LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PELAKSANAAN PEMBINAAN WBP (WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN) DI LEMBAGA KLAS IIA GORONTALO

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. landasan pendiriannya yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Institute for Criminal Justice Reform

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN JL. VETERAN NO. 11

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 2. Persamaan perlakuan dan pelayanan; 5. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

BAB III PENUTUP. disimpulkan dalam penelitian ini bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Para pelaku tindak pidana tersebut,yang memperoleh pidana penjara

BAB V PENUTUP. dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan :

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BAB V PENUTUP. bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. I.1. JUDUL LEMBAGA PEMASYARAKATAN Yang Berorientasi Kepada Pembentukan Suasana Pendukung Proses Rehabilitasi Narapidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Setelah adanya Keputusan Konferensi Dinas Para

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

BAB III PENUTUP. 1. Asas persamaan perlakuan dan pelayanan bagi Narapidana belum. pelayanan bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan undang-undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1) tentang Hak

Institute for Criminal Justice Reform

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Tata Cara. Pembebasan Bersyarat. Asimilasi. Cuti. Pelaksanaan. Perubahan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi kebijakan..., Atiek Meikhurniawati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI

BAB III HAMBATAN PROSES PEMBINAAN DAN UPAYA MENGATASI HAMBATAN OLEH PETUGAS LAPAS KELAS IIA BINJAI

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

BAB III PENUTUP. maupun hukum positif, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Bersyarat sudah berjalan cukup baik dan telah berjalan sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia bertujuan membentuk masyarakat yang adil dan

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. membentuk norma yang hidup di masyarakat. Sebagai ultimum remedium,

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

1 dari 8 26/09/ :15

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

GUILTY FEELING PADA RESIDIVIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

Maksudnya adalah bahwa pembimbing kemasyarakatan yang ada di BAPAS. kerjaannya untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut.

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

PELAKSANAAN HAK ASIMILASI BAGI MANTAN NARAPIDANA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KABUPATEN PATI

PELAKSANAAN ASIMILASI NARAPIDANA. (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Mataram)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

P, 2015 PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS IIA BANDUNG DALAM UPAYA MEREHABILITASI NARAPIDANA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab negara yang dalam hal ini diemban oleh lembaga-lembaga. 1) Kepolisian yang mengurusi proses penyidikan;

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. Dalam era pertumbuhan dan pembangunan dewasa ini, kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB III PEMBERIAN REMISI KEPADA PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

JURNAL ILMIAH. ASIMILASI BAGI ANAK PIDANA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas IIA Blitar) Oleh: AGUNG PAMBUDI NIM.

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

SKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. atau ditaati, tetapi melalui proses pemasyarakatan yang wajar dalam suatu

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Hukum. Secara substansial, sebutan Negara Hukum lebih tepat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

: PAS-HM : PKS LPSWX/2015

LAMPIRAN-LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. aka dikenakan sangsi yang disebut pidana. mempunyai latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda, sehingga dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

2 pidananya perlu diberikan rehabilitasi sosial dan reintegrasi sosial, agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam masyarakat; c. bah

BAB I PENDAHULUAN. Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai. Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Balai pemasyarakatan (BAPAS) klas II Gorontalo dibentuk sesuai dengan Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perilaku

Transkripsi:

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PELAKSANAAN PEMBINAAN WBP (WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN) DI LEMBAGA KLAS IIA GORONTALO Oleh ALIF FIRMANSYAH DAUD 271411005 Telah diperiksa dan disetujui oleh: PEMBIMBING I PEMBIMBING II Moh. Rusdiyanto U. Puluhulawa SH, M.Hum Zamroni Abdussamad SH, MH NIP 197011051997031001 NIP 197007122003121002 Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Hukum Suwitno Y. Imran SH., MH NIP 198306222009121004 0

ABSTRAK ALIF FIRMANSYAH DAUD, 271411005, TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PELAKSANAAN PEMBINAAN WBP (WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN) TAHAPAN ASIMILASI DI LEMBAGA PEMASYRAKATAN KLAS II A GORONTALO, Pembimbing I: Moh. Rusdiyanto U. Puluhulawa, SH., M.Hum, Pembimping II: Zamroni Abdussamad, SH., MH. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan mengetahui Bagaimana dampak kebijakan hukum pelaksanaan pembinaan WBP tahapan asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo dan Bagaimana implementasi pembinaan WBP tahapan Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo. Metode yang digunakan oleh peneliti adalah bersifat yuridis empiris dan objek penelitian di lembaga pemasyarakatan klas IIA Gorontalo. Hasil dari penelitian ini untuk dapat mengetahui dampak kebijakan hukum dan implementasi pelaksanaan pembinaan WBP tahapan asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo, hal ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk kegiatan asimilasi dan kendalakendala serta upaya yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo. Kata kunci: Dampak, Pelaksanaan Pembinaan Narapidana, Tahapan Asimilasi 1

Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsep umum mengenai pemidanaan. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) dan anak didik pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan yang mengurusi perihal kehidupan WBP selama menjalani masa pidana. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pidana penjara. Adanya model pembinaan bagi WBP di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para WBP kembali ke masyarakat. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga WBP tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, maka untuk pelaksanaan pembinaan WBP selanjutnya mengacu pada undang-undang tersebut. Pembinaan narapidana di LAPAS dilaksanakan dengan beberapa tahapan pembinaaan, yaitu tahap awal, tahap lanjutan, dan tahap akhir. Adapun pelaksanaan tahapan pembinaan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pembinaan tahap awal bagi WBP dilaksanakan sejak narapidana tersebut berstatus sebagai narapidana hingga 1/3 (satu per tiga) masa pidananya. 2) Pembinaan tahap lanjutan terbagi kedalam dua bentuk, yaitu : 2

a. Tahap lanjutan pertama, dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua) masa pidananya. b. Tahap lanjutan kedua, dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidananya. 3) Pembinaan tahap akhir, dilaksanakan sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana WBP yang bersangkutan. Setelah narapidana dibina di dalam LAPAS lebih kurang ½ (setengah) dari masa pidananya, maka untuk lebih menyempurnakan program pembinaan kepada WBP diberi kesempatan untuk berasimilasi. Pasal 14 huruf j Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa asimilasi merupakan salah satu hak yang dapat diperoleh WBP. Pada proses asimilasi terdapat beberapa masalah yang dihadapi di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Gorontalo, diantaranya sebagai berikut: 1) Pada proses pembahasan program, petugas Pemasyarakatan dan masyarakat tidak pernah dilibatkan untuk mengikuti pembahasan program pembinaan. Demikian pula dalam mekanisme pelaksanaannya, terjadi penyimpangan yang merugikan warga binaan yang telah memenuhi syarat untuk diusulkan hak memperoleh asimilasi. Akibatnya target pemulangan warga binaan lebih awal melalui program asimilasi yang menjadi program nasional tidak efektif dilaksanakan oleh lembaga pemasayarakatan Gorontalo. 2) Faktor internal penghambat asimilasi yang paling menonjol yaitu tidak ada kemampuan pemimpin dalam mendorong motivasi kerja bawahan, membina dan memantapkan disiplin serta menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab tugas dan pekerjaan kepada bawahan tanpa melakukan pengontrolan. Sedangkan faktor eksternal yaitu ketiadaan Balai Pemasyarakatan dalam melakukan penelitian kemasyarakatan sebagai syarat utama program asimilasi. 3) Belum adanya suatu peraturan yang khusus mengatur sistim koordinasi antar lembaga penegakan hukum dan intansi pemerintah serta pihak swasta sebagai mitra lembaga pemasyarakatan di daerah untuk mengoptimalkan pelaksanaan asimilasi bagi warga binaan di Lapas 3

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana dampak kebijakan hukum pelaksanaan pembinaan WBP tahapan asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo, (2) Bagaimana kendala dan upaya dalam pembinaan WBP tahapan Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo. A. Metode Penulisan Peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris.selain itu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti akan bersifat deskriptif, dimana penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas dan tepat perihal dampak pelaksanaan pembinaan warga binaan pemasyarakatan tahapan asimilasi WBP di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari beberapa jenis data, yaitu: (1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap responden yang dipilih sesuai dengan mengajukan pertanyaan yang terstruktur. Wawancara ini ditujukan kepada warga binaan yang sedang dalam tahap melakukan asimilasi dan pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo dan (2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah ada berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data berupa wawancara dan studi kepustakaan serta analisis data dengan menggunakan metode derskriptif. B. Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Gorontalo memiliki wilayah hukum Provinsi Gorontalo baik dari Pengadilan Negeri Tilamuta, Pengadilan Limboto dan Pengadilan Negeri Gorontalo. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Gorontalo kini mengalami perubahan kelas sejak tanggal 31 Desember 2003 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M. 16. FR. 07. 03 Tahun 2003 menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo. 4

a. Visi dan Misi Pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan yang maha esa sedangkan Misinya adalah melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. b. Tabel Penghuni Lembaga Pemasyarakatan KLAS IIA Gorontalo Berdasarkan dari data yang calon peneliti dapatkan dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo pada tanggal 15 Desember 2015 terdapat 609 orang yang menjadi penghuni. Berikut ini adalah rincian penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo. Tabel 1 Penghuni (narapidana) Lembaga Pemasayrakatan Klas IIA Gorontalo Register Lk Pr Total A I 1 1 A II 38 6 43 A III 122 17 139 A IV 7 1 8 A V 8 1 9 Tahanan Anak 1 1 Sub Total 177 25 202 B I 298 12 310 B IIa 56 4 60 B Iib 1 1 B III 9 2 11 Hukuman Mati Seumur Hidup 1 1 Andik PAS 24 24 Sub Total 389 18 407 5

Total 566 43 609 Sumber: Lembaga Pemasyarakatan 2. Dampak kebijakan hukum pelaksanaan pembinaan WBP tahapan Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo Tahap asimilasi mengedepankan kepada tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan yaitu agar warga binaan dapat diterima kembali oleh masyarakat. Diselenggarakannya pembinaan terhadap narapidana adalah dalam rangka mencapai tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dari penjelasan diatas Dampak positif dan negatif pelaksanaan Asimilasi dapat kita lihat dari hasil penelitian dan pembahasan berikut ini. Untuk membaurkan narapidana kedalam lingkungan masyarakat sebagai bentuk persiapan menjelang bebas sudah terlihat melalui lingkungan pembinaan pada LAPAS Klas IIA Gorontalo. Dalam asimilasi, secara fisik narapidana tidak dibatasi dengan jeruji atau tembok pembatas, demikian juga halnya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dalam kesehariannya. Kondisi dan keadaan seperti ini akan lebih memberikan peluang yang besar kepada masyarakat untuk berperan aktif dan terlibat langsung dalam pembinaan. Keterlibatan masyarakat secara langsung ditunjukkan dengan adanya kegiatan masyarakat bersama warga binaan. Dengan adanya kesempatan bersama tersebut akan tercipta komunikasi dan interaksi yang baik antara warga binaan dan masyarakat. Adanya hubungan yang baik antara warga binaan dan masyarakat tersebut pada LAPAS Klas IIA Gorontalo menimbulkan suatu pemahaman baru bagi masyarakat tentang LAPAS dan warga binaan. Pada mulanya sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa LAPAS atau penjara dan warga binaan yang ada di dalamnya 6

merupakan sesuatu yang mempunyai kesan buruk dan jahat. Namun, keberadaan warga binaan dan LAPAS Klas IIA Gorontalo sebagai lembaganya tidaklah mendapat kesan demikian oleh masyarakat sekitar. 14) Sementara itu, ada sebagian dari masyarakat berpendapat bahwa pada awalnya mereka takut dengan adanya warga binaan dilingkungan mereka yang sedang melakukan asimilasi. Mereka melihat bahwa narapidana akan mengganggu ketentraman lingkungan mereka, namun hal tersebut hingga saat ini belum terjadi. Mereka juga berpendapat bahwa paling tidak dengan adanya warga binaan menambah ramai suasana lingkungan di areal sekitar Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo, namun mereka harus tetap diwaspadai. Sesuai dengan prinsip pemasyarakatan bahwa selama warga binaan menjalankan pidana hilang kemerdekaan (penjara), maka si warga binaan tidak boleh kehilangan kontak dengan masyarakat dan haruslah dikenalkan dan diberikan kesempatan untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat luas, maka dengan proses asimilasi yang merupakan proses untuk membaurkan warga binaan kedalam lingkungan masyarakat agar si warga binaan merasakan kehidupan yang normal dan dapat berinteraksi secara wajar sebagaimana mestinya. Pasal 7 huruf c Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI No. M.01.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat disebutkan bahwa salah satu syarat administratif yang harus dipenuhi bagi narapidana yang mendapat kesempatan berasimilasi adalah surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian asimilasi. Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para staf di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo. Warga binaan juga harus diayomi hak-haknya walaupun telah 14) Wawancara dengan Staf Bimaswat Asimilasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Yarham Pantu pada 15 Desember 2014. 7

melanggar hukum. Untuk itu dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 Pasal 14 telah diatur hak-hak dari warga binaan itu sendiri agar tidak bertentangan. Salah satunya dengan bentuk asimilasi ini, sesuai wawancara dengan Bapak Yarham Pantu, dengan adanya bentuk asimilasi ini bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada warga binaan dan juga memberikan kelonggaran di dalam lembaga agar dapat berhubungan dengan sesama penghuni lain blok, dengan pegawai, dan juga dengan masyarakat. Kegiatannya dapat berupa besuk, hiburan dan ceramah dari pihak luar, serta dapat dipekerjakan sebagi pemuka yang diberi kepercayaan membantu pekerjaan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo. Selain itu, juga terdapat bimbingan kerja (bimja) dalam pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-PK.10 Tahun 1998 yang berguna untuk pelatihan kerja dan pemanfaatan waktu luang. Bimja ini juga menghadirkan para pihak luar yang dapat memberikan pelatihan, sehingga komunikasi dengan pihak luarpun dapat terus berjalan. Warga binaan yang mendapatkan asimilasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo ini jika tidak pernah melakukan pelanggaran disiplin nantinya dapat diprioritaskan untuk mendapatkan asimilasi di luar Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo. Sesuai dengan wawancara beberapa warga binaan yang sedang melakukan asimilasi, mereka mengatakan kurang efektif dan efisiennya peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari hal-hal seperti rumit dan lamanya prosedur mendapatkan izin asimilasi seperti: surat pengajuan asimilasi dari pemohon (warga binaan), surat keterangan domisili keluarga dari kelurahan, surat permintaan tenaga kerja dari pihak ketiga (asimilasi bekerja pada pihak ketiga), surat pernyataan kesanggupan mengawasi, dan surat perjanjian pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo dengan pihak ketiga yang ingin mempekerjakan warga binaan. Selain prosedural, pembagian besaran upah antara warga binaan dan pihak LAPAS Gorontalo dirasakan kurang fair (50-50), juga ada persyaratan asimilasi untuk warga binaan yang melakukan tindak pidana terorisme, 8

narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional yang terorganisiasi boleh melakukan asimilasi jika telah menjalani 2/3 masa pidana (PP No. 28 Th. 2006), sehingga membuat warga binaan yang termasuk kategori diatas lebih memilih pembebasan bersyarat daripada asimilasi dimana untuk pembebasan bersyarat sendiri juga mepunyai persyaratan 2/3 masa pidana yang telah dijalani. 18) 3. Kendala-kendala dan Upaya dalam Pembinaan Narapidana Tahapan Asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo Dalam pelaksanaannya tentu ada kendala-kendala yang dihadapi. kendala ini dapat berasal dari intern Lembaga Pemasyarakatan dan juga ekstern lembaga pemasyarakatan. Ada beberapa kendala yang menghambat kegiatan asimilasi warga binaan yaitu: 1. Lamanya pemberitahuan dari Kejaksaan Negeri mengenai ada tidaknya perkara lain yang menjerat narapidana. Lamanya pemberitahuan dari Kejaksaan Negeri mengenai ada tidaknya perkara lain yang melibatkan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo berimbas pada terlambatnya pemberian rekomendasi pemberian ijin asimilasi bagi warga binaan. Akibatnya lamanya masa asimilasi bagi warga binaan juga berkurang. 19) 2. Sikap tidak antusias dari warga binaan dalam mengikuti pembinaan kegiatan asimilasi. Dalam prosesnya, warga binaan terlihat tidak antusias terhadap program kegiatan asimilasi yang telah dibuat oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Gorontalo. 20) 18) Wawancara dengan warga binaan dalam tahap asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, pada 15 Desember 2014. 19) Wawancara dengan Staf Bimaswat Asimilasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Yarham Pantu pada 15 Desember 2014. 20) Wawancara dengan warga binaan yang sedang dalam tahap asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, pada 15 Desember 2014 9

3. Kurang efektif dan efisiennya peraturan perundang-undangan yang ada. 21) 4. Minimnya atau kurangnya dana yang ada untuk sarana dan prasarana kerja. Dana yang dialokasikan untuk keperluan pelatihan kerja atau keterampilan sangat sedikit sehingga fasilitas (alat kerja) yang didapatkanpun jauh dari memuaskan dan kurang beragam, selain untuk keperluan alat kerja, yang sangat memprihatinkan adalah juga keterbatasan jumlah dan kualitas bahan baku yang nantinya akan diolah oleh warga binaan di bengkel kerja. 22) 5. Belum adanya tenaga ahli atau orang yang berpengalaman yang dapat menjadi pembimbing warga binaan. Selama ini pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo mengalami kesulitan untuk dapat mengajak tenaga ahli untuk menjadi pembimbing warga binaan dikarenakan juga dengan minimnya ketersediaan dana untuk memakai jasa tutor profesional. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo juga kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari psikolog yang dapat berguna untuk membimbing mental narapidana untuk melaksanakan pidananya dan menggali lebih jauh minat dan keterampilan warga binaan yang nantinya dapat digunakan dalam asimilasi kerja. 23) 6. Belum adanya kerjasama yang berkelanjutan dengan pihak ketiga yang dapat menampung para pemohon asimilasi agar dalam pelaksanaan asimilasi dapat lebih terakomodir. Asimilasi kerja dengan pihak ketiga merupakan bentuk asimilasi yang paling potensial untuk membantu warga binaan yang ingin berasimilasi, akan tetapi pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A 21) Wawancara dengan warga binaan dalam tahap asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, pada 15 Desember 2014 22) Wawancara dengan Staf Bimaswat Asimilasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Yarham Pantu pada 15 Desember 2014. 23) Wawancara dengan Staf Bimaswat Asimilasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Yarham Pantu pada 15 Desember 2014. 10

Gorontalo mengalami kendala dalam upaya kerjasama yang lebih berkelanjutan, hal ini terjadi karena pihak ketiga merasa takut untuk memakai jasa dan tenaga para warga binaan, ataupun pihak ketiga yang tidak ingin repot dengan membuat perjanjian dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo perihal jaminan pengawasan kerja. 24) 7. Pandangan (stigmatisasi) masyarakat yang buruk terhadap warga binaan. Pandangan masyarakat sangat mempengaruhi kegiatan asimilasi warga binaan. Walaupun asimilasi kerja dilakukan, tetapi masyarakat juga akan memberikan pandangan sinis terhadap pihak yang memperkerjakan warga binaan. Terlebih dengan budaya masyarakat kita yang komunal sehingga pandangan satu orang dapat menjadi pandangan masyarakat secara umum. 25) Dalam hal untuk mengatasi berbagai kendala-kendala yang dihadapi oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo dalam upaya pelaksanaan asimilasi warga binaannya, pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo dengan segala cara dan upaya telah mencoba agar dapat menunjang dan mendorong berjalannya asimilasi dengan lancar. Berikut ini adalah upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan program asimilasi yang calon peneliti dapatkan dari hasil wawancara yaitu: 1. Peran dari LAPAS untuk memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri untuk mempercepat proses pengecekan perkara lain terhadap warga binaan itu sendiri. 2. Memberikan pemahaman terhadap warga binaan dalam pembinaan tahap asimilasi. 24) Wawancara dengan Staf Bimaswat Asimilasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Yarham Pantu pada 15 Desember 2014. 25) Wawancara dengan warga binaan dan Staf Bimaswat Asimilasi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, Yarham Pantu dalam tahap asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Gorontalo, pada 15 Desember 2014 11

3. Mencarikan alternatif jalan keluar untuk meringankan prosedural dari perundang-undangan. 4. Mengupayakan penambahan anggaran dan penjualan produk bimbingan kerja. 5. Penyediaan tenaga ahli alternatif 6. Menjalin kerjasama dengan pihak luar 7. Mengadakan dan mengikutsertakan warga binaan dalam berbagai kegiatan sosial, jasmaniah, spiritual dan sebagainya untuk menghilangkan pandangan negatif masyarakat terhadap warga binaan. C. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Keberadaan warga binaan pada LAPAS Klas IIA Gorontalo dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Adanya pandangan yang positif dari masyarakat terhadap warga binaan pada LAPAS Klas IIA Gorontalo akan memudahkan untuk melibatkan narapidana dalam kegiatan sosial ditengah masyarakat serta melibatkan masyarakat dalam kegiatan kerja warga binaan. Masyarakat sekitar secara langsung menunjukkan peran aktif dalam kegiatan-kegiatan pembinaan. Ditambah lagi dengan pemberian motivasi dan dorongan membuat narapidana lebih percaya diri dalam pembauran dimasyarakat. Salah satu bentuk kegiatan asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan yakni bentuk kegiatan kerja dengan pihak ketiga mendapatkan pengeluhan dari warga binaan itu sendiri, di tambah dengan lamanya pemberitahuan dari kejaksaan negeri mengenai ada tidaknya perkara lain yang merugikan warga binaan. Pengajuan asimilasi ini sendiri dirasakan rumit dengan prosedural yang panjang. Dalam pelaksanaan pembinaan warga binaan pada LAPAS Klas IIA Gorontalo terdapat kendala-kendala yang masih sedikit dan belum diperbaharui peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai pelaksanaan pembinaan warga binaan pada LAPAS, lamanya pemberitahuan dari kejaksaan negeri, prosedural, faktor lingkungan 12

masyarakat sekitar, minimnya sarana dan prasarana pelatihan kerja, atau mungkin juga berasal dari diri warga binaannya sendiri, seperti ketidakinginan untuk beasimilasi, tidak antusias dan sikap apatis narapidana. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo dalam pelancaran program asimilasi sudah cukup baik meskipun keluwesan dalam pelaksanaannya terkekang pada kerangka hukum yang ada, hanya saja hasil dari upaya ini masih belum terlihat secara faktual. Kendala-kendala ini dapat diatasi oleh pihak LAPAS Klas IIA Gorontalo melalui alternatif-alternatif lain yang tidak mengurangi maksud dan tujuan dari pembinaan. Ditinjau dari segi pelaksanaan pembinaan dan kendala-kendala yang ada, maka pelaksanaan asimilasi pada LAPAS Klas IIA Gorontalo belum semuanya tercapai dalam mencapai tujuan sistem pemasyarakatan. Kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan pembinaan tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan kegiatan pembinaan tersebut. Meskipun demikian kendala-kendala yang ada tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk penyempurnaan kegiatan pembinaan warga binaan pada LAPAS Klas IIA Gorontalo kedepannya. 2. Saran 1. Harus ada hubungan yang strategis antara pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo, warga binaan, dan masyarakat agar dapat menghilangkan kendala-kendala yang ada dalam pelaksanaan asimilasi warga binaan. 2. Haruslah ada ruang gerak yang lebih terhadap Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo dalam upaya pemenuhan kebutuhan lembaga sendiri dalam hal ini warga binaan itu sendiri karena hanya Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Gorontalo sendiri yang mengetahui dan mengerti kebutuhan mereka. 13

3. Perlunya dorongan dan dukungan dari pemerintah untuk dapat meringankan prosedural pengajuan asimilasi, dan mencarikan alternatif pelaksanaan asimilasi. 4. Peran dari LAPAS untuk memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri untuk mempercepat proses pengecekan perkara lain terhadap warga binaan itu sendiri. Lembaga pemasyarakatan klas IIA Gorontalo seharusnya memberitahukan terlebih dahulu kepada kejaksaan negeri untuk mempercepat proses pengecekan perkara lain terhadap warga binaan itu sendiri, agar pemberian izin asimilasi bagi warga binaan lebih berlangsung cepat dan asimilasi bagi warga binaan lebih berjalan lama. DAFTAR PUSTAKA Abdoel Djamali, 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Amiruddin dan Zainal Asikin, 2013. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Dwidja Priyatno, 2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. http://febriadmiral.blogspot.com/2010/02/skripsi-strata-1-di-lapas-klas-ii.html http://lapasnarkotika.wordpress.com/2007/12/05/pembinaan-bagi tahanan-napi/ diakses tanggal 26-06-2014 https://nagabiru86.wordpress.com/2009/06/12/data-sekunder-dan-data-primer/ http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/11/tahapan-mewujudkan-pidanapenjara.html diakses tanggal 26-06-2014 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH.01.PK.05.06 Tahun 2008 Tentang Perubahan Permen Kum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat; 14

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No : M.HH-02.PK.06 Tahun 2010 Tentang Perubahan Kedua atas Permen Kum HAM RI No : M1.01.PK.04.10 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No : PAS-132.OT.03.01 Tahun 2010 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat serta Pemberian Remisi terhadap Narapidana yang Dipidana Selain Pidana Pokok Juga Dipidana Tambahan Mengganti Uang Pengganti. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaaan Hak dan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Peter Mahmud, 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Group. Sudarsono, 2007. Pengantar ilmu hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Wirjono Prodjodikoro, 2011. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. 15