PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH IKHSAN NOVIADY A

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

III. BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari 3 golongan ecogeographic yaitu Indica, Japonica, dan Javanica.

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI TINGGI PEMOTONGAN PANEN TANAMAN UTAMA TERHADAP PRODUKSI RATUN. The Study of Cutting Height on Main Crop to Rice Ratoon Production

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH

PENGARUH PENGELOLAAN HARA NITROGEN TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH DI SUBAK DANGIN UMAH GIANYAR BALI

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

UJI PERBEDAAN SISTEM JAJAR LEGOWO TERHADAP BEBERAPA VARIETAS TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA SAWAH TADAH HUJAN SKRIPSI SARLYONES KAFISA

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR

Lampiran 1: Deskripsi padi varietas Inpari 3. Nomor persilangan : BP3448E-4-2. Anakan produktif : 17 anakan

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

PENGARUH WAKTU DAN CARA PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI HIBRIDA (Oryza sativa L.) Oleh Gita Septrina A

THE INFLUENCE OF N, P, K FERTILIZER, AZOLLA (Azolla pinnata) AND PISTIA (Pistia stratiotes) ON THE GROWTH AND YIELD OF RICE (Oryza sativa)

III. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

BAHAN DAN METODE. I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera.

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Politeknik Negeri Lampung yang berada pada

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

BAHAN METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

PENGGUNAAN RADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN DAYA HASIL DAN UMUR PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS CIHERANG DAN CEMPO IRENG

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Sumber : Nurman S.P. (

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA GALUR PADI TAHAN TUNGRO DI KABUPATEN BANJAR

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi merupakan tanaman yang termasuk genus Oryza L. yang

III. BAHAN DAN METODE

KK : 2.4% Ket: ** ( sangat nyata) tn (tidak nyata) Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN KOMPONEN HASIL EMPAT VARIETAS UNGGUL BARU PADI INPARA DI BENGKULU ABSTRAK

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN POLA TANAM TUMPANGSARI PADI GOGO (Oryza sativa L.) DENGAN JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata Sturt L.)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

KETAHANAN PADI (WAY APO BURU, SINTA NUR, CIHERANG, SINGKIL DAN IR 64) TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BERCAK COKLAT (Drechslera oryzae) DAN PRODUKSINYA

KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA DI LAHAN SAWAH NUSA TENGGARA BARAT

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36,

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN PADI VARIETAS MEKONGGA TERHADAP KOMBINASI DOSIS PUPUK ANORGANIK NITROGEN DAN PUPUK ORGANIK CAIR

BAB I PENDAHULUAN. pangan yang berasal dari biji, contohnya yaitu padi. Dalam Al-Qur'an telah

PENGARUH PEMUPUKAN N, P, K PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI (Oryza sativa L.) KEPRAS

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat. Rancangan Penelitian

Transkripsi:

i PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH IKHSAN NOVIADY A24080092 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH Grain filling of some rice varieties under different periods of drought stress in lowland system Ikhsan Noviady 1, Iskandar Lubis 2, Ahmad Junaedi 2 1 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB 2 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB Abstract Rice, the main crop in Indonesia, is facing many problems in its development which is an issue of drought. Effect of drought on rice causes puso and decreases productivity. The objective of this research is to study the response of several varieties of rice grain filling at four different periods of drought. This research was conducted at the University Farm IPB, Babakan, Sawah Baru, Dramaga, Bogor, on land under Polyethylene roof from October 2011 until June 2012. The treatment design Randomized Completely Block Design with Split plot design of two factors. The first factor is period of drought treatments as main plots consist of four standards: dried at 3 weeks after tranplanting (MST) (K3); dried at 6 MST (K6); dried at 9 MST (K9) and control (K0) (without drying). Varieties as a subplot consist of eight standards are: IR-64, Ciherang, IPB 3S, Way Apo Buru, Jatiluhur, Menthik Wangi, Silugonggo and Rokan. Periods of drought affected grain weight and grain number of plant. Varieties affected number of husk of plant. 1000 grain weight was affected by periods of drought stress, varieties and interaction of both. Key words : Grain filling, drought, lowland system

ii RINGKASAN IKHSAN NOVIADY. Pengisian Gabah Beberapa Varietas Padi pada Periode Cekaman Kekeringan Berbeda dalam Sistem Sawah. (Dibimbing oleh ISKANDAR LUBIS dan AHMAD JUNAEDI). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pengisian gabah beberapa varietas padi yang ditanam pada sistem sawah dengan perlakuan periode kekeringan yang berbeda. Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot) dengan dua faktor perlakuan yaitu periode kekeringan sebagai petak utama yang terdiri atas 4 taraf : dikeringkan saat 3 minggu setelah tranplanting (MST) sampai panen (K3); dikeringkan saat 6 MST sampai panen (K6); dikeringkan saat 9 MST sampai panen (K9) dan kontrol (K0) (tanpa dikeringkan). Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari IR-64, Ciherang, IPB 3S, Way Apo Buru, Jatiluhur, Menthik Wangi, Silugonggo dan Rokan. Pengamatan dilakukan pada 3 tanaman contoh dalam satu unit percobaan. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah : 1) Jumlah gabah isi dan hampa per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer dan cabang sekunder, 2) Bobot gabah per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer dan cabang sekunder, 3) Bobot 1,000 butir gabah. Hasil yang didapatkan yaitu jumlah gabah total per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer, dan cabang sekunder tertinggi pada K0 dan K9. Pada K3 bobot rata-rata baik gabah total, isi, dan hampa terendah pada berbagai posisi gabah. Varietas Rokan memiliki jumlah gabah hampa tertinggi pada semua posisi dalam malai, sedangkan IR 64 memiliki jumlah gabah hampa terendah. Jumlah gabah total lebih banyak pada ujung malai dibandingkan pada pangkal malai, dan pada cabang primer lebih banyak dibandingkan pada cabang sekunder. Bobot gabah per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer, dan cabang sekunder tertinggi pada K0 dan K9. Pada K3 memiliki bobot terendah dari berbagai posisi. Berdasarkan posisi gabah, pangkal malai menunjukkan bobot yang lebih rendah dibandingkan ujung malai dan

iii cabang primer menunjukkan bobot yang lebih tinggi dibandingkan cabang sekunder. Kesimpulan dari percobaan ini adalah jumlah gabah per rumpun pada semua posisi gabah kecuali jumlah gabah hampa pada cabang primer dipengaruhi oleh perlakuan periode cekaman kekeringan.terdapat pengaruh interaksi antara periode cekaman kekeringan dengan varietas terhadap jumlah gabah hampa per malai. Bobot gabah per rumpun dipengaruhi oleh periode kekeringan dan perlakuan varietas hanya berpengaruh pada cabang sekunder. Interaksi periode cekaman kekeringan dan varietas berpengaruh terhadap bobot 1,000 butir.

iv PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN KEKERINGAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor IKHSAN NOVIADY A24080092 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

v Judul Nama NIM : PENGISIAN GABAH BEBERAPA VARIETAS PADI PADA PERIODE CEKAMAN BERBEDA DALAM SISTEM SAWAH : IKHSAN NOVIADY : A24080092 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S. NIP 19610528 198503 1 002 Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. NIP 19681101 199302 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr. NIP. 19611101 198703 1 003 Tanggal Lulus :

vi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Nopember 1990 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari Bapak Hasan Basri dan Ibu Atikah. Penulis memulai pendidikan formal di SDN Bojong 1 Kabupaten Bogor pada tahun 1996-2002, kemudian pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 6 Bogor. Tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan diterima melalui jalur USMI di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis mengikuti organisasi Koperasi Agrohotplate sebagai anggota Divisi Pemasaran (2009-2010) dan Forum Komunikasi Rohis Departemen sebagai anggota PKU (2010). Tahun 2010-2011 penulis mendapatkan pendanaan PKM-Penelitian dari Dikti dengan judul Manipulasi Fermentasi Kopi untuk Menciptakan Kopi Luwak Sintetis sebagai anggota. Pada tahun 2011-2012 PKM-Penelitian didanai oleh Dikti dengan judul Efektivitas Sanitasi Gulma Ageratum conyzoides dan Pemanfaatannya sebagai Pestisida Nabati dalam Mengurangi Penyakit pada Tanaman Cabai sebagai ketua. Penulis menjadi asisten Mata Kuliah Praktik Usaha Pertanian pada tahun 2012.

vii KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas berkat, nikmat, dan rahmatnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini dengan judul Pengisian Gabah Beberapa Varietas Padi pada Periode Cekaman Kekeringan Berbeda dalam Sistem Sawah merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan di University Farm IPB Sawah Baru, Babakan, Dramaga, Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Kedua orang tua, Bapak Hasan Basri dan Ibu Atikah, kedua saudara, Amri Aulia dan Noviani Rahmatika, serta keluarga yang telah memberikan dorongan moral dan materi. 2. Dr. Ir. Iskandar Lubis, M.S dan Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan saran, bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Agus Purwito MSc.Agr. sebagai pembimbing akademik, yang telah membimbing penulis selama ini. 4. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. sebagai penguji skripsi, yang telah memberikan saran dan masukan untuk memperbaiki skripsi ini. 5. Pihak yang telah membantu saat penelitian, Bu Maisura, Kak Rifky, Pak Adang dan semua pegawai Kebun Percobaan Babakan. Teman-teman yang telah membantu penelitian, Keswari, Tira, Tiara, Ferina, Dwi, Bella, Rahmi, Sindra, Upy, Melisa, Ayu Ocha, Susi, Rista, Abe, Roby, Wulan, Dira, Kak Gatra, Rene, Agus Cahyadi, Agus Rachman, Miftah. 6. Teman-teman seangkatan, keluarga besar Indigenous 45 atas kebersamaannya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, November 2012 Ikhsan Noviady

viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Jenis-jenis Padi... 3 Penggunaan Air pada Tanaman Padi... 4 Adaptasi Padi terhadap Cekaman Kekeringan... 5 Pengisian Gabah... 6 BAHAN DAN METODE... 9 Tempat dan Waktu... 9 Bahan dan Alat... 9 Metode Penelitian... 9 Pelaksanaan... 10 Pengamatan... 11 HASIL DAN PEMBAHASAN... 12 Kondisi Umum... 12 Jumlah Gabah per Rumpun... 13 Bobot Gabah per Rumpun... 19 Bobot 1,000 Butir... 23 KESIMPULAN DAN SARAN... 25 Kesimpulan... 25 Saran... 25 DAFTAR PUSTAKA... 26 LAMPIRAN... 29 ix x xi

ix DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rekapitulasi sidik ragam jumlah gabah per rumpun pada berbagai posisi terhadap perlakuan cekaman kekeringan dan varietas serta interaksi keduanya... 13 2. Pengaruh perlakuan periode cekaman kekeringan terhadap jumlah gabah per rumpun... 14 3. Pengaruh varietas terhadap jumlah gabah total per rumpun... 15 4. Pengaruh varietas dan posisi gabah pada malai terhadap jumlah gabah hampa per rumpun... 16 5. Pengaruh interaksi perlakuan cekaman kekeringan dan varietas terhadap penyebaran gabah hampa pada berbagai posisi malai... 18 6. Rekapitulasi sidik ragam bobot gabah pada berbagai posisi terhadap perlakuan kekeringan dan varietas serta interaksi keduanya... 19 7. Pengaruh periode cekaman kekeringan terhadap bobot gabah per rumpun... 20 8. Pengaruh varietas terhadap bobot gabah per rumpun pada cabang sekunder... 21 9. Rata-rata bobot 100 butir gabah... 22 10. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap bobot 1,000 butir gabah... 23

x DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Rumah plastik... 9 2. Serangan wereng pada tanaman padi : a. Wereng menyerang pangkal batang, b. Tanaman menjadi coklat dan kering, c. Tanaman busuk pangkal dan layu... 12

xi DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Deskripsi varietas IR64... 30 2. Deskripsi varietas Ciherang... 31 3. Deskripsi varietas IPB 3S... 32 4. Deskripsi varietas Way ApoBuru... 33 5. Deskripsi varietas Jatiluhur... 34 6. Deskripsi varietas Menthik Wangi... 35 7. Deskripsi varietas Silugonggo... 36 8. Deskripsi varietas Rokan... 37 9. Denah percobaan... 38

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi beras per kapita terbesar di dunia dengan konsumsi per kapita mencapai 139 kg/tahun. Selama tahun 2002-2006 pertambahan penduduk meningkat dengan laju 1.36% per tahun. Dengan pertambahan penduduk tersebut Indonesia membutuhkan pasokan beras yang semakin besar. Solusi agar kebutuhan beras nasional terpenuhi tanpa ada impor beras adalah Indonesia harus dapat swasembada beras. Hal tersebut ditentukan oleh produksi, luas lahan dan produktivitas padi. Produksi padi nasional pada tahun 2009 mencapai 64,398,890 ton gabah kering giling (GKG) dengan produktivitas rata-rata 49.9 ku ha -1 (BPS, 2011). Dari total produksi nasional, padi sawah menyumbang 95.03% produksi dan padi gogo hanya 4.97%. Angka persentase produksi tersebut dikarenakan luas panen padi sawah pada tahun 2009 yang mencapai 11,595,661 juta ha dengan produktivitas 51.21 ku ha -1, sedangkan luas panen padi gogo hanya 1,073,328 juta ha dengan produktivitas 29.5 ku ha -1 (Deptan, 2010). Berdasarkan data, padi sawah masih menjadi fokus utama dalam pengembangan padi. Dalam perkembangannya padi sawah menemui beberapa masalah. Masalah utama adalah konversi lahan pertanian subur menjadi lahan untuk kepentingan nonpertanian. Konversi lahan sawah ke penggunaan lain di Pulau Jawa dua dekade terakhir mencapai rata-rata 54,716 ha per tahun. Berkurangnya lahan subur mengakibatkan pertanian harus dapat dikembangkan di lahan yang kurang kesuburannya, seperti pada tanah masam dan lahan kering. Pertanian pada lahan yang kurang subur dihadapkan pada cekaman bagi tanaman, baik itu cekaman abiotik maupun biotik. Indonesia memiliki lahan kering degan luasan lebih dari 55.6 juta ha. Luasan tersebut merupakan lahan yang dapat digunakan untuk budi daya padi tahan kering. Terlihat bahwa lahan kering baru digunakan seluas 1.1 juta ha untuk budi daya padi gogo. Rendahnya

2 penggunaan tersebut dikarenakan padi gogo memilki kualitas dan produktivitas yang rendah, sehingga kurang disukai oleh petani. Dunia dalam beberapa tahun terakhir ini juga dihadapkan pada isu perubahan iklim global, yaitu kenaikan suhu, tingginya kadar CO 2, kondisi cuaca ekstrim yang menyebabkan banjir dan kekeringan serta terbatasnya sumber air. Akibat perubahan iklim global petani pada umumnya termasuk petani padi juga menghadapi musim yang sulit diprediksi sehingga resiko pertanian semakin besar. Periode kemarau yang panjang dan sulitnya memprediksi musim serta keadaan lahan yang kurang subur membutuhkan penggunaan air yang efisien pada tanaman padi. Solusi untuk menanggulangi adalah dengan meningkatkan adaptasi tanaman padi pada kondisi cekaman terutama kekeringan. Hal tersebut bisa didapat dengan menggunakan galur toleran cekaman kekeringan dan teknik budi daya yang lebih efisien dalam menggunakan air. Galur padi yang toleran terhadap kekeringan dan mempunyai potensi hasil yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menanggulangi masalah pada saat ini. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pengisian gabah beberapa varietas padi yang ditanam pada sistem sawah dengan perlakuan periode kekeringan yang berbeda. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan respon pengisian gabah pada periode cekaman kekeringan yang berbeda. 2. Terdapat perbedaan respon pengisian gabah pada beberapa varietas padi 3. Terdapat pengaruh interaksi antara periode kekeringan dengan varietas padi terhadap pengisian gabah.

3 TINJAUAN PUSTAKA Jenis-jenis Padi Genus Padi (Oryza) termasuk dalam suku Oryzae dari famili Poaceae. Sekitar 20 spesies utama tersebar pada lembah tropis Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara, Cina Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan serta Australia (Chang, 1976). Padi yang banyak ditanam adalah spesies Oryza sativa. Spesies Oryza glaberrima, juga banyak ditanam di beberapa negara Afrika Barat, yang secara berangsur digantikan oleh Oryza sativa. Jenis padi (Oryza sativa) secara umum dikelompokan berdasarkan morfologi menjadi 3 tipe yaitu, indica, japonica (sinonim sinica), dan javanica (Katayama, 1993). Padi indica adalah jenis padi indigenous dari wilayah lembah Asia tropis dan subtropis. Padi japonica terdapat secara terbatas di zona iklim sedang dan subtropis. Padi japonica banyak ditanam di China, sehingga padi japonica dikenal juga sebagai padi sinica atau keng (Chang, 1976). Padi javanica sebagian besar tumbuh di Indonesia (De Datta, 1981), saat ini lebih dikenal sebagai tropical japonica. Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) telah mengembangkan teknologi perakitan varietas unggul padi berpotensi hasil tinggi melalui perakitan padi tipe baru (PTB) dan padi hibrida. Teknologi budidayanya dikembangkan antara lain melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) terutama pada 1ahan sawah irigasi. Padi tipe baru (PTB) memiliki sifat penting, antara lain: 1) jumlah anakan sedikit (7-12 batang) dan semuanya produktif, 2) malai lebih panjang dan 1ebat (>300 butir/malai), 3) batang besar dan kokoh, 4) daun tegak, tebal, dan hijau tua, 5) perakaran panjang dan lebat. Potensi hasil PTB 10-25% tebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini. Kalau IR64 dan varietas unggul lainnya dihasilkan melalui persilangan antar padi jenis indica (padi cere), PTB dihasilkan melalui persilangan antara padi jenis indica dengan japonica. Padi hibrida juga berpotensi dikembangkan untuk dapat mengatasi kemandekan produktivitas padi saat ini. Padi hibrida dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena

4 heterosis turunan pertama (F1) dari hasil persilangan antara dua induk yang berbeda. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat sekitar 1 t/ha lebih tinggi daripada varietas unggul biasa (inbrida). Namun keunggulan tersebut, tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya. Oleh karena itu produksi benih F1 dalam pengembangan padi hibrida memegang peran penting dan strategis. Ditinjau dari aspek genetik, PTB dan padi hibrida memiliki potensi hasil yang lebih tinggi, tetapi sistem dan teknologi produksinya berbeda dengan varietas unggul biasa ( Las et al., 2003). Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Berdasarkan teknik budidayanya padi dibagi menjadi 4 macam yaitu: 1) Budidaya padi sawah, diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok, 2) Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah 3) Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan 4) Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat. Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif untuk masing-masing sistem (Plantus, 2003). Penggunaan Air pada Tanaman Padi Air sangat diperlukan untuk kehidupan tanaman. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh spesies termasuk didalamnya perbedaan struktur tanaman dan perbedaan periode pertumbuhan (De Datta, 1981). Tanaman dapat merasakan air yang tersedia di sekitar akar lalu merespon dengan mengirim hidrolik dan/atau sinyal kimia ke pucuk untuk mendapatkan beberapa respon adaptif, mencakup penutupan stomata, berkurangnya luas daun, dan pertukaran gas ( Serraj et al., 2008). De Datta (1981) menyatakan suplai air yang cukup merupakan salah satu faktor penting dalam produksi padi. Menurut Budi dan Kartaatmadja (2002), air

5 bagi pertanian pangan, khususnya padi, tidak hanya menentukan produktivitas tanaman, tetapi juga mempengaruhi intensitas pertanaman (IP) dan luas tanam potensial. Siregar (1981) mengemukakan bahwa kebutuhan air tanaman padi ditetapkan oleh berbagai macam faktor, seperti: jenis tanah, iklim (basah atau kering), umur tanaman, dan sebagainya. Selain jenis tanah, kebutuhan air tanaman padi juga dipengaruhi oleh jenis padi. Varietas padi berumur genjah membutuhkan air lebih sedikit dari padi berumur dalam. Kesuburan tanah juga turut mempengaruhi kebutuhan air, padi yang ditanam di lahan yang kurang subur membutuhkan air yang lebih sedikit dibandingkan padi yang ditanam pada lahan yang lebih subur. Adaptasi Padi terhadap Cekaman Kekeringan Padi termasuk tumbuhan C3, pada tumbuhan C3 kekringan mengakibatkan laju fotorespirasi meningkat dan laju fotosintesis menurun sehingga metode adaptasinya adalah dengan menutup stomata. Cekaman kekeringan akan menyebabkan rendahnya laju penyerapan air oleh akar tanaman (Borges, 2003). Cekaman kekeringan juga berpengaruh terhadap penurunan turgor yang berdampak pada penurunan perkembangan dan perbesaran ukuran sel, selain itu adanya peningkatan akumulasi senyawa metabolik osmotik seperti prolin (Syaidah, 2009). Padi yang relatif tahan terhadap kekeringan adalah padi gogo, namun padi secara keseluruhan sebagai tumbuhan C3 masih kurang efisien dalam pemanfaatan air dibanding tumbuhan C4 (Long, 1999). Cekaman kekeringan selain menghambat laju fotosintesis juga menekan akumulasi N dalam tumbuhan (Arifai, 2009). Menurut Rauf et al. (2000) unsur N adalah unsur yang paling terlihat pengaruhnya pada tanaman padi, peranannya adalah: 1) merangsang pertumbuhan vegetatif, 2) meningkatkan jumlah anakan, 3) meningkatkan jumlah bulir atau rumpun. Kekurangan unsur N akibat kekeringan dapat menyebabkan pertumbuhan kerdil, daun tampak kekuning-kuningan dan sistem perakaran terbatas. Daun merupakan peubah yang mudah diamati untuk melihat respon

6 terhadap kekeringan didasarkan atas fungsinya sebagai penerima cahaya dan tempat berlangsungnya fotosintesis (Filho dan Paiva, 2006). Respon terhadap kekeringan dapat dilihat dari daun yang menguning dan menggulung. Pengaruh kekeringan pada padi sawah menyebabkan puso dan penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas tersebut dikarenakan pada siklus pengisian gabah padi tidak menerima pasokan air yang cukup, padi dapat dipanen tetapi produksi dan mutu gabah menurun (BPS, 2011). Kekurangan air (kekeringan) selama tahap vegetatif dan reproduktif dapat menekan pertumbuhan tanaman (De Datta et al., 1975). Menurut De Datta (1981), kekeringan akan menyebabkan penurunan hasil panen sebesar 20-25%. Sukiman et al. (2010) menyatakan pengaruh kekeringan pada masa vegetatif tidak selalu terlihat langsung namun mempengaruhi pertumbuhan generatifnya. Menurut O toole dan Chang (1979) jika kekeringan terjadi saat proses inisiasi malai maka akan menurunkan pembungaan, dan jika terjadi saat gametogenesis maka akan meningkatkan jumlah gabah hampa serta jika terjadi saat stadia pengisian gabah maka akan menurunkan bobot 1,000 butir. Ditambahkan dalam Sukiman et al. (2010) kekeringan pada tahap primordia dan pembungaan meningkatkan jumlah gabah hampa per malai, bobot gabah hampa per malai dan persentase gabah hampa. Sutaryo et al. (2005) menyatakan jumlah gabah isi per malai berpengaruh secara langsung terhadap hasil gabah. Pengisian Gabah Pengisian gabah merupakan salah satu tahap reproduktif dari tanaman padi. Tahap reproduktif dimulai setelah padi mencapai tahap anakan maksimum, yang berbeda berdasarkan varietas dan lingkungan. Tahap reproduktif ditandai dengan inisiasi malai primordia pada batang (De Datta, 1981). Inisiasi malai dimulai ketika primordia malai berdiferensiasi sehingga mulai nampak. Pada varietas genjah (umur panen 105 hari setelah tanam (HST)) primordia malai berdiferensiasi sekitar 40 HST dan terlihat 11 hari setelahnya.

7 Inisiasi malai terjadi pertama kali pada batang utama kemudian diikuti oleh anakan dengan pola yang acak. Pada varietas padi umur panjang (panen 135-160 HST), dasar tangkai mengalami pemanjangan sebelum inisiasi malai. Pada kondisi keterbatasan air, inisiasi malai mungkin mengalami penundaan. Ini juga terjadi pada padi sistem tebar langsung pada lahan tanpa pelumpuran (De Datta, 1981). Saat malai terus berkembang, bulir mulai terlihat dan dapat dibedakan. Malai muda meningkat dalam ukuran dan berkembang ke atas di dalam pelepah daun bendera menyebabkan pelepah daun menggembung. Pengembangan daun ini disebut bunting. Bunting terjadi pertama kali pada ruas batang utama. Pada tahap bunting ujung daun layu dan anakan non-produktif terlihat pada bagian dasar tanaman. Tahap selanjutnya adalah heading, dikenal juga tahap keluarnya malai atau bunga. Tahap ini ditandai dengan munculnya ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun. Pembungaan (anthesis) terjadi segera setelah heading. Oleh sebab itu heading diartikan sama dengan antesis ditinjau dari hari kalender. Dalam suatu rumpun atau suatu komunitas tanaman, tahap ini memerlukan waktu 10-14 hari karena terdapat laju perkembangan antar tanaman atau antar anakan. Apabila 50% bunga telah keluar maka pertanaman tersebut dianggap sudah dalam tahap pembungaan. Anthesis dimulai ketika benang sari bunga yang paling ujung pada tiap cabang malai telah keluar dari bulir dan terjadi proses pembuahan. Pembungaan belangsung pada pukul 08.00-13.00 dan pembuahan selesai 5-6 jam setelahnya. Antesis terjadi 25 hari setelah bunting (Yoshida, 1981). Tahap berikutnya adalah gabah matang susu, pada tahap ini gabah mulai terisi cairan kental berwarna putih susu. Apabila ditekan maka cairan itu akan keluar. Malai berwarana hijau dan mulai merunduk. Pelayuan pada dasar anakan berlanjut, daun yang tetap hijau adalah daun bendera dan dua daun dibawahnya. Gabah setengah matang (dough grain stage), pada tahap ini isi gabah berubah menjadi gumpalan lunak yang selanjutnya mengeras. Gabah pada ujung malai

8 mulai menguning. Pertanaman terlihat menguning, seiring menguningnya malai ujung dua daun terakhir pada setiap anakan mulai mengering. Tahap terakhir yaitu gabah matang penuh. Setiap gabah matang berkembang penuh, keras, dan berwarna kuning. Tahap pematangan selesai setelah 90-100% bulir isi menjadi kuning. Daun bagian atas mengering dengan cepat. Pada varietas tertentu daun bagian atas tetap hijau (De Datta, 1981). Di daerah tropis tahap pematangan (dari pembungaan sampai matang) membutuhkan waktu 25-35 hari tergantung varietas. Di negara-negara dengan iklim sedang, seperti Jepang, Australia bagian selatan, dan Amerika Serikat, pematangan membutuhkan waktu 45-60 hari (De Datta, 1981). Kapasitas limbung (sink size) dalam hal ini ukuran gabah, biasanya ditentukan sebelum tahap pembungaan, seperti jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah per malai. Jumlah gabah isi dan bobot 1,000 butir ditentukan selama tahap pematangan atau setelah pembungaan (Yoshida dan Parao, 1976). Jumlah gabah isi ditentukan oleh kondisi suhu selama pematangan. Cuaca yang tidak optimal selama tahap reduksi pembelahan dan antesis serta kerapatan tanaman yang tinggi menentukan jumlah gabah isi per malai. Jumlah malai dan gabah isi menentukan bobot 1,000 butir. Tingginya suhu harian selama tahap pematangan menurunkan bobot 1,000 butir dan efisiensi pengisian gabah (Oldeman et al. 1986).

9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Sawah Baru University farm IPB, Dramaga, Bogor (Gambar 1). Penanaman dilakukan pada lahan dibawah konstruksi atap polyethylene, dilaksanakan dari Oktober 2011 sampai dengan Juni 2012. Gambar 1. Rumah Plastik Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi varietas Ciherang, IR-64, Way Apo Buru, Silugonggo, Menthik Wangi, Jatiluhur, Rokan dan IPB 3S. Pupuk yang digunakan yaitu Urea, SP18 dan KCl. Pestisida digunakan jika dibutuhkan. Alat-alat yang digunakan : Alat-alat pertanian, roll meter, penggaris timbangan analitik, oven, trai semai dan alat tulis kantor. Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (split plot) dengan dua faktor perlakuan yaitu periode kekeringan sebagai petak utama yang terdiri atas 4 taraf : dikeringkan saat 3 minggu setelah tranplanting (MST) (K3); dikeringkan saat 6 MST (K6); dikeringkan saat 9 MST (K9) dan kontrol (K0) (tanpa dikeringkan). Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari IR-64, Ciherang, IPB 3S, Way ApoBuru, Jatiluhur, Menthik Wangi, Silugonggo

10 dan Rokan. Kombinasi 2 faktor perlakuan menghasilkan 32 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali sehingga terdapat 96 unit percobaan. Model linier Rancangan Petak terbagi (split plot): Y ijk = µ + K k + α i + δ ik + β j +(αβ) ij + ε ijk Keterangan : Y ijk : Nilai pengamatan perlakuan periode kekeringan ke-i, dan varietas ke-j dan blok ke-k µ : Rataan umum K k α i β j δ ik : Pengaruh pengelompokan : Pengaruh petak utama (kekeringan) : Pengaruh anak petak (varietas) : Komponen galat dari petak utama (Periode kekeringan) (αβ) ij : Pengaruh interaksi antara petak utama (periode kekeringan) dan anak petak (varietas) ε ijk : Pengaruh galat dari interkasi antara petak utama (kekeringan) dan anak petak (varietas) Seluruh data percobaan dianalisis menggunakan analisis ragam pada taraf uji α = 5%. Apabila berpengaruh nyata, dilakukan analisis lanjut menggunakan uji Duncan s Multiple Range Test (DMRT). Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan di rumah plastik yang memiliki ukuran 20 x 15 m. Di dalam rumah plastik terdapat bak tanam dengan ukuran 4 m x 3 m sebanyak 16 bak dengan kedalaman lapisan olah kurang lebih 30 cm. Jarak petak antar perlakuan petak utama 35 cm dan jarak petak antar ulangan 35 cm. Sebelum dilakukan penanaman, terlebih dahulu dilakukan penggenangan selama 5 hari dan pengolahan tanah dilakukan 2 kali. Pada tiap petak percobaan ditanami 8 varietas, tiap varietas terdiri dari 30 tanaman dalam 2 barisan tanaman dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm, dan jarak tanam antar varietas 25 cm. Pada kedua sisi petak

11 ditanam tanaman pinggir. Jumlah populasi per petak adalah 260 tanaman. Untuk pemeliharaan tanaman dilakukan pemupukan dalam 3 tahap menggunakan pupuk dasar 37.5 kg N/ha, 36 kg P 2 O 5 /ha, dan 60 kg K 2 O/ha diberikan 1 MST dan untuk pemupukan kedua dan ketiga diberikan 37.5 kg N/ha pada 5 MST dan 9 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pemberian air dilakuan sesuai periode kekeringan tiap perlakuan. Untuk perlakuan K3 pemberian air dihentikan saat tanaman berumur 3 MST sampai panen, perlakuan K6 ketika tanaman berumur 6 MST sampai panen, perlakuan K9 ketika tanaman berumur 9 MST sampai panen dan perlakuan tanpa kekeringan (kontrol) pemberian air terus dilakukan hingga panen. Pada penggenangan awal tinggi muka air dipertahankan 2.5 cm dari permukaan tanah. Panen dilakukan serentak pada 13 MST, karena terserang hama. Pengamatan Pengamatan dilakukan pada 3 tanaman contoh dalam satu unit percobaan. Peubah yang diamati dalam penelitian adalah : 1) Jumlah gabah isi dan hampa per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer dan cabang sekunder, 2) Bobot gabah per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer dan cabang sekunder, 3) Bobot 1,000 butir gabah. Berdasarkan IRRI (1996) karakter pengisian gabah dilakukan pada stadia 9 (saat mencapai kriteria panen). Identifikasi gabah isi dilakukan terhadap gabah dengan menekan bulir dengan jari. Pengamatan yang dilakukan adalah mengamati pola pengisian gabah dengan cara menghitung jumlah dan bobot gabah isi dan hampa per rumpun tanaman contoh, yang dimaksud gabah hampa adalah gabah yang tidak terisi sama sekali. Perhitungan gabah dilakukan dengan cara memisahkan malai bagian ujung dengan bagian pangkal kemudian memisahkannya lagi menjadi cabang primer dan cabang sekunder.

12 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan ini dilaksanakan pada lahan di bawah naungan atap polyethylen (rumah plastik). Hal tersebut dimaksudkan untuk meminimalkan faktor luar seperti hujan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Suhu maksimum di dalam rumah plastik mencapai 35 o 38 o C. Hama banyak menyerang pada saat 10 MST diantaranya walang sangit (Leptocorisa oratorius) yang menghisap bulir padi saat masak susu. Hama wereng coklat (Nilaparvata lugens) menyerang pada saat padi siap panen, tanaman yang terkena hama menjadi coklat dan kering. Tanaman juga ada yang menjadi busuk pada bagian pangkal dan kemudian layu (Gambar 2). Varietas hibrida Rokan yang berumur lebih dalam dibandingkan varietas lain mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan varietas dengan umur genjah seperti Silugonggo. Karena adanya hama tersebut tanaman padi dipanen lebih awal secara serentak. a b c Gambar 2. Serangan wereng pada tanaman padi : a. Wereng menyerang pangkal batang, b. Tanaman menjadi coklat dan kering, c. Tanaman busuk pangkal dan layu

13 Jumlah Gabah per Rumpun Jumlah gabah total, gabah isi dan gabah hampa per rumpun pada semua posisi gabah dalam malai berdasarkan uji F pada taraf uji α = 5% dipengaruhi sangat nyata oleh perlakuan periode cekaman kekeringan, kecuali jumlah gabah hampa pada cabang primer yang tidak menunjukkan pengaruh t nyata. Jumlah gabah hampa per rumpun terlihat dipengaruhi oleh varietas serta terdapat interaksi antara varietas dengan periode cekaman kekeringan (Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam jumlah gabah per rumpun pada berbagai posisi terhadap perlakuan cekaman kekeringan dan varietas serta interaksi keduanya Perlakuan K V K.V Malai Total ** ** tn Isi ** tn tn Hampa ** ** * Pangkal Malai Total ** tn tn Isi ** tn tn Hampa ** ** ** Ujung Malai Total ** ** tn Isi ** * tn Hampa ** ** * Cabang Primer Total ** tn tn Isi ** tn tn Hampa tn ** * Cabang sekunder Total ** ** tn Isi ** * tn Hampa ** ** ** Keterangan : * = berpengaruh nyata pada taraf uji α = 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf uji α = 5%, tn = tidak berpengaruh nyata. K: cekaman kekeringan, V: varietas. Jumlah gabah total per tanaman pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer, dan cabang sekunder tertinggi pada K0 dan K9. Pada K3 bobot rata-rata baik gabah total, isi, dan hampa adalah terendah pada berbagai posisi gabah (Tabel 2). Menurut O toole dan Chang (1979) jika kekeringan terjadi saat

14 proses inisiasi malai maka akan menurunkan pembungaan, dan jika terjadi saat gametogenesis maka akan meningkatkan jumlah gabah hampa. Pengaruh kekeringan pada masa vegetatif tidak selalu terlihat langsung namun mempengaruhi pertumbuhan generatifnya (Sukiman et al., 2010). Tabel 2. Pengaruh perlakuan periode cekaman kekeringan terhadap jumlah gabah per rumpun Posisi gabah Perlakuan K3 K6 K9 K0...butir/rumpun... Malai Total 366.09 b 424.61 b 624.69 a 743.75 a Isi 243.59 c 254.48 c 422.87 b 564.70 a Hampa 122.50 b 170.12 a 201.82 a 179. 05 a Pangkal malai Total 169.92 b 185.94 b 283.33 a 335.95 a Isi 104.10 c 99.74 c 172.65 b 230.85 a Hampa 65.82 b 86.20 ab 110.57 a 105.10 a Ujung malai Total 195.79 b 233.11 b 341.67 a 407.42 a Isi 139.11 c 155.68 c 250.53 b 333.47 a Hampa 56.686 b 77.44 a 91.14 a 73.95 ab Cabang primer Total 219.18 b 235.93 b 309.59 a 349.10 a Isi 151.47 b 156.47 b 237.01 a 288.50 a Hampa 67.71 tn 79.46 tn 72.59 tn 60.59 tn Cabang sekunder Total 146.91 c 182.19 c 315.10 b 394.25 a Isi 92.11 c 98.01 c 185.86 b 276.20 a Hampa 54.70 c 84.18 b 129.23 a 118.46 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5%, tn = tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan posisi gabah di malai, jumlah gabah total, gabah isi dan gabah hampa pada pangkal malai lebih sedikit dibandingkan jumlah gabah total gabah isi dan gabah hampa pada ujung malai. Semua perlakuan periode cekaman kekeringan menunjukkan hasil yang sama, pengisian gabah pada ujung malai lebih banyak dibandingkan dengan pangkal malai. Jumlah gabah total pada cabang sekunder menunjukkan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan jumlah gabah total pada cabang primer. Hal itu terlihat pada perlakuan K3 dan K6,

15 sedangkan pada K9 dan K0 jumlah gabah total pada cabang sekunder lebih banyak dari cabang primer. Jumlah gabah isi pada cabang primer perlakuan K9 dan K0 menunjukkan jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada cabang sekunder, hasil ini serupa dengan pelakuan K3 dan K6, dengan hasil ini dapat dilihat bahwa pengisian gabah lebih banyak terjadi pada cabang primer dibandingkan pada cabang sekunder. Menurut Tubur (2011), terdapat perbedaan respon 8 varietas terhadap kekeringan pada sistem sawah. Berdasarkan parameter jumlah anakan produktif, skor penggulungan dan skor kekeringan daun, dan indeks kekeringan untuk daya hasil, kedelapan varietas tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, Jatiluhur dan Way Apo Buru termasuk kelompok yang toleran; Rokan dan Menthik Wangi termasuk kelompok yang peka; IR64, Ciherang, IPB 3S dan Silugonggo termasuk pada kelompok agak toleran (Moderat). Jumlah gabah total per rumpun terlihat dipengaruhi oleh varietas ( Tabel 3). Pengelompokan toleransi varietas terhadap kekeringan pada penelitian Tubur (2011), sepertinya tidak terlihat berpengaruh pada peubah jumlah gabah total per rumpun. Tabel 3. Pengaruh varietas terhadap jumlah gabah total per rumpun Varietas Jumlah total...butir/rumpun... IR-64 467.16 c Ciherang 419.94 c IPB 3S 626.50 bc Way ApoBuru 449.57 c Jatiluhur 701.47 ab Menthik wangi 551.70 bc Silugonggo 464.52 c Rokan 839.79 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α=5%.

16 Hal tersebut dapat dilihat dari varietas Rokan yang merupakan varietas yang peka tehadap cekaman kekeringan justru memiliki jumlah gabah per rumpun yang paling tinggi, lebih tinggi dibandingkan Jatiluhur dan Way Apo Buru. IPB 3S yang merupakan varietas moderat dan Menthik Wangi yang merupakan varietas peka juga terlihat memiliki jumlah gabah yang lebih tinggi dibandingkan Way Apo Buru yang merupakan varietas toleran. Jumlah gabah hampa pada semua posisi malai terlihat dipengaruhi oleh varietas (Tabel 4). Varietas Rokan memiliki jumlah gabah hampa tertinggi pada semua posisi dalam malai dan IR64 memiliki jumlah gabah hampa yang paling rendah. Pada varietas yang toleran seperti Jatiluhur juga terlihat jumlah gabah hampa yang tinggi. Varietas moderat seperti IPB 3S memiliki jumlah gabah hampa yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang peka terhadap kekeringan seperti Menthik Wangi meskipun tidak berbeda secara statistik. Tabel 4. Pengaruh varietas dan posisi gabah pada malai terhadap jumlah gabah hampa per rumpun Posisi gabah hampa Varietas Cabang Malai Pangkal Ujung Cabang primer Sekunder...butir/rumpun... IR-64 116.93 c 60.76 c 56.17 b 60.89 b 56.03 d Ciherang 142.57 c 75.50 c 67.07 b 67.98 bc 74.59 cd IPB 3S 168.90 c 88.69 c 80.21 a 60.51 bc 108.39 ab Way ApoBuru 132.75 c 79.86 c 52.89 b 57.43 bc 75.33 cd Jatiluhur 252.58 b 130.16 b 122.42 a 89.57 b 163.01 a Menthik wangi 141.79 c 73.40 c 68.39 b 56.18 bc 85.61 bc Silugonggo 124.82 c 75.97 c 48.85 b 52.24 c 72.58 cd Rokan 373.73 a 216.76 a 133.19 a 154.08 a 195.87 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5% Dari Tabel 3 dan Tabel 4, terlihat kehampaan gabah berbanding lurus dengan jumlah total gabah per rumpun. Sesuai dengan Abdullah (2009) yang menyatakan jumlah gabah per malai yang tinggi juga menyebabkan tingginya

17 kehampaan. Varietas Rokan yang merupakan varietas hibrida yang secara genetik memiliki jumlah gabah per rumpun yang tinggi memiliki jumlah gabah hampa yang tinggi pula. Tingginya kehampaan pada juga dikarenakan varietas hibrida memerlukan kondisi yang optimum untuk pertumbuhannya sehingga tidak tahan terhadap kondisi tercekam dibandingkan varietas lainnya. Berdasarkan posisi gabah, jumlah gabah hampa pada pangkal malai lebih banyak dibandingkan jumlah gabah hampa pada ujung malai, semua varietas menunjukkan hasil yang sama. Jumlah gabah hampa pada cabang primer terlihat lebih sedikit dibandingkan jumlah gabah hampa pada cabang sekunder, kecuali pada varietas IR64 yang jumlah gabah hampa pada cabang primernya lebih banyak dibandingkan cabang sekunder. Kehampaan lebih banyak terjadi pada pangkal malai dan cabang sekunder dibandingkan pada ujung malai dan cabang primer. Gabah hampa pada semua posisi malai dipengaruhi oleh interaksi antara periode cekaman dan varietas (Tabel 5). Jumlah gabah hampa total per rumpun yang paling tinggi yaitu varietas Rokan yang diberi cekaman kekeringan sejak 9 MST (minggu setelah transplanting) sampai panen, hasil tersebut tidak berbeda dengan perlakuan tanpa dikeringkan (K0). Jumlah gabah hampa pada interaksi antara varietas Rokan dengan perlakuan cekaman kekeringan sejak 3 MST sampai panen (K3) dan perlakuan cekaman kekeringan sejak 6 MST sampai panen (K6) juga terlihat lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya, hal ini disebabkan varietas Rokan merupakan varietas yang secara genetik memiliki potensi jumlah gabah per rumpun yang tinggi, namun karena adanya cekaman kekeringan dan kondisi lingkungan yang tidak optimum jumlah gabah yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan pengisian yang tinggi pula sehinggabanyak gabah yang tidak terisi. Berdasarkan posisi gabah pada malai, penyebaran gabah semua varietas pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan terlihat pada pangkal malai lebih tinggi jumlah gabah hampa dibandingkan ujung malai dan jumlah gabah hampa pada cabang primer lebih rendah dibandingkan pada cabang sekunder.

18 Tabel 5. Pengaruh interaksi perlakuan cekaman kekeringan dan varietas terhadap penyebaran gabah hampa pada berbagai posisi malai Malai Total Pangkal malai Ujung malai Cabang primer Cabang sekunder...butir/rumpun... IR 64 120.18 c-f 54.85 ef 65.33 c-g 74.83 d-i 45.35 f-h Ciherang 61.72 f 33.60 f 28.12 g 38.96 h-i 22.77 h IPB 3S 106.19 ef 47.04 f 59.15 d-g 67.56 e-i 38.63 gh K3 Way Apo Buru 87.07 ef 48.49 f 38.58 f-g 49.95 f-i 37.12 gh Jatiluhur 103.29 ef 51.88 f 51.42 e-g 60.26 f-i 43.04 gh Menthik Wangi 108.51 ef 57.22 ef 51.29 e-g 65.35 e-i 43.16 gh Silugonggo 259.00 b-d 168.25 b 90.75 b-g 98.96 b-h 160.04 b-d Rokan 263.39 b-c 139.05 b-e 124.34 a-d 150.81 ab 112.58 d-h IR 64 145.90 c-f 81.56 c-f 64.34 c-g 80.63 c-i 65.26 d-h Ciherang 217.52 b-e 108.15 b-f 109.37 a-f 123.92 b-e 93.60 d-h IPB 3S 153.37 c-f 67.33 d-f 86.04 c-g 63.47 e-i 89.90 d-h K6 Way Apo Buru 171.91 c-f 96.04 b-f 75.87 c-g 80.49 c-i 91.43 d-h Jatiluhur 262.65 b-c 144.14 b-d 118.51 a-e 102.89 b-g 159.76 b-d Menthik Wangi 119.05 c-f 59.03 d-f 60.01 d-g 48.75 g-i 70.29 d-h Silugonggo 62.71 f 36.11 f 26.60 g 36.08 i 26.63 h Rokan 200.77 b-f 119.38 b-f 81.39 c-g 139.49 a-c 61.28 e-h IR 64 130.13 c-f 65.59 d-f 64.54 c-g 56.01 f-i 74.11d-h Ciherang 148.70 c-f 75.48 c-f 73.22 c-g 61.07 f-i 87.62 d-h IPB 3S 201.50 b-f 108.25 b-f 93.25 b-g 61.96 f-i 139.53 c-f K9 Way Apo Buru 135.55 c-f 89.05 b-f 46.50 f-g 49.19 g-i 86.36 d-h Jatiluhur 319.49 a-b 156.54 bc 162.95 a 83.34 c-i 236.15 ab Menthik Wangi 199.01 b-f 102.87 b-f 96.14 b-g 66.37 e-i 132.64 c-g Silugonggo 114.67 d-f 67.55 d-f 47.12 f-g 51.91 f-i 62.76 e-h Rokan 420.76 a 257.19 a 163.58 a 184.18 a 236.58 ab IR 64 71.50 f 41.04 f 30.46 g 32.09 i 39.41 g-h Ciherang 144.40 c-f 84.77 b-f 59.64 d-g 45.67 g-i 98.73 d-h IPB 3S 193.65 b-f 118.28 b-f 75.37 c-g 51.40 f-i 142.25 c-e K0 Way Apo Buru 136.48 c-f 85.86 b-f 50.62 e-g 50.09 f-i 86.39 d-h Jatiluhur 324.89 a-b 168.10 b 156.80 a-b 111.81 b-f 213.08 a-c Menthik Wangi 129.52 c-f 69.09 d-f 60.43 d-g 47.32 g-i 82.20 d-h Silugonggo 107.63 ef 62.74 d-f 44.89 f-g 37.58 h-i 70.06 d-h Rokan 397.01 a 263.88 a 133.12 a-c 132.90 a-d 264.11 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5%

19 Bobot Gabah per Rumpun Hasil sidik ragam menunjukkan bobot gabah per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer malai, cabang primer pangkal malai, cabang primer ujung malai, cabang sekunder malai, cabang sekunder pangkal malai, cabang sekunder ujung malai dipengaruhi oleh perlakuan periode cekaman kekeringan. Varietas hanya berpengaruh pada ujung malai, cabang sekunder pangkal malai dan ujung malai. Bobot gabah tidak dipengaruhi interaksi antara kedua perlakuan (Tabel 6). Tabel 6. Rekapitulasi sidik ragam bobot gabah pada berbagai posisi terhadap perlakuan kekeringan dan varietas serta interaksi keduanya Posisi Gabah Perlakuan K V VK Malai ** tn tn Pangkal malai ** tn tn Cabang primer ** tn tn Cabang sekunder ** ** tn Ujung malai ** * tn Cabang primer ** tn tn Cabang sekunder ** ** tn Cabang primer Total ** tn tn Cabang sekunder Total ** ** tn Bobot 1,000 butir ** ** ** Keterangan : * = berpengaruh nyata pada taraf uji α = 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf uji α = 5%, tn = tidak berpengaruh nyata. Bobot gabah per rumpun pada malai, pangkal malai, ujung malai, cabang primer, dan cabang sekunder tertinggi pada K0 dan K9. Perlakuan K3 menunjukkan bobot terendah pada semua posisi gabah (Tabel 7). Bobot gabah per rumpun total pada kondisi tidak diberi cekaman kekeringan atau kontrol (K0) mencapai 11.33 g, menurun menjadi 8.71 g saat dikeringkan dari 9 MST (K9), kemudian menjadi 4.55 g saat dikeringkan dari 6 MST (K6), dan pada perlakuan cekaman kekeringan dari 3 MST (K3) hanya berbobot 3.80 g (Tabel 7). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bouman and Tuong (2001) pada kondisi air terbatas

20 atau dibawah kejenuhan (cekaman kekeringan) maka akan terjadi pengurangan ukuran sink sehingga menurunkan bobot. Tabel 7. Pengaruh periode cekaman kekeringan terhadap bobot gabah per rumpun Posisi Gabah Perlakuan K3 K6 K9 K0...g... Malai 3.80 c 4.63 c 8.71 b 11.33 a Pangkal malai 1.58 c 1.75 c 3.47 b 4.68 a Cabang primer 1.23 b 1.27 b 2.23 a 2.76 a Cabang sekunder 0.35 c 0.48 c 1.24 b 1.92 a Ujung malai 2.21 c 2.87 c 5.23 b 6.64 a Cabang primer 1.18 c 1.56 c 2.58 b 3.18 a Cabang sekunder 1.04 b 1.31 b 2.65 a 3.46 a Cabang primer total 2.41 b 2.83 b 4.81 a 5.95 a Cabang sekunder total 1.39 c 1.80 c 3.89 b 5.38 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5% Berdasarkan posisi gabah, bobot gabah pada pangkal malai lebih rendah dibandingkan ujung malai, dan bobot gabah pada cabang primer lebih tinggi dibandingkan cabang sekunder. Semua perlakuan periode cekaman kekeringan menunjukkan hasil yang sama. Bobot gabah cabang primer pada ujung malai menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan cabang primer pada pangkal malai, kecuali pada perlakuan K3 dimana bobot gabah cabang primer pada ujung malai menunjukkan hasil yang lebih rendah. Bobot gabah cabang sekunder pada ujung malai lebih tinggi dibandingkan bobot gabah cabang sekunder pada pangkal malai. Varietas terlihat mempengaruhi bobot gabah per rumpun pada cabang sekunder (Tabel 8). Varietas IPB 3S memiliki bobot gabah per rumpun pada cabang sekunder yang paling tinggi mencapai 6.01 g pada malai, dan yang terendah pada varietas Ciherang dengan 1.51 g pada malai. Semua varietas memiliki bobot gabah cabang sekunder pada ujung malai yang lebih tinggi dibandingkan pada pangkal malai.

21 Tabel 8. Pengaruh varietas terhadap bobot gabah per rumpun pada cabang sekunder Varietas Posisi cabang sekunder Malai Pangkal Ujung...g... IR 64 2.81 b 1.09 b 1.71 bc Ciherang 1.51 b 0.28 b 1.24 c IPB 3S 6.01 a 2.08 a 3.94 a Way Apo Buru 2.34 b 0.82 b 1.53 bc Jatiluhur 3.52 b 0.86 b 2.66 b Menthik Wangi 3.65 b 0.99 b 2.66 b Silugonggo 2.46 b 1.05 b 1.42 bc Rokan 3.33 b 1.07 b 2.27 bc Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5% Pola pengisian gabah di berbagai posisi malai berdasarkan rata-rata bobot per 100 butir gabah terlihat menunjukan perbedaan antar varietas pada empat periode cekaman kekeringan yang berbeda. Bobot 100 butir gabah terendah terlihat pada perlakuan cekaman kekeringan sejak 3 MST sampai panen, kemudian meningkat pada perlakuan cekaman kekeringan sejak 6 MST sampai panen, dan bobot 100 butir yang paling tinggi secara umum terlihat pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan. Bobot 100 butir yang paling tinggi dimiliki oleh gabah ujung malai varietas IPB 3S pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan yaitu sebesar 2.38 g, pada perlakuan ini terlihat pada pangkal malai memiliki bobot 100 butir yang lebih rendah dibandingkan ujung malai, dan bobot 100 butir pada cabang primer memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan cabang sekunder. Secara umum semua varietas memiliki pola pengisian gabah gabah yang sama yaitu gabah pada cabang sekunder memiliki bobot yang lebih rendah dibandingkan pada cabang primer, dan gabah pada pangkal malai memiliki bobot yang lebih rendah dibandingkan pada ujung malai, pola tersebut terlihat berubah pada perlakuan K3.

22 Tabel 9. Rata-rata bobot 100 butir gabah K3 K6 K9 K0 IR 64 Ciherang IPB 3S Way ApoBuru Jatiluhur Menthik Wangi Silugonggo Rokan...g 100 butir -1... Pangkal 1.37 1.68 2.02 1.52 1.63 1.92 1.51 1.35 Ujung 1.53 1.69 1.97 1.75 1.65 1.90 1.62 1.41 Cabang Primer 1.52 1.69 1.95 1.79 1.64 1.89 1.62 1.39 Cabang Sekunder 1.39 1.68 2.05 1.37 1.64 1.95 1.48 1.39 Pangkal 1.71 1.75 1.92 1.74 1.70 1.88 1.81 0.99 Ujung 1.67 1.66 2.18 1.88 1.75 1.91 1.77 1.16 Cabang Primer 1.68 1.64 2.09 1.85 1.74 1.84 1.78 1.47 Cabang Sekunder 1.70 1.81 2.09 1.80 1.71 1.97 1.81 0.97 Pangkal 1.92 2.13 2.17 2.13 1.90 1.99 1.94 1.89 Ujung 1.98 2.01 2.41 2.09 2.00 2.12 1.98 1.79 Cabang Primer 1.95 1.98 2.30 2.11 1.95 2.06 1.99 1.77 Cabang Sekunder 1.96 2.19 2.33 2.10 2.00 2.10 1.92 1.95 Pangkal 1.91 2.10 2.17 2.09 2.08 2.23 1.86 1.79 Ujung 2.00 1.80 2.38 2.03 1.86 2.07 1.76 1.74 Cabang Primer 2.06 1.96 2.37 2.13 1.99 2.18 1.93 1.83 Cabang Sekunder 1.83 1.76 2.24 1.93 1.80 2.04 1.67 1.67 22

23 Bobot 1,000 Butir Hasil bobot 1,000 butir berdasarkan uji F pada taraf α = 5% menunjukkan perbedaan antar varietas dan periode cekaman kekeringan. Interaksi antara kedua perlakuan juga mempengaruhi bobot 1,000 butir (Tabel 6). IPB 3S memiliki bobot 1,000 butir rata-rata tertinggi yaitu 25.01 g dan rokan merupakan varietas dengan bobot 1,000 butir paling rendah yaitu rata-rata 18.17 g (Tabel 9). Hal ini disebabkan IPB 3S memiliki ukuran butir yang besar dan rokan memilki ukuran butir yang kecil. Menurut Yoshida (1983) variasi bobot 1,000 butir dipengaruhi oleh ukuran gabah dan temperatur. Tabel 10. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap bobot 1,000 butir gabah Periode cekaman kekeringan Varietas Ratarata K3 K6 K9 K0...g... IR-64 17.08 mn 19.50 kl 22.27 d-i 22.71 d-h 20.39 d Ciherang 19.24 kl 19.68 jkl 23.70 cde 23.03 c-g 21.41 c IPB 3S 22.72 d-h 24.31 bcd 26.07 ab 26.93 a 25.01 a Way ApoBuru 20.09 i-l 21.39 f-k 24.26 bcd 24.53 bcd 22.57 b Jatiluhur 18.54 lm 19.67 jkl 22.60 d-h 23.10 c-f 20.98 cd Menthik wangi 20.72 h-l 21.24 f-k 23.76 cde 25.18 abc 22.73 b Silugonggo 17.07 mn 20.13 i-l 22.40 d-h 21.87 e-j 20.37 d Rokan 14.17 o 15.29 no 21.98 e-i 20.79 g-k 18.06 e Rata-rata *) 18.70 c 20.15 b 23.38 a 23.52 a Keterangan : *) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5%, **) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada Kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf α = 5% Bobot 1,000 butir semakin rendah seiring dengan periode cekaman kekeringan. Semua varietas mengalami penurunan bobot 1,000 butir pada perlakuan yang diberikan cekaman kekeringan. Rata-rata bobot 1,000 butir paling tinggi pada perlakuan tanpa kekeringan (K0), kemudian terlihat jelas penurunannya pada perlakuan cekaman kekeringan sejak 6 MST (K6). Kekeringan yang terjadi saat stadia pengisian gabah maka akan menurunkan bobot 1,000 butir (O toole dan Chang, 1979). Bobot 1,000 butir paling rendah

24 pada perlakuan cekaman kekeringan sejak 3 MST (K3). Pengaruh kekeringan pada masa vegetatif (K3) tidak selalu terlihat langsung namun mempengaruhi pertumbuhan generatifnya (Sukiman et al., 2010). Pada perlakuan K9 bobot 1,000 butir tidak terlalu jauh perbedaannya dibandingkan K0 dan pada beberapa varietas seperti Rokan, Silugonggo dan Ciherang menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan K0 (Tabel 6). Hal ini dikarenakan pada K9 cekaman kekeringan baru dilakukan saat 9 MST dimana pengisian gabah sudah berlangsung. Pengaruh interaksi terhadap bobot 1,000 butir gabah yang paling tinggi terlihat pada varietas IPB 3S dengan tanpa pengeringan (K0) yang tidak berbeda nyata dengan pengeringan saat 9 MST (K9), karena diikuti oleh huruf yang sama (Tabel 6), sedangkan pengaruh interaksi yang terendah terlihat pada varietas Rokan dengan pengeringan sejak 3 MST (K3).