus Pemenuhan Pesanan (jam) Harga produk (Rp ) Bobot output Bobot input Selisih DEA efisiensi petani 1 21,00 55,56 720 0,99 10.600.000,00 69,44 25.000 0,45 0,56-0,11 0,81 petani 2 10,00 61,79 1730 0,99 10.410.000,00 30,89 26.000 0,76 0,77 0,00 1,00 petani 3 21,00 54,38 870 0,99 10.460.000,00 54,38 25.500 0,49 0,68-0,19 0,80 petani 4 14,00 37,04 200 0,99 10.560.000,00 148,15 26.000 0,23 0,72-0,50 0,52 petani 5 11,00 53,41 470 0,99 10.560.000,00 106,82 26.000 0,37 0,72-0,35 0,58 petani 6 12,00 49,48 950 0,99 10.560.000,00 49,48 25.000 0,49 0,57-0,08 0,55 petani 7 13,00 50,00 500 0,99 107.60.000,00 100,00 24.000 0,37 0,37 0,00 0,58 petani 8 15,00 42,50 1700 0,99 10.410.000,00 21,25 27.000 0,67 0,91-0,24 1,00 petani 9 8,10 34,48 1200 0,99 102.93.333,33,00 22,99 26.000 0,49 0,80-0,31 0,75 petani 10 8,80 31,43 1100 0,99 10.226.666,67 20,95 27.000 0,45 0,97-0,52 0,75 petani 11 8,00 55,74 1650 0,99 10.360.000,00 27,87 26.000 0,72 0,78-0,07 1,00 petani 12 9,00 62,50 800 0,99 10.360.000,00 62,50 28.000 0,51 1,07-0,57 0,64 petani 13 8,90 45,00 810 0,99 10.360.000,00 45,00 28.000 0,43 1,07-0,64 0,50 petani 14 8,60 46,66 840 0,99 10.360.000,00 46,67 28.000 0,45 1,07-0,63 0,50 petani 15 8,50 46,88 450 0,99 10.560.000,00 93,75 26.000 0,34 0,72-0,38 0,51 petani 16 7,20 47,96 470 0,99 10.560.000,00 95,92 27.000 0,35 0,87-0,52 0,50 petani 17 14,00 78,13 750 0,99 11.560.000,00 156,25 29.000 0,57 0,87-0,30 0,78 petani 18 16,00 72,00 720 0,99 11.360.000,00 144,00 29.000 0,53 0,92-0,40 0,72 petani 19 19,00 38,46 1200 0,99 10.960.000,00 38,46 29.000 0,51 1,04-0,53 1,00 petani 20 29,00 100,00 1950 0,99 10.610.000,00 50,00 28.000 1,00 1,00 0,00 1,00 Sumber : Data primer 2012

69 5.2.2.Kinerja Pelaku Tingkat Prosesor Pengukuran kinerja pelaku tingkat prosesor melibatkan 20 sampel pelaku yang yang berhubungan langsung dengan kolektor. Dari hasil perhitungan efisiensi menggunakan pendekatan DEA, dari 20 sampel pelaku ternyata tujuh diantara pelaku tingkat prosesor dinyatakan efisien. Sementara 13 pelaku lainnya belum mampu menyamakan kinerja dengan pelaku yang sudah mencapai nilai efisiensi 100 %. Akan tetapi selisih kinerja pelaku yang tidak efisien tidak terlalu besar sehingga fluktuasi nilai efisiensi pelaku yang tidak efisien tidak begitu besar. Dari data nilai efisiensi prosesor pada Tabel 22 bisa disimpulkan bahwa kemampuan prosesor dalam memenuhi kuantitas pasokan hampir sama. Begitu juga dengan keseragaman mutu pasokan prosesor tidak terlalu bervariasi. Indikasi ini disebabkan karena fungsi prosesor yang hanya bersifat sebagai perantara distribusi pasokan petani ke kolektor, sehingga tidak ada indikator yang menyebabkan ketidakseragaman atribut yang menyebabkan perbedaan efisiensi. Perbedaan nilai efisiensi disebabkan karena kinerja yang berbeda dari setiap pelaku sehingga nilai efisiensi pelaku sedikit berbeda antara satu pelaku dengan yang lainnya. Perbedaan nilai efisiensi yang cukup tinggi pada sampel pelaku ke 14 yaitu 0,63 karena penggunaan variabel input total biaya proses sebesar 3.040.000.- tidak diiringi dengan peningkatan nilai variabel output jumlah pasokan yaitu sebesar 20.800 kg. Sehingga, jika dibandingkan dengan pelaku prosesor lain dengan penggunaan input yang relatif sama nilai output pelaku ke 14 jauh lebih kecil. Persentase pemenuhan pesanan sampel prosesor ke 14 dengan nilai 52.94 % juga tidak seimbang dengan penggunaan input total biaya proses yang tinggi. Sebagai perbandingan sampel prosesor ke 16 dengan penggunaan variabel input total biaya proses yang relatif hampir sama yaitu 3.120.000,- mampu memenuhi total pesanan sebesar 79,40 %. Mekanisme proses benchmarking seperti inilah yang menentukan tingkat efisiensi suatu DMU. Kesimpulan yang didapat dari hasil pengukuran efisiensi ini tingkat kinerja prosesor satu dengan yang lain relatif hampir sama terkecuali untk sampel prosesor ke 5 dan 14. Nilai bobot risiko tingkatan pelaku rantai pasok tingkat

70 prosesor yang sangat kecil yaitu 0,03 terbukti selaras dengan capaian nilai efiiensi yang relatif sama. 5.2.3.Kinerja Pelaku Tingkat Kolektor Pemilihan sampel kolektor diselaraskan dengan jalur distribusi pasokan di dalam satu wilayah sehingga penetapan jumlah sampel kolektor yang akan menjadi unit pengukuran dibatasi dalam lingkup sampel petani dan prosesor sebelumnya. Dari lima unit sampel tingkat kolektor, tiga diantaranya teridentifikasi efisien sedangkan dua lainnya tidak efisien. Fluktuasi nilai efisiensi di tingkat kolektor yang tidak terlalu tinggi sebanding dengan bobot risiko pelaku di dalam struktur rantai pasok sebesar 0,098. Indikasi ini menyebabkan tingkat keseragaman mutu dan kuantitas pasokan antara satu kolektor dengan kolektor yang lainnya relatif sama. Hipotesa faktor penggelembungan dari petani terbukti pada pengukuran efisiensi tingkat kolektor. Rendahnya kualitas dan jumlah pasokan dari petani berdampak terhadap hampir pada semua kolektor sehingga nilai fluktuasi efisiensi relatif kecil. Tingkat penggelembungan risiko kualitas dan kuantitas pasokan semakin besar pada tingkatan prosesor sehingga kinerja kolektor relatif hampir sama. Kesimpulannya semakin besar tingkat penggelembungan risiko dari pelaku bagian hulu (upstream) maka peningkatan kinerja pelaku berikutnya dalam sphere rantai pasok semakin sulit dilakukan. Kualitas dan kuantitas pasokan yang rendah dari petani tidak dapat diperbaiki secara signifikan oleh pelaku tingkatan kolektor di dalam struktur rantai pasok kopi organik. Tabel 23 memberikan rincian lengkap nilai efisiensi pelaku rantai pasok tingkatan kolektor.

65 71 Tabel 22 Hasil perhitungan efisiensi prosesor menggunakan pendekatan DEA Unit Kualitas (%) Output Input Jumlah Biaya Total pasokan RI proses (Rp) (thn) Fulfill order (%) Siklus pemenuhan pesanan (hari) Harga produk (Rp) Bobot output Bobot input Selisih DEA efisiensi Prosesor 1 30,00 73,02 17.000 0,02 2.000.000 3 25.500 0,68 0,84-0,16 0,97 Prosesor 2 14,48 77,32 18.000 0,02 2.160.000 3 26.500 0,72 0,89-0,16 0,83 Prosesor 3 20,22 82,47 19.200 0,02 1.920.000 3 26.000 0,77 0,85-0,08 0,94 Prosesor 4 15,14 85,91 20.000 0,02 2.000.000 3 26.500 0,80 0,87-0,07 0,94 Prosesor 5 16,54 52,45 9.000 0,02 1.300.000 5 26.500 0,45 0,79-0,34 0,69 Prosesor 6 17,00 93,24 16.000 0,02 1.600.000 4 25.500 0,80 0,80 0,00 1,00 Prosesor 7 29,47 88,58 15.200 0,02 1.520.000 4 24.500 0,76 0,77-0,01 1,00 Prosesor 8 18,07 86,25 14.800 0,02 1.680.000 4 27.500 0,74 0,86-0,12 0,93 Prosesor 9 19,88 71,43 32.000 0,02 3.200.000 2 26.500 0,86 0,99-0,14 0,95 Prosesor 10 14,05 42,41 19.000 0,02 2.000.000 3 27.500 0,51 0,89-0,38 0,84 Prosesor 11 13,79 80,36 36.000 0,02 3.600.000 3 26.500 0,96 1,04-0,08 0,98 Prosesor 12 14,24 98,21 44.000 0,02 4.400.000 1 28.500 1,18 1,18 0,00 1,00 Prosesor 13 14,03 71,25 28.000 0,02 2.800.000 2 28.500 0,81 1,00-0,20 0,91 Prosesor 14 13,74 52,93 20.800 0,02 3.040.000 2 28.500 0,60 1,03-0,43 0,63 Prosesor 15 13,55 67,18 26.400 0,02 2.640.000 2 26.500 0,76 0,94-0,18 0,91 Prosesor 16 13,47 79,40 31.200 0,02 3.120.000 2 27.500 0,90 1,014-0,12 0,94 Prosesor 17 17,55 84,28 26.200 0,02 2.320.000 3 29.700 0,87 0,98-0,11 1,00 Prosesor 18 13,27 91,99 28.600 0,02 2.560.000 2 29.700 0,95 1,01-0,06 1,00 Prosesor 19 13,27 79,13 24.600 0,02 2.160.000 3 29.700 0,82 0,96-0,15 1,00 Prosesor 20 35,12 97.14 30.200 0,02 2.720.000 3 29.700 0,82 0,96-0,15 1,00 Sumber : Data primer 2012

6572 Tabel 23 Hasil perhitungan efisiensi prosesor menggunakan pendekatan DEA Unit Kualitas Output Input Jumlah Biaya Total pasokan RI proses (Rp) (thn) Fulfill order (%) Siklus pemenuhan pesanan (hari) Harga produk (Rp) Bobot output Bobot input Selisih DEA efisiensi Processor 1 40,38 86,77 1.364,28 0,43 21.781.433,30 4 47.000 0,73 0,75-0,02 1,00 Processor 2 43,21 88,87 1.412,11 0,43 16.260.017,66 4 48.500 0,77 0,77 0,00 1,00 Processor 3 41,24 73,66 1.213,85 0,43 39.495.123 4 49.000 0,72 0,78-0,06 0,92 Processor 4 42,11 73,80 1.222,47 0,43 34.530.422,70 4 50.000 0,73 0,79-0,06 0,97 Processor 5 60,32 78,49 1.424,40 0,43 38.585.140,29 4 63.000 1,00 1,00 0,00 1,00 Sumber : Data primer 2012

73 Dari proses pengukuran kinerja psetiap pelaku rantai pasok menghasilkan kesimpulan yang sama dengan sub model analisis risiko bahwa mekanisme mitiasi melalui pendekatan model distribusi risiko (risk sharing) diperlukan dalam merancang rantai pasok yang memiliki kontinuitas pasokan serta profitabilitas. Sub model pengukuran kineja menggunakan pendekatan DEA selain berfungsi sebagai parameter penentu dalam sub model berikutnya yaitu distribusi risiko juga memberikan pembuktian yang kuat mengenai hubungan kinerja dengan bobot risiko. Faktor penggelembungan risiko menjadi indikasi nyata bahwa semakin besar risiko yang diterima dari pelaku bagian hulu rantai pasok maka, semakin sulit untuk melakukan peningkatan kinerja pelaku tingkatan rantai pasok dalam satu sphere rantai pasok.

(Halaman ini sengaja dibiarkan kosong)